Wira menginginkan lebih, tidak ingin dipijat lagi pada bagian rudalnya.“Sayang, masukin!” titah Wira sembari mengeluarkan lidahnya.Dinda menurut saja, ia masukkan adik kecil Wira ke mulutnya. Sesekali menggigit ujungnya sampai Wira menggelinjang kesakitan disertai kenikmatan.Wira yang sudah bergairah sedari tadi pun semakin nafsu. Ia membopong lalu menindihnya.“Siap?” Wira memberikan aba-aba sebelum memasukkan benda panjang ke liang kewanitaan Dinda.“Hmm,” desah Dinda.Wira menjilati paha mulusnya sampai tiba di tempat tujuan. Ia gelitiki untuk meningkatkan gairah Dinda lantas Dinda menggelinjang hebat olehnya. Kedua kaki Dinda dibuka lebar-lebar agar Wira lebih leluasa melakukannya. Detupan jantung terpompa sangat cepat sesuai irama yang diberikan Wira.Tanpa berlama-lama lagi, Wira memegang benda panjangnya lalu memasukkan ke lembah basah milik Dinda.“Akhh!” Dinda merintih kesakitan. “Pe-lan, pe-lan,” ucapnya yang terbata-bata.“Punyamu sungguh sempit sekali sayang, tapi jujur
Dinda mengurung dirinya di dalam kamar, ia memikirkan nasib selanjutnya yang masih bimbang dengan keputusannya.“Seharusnya aku menyalahkan Wira, bukan malah menyudutkan Danang,” gumamnya sambil meremas selimut yang ia kenakan.Ia bangkit dari kursinya, melangkahkan kakinya ke kamar mandi lalu melihat dirinya di toilet. Sesekali pandangannya terlekat pada perutnya yang masih normal seperti biasa. Maksudnya belum ada tanda-tanda perut buncit.“Apa aku masih boleh bahagia?” tanya Dinda pada pantulan cermin.Semesta sedang tidak mendukung rencananya, oleh karena itu dia yang harus mengikuti rencana-Nya. Keesokan harinya, Wira gelisah. Walaupun sudah sepakat pada Dinda untuk menjebak Danang, tetapi tetap saja ada orang selain dia yang mungkin mengetahuinya. Kling! Satu pesan masuk pada ponsel Wira. Saya melihatnya dengan jelas kalau Anda bermain wanita yang bukan calon istrinya yang sesungguhnya, seperti itulah asalnya.Wira terdiam sambil memelototkan matanya lebar. Ia terkejut dengan p
Cahaya bulan menenangkan perasaan Ayu yang tengah bimbang karena sebuah rintangan yang semakin berat baginya. Segelas teh dengan ponsel di sampingnya itu menemani si cantik duduk di depan rumahnya. Ia sendirian, sendiri dalam sepi nan ruang kehampaan.Si polos yang tidak tahu seluk-beluk Wira yang sesungguhnya itu semakin mempercayai Wira. Andai saja Ayu tahu sedikit mengenai kesalahan Wira. Apakah Ayu akan mentolerirnya? Tidak bisa ditebak.Ayu menatap bulan dengan lekat, kedua tangannya di kebelakangkan lalu memunculkan senyuman manis dari wajahnya. Ia teringat dengan seseorang yang pernah mengisi kehidupannya. Orang yang sangat sulit untuk dilupakan karena terlalu banyak kenangan yang terukir.“Bagaimana kalau aku menelepon Danang saja? Aku ingin berbincang dengannya sebentar,” guman Ayu.Di sisi lain, seperti ada yang berbisik kalau Ayu tidak boleh meneleponnya karena Danang akan menjadi masa lalunya.“Ada apa denganku?” Ia bingung dengan dirinya sendiri.Ia bangkit dari duduknya,
“Wira, itu berisik tahu! Angkat aja siapa tahu penting,” saran Ayu yang telinganya terganggu oleh bunyian itu.Karena merasa diberi kesempatan untuk berbicara dengan Dinda, akhirnya Wira menelepon balik Dinda setelah pamit menjauh dari Ayu.“Halo, ada apa?” tanya Wira to the point.“Aku lapar, belikan sesuatu untukku makan.” Dinda memintanya sekaligus memanfaatkan kesempatan.“Oke.” Wira menyanggupinya karena tidak mau memakan waktu dengannya apalagi sampai berdebat.“Siapa?” tanya Ayu yang duduk sendirian. Wira mengusap lehernya sebelum menjawab.“Seperti penipu, dia meminta uang sebagai tebusan anakku yang mereka culik padahal seperti yang kamu tahu bahwa aku belum mempunyai anak,” bohong Wira.“Oh, gitu.” Ayu memahaminya. Ia mencicipi rujak es krim dengan ragu karena sebelumnya belum pernah memakannya.“Gimana rasanya?” Wira penasaran, melihat dari raut wajahnya yang sepertinya tidak suka dengan makanan yang disarankan.“Kita bisa cari makanan lagi sampai kamu suka,” ucap Wira sebe
Ayu mengedarkan pandangan ke segala arah. Mengamati setiap barang dengan baik sambil menormalkan pernapasannya sambil memegang dadanya.“Mimpi, hanya mimpi saja,” lirih Ayu lalu mengelap keringat di wajah dan lehernya. Ia menyalakan ponsel sekadar melihat jamnya, waktu menunjukkan pukul setengah empat pagi. Jadi, Ayu berniat tidak melanjutkan tidurnya, melainkan sholat tahajud.Saat mentari mulai menampakkan cahayanya menyinari bumi, Ayu bersiap bekerja seperti biasa. Sedangkan Wira, ia justru tidak ke kantornya karena mau mengurus sesuatu dengan keluarga Danang.Wira pergi ke mall dengan beberapa asistennya. Ia mencarikan oleh-oleh yang sekiranya bisa diterima oleh keluarga Danang. Sebenarnya ia malas, tetapi ada seseorang yang ia cintai hingga harus menenggelamkan gengsi terlebih dahulu.Setelah itu, tidak lupa Wira menelepon Ayu untuk menanyakan kabar dan perasaan karena semalam baru jalan dengannya.Namun, oleh Ayu tidak diangkat karena memang ponselnya di heningkan dan tidak men
Suasana sedang tidak baik-baik saja. Diah merasa Wira tengah merendahkan keluarganya. Dari wajah Wira yang tenang itu membuat Bu Asih terpengaruh oleh omongannya.“Kamu itu tidak tahu diri, ya? Sudah tahu Ayu mencintai Danang. Masih saja mengejar-ngejar dia, mentang-mentang punya harta berlimpah kamu bisa seenaknya begini? Ingat, ya! Cinta itu tidak bisa dibayar dengan uang! Kalaupun Ayu mau menikah denganmu, itu karena kemauan orang tuanya yang tidak bisa ditolak oleh Ayu. Kasihan Ayu, Wir! Dia punya pilihan, tapi dia harus mengikuti pilihan orang lain,” ujar Ayu sembari menunjuk Wira dengan jari telunjuknya.Wira terdiam, dia mendengarkan ocehan Diah yang sangat mengganggu pendengarannya. “Diah!” Bu Asih menurunkan telunjuk Diah.“Apa, Bu? Mau membela Wira ini, buat apa Bu. Apa Ibu tidak tahu kaau dia yang buat hubungan Danang dan Ayu renggang? Heran deh, semua memikirkan pernikahan mereka berdua, sedangkan tidak ada yang memikirkan bagaimana perasaan Ayu sama sekali!” Diah merembes
Wira sibuk merapikan bajunya sambil melihat ke bajunya tanpa ada niatan melihat seseorang yang ditabraknya.“Lain kali kalau jalan hati-hati, ya!” tegas Wira lantas berlalu begitu saja.“Lain kali jangan asal nabrak orang apalagi tidak meminta maaf!” Gadis cantik itu angkat bicara sebelum jauh dari Wira.Wira membalikkan tubuhnya, mengenali suara gadis cantik itu dan mendekatinya. “Ayu?” panggil Wira. “Kamu mau ke mana?” tanya Wira.“Mau nyamperin kamu, tapi karena kamu sibuk jadi sebaiknya lain kali saja.” Ayu memundurkan diri dan berlalu pergi.“Kebetulan sekali, aku juga mencarimu. Memang jodoh tidak akan ke mana.” Wira terkekeh.“Silakan duluan.” Ayu mempersilakan Wira untuk berbicara lebih dulu.Wira langsung mengingat bahwa apa yang akan disampaikan padanya adalah penting. Ia menghentikan kekehannya dan mengubah wajahnya serius. Melihat Wira yang berubah seketika, Ayu jadi ikutan serius.“Ayahmu masuk rumah sakit, apa kamu ikut denganku untuk menjenguknya? Kalau kamu sibuk tidak
“Ada apa denganmu?” ucap Danang.Spontan Ayu membuka matanya, tetapi Danang sudah terlanjur dekat. Embusan napasnya terasa di kulit mulus Ayu. “Kamu mengharapkannya?” ledek Danang dengan kekehannya. Pipinya memerah seperti kepiting rebus, ia menahan malu. Ayu pun menginjak kaki Danang dengan keras hingga Danang berteriak kesakitan. “Dasar cowok!” dercaknya sebagai pengalihan.“Aduh, jangan injak kakinya, tapi injak saja hatiku olehku.” Danang masih sempat menggombal.Ayu menyadari akan niatnya untuk mengusir Danang. Ia merendahkan tubuhnya lalu meloloskan diri di bawah lengan Danang yang ia gunakan untuk menahannya di tembok.“Wira! Maaf sebelumnya kalau kata-kataku kasar. Namun, aku berharap kamu mengerti maksudku, aku ingin memperbaiki hubungan dengan Wira. Aku ingin kamu tidak hadir lagi di kehidupanku, aku yakin kamu akan menemukan wanita yang tepat,” kata Ayu dengan yakin.“Aku hanya ingin kamu, itu saja.” Danang memperjelas ucapannya.“Aku tidak bisa, silakan pergi dari sini!
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep