Bu Ratmi dan Pak Suryo masih saja bicara panjang lebar mengenai perhitungan weton yang tidak boleh dilanggar oleh keluarga mereka. Sementara Ayu dan Danang hanya bisa menunduk lesu.
Tak usah ditanya bagaimana perasaan Danang saat ini, terpukul, sakit itu jelas. Jika penolakan ini dikarenakan masalah lain seperti ekonomi ia masih bisa mengerti. Namun ini karena hitungan weton yang menurutnya sangat aneh.
Danang sendiri juga berasal dari Jawa sama seperti Ayu, tapi keluarganya tidak pernah mempermasalahkan weton seperti keluarga kekasihnya. Kedua orang tua Danang menganggap Ayu sebagai calon menantu yang pas lantaran sopan santun dan sikapnya yang mandiri.
“Seberapa pentingkah weton itu dalam kehidupan berumah tangga nanti? Apakah benar hitungan weton akan menyebabkan ketidakbahagiaan?” pikir Danang sambil melirik Ayu yang cemberut.
“Hmm gimana, apa yang Bapak dan Ibu sampaikan sudah jelas ya? Jadi sudah nggak ada lagi yang perlu dibicarakan. Yen kowe ameh kekancan karo nak Danang Ibu ora masalah, tapi yen omah-omahan Ibu ora iso iso wenehi pangestu (Jika kamu ingin berteman dengan nak Danang maka tidak masalah bagi Ibu, tapi untuk berumah tangga Ibu tidak bisa memberi restu)!” tukas Bu Ratmi.
Ayu langsung mendekat kepada Ibunya, dan meraih tangan yang selalu mengusap kepalanya lembut di waktu kanak-kanak.
“Bu, sakniki mpun modern, mpun jamane komputer, sakedahipun mboten kagem weton-weton (Bu, sekarang sudah modern, sudah jaman komputer, seharusnya tidak perlu menggunakan weton-weton),” jelas Ayu yang tidak bisa menerima keputusan kedua orang tuanya.
“Lha iki bocah dikandani koq ngeyel tenan to (Anak ini dikasih tahu tetap saja ngeyel),” balas Bu Ratmi ketus kemudian melirik ke arah suaminya.
“Lha niki Pak, bocah jaman saiki, ora iso manut wong tuwo (Ini Pak, anak jaman sekarang tidak bisa menurut pada orang tua)!” seru Bu Ratmi pada mantan suaminya.
Pak Suryo hanya menghela napas panjang kemudian mengelus dada.
“Nduk, sekarang memang sudah jaman modern yang serba canggih. Namun bukan berarti kita lupa akan warisan dari leluhur kita. Hitungan weton itu sudah ada dari jaman nenek moyang, dan semuanya diatur untuk kepentingan masyarakat, bukan sembarangan mengatur,” jelas Pak Suryo.
Danang dan Ayu pun sama-sama mengangguk. Mencoba untuk mengerti, tapi tetap saja hal ini tidak masuk dalam logika berpikir mereka berdua.
Diam-diam Ayu melirik ke arah kekasihnya, ia ingin agar Danang mengatakan sesuatu pada kedua orang tuanya.
“Mas, opo mas terimo keputusane Bapak, Ibu (Mas, apa Mas bisa menerima keputusan Bapak dan Ibu)?” bisik Ayu.
“Yo ora to dhik (Ya jelas tidak, dek). Ini aneh menurut Mas,” balas Danang juga sambil berbisik.
“Kalau gitu mas ngomong ke Bapak dan Ibu,” desak Ayu sambil menyikut pinggang Danang.
Danang hanya diam. Sebenarnya ia ingin menyampaikan keberatanya, tapi takut nanti akan terbawa emosi. Apalagi jika keberatannya ini tak dianggap, bisa-bisa Ayu kecewa dan bereaksi berlebihan.
“Ayo Mas,” bisik Ayu lagi.
Danang pun menghela napas panjang, kemudian ia memberanikan diri untuk mengajukan keberatannya akan keputusan kedua orang tua Ayu, walaupun ia tahu hal ini bisa mendatangkan resiko bagi hubungannya kelak.
“Ngapunten Pak, Bu (Mohon Maaf Bapak, Ibu). Sebelumnya saya minta maaf sekali lagi, bukan bermaksud lancang ataupun tidak menghormati kebiasaan dan nilai-nilai dari leluhur. Apakah memang hitungan weton yang tidak sesuai itu pasti akan membuat pasangan tidak bahagia. Mohon maaf apa kita tidak mendahului kehendak Tuhan jika berasumsi demikian?” kata Danang dengan hati-hati.
Mendengar argumen dari kekasih Ayu, lantas kedua orang tuanya pun merasa tersinggung. Menganggap Danang telah lancang sok menasihati mereka berdua.
Bagi Pak Suryo dan Bu Ratmi, Danang hanyalah seorang anak ingusan yang sok tahu.
“Lho lho kok jadi begini ngomongnya,” protes Bu Ratmi.
“Maaf Bu, saya tidak bermaksud untuk menggurui,” jawab Danang merasa tak enak hati.
“Anak jaman sekarang memang sudah tidak ada lagi yang mau menghargai nilai budaya. Semuanya terpengaruh kehidupan asing yang bebas, makanya banyak yang salah jalan, terpengaruh obat-obatan, seks bebas dan tidak pernah menghormati orang tua,” tambah Pak Suryo yang juga tersinggung akan ucapan Danang.
“Maaf Pak, mohon maaf sekali lagi. Saya tidak bermaksud untuk tidak menghormati anda sebagai orang tua, tapi saya hanya bertanya. Sebagai informasi, hubungan saya dan Ayu tidak pernah melenceng dari norma,” jelas Danang mengklarifikasi dugaan orang tua Ayu.
Selama menjalin hubungan memang Ayu dan Danang tidak pernah macam-macam. Mereka tidak pernah berduaan di tempat yang sepi seperti kebanyakan pemuda jaman sekarang.
“Masalah itu, kami berdua percaya kalau nak Danang bisa menjaga putri kami dengan baik, dan tidak pernah macam-macam dengan puti kami. Namun untuk masalah kali ini keadaannya berbeda, apa yang dipikirkan oleh Bapak dan Ibu mengenai hitungan weton ini dianggap mendahului kehendak Tuhan, lalu bagaimana dengan Nak Danang yang menganggap ini akan baik-baik saja? Apa itu tidak mendahului juga. Apa yang dipikirkan oleh Bapak dan Ibu ini adalah untuk mencegah masalah timbul dalam kehidupan rumah tangga kalian berdua nanti, bukankah kita lebih baik mencegah sebelum kejadian,” papar Pak Suryo.
Danang hanya mengangguk, kembali ia menyampaikan maaf, ia sudah tak bisa berkata apa-apa lagi kali ini. Kedua orang tua Ayu tetap saja bersikeras dengan pemahaman mereka.
“Maaf-maaf saja dari tadi. Dari sini saja sudah kelihatan kalau pernikahan kalian nanti akan membawa banyak masalah. Ini contohnya, kalian menentang dan mencoba untuk menggurui orang tua!” tukas Bu Ratmi dengan nada tinggi.
“Ibu dan Bapak ini sudah banyak makan asam garam, sudah lebih berpengalaman. Kamu anak masih bau kencur sudah berani menasihati orang tua. Benar-benar tak tahu sopan santun,” lanjut Bu Ratmi yang masih tidak bisa menerima ucapan Danang.
“Sekali lagi saya minta maaf Bu, saya tidak bermaksud untuk bersikap tidak sopan. Saya hanya mencoba mengungkapkan perasaan terhadap Ayu.”
Bu Ratmi membuang muka, kemudian melirik pada Pak Suryo dan meminta agar bapak kandung Ayu untuk memberikan dukungan pada keputusannya. Pria yang masih tampak gagah itu pun akhirnya buka suara.
“Danang, kalau kamu memang mencintai putri kami, seharusnya kamu bisa menghargai keputusan kami. Selama Ayu belum menikah, Ayu masih menjadi tanggung jawab kami berdua.”
Belum juga Pak Suryo mengungkapkan maksud dari perkataannya, Bu Ratmi pun langsung membuat keputusan dan meminta agar Danang segera meninggalkan rumahnya.
“Sekali lagi keputusan sudah dibuat, dan tak bisa diganggu gugat. Sekarang nak Danang boleh pulang dan jangan ganggu kehidupan anak saya lagi. Saya juga kurang sreg melihat sikap nak Danang yang tidak punya sopan santun!” seru Bu Ratmi sambil tangannya mengarah ke arah pintu keluar, dan menandakan Danang harus pergi dari rumah itu sekarang.
“Saya mengerti Bu, permisi,” kata Danang kemudian meninggalkan ruang tamu keluarga Ayu.
Ayu berjalan dengan langkah yang lebar menuju ke kamar tidurnya. Ia tak peduli akan kedua orang tuanya yang masih duduk di ruang tamu.“Ayu!” panggil sang Ibu, tapi perempuan berambut sebahu ini berpura-pura untuk tidak mendengarnya.“Yu, nduk sini sebentar Ibu dan Bapak mau bicara sama kamu,” panggil Ibunya sekali lagi.Ayu berhenti dan langsung berbalik ke arah kedua orang tuanya.“Ayu nggak mau ngomong apa-apa lagi sama Bapak dan Ibu kecuali kalau kalian merubah keputusan untuk menerima lamaran Mas Danang,” balas Ayu yang masih tidak bisa menerima keputusan Ayah dan Ibunya.“Ayu!” seru sang Ibu dengan nada tinggi dan mampu membuat putrinya tersentak.Pak Suryo yang masih di situ pun menyentuh pundak mantan istrinya dan memintanya untuk tidak memperpanjang urusan kali ini.“Beri dia
Pengunjung hik semakin lama semakin ramai. Entah sudah berapa lama dua sejoli itu berada di sana. Es teh yang dipesan oleh Ayu sudah mencair, merubah minuman pekat itu menjadi dua warna, bening dan merah kecokelatan di bagian bawah.Ayu mendongak dan memperhatikan mata kekasihnya yang teduh. Kedua mata yang selalu memberinya ketenangan.“Jadi kita akan mencoba kembali, Mas?”Danang mengangguk penuh percaya diri. Lelaki yang bekerja di bank swasta ini menganggap penolakan itu sebagai bentuk ujian cintanya terhadap Ayu. Bisa jadi calon mertuanya itu ingin melihat bagaimana keteguhan hati laki-laki yang memberanikan diri untuk mempersunting putri mereka.“Insya Allah Yu, kita usaha dulu, selebihnya biar jadi urusan Sang Pemberi Hidup.”Ayu pun terdiam lagi, kali ini bukan karena memikirkan cara apa yang harus ditempuh agar keluarganya bisa menerima kehadiran
“Mas, Ibu makin kekeh dengan keputusannya,” tulis Ayu melalui layanan pesan berlogo warna hijau.Tadi hatinya sempat berbunga-bunga lantaran pertemuan dengan Danang yang begitu sederhana. Namun kedatangan Budhe Ning telah merubah semuanya. Tak ada lagi senyuman yang menghiasi wajah kalemnya.“Kamu kok belum tidur to Yu? Mikirin Mas ya?” balas Danang tanpa perlu menunggu lama.Melihat sang kekasih masih terjaga, Ayu pun langsung menceritakan kejadian yang baru saja dialami olehnya saat kedatangan Budhe Ning.“Ibumu tetap bersikeras Yu, sampai meminta Budhemu untuk menasihati?” tulis Danang tidak percaya.“Iya Mas.”Sementara itu di kamar Danang ….Lelaki muda itu duduk di tepi ranjangnya sambil memegangi kepala. Kabar yang baru saja diterima dari Ayu benar-benar mengacak-ngacak perasaa
Danang menyalami Bu Ratmi dan Budhe Ning dengan hormat. Tak lupa ia memberikan sajen berupa martabak dan terangbulan untuk oleh-oleh.“Silakan duduk Nak Danang,” kata Bu Ratmi ramah.Kedatangan Danang kali ini memang disambut dengan lebih ramah dibanding sebelumnya oleh bu Ratmi. Biasanya saat berkunjung ke rumah Ayu, sikap Ibunya biasa saja, tidak hangat dan tidak menunjukkan adanya kebencian bagi dirinya.“Maturnuwun Bu (Terima kasih Bu),” jawab Danang kemudian duduk di hadapan kedua wanita paruh baya itu.“Ini Budhenya Ayu, Budhe Ning yang tinggal di Klaten,” Bu Ratmi mencoba memperkenalkan wanita paruh baya yang duduk di sebelahnya.Tak hanya Danang yang terkejut dengan sikap Bu Ratmi, tapi juga Ayu. Kedua sejoli ini sempat takut dan khawatir akan penolakan yang diberikan oleh Bu Ratmi nantinya. Apalagi dengan kedatangan Budhe Ning
Budhe Ning dan Bu Ratmi menoleh secara bersamaan ke arah Ayu yang tengah membawa nampan. Kedua wanita paruh baya ini tersenyum pada Ayu seolah tak terjadi apa-apa. Sang Ibu justru memanggil putrinya dan menyuruh untuk duduk di dekatnya.“Sini, Nduk!” panggil Bu Ratmi kemudian menggeser duduknya dan menepuk-nepuk sisi di sampingnya.Dengan sedikit gondok, Ayu pun menuruti Ibunya, melirik ke arah Danang yang duduk dengan mata mulai memerah. Pasti sakit sekali apa yang dirasakan oleh Danang. Ayu sendiri juga merasa sakit hati dengan apa yang barusan diucapkan oleh Ibunya.“Bu, kenapa Ibu ngomong gitu? Ibu dan Budhe nggak serius kan dengan yang tadi?” tanya Ayu setengah merengek.“Ora serius piye to Nduk (Tidak serius bagaimana, Nak), ya jelas Budhe dan Ibumu serius dengan apa yang kami katakan,” kata Budhe Ning mengambil alih.Ayu menoleh
Budhe Ning terus saja bicara tentang kebaikan lelaki yang akan dijodohkan dengan Ayu. Di mata wanita paruh baya ini, sosok lelaki yang akan dikenalkan padanya adalah sosok yang sempurna. Terlebih lagi saat membahas tentang weton yang dimiliki oleh lelaki itu.Ingin sekali Ayu menutup dua telinganya dengan telapak tangan. Mungkin juga ingin segera pergi dari tempat mereka berkumpul. Namun jika hal itu dilakukan, tentu saja akan menimbulkan keributan nantinya.Yang bisa dilakukan Ayu hanya diam berdiri dan mendengarkan perkataan kedua wanita paruh baya itu hingga selesai. Setelah mereka selesai barulah Ayu bisa menjawab ucapan mereka.“Wira itu secara bibit, bobot, bebetnya jelas dan semuanya baik. Dia punya usaha hotel yang ramai, tentunya dia bakal bisa menghidupimu. Keluarganya terhormat, dari keturunan yang baik dan yang paling penting hitungan weton kalian itu cocok Nduk,” jelas Budhe Ning.
Bu Ratmi mencoba untuk mengejar Ayu yang melangkah lebar menuju kamar tidurnya. Bagaimanapun putrinya harus mengerti dan sepaham dengan dirinya. Namun baru bergerak selangkah Budhe Ning sudah mencegah dengan menyentuh pundak Ibu Ayu.“Mi, udah biarin aja, namanya anak lagi dimabuk cinta ya begitu itu, percuma saja ngomong sama dia pasti nggak akan didengarkan. Ini semua pasti karena pengaruh dari laki-laki itu!” cergah Budhe Ning.“Sepertinya begitu Mbak Yu,” jawab Bu Ratmi kemudian kembali duduk di sofa.Budhe Ning pun mengambil ponsel dari dalam saku dan menghubungi kenalannya melalui pesan di aplikasi hijau.“Sik yo dhik, aku tak nelpon wong tuwone Wira, njaluk potone (Sebentar ya dhik, aku mau telepon orang tuanya Wira buat minta fotonya),” kata Budhe Ning yang disambut antusias oleh Bu Ratmi.Budhe Ning pun mulai berbasa-basi dengan Bu Las
Karena tak kunjung dapat balasan dari Danang, Ayu pun berinisiatif untuk mendatangi kekasihnya itu ke kantornya dan membawakan sarapan favoritnya, pecel ndeso sajian kuliner khas kota Solo yang berisi nasi merah, sayuran lengkap dengan sambal wijennya. Tak lupa Ayu membawakan tempe mendoan dan peyek kacang sebagai pelengkap.“Mas … Mas Danang!” panggil Ayu saat melihat kekasih hatinya sudah turun dari mobil sedannya.Mau tak mau Danang pun berhenti dan menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Perempuan yang dikasihnya berdiri di sana dengan seragam putih khas rumah sakit yang dibalut cardigan biru muda.Sebenarnya ia malas untuk bertemu Ayu kali ini, tapi karena ini di kantor dan sudah banyak rekan kerjanya yang datang maka ia pun menemui Ayu.“Kamu ada apa ke sini?” tanya Danang.“Aku pengin ngobrol sama Mas,” pinta Ayu.
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep