Dengan langkah gontai, Danang pun melangkah menuju mobilnya. Ia menyesali sikap Ayu yang begitu emosional kali ini. Namun ia tak bisa menyalahkan gadis itu, mungkin saja Ayu melakukannya lantaran benar-benar tertekan.
Di sisi lain ini juga membuktikan kalau sebenarnya Ayu begitu menyayangi dirinya. Ayu benar-benar lebih memilihnya dibanding konglomerat itu.
“Huft! Semoga kamu bisa sabar menunggu ya sayang. Mas yakin ini memang tak akan tahan lama,” gumamnya pada diri sendiri kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumah tinggalnya.
Danang memang bukan tipikal lelaki yang doyan keluyuran. Dia tidak suka keluar rumah jika tidak ada hal penting yang harus dilakukannya.
Pekerjaan kantor sudah cukup menyita waktu dan tenaganya, jika harus ditambah dengan keluyuran rasanya ia sudah tidak tertarik. Jika tidak bersama Ayu, dia memilih untuk merebahkan diri di atas tempat tidur, berbaring hingga ia
“Yu, gimana persiapanmu?” tanya Ibu di sela-sela makan malamnya.Ayu yang tengah mengunyah makan malamnya pun mengangkat wajah dan memandang ke arah Ibunya. Ia sudah tahu apa yang dimaksud dengan persiapan versi Ibunya, apalagi kalau bukan acara lamarannya dengan Wira.“Persiapan apa sih Bu, nggak usah aneh-aneh,” jawabnya dengan malas.“Acara lamaran kamu dengan Wira to Nduk, apa kamu udah lupa kalau mereka akan datang melamarmu?”“Udah deh Bu nggak usah bahas itu lagi. Ayu malas dengernya.”Budhe Ning yang ada di situ pun kembali ambil suara dan ikut campur akan hal yang dihadapi oleh keponakannya ini.“Kok males to nduk? Iki nggo masa depanmu lho (Kenapa malas Nduk? Ini untuk masa depanmu)” ucap Budhe Ning.Ayu menghembuskan napas panjang, matanya pun menyipit ke arah dua wani
Ayu merentangkan kedua tangan dan menguap saat alarm di ponselnya berbunyi. Penunjuk waktu menyebutkan saat itu baru pukul satu dini hari. Ingin sekali ia merebahkan tubuhnya kembali ke kasur tapi ia ingat akan satu hal yang harus dikerjakan olehnya sekarang.Segera ia mematikan alarm sebelum bunyinya yang berisik membangunkan Budhe maupun ibunya. Kemudian mengucek kedua mata, dan duduk sebentar mengumpulkan nyawa setelah bangun tidur.Lima menit sudah berlalu, dan Ayu sudah sepenuhnya sadar dari tidurnya. Ia pun langsung mandi dengan singkat dan membuat kopi untuk diletakkan dalam termos traveller dan juga secangkir untuk diminum sekarang.Suasana hening masih memenuhi seluruh ruangan di rumah Ayu. Ibu dan Budhe masih tertidur pulas, mereka biasa mulai beraktivitas saat waktu menunjukkan pukul empat dini hari.“Huft aman,” ungkap Ayu kemudian menuju kamarnya dan mengambil tas koper, kunci mobil dan mulai berjalan berjingkat ke depan rumah agar tak menimbulkan suara.Kamar tidurnya me
Berkali-kali Danang merubah posisi tidurnya kali ini. Sejak tadi ia tidak bisa tidur dengan nyenyak, seakan ada saja yang mengganggu dirinya.Danang pun bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil air putih untuk menenangkan diri.“Huft!” keluhnya sambil memijit pelipis.Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya kali ini. Entah apa yang membuatnya merasa demikian semenjak tadi, mungkinkah ada suatu pertanda yang kurang baik.Segera ditepiskan jauh-jauh pikiran buruk itu, dan ia kembali mencoba menghubungi Ayu. Sejak mereka bertemu tadi sore, ia sama sekali belum mendengar kabar apapun dari Ayu.Memang Danang sengaja untuk tidak mengganggu Ayu kaki ini. Dia ingin memberi ruang pada kekasihnya untuk mencari solusi akan hubungan mereka yang tak kunjung mendapatkan restu orang tua. Sama halnya dengan dirinya yang juga mencari solusi akan hubungan mereka.Meski memberi ruang, tapi Danang tidak bisa lama-lama untuk tidak berkomunikasi dengan Ayu. Tentunya ia tak akan tahan untuk tidak
Bu Ratmi berdiri di depan kamar Ayu dan mengetuk pintu lantaran putrinya tak juga keluar dari kamar padahal sang penunjuk waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi.“Yu … Ayu bangun Nduk!” panggil Ibu terus mengetuk.Tak biasanya wanita paruh baya ini mendapati Ayu belum juga keluar kamar. Dari dulu ia selalu membiasakan putrinya untuk bangun pagi.“Ayu, nggak sarapan Nduk?” Bu Ratmi kembali menegur, tapi hasil tetap nihil.Saat itulah ia dikejutkan oleh Budhe Ning yang baru saja membuka pintu depan untuk pergantian udara. Ada pemandangan yang tak biasa saat beliau membuka pintu depan. Mobil milik Ayu tidak ada di carport, dan pintu pagar tidak terkunci.“Ratmi … Ratmi, mobile genduk ilang, mambengi enek maling ya’e (Ratmi … Ratmi, mobilnya genduk hilang, sepertinya semalam ada maling)!” seru Budhe Ning sambil melangkah tergopoh-gopoh ke arah adiknya.“Eneng opo to Mbak Yu (Ada apa to Mbak)?” tanyanya berusaha menenangkan kakaknya.Budhe Ning tampak berusaha untuk mengatur napasnya. Ia
Bu Ratmi pun menepuk dahinya sendiri, sadar emosi karena tak menemukan puterinya telah membuatnya berpikir tidak jernih.“Ya ampun ngopo aku ora mikir kae yo (Ya ampun kenapa aku tidak memikirkan hal itu ya),” ucapnya menyadari kebodohan yang telah ia perbuat.“Nah to, wis tak kandhani, tenang ojo gupuh (Nah kan, sudah kubilang, tenang jangan panik),” balas Budhe Ning.Wanita yang masih mengenakan daster itu pun langsung mengambil ponsel dan menghubungi mantan suaminya untuk mencari keberadaan Ayu. Panggilan tersambung, tapi tidak juga diangkat. Bu Ratmi yang dilanda kepanikan pun hanya berputar-putar mengelilingi ruangan dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya.“Kok ora diangkat to (Kok nggak diangkat to),” gumamnya kemudian menekan tombol panggil ulang ke nomor Bapaknya Ayu.“Sabar Mi, saiki jam piro? Iki ijih subuh, bekne Bapake Ayu jik subuhan (Sabar Mi, sekarang jam berapa? Ini masih waktu subuh, mungkin saja Bapaknya Ayu masih salat subuh),” Budhe Ning mengingatkan.Bu R
Tak butuh waktu lama bagi Pak Suryo untuk tiba di rumah mantan istrinya. Kali ini ia tidak datang sendirian melainkan bersama dengan seorang supir pribadinya.Pria paruh baya itu pun langsung masuk dan menemui Bu Ratmi beserta sang kakak yang sudah menunggu di teras sejak tadi. sementara sang sopir mengikuti dari belakang.“Mas … Ayu Mas,” Bu Ratmi terdengar begitu panik saat ia datang.“Udah … udah tenang dulu, kita bicara di dalam saja ya!” ajak Pak Suryo kemudian masuk ke area ruang makan.Pria ini langsung mengambil tempat duduk tanpa sempat memperhatikan sekeliling ruangan apakah ada perubahan atau tidak. Itu bukanlah hal yang penting baginya sekarang. Tentu saja Pak Suryo begitu familiar dengan rumah ini, sebab bangunan ini memang sengaja dibelinya ketika masih berumah tangga dengan Bu Ratmi.Namun ketika perpisahan itu terjadi tak ada perebutan harta gono-gini untuk rumah ini. Keduanya sepakat untuk merubah kepemilikan sertifikat atas nama Arya dan juga Ayu. Karena hak asuh ana
Baik Bu Ratmi maupun Budhe Ning sama-sama tidak ada yang tahu dimana Danang tinggal. Hanya Ayu yang tahu dimana alamat Danang.Mereka berdua pun memutusk an ke kamar Ayu untuk mencari tahu tentang Danang, barangkali masih ada petunjuk yang bisa ditemukan.Bu Ratmi pun membuka laci meja rias Ayu. Ada beberapa kertas tak terpakai tersimpan di sana. Sepertinya Ayu tidak membawanya atau mungkin lupa untuk membuangnya.Wanita paruh baya itu pun mulai memeriksa satu-per satu. Kebanyakan kertas yang tersimpan adalah struk ATM dan slip gaji. Sampai akhirnya Bu Ratmi menemukan slip gaji milik Danang diantara tumpukan kertas.Bu Ratmi membaca dengan seksama dan yang menarik perhatian adalah alamat kantor cabang tempat Danang bekerja.“Mas Suryo, ini ada alamat kantor Danang. Kira-kira bisa nggak ya?”Pak Suryo hanya mengangguk kemudian melirik arloji di tangannya.“Sekarang masih jam tujuh. Satu jam lagi aku akan berangkat ke kantornya dan menemui dia. Aku akan memaksa supaya Danang membawa kem
Danang dikejutkan oleh telepon dari customer service. Seingatnya hari ini ia belum memiliki janji dengan nasabah manapun. Namun nama Suryo Wibowo dan Ratmi Sulistyowati terdengar sangat familiar di telinganya.Ia mengerutkan dahi dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana mungkin mereka berdua berniat mencarinya.Danang yakin seratus persen kalau kedatangan mereka tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya. Jika hanya salah satu saja yang datang, masih memungkinkan kalau ada urusannya dengan pekerjaan, tapi jika dua-duanya ini pasti ada hubungannya dengan Ayu, mengingat mereka berdua sudah bercerai.“Ada apa ya?” pikir Danang.Mungkinkah mereka ingin menyampaikan tentang pertunangan Ayu? Atau mungkinkah mereka ingin memintanya untuk menjauhi Ayu.Berbagai dugaan muncul di kepalanya, membuat hati Danang semakin lama semakin sesak saja.“Apa yang harus kulakukan?” batinnya kemudian ia mengusap wajah dan merapikan penampilannya.Dinda yang meja kerjanya berseberangan dengan
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep