Freedom
Gwen sudah menahan diri selama ini. Ia terjebak dalam rasa bersalahnya pada keluarga dan ia hanya bisa menuruti setiap perintah juga apa apa yang diatur oleh Neneknya. Nyatanya dalam tiga tahun Gwen tidak bisa berbuat apapun, hanya bisa pasrah. Ia tidak pernah pulang ke Indonesia sama sekali sejak pertama kali menginjakkan kaki di Australia. Sebagai gantinya keluarganya yang akan datang untuk mengunjungi dirinya kemari.Jika bisa menentukan pilihan, Gwen akan dengan mantap menjawab ia ingin tinggal dengan Eyang di Jogja daripada dengan Granny di Aussy. Eyang nya meskipun cukup disiplin tetapi masih bicara cukup lembut. Memberikan pengertian yang tidak memaksakan dan mudah diterima siapapun.
Tidak dengan Neneknya yang satu lagi. Dia cerewet dan akan terus berkomentar pedas jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Waktu tiga tahun dengan cepat Gwen gunakan untuk lepas dari Neneknya, ia sudah mendapatkan gelar sarjana beberapa hari lalu dan keluarganya pun masih ada disini. Ayahnya memberi usul agar Gwen kembali ikut mengurusi perusahaan ayahnya bersama kakak-kakaknya atau tetap disana bersama Nenek untuk melanjutkan study.
Tetapi Gwen menolak, secara diam-diam ia sudah mengirim lamaran kerja melalui email ke beberapa perusahaan besar di Amerika. Gwen sudah gatal kaki ingin cepat-cepat kabur dari sana. Lihat saja pakaian yang Gwen pakai disini, sudah seperti anggota kerajaan Inggris sungguh bukan gaya Gwen sama sekali.
“Gwen sudah melamar pekerjaan di beberapa perusahaan, dan sudah mendapatkan panggilan.”
Hans menatap putrinya itu dengan tatapan tak terbaca, entah hal apa lagi yang sebenarnya ada dalam pikiran putri bungsunya itu Hans sama sekali tidak mengerti. “Dimana?”
“L.A.” Semua orang diruang makan itu terhenti dan menatap Gwen, pasalnya mereka tidak memiliki keluarga atau kenalan siapapun di L.A itu terlalu jauh.
“Tidak.” Hans dengan tegas menolak keinginan putrinya.
“Kamu tahu jelas ranah keluarga kita hanya disekitar Indonesia, Singapura dan Australia.”
“Ini tidak ada urusannya dengan keluarga Papa, ini urusan karirku secara pribadi. Perusahaan besar seperti M.B. Inc. tidak akan dua kali memanggilku untuk bekerja. Itu perusahaan konstruksi paling diingkan teman-temanku untuk mereka bekerja. Kenapa saat aku mendapatkannya aku tidak bisa?”
Mendengar nama perusahaan yang memanggil Gwen untuk bekerja membuat Hans harus berpikir ulang.
Meskipun Hans berkecimpung di dunia perhotelan tetapi ia tidak buta dan tahu persis perusahaan besar itu memang tidak mudah untuk dapat bekerja disana. Hans jadi teringat dengan sahabat kecilnya Donny yang sewaktu dulu sempat melamar pekerjaan disana. Tetapi ditolak karena kurang kualifikasi padahal temannya itu orang yang cukup pintar.
Pria itu sekarang sudah membangun perusahaan konstruksinya sendiri meskipun tidak sesukses Hans.
“Papa ku mohon pikirkanlah dulu, beberapa hari lagi aku akan berangkat karena terkejar waktu.”
“Sudah lebih baik kalian habiskan dulu makanan ini, barulah bicara lagi nanti.”
Kembali hanya keheningan yang mengiringi mereka menyelesaikan makan malam. Setelah semua orangtua selesai makan, Gwen pamit untuk langsung pergi ke kamarnya.
Gwen mengunci pintu kamarnya rapat-rapat, dirumah ini ia hanya merasa sedikit lebih nyaman dikamarnya. Dikamar ini ia bisa melakukan apapun yang ia mau tanpa ada yang bisa melarang ini dan itu, Gwen membawa tubuhnya merebah diatas kasur dengan mata yang menatap kearah langit kamar.
Pikirannya menerawang pada keluarganya, meskipun kecil tetapi Gwen yakin ayahnya akan membiarkan pergi ke Amerika.
Sejak hari itu, Gwen sudah tidak dekat lagi dengan ibunya meskipun ia telah meminta maaf. Rasanya masih agak canggung dan aneh, dan hal itu membuat dirinya selalu merasa sendirian dikeluarganya tidak seperti dulu saat Mamanya selalu ada untuknya.
Dirumah besar tua ini Gwen tinggal bersama dengan Nenek, adik laki-laki bungsu ayahnya dan juga salah satu adik perempuan ayahnya yang sudah menjanda beranak dua. Uncle Harry belum menikah, pria berusia 27 tahun itu masih sibuk mengurus perusahaan keluarga. Sedangkan Aunty Hellena tidak ada minat untuk menikah lagi, wanita yang masih terlihat cantik itu lebih memilih ikut fokus mengurus perusahaan keluarga.
Dengan dua orang itu tentu saja Gwen merasa sangat canggung, mereka tidak akrab sama sekali hanya pernah saling menyapa dalam acara formal. Begitupun dengan Kakak ayahnya Uncle Hugo yang menetap di Singapura, keluarga ayahnya memang sekaku itu. Dan untuk dua anak Aunty Hellena yaitu Gustav dan Liliana, Gwen sama sekali tidak menyukai dua orang itu karena mereka sama sama menyebalkan.
Liliana selalu saja mengadu yang tidak-tidak dengan Nenek jika ada sesuatu yang membuat ia iri pada Gwen, Gwen yang tahu pasti perempuan seusianya itu memang iri dengan kecantikannya jadi merasa wajar-wajar saja meskipun sering kali merasa kesal dengan tingkah Lily.
Dan Gustav masihlah anak remaja baru pubertas yang tidak ada lucu-lucunya sama sekali. “Aku ingin cepat-cepat pergi dari sini. Aku muak.” Gwen mencari ponselnya, melihat apa ada pesan dari teman-temannya. Banyak notifikasi dari grup SMA nya, nyatanya mereka sering sekali spam. Hanya ada beberapa pesan dari pria-pria yang selalu berusaha mendekati dirinya, dan tidak pernah Gwen tanggapi.
Selama tiga tahun ini Gwen hanya fokus pada belajar supaya ia cepat-cepat lulus dan pergi jauh dari keluarganya, tidak memperdulikan sama sekali masalah asmara. Ketukan pintu mengejutkan Gwen, segera saja ia membuka pintunya dan melihat sang ibu ada disana.
“Mama, ada apa?”
Anggun menatap putrinya dengan tatapan yang tak bisa terbaca, ia sedih putrinya menjauhinya tetapi ia juga cukup senang dengan perubahan yang Gwen buktikan padanya.
“Ada yang mau Mama bicarakan dengan kamu.”
Gwen mengangguk dan mempersilakan ibunya masuk. Anggun memasuki kamar anaknya yang jauh dari gaya Gwen, di kamar ini benar-benar polos dan begitu rapih bersih. Jika dibandingkan kamar Gwen dulu pasti akan berbanding terbalik karena Gwen suka sekali kamarnya ia coret-coret dengan kuas belum lagi lampu-lampu tumblr yang menghiasi dinding juga meja rias serta kasur yang berantakan.
Gwen sebenarnya sangat pintar melukis, tetapi Hans mengarahkan anak itu untuk mengembangkan skill menghitung dan menghafalnya dibanding jiwa seni yang sudah tetanam erat pada diri Gwen. Hans tidak melarang hanya saja membatasi, hal itu boleh dijadikan hobi tetapi tidak untuk tujuan utama hidup Gwen.
Anggun mengambil duduk ditepi kasur Gwen, ia menatap putrinya yang berdiri dengan jarak satu meter darinya.
“Papa tadi sempat membicarakan ini dengan Mama, Papa setuju kamu pergi ke L.A karena dia pikir ini kesempatan langka. Besok Papa akan bicarakan dengan Granny dan Eyang.”
Los Angeles
Gwen tidak bisa menghilangkan senyum bahagia diwajahnya yang begitu kaku karena tidak pernah se-ekspresif ini untuk tiga tahun lamanya sejak ia benar-benar sampai ke tempat tujuannya Los Angeles dua hari lalu, kota yang akan menjadi halaman baru untuk Gwen memulai hidup sesuai dengan yang ia inginkan.
Ayahnya telah memberi izin untuk memenuhi panggilan dari lamaran kerjanya dengan persetujuan para tetua keluarga. Gwen hanya diberi waktu tinggal sesuai dengan kontrak kerja yang akan diberikan M.B. Inc. dan harus mengirimkan scan surat perjanjian kontrak agar ketahuan ia berbohong atau tidak.
Belum lagi ia akan diawasi untuk beberapa hari oleh orang kepercayaan ayahnya dimana pria itu sudah menyediakan tempat tinggal dan apa saja yang dibutuhkan oleh Gwen.
Hari ini adalah hari interview-nya, Gwen berharap sekali hari ini akan berjalan dengan lancar. Meskipun merasa gugup tetapi Gwen lebih merasa percaya bahwa dirinya bisa, ia bisa melakukan hal ini dan mendapatkan kebebasan yang benar-benar bebas. Dengan pakaian kerjanya Gwen diantarkan oleh orang kepercayaan ayahnya itu ke perusahaan besar yang akan menjadi tempat kerja Gwen nantinya.
Gwen menahan rasa kagumnya saat melihat betapa megah dan kerennya bangunan perusahaan yang telah menerima lamaran kerjanya itu, ia tak ingin terlihat kampungan oleh orang-orang yang berlalu lalang disana meskipun mereka pasti tidak akan peduli.
“Tenang Gwen, lo pasti bisa.”
Melangkahkan kaki penuh percaya diri Gwen masuk kedalam perusahaan setelah ia memberi tahu tentang kepentingannya pada security yang menjaga pintu, Gwen kembali meminta konfirmasi pada receptionis dimana interview akan berlangsung.
Ternyata disana ia melihat beberapa orang yang akan melakukan interview hari ini sama sepertinya dan itu hanya ada enam orang saja. Mereka begitu rapi dan terlihat kaku, membuat Gwen tidak yakin mereka bisa mengobrol.
“Silahkan Anda tunggu disana, nanti setelah Mr. Smith tiba akan ada penjelasan lebih lanjut.”
“Baiklah, terimakasih.”
Gwen ikut bergabung duduk disalah satu tempat kosong di sofa yang ada dipojok lobi yang luas itu. Menunggu instruksi lebih lanjut, mata Gwen berkeliaran. Perusahaan ini terlihat mewah sekali, entah sekaya apa pemilik perusahaan ini.
Dan Gwen dengar bahwa perusahaan ini pun punya beberapa anak perusahaan yang bergerak di bidang lain, sangat keren. Para pekerja disini juga begitu profesional, tidak ada pandangan merendahkan atau apapun itu yang Gwen duga-duga sebelumnya.
Tak sampai menunggu lama seorang pria dengan pakaian kerja rapi mengintruksikan mereka untuk ikut ke lantai lima. Mereka kembali harus menunggu diruang tunggu yang tersedia disana, melakukan prosesi interview satu persatu.
Gwen sudah berlatih dengan baik untuk interview ini, yang ditanyakan padanya nyatanya tak berbeda jauh dengan perkiraan Gwen. Ia akan menerima hasilnya lusa, dan lusa orang kepercayaan ayahnya harus kembali ke Indonesia. Gwen harus mendapatkan pekerjaan ini agar ia tidak ikut pulang bersama orang kepercayaan ayahnya itu.
Selama menunggu panggilan kerja nya Gwen memanfaatkan waktu untuk pergi jalan-jalan, tentu diikuti orang kepercayaan ayahnya. Ya setidaknya bisa Gwen gunakan sebagai tukang foto, nyatanya orang itu ada gunanya juga.
Hari dimana Gwen interview, Gwen memutuskan untuk pergi ke salon dan mewarnai rambutnya. Gwen seolah memberi harapan baru untuk hidupnya, hidup baru dan warna rambut baru. Ia berharap sekali ia dapat bekerja di M.B. Inc.
Setelah acara jalan-jalannya kemarin, Gwen seharian menunggu panggilan kerja. Ia hanya di apartemen, bermalas-malasan. Hingga lewat dari makan siang barulah panggilan itu sampai padanya dan meminta Gwen agar masuk bekerja besok.
Ia akan ditempatkan sebagai Drafter dimana ia ini yang bertanggung jawab atas shopdrawing (gambar kerja) dengan koordinasi langsung dari Site Engineer untuk membuat shopdrawing yang dibutuhkan. Seusai mendapat kabar baik, Gwen memberitahu ayahnya dan menyuruh orang kepercayaan ayahnya itu kembali ke Indonesia.
Keesokan paginya dengan outfit kerja yang baru ia beli kemarin, Gwen mengawali hari pertama kerjanya. Mempelajari jobdesk-nya dan mencoba membangun hubungan baik dengan karyawan lain, nyatanya hanya tiga orang saja yang diterima diperusahaan ini dari hasil interview kemarin.
Ia ditempatkan di team yang cukup nyaman untuknya karena teman-teman seniornya ramah dan baik, Gwen memiliki leader seorang pria yang sangat profesional sehingga mampu mengajak karyawan dibawahnya ikut bekerja keras juga. Gwen suka disini.
“Bagaimana dengan makan siang bersama hari ini? Apa kau sudah ada janji Gwen?”
Gwen agak terkejut sedikit saat Cherry -tetangga kubikelnya bertanya, Cherry adalah orang paling ramah di team ini. Wanita yang lebih tua dua tahun darinya itu baru satu tahun bergabung di perusahaan ini, jadi Cherry senang sekali kedatangan Gwen diteam mereka yang kebanyakan bergender pria.
“Aku belum ada janji dengan siapapun hari ini.”
“Baiklah, kita akan makan siang bersama di cafetaria. Leader Liam akan mentraktir kita hari ini sebagai penyambutan anak baru.”
“Oh, baiklah.”
Gwen tersenyum dan kembali melanjutkan pekerjaan barunya. Ia benar-benar harus banyak belajar dan mengimbangi team ini sebagai balasan karena mereka telah memperlakukan Gwen dengan baik. Gwen sesekali bertanya pada seniornya tentang pekerjaan yang telah ia kerjakan, meminta koreksi dan masukan. Waktu terus berjalan dan waktu makan siang tiba, bersamaan dengan para seniornya Gwen menuju ke cafetaria seraya mengingat jalan.
Cherry juga banyak membantu Gwen memberitahu dirinya arah jalan dan ruangan apa yang mereka lalui. Cafetaria ini sangat luas hingga satu lantai, dan Cherry bilang disatu gedung besar ini ada sepuluh cafetaria yang tersebar.
Cherry juga mengatakan bahwa dalam satu gedung yang besar dan tinggi ini dibagi atas beberapa bidang usaha dengan Cafetaria sebagai batas pertujuh lantai. Dan tempat kerja Gwen ini berada di Cafetaria terakhir yang berada di lantai 51, Gwen bekerja di M.B. Inc. bidang konstruksi yang tempat kerjanya berada dilantai teratas gedung besar ini bahkan tepat di bawah lantai para eksekutif.
Sedangkan untuk tiap tujuh lantai yang lain diisi oleh karyawan yang bekerja dibidang lain seperti pertelevisian, penerbitan buku dan media, telekomunikasi, konsultan, ritel hingga keuangan. Gwen tak habis pikir, seberapa banyak uang owner perusahaan besar ini bahkan gaji CEO pun Gwen tidak tahu akan sebanyak apa.
“Selama aku bekerja disini, belum pernah aku mendengar ada kekerasan dari sesama karyawan. Mereka bekerja dengan profesional disini, semua akan berjalan sempurna asal kita bisa saling menghargai saja.”
“Kau benar, kita memang harus saling menghargai disini.”
Cherry mengangguk pelan, “Setiap satu tahun perusahaan akan memperkerjakan tiga orang baru dari berbagai penjuru dunia dan itu sangat menyenangkan saat kita mendapatkan teman baru. Mengetahui kau dari Indonesia, aku jadi ingin berlibur di Bali.”
Bersambung
Dear FriendWaktu begitu cepat berlalu dan Gwen sudah bekerja selama dua minggu, ia sudah nyaman sekali disana. Kabar baiknya Gwen kedatangan Tasya sahabatnya, setelah sekian tahun mereka tidak pernah bertemu. Tasya memutuskan untuk menginap beberapa hari di Los Angeles setelah sejak dua tahun lalu wanita itu tinggal di Seattle bersama Bibinya. Mereka melepas rindu dan saling berpelukan, karena sebelumnya tidak bisa saling mengunjungi dimana Gwen sangat terkekang dan tidak bisa kemana-mana kemarin. Sedangkan Tasya, wanita muda itu selalu memamerkan hidup bebasnya pada Gwen. Tasya sekarang sibuk mengelola galeri seni milik Bibinya yang sangat sayang dengan Tasya. Gwen sedikitnya iri pada sahabatnya itu meskipun ia selalu bersyukur pada hidupnya. Setidaknya kedua orangtuanya masih hidup dan lengkap tidak seperti Tasya yang sudah kehilangan orangtuanya karena perceraian lalu ayahnya meninggal. “Sumpah gue kangen banget sama lo sista…” Tasya me
Just ONSSiang itu entah kenapa Max ingin sekali makan dikantin kantornya, rasanya sudah lama sekali ia tidak makan disana tapi memang seingat Max terakhir kali ia makan disana sekitar empat atau lima tahun lalu? Entahlah. Diikuti empat orang sekretarisnya dan satu ajudannya, Max masuk ke area kantin disana terlihat sangat tenang dan disiplin meskipun sedang makan. Ia duduk dikursi yang sudah disiapkan oleh bodyguard-nya, para karyawan juga tetap melanjutkan makan siangnya tak terganggu sama sekali olehnya sesuai keinginan Max. Hingga makanan nya sudah datang, Max makan perlahan dengan mata yang melihat kesana-kemari. Tak tahu apa yang pria itu cari hingga tatapannya terhenti pada seorang wanita berkemeja coklat muda, wajahnya tidak berubah malah bertambah cantik hanya rambutnya saja yang berganti warna. Itu adalah Gwen-nya. Max segera ikut bangkit dan menyuruh para pekerjanya untuk tidak mengikuti dirinya. Itu Gwen-nya, tubuhnya masih imut seper
ReminderGwen kembali ke apartemennya. Ia sangat lelah sekali sekarang jadi sesampainya disana ia langsung membersihkan diri dan berlanjut membenamkan diri di kasur. Usapan diwajahnya menganggu Gwen karena Gwen adalah tipe orang yang sensitif ketika tidur, tidak bisa diganggu bahkan berisik sekalipun. Tak tahu berapa lama ia tertidur, matanya begitu berat untuk diajak melihat.“Tidurlah lagi jika masih mengantuk.”Bisikan dengan suara yang sangat rendah itu berhasil membuat Gwen merinding.Hatinya tersengat saat ia mengingat suara ini, suara pria itu pada saat mereka melakukan penyatuan dulu. Dengan paksa Gwen membuka matanya dan seseorang disampingnya ini berhasil kembali mengejutkan Gwen.“Kau kenapa bisa ada disini?”Pertanyaan Gwen sama sekali tidak dijawab karena pria itu bahkan dengan santainya menopang kepala dengan sebelah tangannya menatap Gwen dengan intens tanpa merubah posisi dari merebahkan diri.&ld
Be My HoneyMax mendengus sebal, entah bagaimana bisa di pesta yang baru saja ia tinggalkan itu ada saja hal yang tak diinginkan. Sembilan puluh lima persen wanita yang pernah menjadi kekasih Max berkumpul disana. Entah bagaimana bisa mereka saling mengenal yang pasti Max sangat mencurigai Alexa Smith. Mungkinkah wanita itu menjadi stalker dirinya selama ini?Bahkan untuk Alli Martinez yang tinggal di Barcelona saja sampai hadir dan terlihat begitu akrab dengan wanita itu. Belum lagi ibunya yang terlihat begitu senang memperkenalkannya kesana-kemari. Bahkan tidak malu mengatakan bahwa Max sedang mencari pasangan, membuat Max semakin tidak habis pikir.Selama Max memiliki kekasih, ia selalu memberi batasan untuk tidak terlalu dekat padanya. Dalam artian saling mengenal lebih jauh meskipun saling punya perasaan. Max hanya tertarik lalu menerima pernyataan perasaan mereka dan mereka berkencan. Hanya dinner dan berhubungan seksual termasuk memberi mereka kartu kredit.
WorriesGwen merasakan nyeri pada lengan dalam bagian atasnya tempat dimana ia menanam implan, beberapa hari kemarin bagian itu juga sempat lebam. Gwen bahkan konsultasi lagi ke dokter untuk bertanya tentang apa yang ia alami, katanya hal itu normal terjadi bahkan efek dari pemasangan implannya ini cukup banyak seperti gangguan menstruasi yang tidak teratur, kemungkinan perubahan berat badan, nyeri kepala, perubahan mood yang tiba-tiba, nyeri pada payudara serta mual dan nyeri perut.Sepulang dari kerjanya Gwen langsung kembali ke apartemen, rencananya ia akan memasak mi sambil menonton film. Sayangnya yang terjadi selepas ia mandi adalah Gwen merasakan mual yang membuat dirinya tidak nafsu untuk memakan apapun sehingga ia memilih untuk tidur saja.Sebuah tangan dingin tersampir dikenangnya, meskipun Gwen tertidur tetapi ia tidur terlalu lelap.“Apa kau sudah makan?”Suara berat yang Gwen kenali sebagai Max menyapa telinganya. Gelengan pe
LoversGwen memposting foto terbarunya di media sosial yang ia punya, tidak dengan nama aslinya Gwen lebih memilih untuk memberi nama lain yang unik hingga anggota keluarganya tak akan tahu bahwa itu adalah miliknya. Pengikutnya cukup banyak karena Gwen memang populer, ia me-privasi akunnya dan itu adalah pilihan bijak. Ia mengirimkan fotonya bersama Max yang kemarin mereka ambil dalam kencan tiap hari libur mereka. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang bahagia.Sudah satu bulan ini mereka menjalin hubungan dan Gwen menikmatinya sejauh tidak ada yang tahu tentang mereka dalam artian sebenarnya. Seperti teman-teman kerjanya ataupun media apalagi keluarganya.“Bagaimana Gwen, apa kau sudah menyiapkan apa yang akan kau pakai malam ini?”Gwen menganggukkan kepala pelan, ia kemarin lusa sempat membeli dress untuk menghadiri ulangtahun William leader mereka. Pria itu mengundang mereka dan melarang untuk dibawakan kado atau apapun, lagipula nan
MedusaWaktu berjalan begitu cepat dan selama itu pula Gwen sudah merasa nyaman bersama dengan Max menjalin hubungan berstatuskan sepasang kekasih. Seperti biasanya Max kembali meninggalkan Gwen demi pekerjaannya. Pria itu bilang akan sedikit lama berada di Barcelona tidak seperti perjalanan bisnis biasanya.Sedikitnya Gwen merasa kesal jika Max sedang dalam keadaan sibuk-sibuknya dengan pekerjaan karena ia akan diabaikan oleh pria itu demi pekerjaannya. Nyatanya Max lebih workaholic dari yang Gwen duga.Hubungan mereka masih aman sejauh ini dalam artian ‘tidak ada yang tahu’. Max sebenarnya sangat keberatan dengan hal ini tapi tentu saja Gwen menjelaskan perkara sebenarnya jika hubungan mereka terkuak. Dan sejak Mr. William menanyai tentang Max, Gwen menjadi lebih berhati-hati.“Ini.” Mr. William mengangsurkan minuman didepannya pada Gwen entah untuk keberapa kalinya hampir setengah tahun ini jika mereka sedang makan bersama dengan
Slave of Love“Apa terjadi sesuatu?”“Apa?”Gwen menatap Max tidak paham, saat ini mereka sedang berada disebuah tempat yang Max pernah janjikan padanya sebelum pria itu pergi ke Barcelona. Angin bertiup hingga rambut Gwen ikut terbawa, seperti akhir pekan yang biasa mereka lewati kali ini pun Max memilih tempat diluar ruangan.Mereka lebih sering mengadakan piknik kecil-kecilan seperti ini, dengan beberapa makanan dan lebih banyak mengobrol. Mungkin baru dua kali Max mengajaknya makan di restoran mewah itupun mereka memesan ruangan VIP, jika sedang malas keluar biasanya mereka tetap mengendap di apartemen memasak atau membuat kue juga menonton film.Tapi Gwen menikmati semua yang mereka jalani ini, sekarang.“Aku pergi cukup lama meninggalkanmu disini, apa terjadi sesuatu?” Ulang Max.Gwen yang sedang memakan sushi lebih mengutamakan menyelesaikan kunyahan dan menelan makanannya dahulu sebelum menjaw
Kecelakaan “Kau sangat cantik Eve. Aro pasti akan menyukai penampilanmu,” puji Stella, Ibunya yang memegang bahu putrinya, lalu mengelus rambut panjangnya yang bergelombang akibat dicurly.“Kau sudah menyiapkan hadiah untuk Aro?” tanya Raymond, ayahnya yang bersandar di sisi ambang pintu. Evelyn Blossom. Gadis berusia 22 tahun itu tampak malu-malu dan enggan untuk menjawab pertanyaan sang Ayah. Tapi detik berikutnya, ia berkata pelan, “Aku akan memberikannya jika aku sudah bertemu dengannya, Daddy.” Rona tersipu di pipi Evelyn spontan membuat Stella tertawa. Ia lalu melirik suaminya di pintu yang memandang datar dan tampak tidak peduli, namun samar bisa Stella tangkap ujung bibir suaminya itu sedikit tertarik sebelum menghilang, meninggalkan mereka berdua setelah berkata, “Ya sudah. Daddy tunggu di bawah. Kita akan berangkat sebentar lagi.” “Biar Mommy tebak hadiah apa yang akan kau berikan untuk Aro.” Stella memicingkan
Kita Ini Apasih? Tanyakan pada Reagan apa yang membuat yang membuatnya tergila-gila pada Irish. Reagan akan menjawab, pertama bibir Irish, kedua bibir Irish, ketiga bibir Irish, baru yang terakhir tubuh mungil Irish yang sedang mendesah-desah dibawah tubuhnya. Dasar Reagan mesum!Reagan sudah lupa kapan terakhir kali dirinya melakukan adegan 17 tahun keatas tersebut, yang Reagan ingat hanya Irish perempuan terakhir yang bangun disampingnya 2 bulan lalu, di villa, di Ubud. Reagan tidak lagi mencari kesenangan diuar. Semua waktunya tersita hanya untuk Irish seorang. Mulai dari antar jemput sampai membuntuti Irish kemanapun gadis itu pergi. Sampai Irish yang kesal karena kelakuan Reagan membentak cowok itu. “Loe nggak ada kerjaan lain ya selain buntutin gue Re?” “Loh gue kan bossnya. Jadi kerjanya suka-suka gue lah.” “Tapi loe tiap hari ngikutin gue kemana-mana. Emang loe nggak capek?” “Nggak!” Susah bicara baik-ba
Cemburu LagiSejujurnya Irish ingin memperpanjang cutinya. Dia tidak berniat masuk kerja. Tapi dia tidak enak pada Pak Lukman. Kemarin minta cuti seminggu mendadak. Masa sekarang minta extention lagi. Benar-benar nggak tahu diri. Seperti bukan Irish saja.Dan sejujurnya lagi, Irish tidak siap bertemu Reagan. Irish malu akibat perbuatannya. Irish takut kalau-kalau Reagan menertawainya. Irish takut kalau Kinta tahu dirinya dan Reagan sudah ena-ena. Kinta pasti akan mencemooh dirinya.Kinta memang bukan penganut paham ‘jangan lepas kendali sebelum menikah’ seperti Irish.Kinta adalah perempuan bebas. Selama dirinya senang, dia akan menikmatinya. Dan kebanyakan mantan pacar Kinta memang bule. Kinta memang penggemar sejati terong import.Begitu sampai di hotel, Irish berjalan cepat-cepat memasuki ruangan kerjanya. Matanya mengawasi Reagan yang bisa saja tiba-tiba muncul.
Pertama Irish benar-benar shock melihat kemesraan Nando dan Dayu tadi. Seketika itu juga rasa laparnya mendadak hilang. Dikeluarkannya 2 lembar seratus ribuan dan diletakkannya di meja. Irish lalu bangkit berdiri dan pergi dari situ tanpa pamit. Irish masih mengingat jelas pernyataan cinta Nando padanya, dan juga ketersediaan Irish menunggu Nando memutuskan Dayu. Sampai capek Irish galau berminggu-minggu. Menangis tidak jelas. Bela-belain kabur ke Ubud. Yang digalauin malah asik ciuman sama tunangannya. Katanya nggak cinta, tapi kok ciumannya mesra banget. Menghayati pula. Irish menggosok-gosok bibirnya dengan kasar. Menghilangkan jejak bibir Nando disana. Di dalam mobil Irish berusaha menahan air matanya agar jangan sampai keluar. Menangisi orang seperti Nando membuat dirinya terlihat menyedihkan. Pandangan Irish sudah mengabur. Dibelokannya mobilnya ke arah bar yang dia lewati.
DayuHari yang paling ditakutkan Irish benar-benar terjadi. Bagaimana tidak Dayu pacar Nando tiba-tiba muncul di Jagapati. Irish sudah merinding membayangkan Dayu akan melabraknya. Namun kenyataannya perempuan itu hanya mengajak Irish bicara baik-baik.Tak dipungkiri Irish, akhir-akhir ini Irish sering menghabiskan waktu bersama Nando diam-diam. Mereka pergi makan malam bersama. Lalu menghabiskan waktu berlibur ke bedugul.Nando juga tidak segan-segan lagi mencium Irish. Menggrayangi tubuh gadis itu, meski dalan batasan wajar. Dan sungguh Irish sangat menikmati kebersamaanya dengan Nando.Otak Irish sebenarnya sudah sering memperingati bahwa sepintar-pintarnya bangkai yang disimpan pasti akan tercium juga. Namun hati Irish malah berkhianat. Tubuh dan bibirnya malah menikmati ciuman Nando.Gaya mencium Nando sudah banyak berubah. Lebih berani dan menantang. Mungkin Nando pernah belajar dengan bule-bule disana, pikir Irish. Tapi sebodo amat, sekara
Bertemu MantanGara-gara ulah Reagan kemarin hari ini Irish sukses terkantuk-kantuk saat briefing mingguan hotel. Apalagi dirinya pagi ini briefing dipimpin langsung oleh Reagan sendiri. Bahkan usai briefing, Reagan masih sempat-sempatnya menggoda Irish, yang dibalas Irish dengan memukulkan agendanya ke kepala Reagan.“Jahat banget sih loe Rish! Sakit nih.” Reagan mengusap-usap kepalanya akibat agenda Irish yang melayang tadi.“Biarin! Loe resek soalnya.”“Resek tapi bibir gue enak kan? Coba lagi yuk Rish. Di ruangan gue.”Setelah mengatakan itu Reagan langsung ngacir menghindari amukan Irish yang lebih besar lagi.“Nih, kontrak sama Travelo yang loe minta kemarin.” Kinta yang berjalan di sebelah Irish menyerahkan sebuah map berwarna biru.“Thanks ya Ta.”“Btw, elo s
Coffee In The MorningIrish menghempaskan bokongnya di kursi, sesaat setelah dirinya sampai di kantor. Terlalu pagi untuk Irish sampai di hotel, tempatnya bekerja.Masih sepi. Irish biasanya akan datang 10 atau 15 menit sebelum jam ceklok. Tapi pagi ini dia memutuskan untuk berangkat lebih awal, untuk menghindari omelan mama yang menanyakan kapan dirinya akan menikah.Tahun ini usia Irish genap 28 tahun, namun masih belum menunjukkan tanda-tanda ingin mengakhiri masa lajang. Padahal adiknya, Arabel, yang terpaut 3 tahun dengannya, sudah dilamar oleh Dhega, kekasihnya.Irish bukannya tidak pernah berusaha mencari jodoh. Tak terhitung banyaknya lelaki yang mendekatinya, tapi itu semua hanya untuk tidur dengannya. Tak pernah benar-benar ada yang serius.Entah harus merasa beruntung apa merasa sial, pesona Irish hanya sampai pada tempat tidur. Namun Irish bukan perempuan seperti itu. Sampai detik
Very ForcedDi kediaman Alfred, Audy sangat stress memikirkan permintaan Alfred. Ia berusaha mencari cara agar bisa lepas dari ancaman Alfred. Tak lama kemudian, terdengar suara kaki pria yang dulu pernah ia sayangi itu, mendekati kamarnya.‘Ah itu dia,’ batin Audy.“Audy, kapan Kau bisa melakukan tugasmu?” desak Alfred.“Bagaimana kalau tugas itu diberikan pada orang lain saja, Alfred?” tawar Audy.“Kenapa? Kau tidak tega?” tanya Alfred.“Aku tidak pernah membunuh siapapun, Alfred. Aku takut jika misi itu gagal, bagaimana denganku dan Jillian nantinya?”jelas Audy.Alfred diam, ia berpikir sejenak. “Begini saja, Aku yang akan membunuhnya dengan tanganku. Kau hanya perlu membawanya pergi ke tempat yang aku tentukan. Bagaimana?”“Deal,” jawab Audy.
Party SucksAudy dan Dave tengah dalam perjalanan ke sebuah mansion, tempat pesta itu diadakan. Mereka duduk di kursi belakang supir. Audy mengenakan gaun panjang berwarna gold, terdapat belahan panjang di sebelah kiri gaun, itu memperlihatkan sebelah kakinya yang jenjang. Sementara Dave mengenakan tuxedo lengkap dengan dasi kupu-kupu berwarna hitam.Terangnya lampu-lampu jalanan malam itu, membuat Audy senang melihat apapun yang dilewati mobil mereka. Tiba-tiba jari tangan kirinya terasa hangat, karena Dave menggenggamnya. Audy memutar kepalanya menoleh pada Dave.“Ini untukmu, Sayang.” Dave menyematkan cincin berlian di jari manis Audy. Cincin itu memancarkan kilauannya di gelap malam, sangat indah.Audy hanya bisa menatap manik hitam mata Dave, ia bisa melihat hangatnya ketulusan hati pria itu. Audy memberikan sedikit senyum di bibirnya. Ini pertama kalinya Dave melihat semburat tipis itu di wajah A