Sudut bibir Verona terangkat, menyunggingkan senyuman tipis. Di dalam hati, dia sudah menyusun rencana dengan rapi.Makanan utama akhirnya datang, tapi Carlos tidak makan banyak. Malahan, dia hampir menghabiskan sebotol penuh anggur merah. Setelah itu, dia bahkan membuka sebotol anggur lagi sehingga efeknya mulai terasa."Sudahan minumnya. Nanti siang aku masih harus kerja," ujar Carlos sambil menjauhkan gelas, mencegah Verona menuangkan lagi."Sepertinya suasana hatimu sedang buruk. Mungkin karena tekanan kerja yang berat. Minum sedikit, lalu tidur sebentar di kantor, siangnya pasti lebih segar," bujuk Verona.Carlos mendengar ucapannya dan suasana hatinya memang sedang buruk. Namun, penyebabnya bukan karena tekanan pekerjaan, melainkan karena Tamara.Sampai saat ini Tamara belum juga datang mencarinya, bahkan teleponnya pun tidak dijawab. Dia merasa kesal, marah, dan ... frustrasi.Akhirnya, dia mendorong kembali gelas ke arah Verona. Wanita itu langsung menuangkan anggur hingga menye
Mendengar ucapan itu, alis Carlos mengerut lebih dalam. Dia menatap Zoya dengan serius dan langsung menyanggah, “Bu Zoya, tolong jaga kata-kata Anda. Jangan asal menuduh tanpa bukti.”Mendengar ucapanny, Zoya malah merasa geli dan berkata, “Kalau begitu, kenapa kalian berdua sekarang jalan bergandengan? Pagi ini aku juga lihat nama kalian trending loh.”Carlos menunduk, melihat lengannya yang digandeng oleh Verona. Tanpa ragu, dia langsung menepis tangan itu dengan dingin.Verona di sampingnya nyaris menggertakkan gigi. Senyuman masih terpampang di wajahnya, tapi matanya jelas-jelas menatap tajam ke arah Zoya. Wanita cerewet ini sudah membuat semuanya berantakan.“Trending itu cuma gosip kosong. Bu Zoya, jangan mudah percaya pada rumor,” ujar Carlos lagi, kali ini dengan nada yang jauh lebih dingin.Zoya terkekeh pelan. Dalam hatinya, dia yakin Carlos benar-benar sedang mabuk. Bukti sudah jelas di depan mata, tapi dia masih bisa bicara dengan nada penuh percaya diri.“Bukannya yang dipa
Jendela mobil diketuk, Jacob refleks menoleh dan melihat Tamara, lalu buru-buru membuka pintu mobil. Namun, Tamara tidak menuju kursi penumpang depan, melainkan langsung masuk ke kursi belakang dengan wajah panik dan gugup."Ada apa? Kamu ketemu orang jahat?" tanya Jacob cemas."Nggak ... nggak kok," jawab Tamara sambil berusaha menenangkan diri."Kakak, bisa nyetir sekarang? Tolong antar aku ke persimpangan depan dulu," ujarnya lagi dengan nada tergesa-gesa. Jacob memang tidak paham apa yang sedang terjadi, tapi dia tetap menyalakan mesin dan menjalankan mobil.Saat berbelok, dia sempat melihat Zoya naik ke pelataran restoran, ditemani oleh sepasang pria dan wanita. Dia mengenal pria itu. Pria itu adalah Carlos.Jacob lalu melirik ke kaca spion dan melihat Tamara tidak duduk tegak, melainkan membungkuk dan menunduk di kursi belakang. Alis Jacob langsung berkerut dalam-dalam.Zoya jelas-jelas sudah keluar, tapi Tamara malah tampak seperti sedang kabur ketakutan, bahkan tidak berani memp
Mendengar itu, Carlos pun mengikuti Verona naik ke dalam taksi dengan patuh.Di sisi lain, di persimpangan jalan berikutnya. Tamara menolak ajakan Jacob yang ingin mengajaknya melihat-lihat kantor lebih awal dan memilih menunggu Zoya di sana.Begitu melihat mobil sport merah mendekat, dia segera berjalan ke tepi jalan dan naik."Kamu nih ya, Rara, nggak ada solidaritasnya sama sekali," Zoya langsung menceletuk begitu Tamara duduk."Waktu aku nyebut nama Jacob kamu bersikap seolah-olah nggak mau ada hubungan sama dia. Tapi ternyata demi bisa ngobrol lebih lama sama dia, kamu malah naik mobilnya."Tamara tidak bisa membela diri, akhirnya menjawab dengan canggung, "Cuma beberapa menit perjalanan kok, juga nggak ngobrol banyak ....""Tapi cukup buat ciuman beberapa kali, tuh," Zoya sengaja mengusiknya.Tamara terdiam."Ayo, cepat ngaku kalian ngobrolin apa? Kalau nggak, nanti aku bikin versi sendiri lho ...," goda Zoya lagi.Tamara hanya bisa tersenyum pasrah dan berkata, "Sumpah, nggak ngo
Ihsan menatap wajah Carlos yang tampak sangat normal, lalu berkata, “Pak, Anda nggak kelihatan mabuk sama sekali. Buktinya masih bisa kenali saya.”Carlos memang berniat menelepon istrinya, tapi entah bagaimana malah menelpon asistennya.“Dia benar-benar mabuk,” tegas Verona. “Kalau nggak, mana mungkin dia duduk di pinggir jalan begini tanpa memedulikan citranya?"Ihsan meliriknya tajam. Dalam hati dia berpikir, kalau Carlos sampai dibawa pulang sama wanita ini, bisa-bisa habis dilahap tanpa sisa. Oleh karena itu, dia langsung berkata dengan nada tegas, “Pak Carlos masih sangat sadar. Siang ini dia ada dua rapat internasional penting. Nggak bisa izin.”Verona hendak berargumen dan bilang rapatnya bisa dijadwalkan ulang, tapi Ihsan lebih dulu menambahkan, “Itu proyek bernilai triliunan. Kalau ditunda, kamu bisa tanggung jawab? Kamu sanggup menanggung risikonya?”Verona langsung terdiam. Triliunan ... angka yang bikin lidah kelu. Kalau Carlos sadar nanti dan tahu dia dipaksa pulang oleh V
Di tengah gejolak emosi dan pertentangan batin, akhirnya egonya yang mengambil alih. Carlos menghapus noda kopi di mejanya dengan wajah masam."Tamara sekarang benar-benar hebat ya. Empat hari berturut-turut bersikap begitu. Dia sudah lupa siapa dirinya ya," dengus Carlos sambil bergumam pada diri sendiri."Dengan temperamen seperti itu, kalau di keluarga lain pasti udah diusir dari dulu. Nggak punya latar belakang atau kekuatan apa pun, tapi nggak tahu diri mempertahankan posisi sebagai Nyonya Suratman.""Punya mulut tapi nggak bisa ngomong yang benar. Padahal jelas-jelas salahnya sendiri, tapi seolah-olah seluruh dunia yang salah sama dia."....Di sampingnya, Ihsan hanya bisa menatap bosnya yang terus mengeluh tiada henti. Akhirnya, dia hanya bisa mendongak menatap langit-langit dengan pasrah.Lain di mulut, lain di hati. Kalimat ini paling cocok untuk menggambarkan orang seperti Carlos. Setiap ucapannya mengatakan bahwa dia tidak ingin bertemu Tamara. Semua keluhannya penuh kebencia
Carlos memandang ke arah pintu, terpaku dalam lamunannya. Menghadapi perasaannya sendiri? Apa maksudnya? Kapan dia pernah tidak menghadapi perasaannya?Menyesal? Apa yang perlu dia sesali? Konyol sekali. Selama hidupnya, dia belum pernah menyesali satu pun tindakannya!Carlos mengambil dokumen di sampingnya, tetapi tak satu pun bisa dia baca dengan benar. Dia meletakkan ponselnya tepat di tengah meja, memastikan tak akan melewatkan satu pun panggilan.Namun, selama sejam berikutnya, yang menelepon hanyalah bawahan, bukan orang yang dia tunggu.....Di sisi lain, sore hari.Tamara sedang berbelanja kosmetik bersama Zoya. Mereka membeli kosmetik, parfum, tas, serta perhiasan. Setelah puas, mereka makan hot pot bersama.Di atas meja, ponsel Tamara bergetar lagi. Dia melirik sekilas, lalu menutup layar dengan telapak tangan."Kenapa nggak diangkat? Siapa yang telepon?" tanya Zoya dari seberang meja."Cuma telepon promosi nggak jelas," jawab Tamara dengan senyuman tipis.Sebenarnya itu adala
Carlos mengepalkan bibir, ragu-ragu dan bimbang selama beberapa menit. Pada akhirnya, dia memutar arah dan mengemudi pulang.Tamara tidak mengangkat teleponnya. Apakah karena dia memang tidak punya ponsel atau karena sengaja memblokirnya?Carlos sudah membelikannya ponsel baru. Jika Tamara tidak ada di rumah, berarti dia membawa ponselnya. Kalau begitu, kemungkinan besar wanita itu memblokirnya. Setidaknya kalau bertengkar, dia tidak akan kalah telak.Namun, jika ternyata Tamara memang tidak memakai ponsel itu .... Bagaimana dia melewati hari-harinya di rumah sakit? Melihat komputer?Dengan sedikit harapan untuk membuktikan pikirannya sendiri, Carlos kembali ke apartemen. Dia naik lift ke atas, membuka pintu, dan langsung menuju kamar tamu.Pintu tak terkunci. Begitu didorong, dia langsung terpaku. Selimut dan bantal di atas ranjang sudah tidak ada, hanya menyisakan kasur polos.Carlos membeku. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, punggungnya menegang, ada rasa panik yang muncul tanpa
"Buat apa aku kasih ke kamu? Supaya kamu gangguin Tamara lagi?" Arham menolak dengan nada kesal.Carlos mengatupkan bibir, lalu berkata pelan, "Aku nggak bakal ganggu dia .... Aku cuma ....""Aku cuma mau tanya dia di mana, mau jemput dia pulang." Suara Carlos semakin pelan."Kenapa harus jemput dia pulang? Bukannya kamu sendiri yang bilang mau cerai? Surat cerai saja sudah kamu tandatangani. Kamu itu mantan suaminya, masih mau ganggu dia?" Arham langsung bertanya dari seberang telepon."Aku nggak pernah berniat cerai sama dia! Tanda tangan itu juga bukan dariku! Bahkan aku belum pernah lihat dokumennya!" Carlos buru-buru membantah."Oh? Jadi maksudmu, Tamara nipu aku pakai dokumen palsu? Itu juga yang kamu bilang ke kepala pelayan ya?" Suara Arham tetap tenang saat cucunya berteriak."Benar. Tamara ninggalin aku fotokopiannya dan kirim dokumen aslinya ke Kakek. Tapi, itu semua dipalsukan, tanda tangan aku nggak asli. Secara hukum, itu nggak sah," jelas Carlos.Usai mengatakan itu, dia
Saat menonton ulang video masa kuliah Tamara, Carlos kembali terpikat oleh gadis bersinar dan luar biasa itu. Dia sempat berpikir, kalau saja tidak ada Verona, mungkinkah dia dan Tamara bisa menjalin cinta secara alami?Bahkan kemarin malam saat tidur di kamar Tamara dan mencium aroma dari kasur yang pernah ditiduri Tamara, pikirannya terus memikirkan wanita itu.Setelah selesai mandi dan keluar dari kamar mandi, hawa dingin AC membuat kepala Carlos benar-benar jernih. Sepertinya, dia telah memperoleh satu kesimpulan.Entah itu cinta atau bukan, yang jelas dia tidak ingin Tamara menghilang dari penglihatannya, apalagi keluar dari kendalinya.Melihat dokumen perceraian yang terlipat dan berkerut di tepi ranjang, Carlos berjalan mendekat, berniat untuk merobeknya.Namun, sebelum berhasil merobek, matanya menangkap bagian dokumen yang masih memiliki watermark dan bahkan terdapat contoh analisis kasus di bawahnya.Carlos termangu. Dia sampai melakukan kesalahan seperti ini. Waktu di kantor
Carlos menghentikan gerakan saat membuka pintu, lalu menoleh sambil membantah, "Aku nggak jatuh cinta.""Heh, kamu pikir bisa bohong? Jelas-jelas kamu jatuh cinta sama Tamara, makanya kamu nggak suka aku lagi, bahkan mau usir aku pergi," timpal Verona sambil mengepalkan tangan.Carlos mengerutkan alis, wajahnya datar saat berkata, "Itu nggak ada hubungannya dengan aku suka Tamara atau nggak. Sudah kubilang, hubungan kita berakhir dua tahun lalu.""Kamu meninggalkan aku demi uang, kamu mengkhianatiku. Nggak ada lagi kemungkinan di antara kita."Verona masih tidak percaya. Menurutnya, Carlos jatuh cinta pada Tamara, makanya perasaan Carlos padanya memudar."Waktu aku baru pulang, kamu sendiri yang bilang kamu sudah nggak mempermasalahkan masa lalu dan bisa memaklumiku," ujar Verona sambil menangis."Waktu itu aku bisa apa? Kakek Arham mengancamku supaya aku pergi. Kamu mau aku diusir dari kota ini?"Carlos menggigit bibirnya. "Maksudku, kita bisa jadi teman biasa. Bukan untuk mulai hubung
Karena Tamara menginginkannya, Carlos akan memberikannya. Mari kita lihat, apakah dia berani datang mengambilnya nanti?Berani sekali wanita ini mempermainkan kakeknya, benar-benar tidak tahu berterima kasih! Lupa dulu mereka bisa menikah karena Arham?Verona belum tidur malam itu. Dia masih menyiapkan makanan dan menunggu Carlos pulang kerja. Begitu pria itu masuk, baru saja Verona ingin menyambut, dia langsung melihat wajah Carlos yang masam.Kemudian, pria itu bertanya dengan nada tak bersahabat, "Bukannya semalam aku sudah bilang jangan masak? Barang-barangmu sudah dibereskan belum? Kalau sudah, aku suruh Ihsan bantu kamu pindah besok."Langkah kaki Verona langsung terhenti, matanya mulai berkaca-kaca. "Carlos, kamu benar-benar ingin aku pergi secepat itu? Semalam kamu desak, malam ini juga ...."Carlos terdiam sejenak, lalu menjawab, "Nggak pantas kalau kamu tinggal di rumahku. Aku sudah nikah dan Tamara pergi dari rumah karena itu. Jadi, lebih baik kamu tinggal di luar. Ini juga d
Surat cerai asli dengan tanda tangan pribadinya? Itu tidak mungkin!"Aku nggak pernah tanda tangan! Dari awal sampai akhir, aku bahkan nggak pernah lihat dokumen itu!" pekik Carlos.Di seberang sana, kepala pelayan dibentak sampai benar-benar terbangun total. Dia pun menghela napas dan berkata."Tapi, dokumennya asli. Aku lihat sendiri tanda tangannya, nggak ada yang aneh. Lagi pula, dua hari ini Tuan juga nggak telepon untuk menjelaskan apa-apa. Tuan Arham kira Tuan memang setuju.""Nggak! Aku nggak pernah setuju! Dokumen yang nggak pernah kutandatangani, kenapa harus kuakui?" Carlos berseru marah, sampai urat di tangannya mencuat.Kepala pelayan terdiam sesaat, lalu mengernyit dan bertanya dengan ragu, "Apa mungkin Nyonya memalsukan tanda tangan Tuan?""Heh, cuma dia yang bisa kepikiran hal kriminal seperti itu! Otaknya benar-benar kosong!" Carlos membalas dengan penuh kebencian."Kalau tanda tangan itu palsu, berarti surat cerainya juga nggak sah secara hukum! Dia cuma ingin memperma
Karena kejadian kemarin malam, sepanjang pagi wajah Carlos muram. Ihsan masih terus mencari Tamara. Bukan hanya di seluruh kota, tetapi juga di seluruh provinsi, bahkan di seluruh negara. Akan tetapi, tetap tidak ada hasil.Hari ini sudah masuk hari ketiga."Kapan kamu bisa menemukan dia? Bisa kerja lebih cepat sedikit nggak?" Menjelang jam pulang kerja, Carlos akhirnya tak tahan lagi dan memarahi Ihsan.Ihsan pun tak kalah frustrasi. Dalam batas kemampuannya, dia benar-benar tidak bisa menemukan keberadaan Tamara."Pak Carlos, mungkin bisa coba lewat jalur pribadi. Coba cari nomor ponsel baru Nyonya. Aku nggak bisa akses karena itu termasuk data privasi."Carlos baru tersadar setelah mendengar itu. Dia mulai menghubungi kenalannya di operator seluler untuk mendapatkan akses ke data.Sayangnya, karena operator bukan milik swasta, meskipun sudah mengerahkan semua koneksi yang dimilikinya, dia tetap tidak bisa menjangkau pihak tertinggi. Usahanya selama beberapa jam sia-sia, membuatnya te
Siang hari ini pun Carlos masih mencoba mengirim pesan verifikasi ke Tamara, tetapi langsung muncul notifikasi gagal terkirim. Kontaknya telah diblokir."Tamara, lebih baik kamu jangan pernah muncul lagi seumur hidupmu!" Carlos menggertakkan gigi, bergumam sendiri.Saat sampai di rumah, Verona sudah selesai memasak dan menghidangkan makan malam untuk Carlos dengan antusias.Namun, begitu melihat Verona memakai baju milik Tamara dan mengenakan celemek yang biasa dipakai Tamara, Carlos langsung maju dan merobek dengan kasar.Awalnya, Verona mengira Carlos akhirnya luluh. Meskipun awalnya kasar, dia tak keberatan. Akan tetapi, dia akhirnya sadar bahwa dirinya salah paham.Tubuhnya didorong, dijatuhkan ke lantai. Carlos menatapnya dengan marah sambil membentak, "Siapa yang izinin kamu pakai bajunya dan sentuh barangnya?"Verona ketakutan, air mata langsung tumpah. Dia menatap pria itu dengan tatapan sedih, "Carlos, ada apa denganmu? Kenapa kamu perlakukan aku seperti ini?""Dulu aku juga pe
"Jadi maksud Bapak, Bapak memang nggak sampai ke langkah terakhir, tapi yang lainnya semua dilakuin?" Ihsan menyimpulkan.Carlos ingin membantah, tetapi tidak bisa melontarkan sepatah kata pun."Membawa dia ke rumah, ke kamar utama, antar jemput, kasih hadiah mahal, masuk trending topic terus, bahkan waktu kecelakaan yang Bapak selamatin duluan bukan Nyonya," Ihsan menyebut satu per satu hal yang diketahuinya."Ada kesalahpahaman nggak diselesaikan. Bukannya bersama istri, malah temani wanita lain. Waktu Nyonya dirawat di rumah sakit, Bapak juga nggak peduli ...," lanjut Ihsan sambil menghela napas.Carlos akhirnya benar-benar terdiam, mengepalkan tangannya, menggertakkan giginya. Tidak ada sepatah kata pun yang bisa dilontarkannya."Ini sangat keterlaluan, Pak Carlos. Kalau orang lain di posisi Nyonya, pasti sudah minta cerai dari dulu." Ihsan menjatuhkan bom terakhir.Kata cerai itu langsung memicu ledakan. Brak! Carlos tiba-tiba berdiri hingga kursinya terlempar ke belakang.Ihsan te
Carlos kembali tersadar, membalikkan tabletnya, lalu mengambil dokumen dan keluar ruangan.Saat berjalan, pikirannya secara otomatis memutar ulang berbagai video dan foto tentang Tamara. Dalam lamunannya, dia bertanya-tanya.Ternyata Tamara begitu luar biasa. Kenapa dia tidak pernah menyadarinya? Namun, kalau dipikir-pikir, tidak ada yang aneh. Sejak SMA, Tamara memang sudah pintar. Saat kuliah, dia pasti semakin bersinar dan mencuri perhatian.Adapun Carlos, meskipun satu universitas dengan Tamara, jurusan mereka berbeda. Lagi pula, masa itu dia selalu bersama Verona.Semakin dipikir, Carlos merasa dia benar-benar telah melewatkan empat tahun bersama Tamara. Padahal dulu jarak mereka begitu dekat ....Saat berikutnya, muncul sebuah pemikiran konyol. Kalau dulu dia tidak berpacaran dengan Verona, apakah dia akan jatuh cinta pada Tamara saat kuliah?Jari-jarinya perlahan mengepal. Rapat sudah dimulai, membuatnya terpaksa menghentikan semua asumsi itu.Dua jam kemudian, rapat selesai dan