Saat tersadar kembali, Melanie sudah memegang bungkusan itu di tangannya.Keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya dan dia melemparkan benda itu ke tempat tidur, menatap dengan mata nanar.Namun, dua suara muncul di benaknya, membuatnya merasa seolah akan terbelah menjadi dua.Satu suara terus berkata, "Coba saja. Hidupmu sudah menyedihkan. Semua orang mengecewakanmu. Tapi kamu bisa menemukan kegembiraan tersendiri. Bukan masalah."Suara yang satunya lagi masih rasional. "Jangan berani-berani menyentuhnya. Hidupmu bisa hancur.""Apa yang bisa menghancurkanmu? Kamu sangat kaya dan pintar. Kamu cuma perlu menahan diri dan jangan kelewatan. Hidupmu nggak akan terpengaruh sama sekali!""Nggak boleh. Kamu sudah lihat sendiri contoh nyatanya. Sadar! Jangan berani-berani menyentuh benda itu!""Percayalah pada dirimu sendiri, Melanie. Mungkin kamu nggak akan kecanduan sama sekali. Kalau kamu coba sedikit saja, kamu nggak akan kehilangan hidupmu."Suara yang satu lagi berangsur-angsur menghila
Sebenarnya, meski Amel tidak melihatnya sedang mengisap benda itu, si kecil juga lihat saat Melanie beres-beres tadi.Namun, anak ini jelas sangat cerdas. Kata-katanya sempurna tanpa cela."Amel baik, besok minta Paman Yudha pergi ke taman hiburan bersama-sama, oke?""Oke, Amel paling suka taman hiburan." Amel bertepuk tangan dengan gembira."Sana main lagi." Melanie terlalu malas untuk berkata apa-apa lagi.Saat ini, dia merasa segar dan penuh energi.Dia tidak akan mengaku kalah. Dia tidak akan membiarkan Yudha dan Yara bersatu.Suara klakson mobil terdengar di lantai bawah dan Melanie berjalan ke jendela. Ternyata Yudha.Aneh sekali. Yudha sangat jarang pergi mencarinya ke rumah keluarga Lubis atas kemauannya sendiri.Melanie sekali lagi memastikan penampilannya di depan cermin sebelum berjalan ke lantai bawah dengan pinggul berayun."Yudha, ada apa kamu ke sini?" Dia muncul dari balik pintu vila dengan membawa Amel. Penampilannya seperti seorang istri yang menyambut suaminya bersam
"Yudha, sebenarnya ... aku tadi ke kantor mencarimu."Melanie mendengus dan menyeka air matanya sambil menatap Yudha tanpa berkedip."Oh?" Ekspresi Yudha tidak banyak berubah."Ya, kamu tadi ngobrol dengan Pak Revan di rapat. Pintunya dibiarkan terbuka." Melanie masih menatapnya, menunggunya menjelaskan, meski kebohongan sekalipun.Namun, Yudha masih tetap tenang. "Oh, kamu ada perlu apa mencariku?"Melanie menggigit bibirnya keras-keras. Dia benar-benar tidak mengerti bagaimana Yudha bisa begitu cuek padanya."Yudha, kamu nggak merasa harus menjelaskan? Dengan siapa kamu mau tes DNA?"Yudha menatapnya balik. "Kamu nggak bisa nebak? Ya pasti Yara.""Yudha!" Amarah Melanie berkobar. "Kamu akan menceraikan Yara, dan kamu akan menikah denganku. Apa pantas kamu bersikap seperti ini di depanku?"Yudha mengerutkan kening, tidak terlihat bersalah sedikit pun. "Melly, sejak pertama kali kamu mencari dan mengenalku, sudah kubilang aku nggak akan mencintaimu."Kata-kata itu seketika membuat tubu
Silvia selalu mengabarkan tentang kehidupan pernikahan Yudha dan Yara padanya. Hanya ini satu-satunya rasa manis dalam kehidupannya saat itu.Lalu, saat Amel lahir, dia akhirnya memutuskan untuk pulang dan kembali kepada Yudha.Kini, setahun telah berlalu sejak dia pulang. Yudha mengucapkan kata-kata itu di depannya sekali lagi. "Aku nggak akan pernah mencintaimu."Melanie tersenyum sendiri."Melly, pernahkah kamu berpikir kalau menikah denganku bukanlah pilihan yang terbaik untukmu?" Sampai di sini, Yudha mengungkapkan seluruh isi pikirannya. "Ada banyak hal yang bisa aku berikan kepadamu selain pernikahan."Melanie merasa konyol. "Ya, sangat banyak. Uangmu sangat banyak sampai nggak bisa dihabiskan seumur hidup. Yudha, kalau aku melakukannya demi uang, aku nggak akan sampai sejauh ini.""Sudah sejauh ini. Semuanya nggak bisa kembali lagi." Tiba-tiba dia berteriak pada Yudha, "Yudha, apa kamu nggak mengerti? Nggak ada yang bisa kembali lagi."Semua hal yang telah dia lakukan, semua or
Yara mengira dia akan bertemu Sophia lagi di ruang sidang. Tak disangka, pertemuan itu akan terjadi di kedai kopi."Nona Yara, senang bertemu denganmu lagi." Masih dengan rambut pendek dan lesung pipitnya, Sophia merasa lebih dekat dengan Yara."Bu Sophia, kita ketemu lagi." Yara tersenyum canggung."Maaf memanggilmu keluar saat jam kerja." Sophia tersenyum lembut. "Sebenarnya, ini masih soal gugatan ceraimu. Menurut saya ... sebaiknya dipertimbangkan kembali."Yara mengerutkan kening tidak senang. "Bu Sophia, saya tahu ini memang tugasmu, tapi saya merasa sudah menjelaskan dengan jelas. Saya nggak akan berubah pikiran."Setelah bertemu Yudha, Sophia mau tidak mau sedikit terkejut saat dihadapkan dengan Yara yang masih begitu teguh."Nona Yara, mohon tetap tenang. Kalau boleh saya tahu, kenapa kamu bersikeras?" Dia masih penuh tanda tanya. "Saya sudah bertemu dengan Pak Yudha. Setelah menangani begitu banyak perceraian, terus terang, saya merasa kondisi Pak Yudha sangat menguntungkan,
Konyol!Semua yang dia lakukan saat ini sangat konyol!"Gila!" Yara mengumpat ke arah ponselnya. Meski dia sudah menduga bahwa Yudha tidak mungkin berubah pikiran soal perceraian, Yara mau tak mau merasa dongkol menerima ejekan pria itu.Dia kembali ke tempat duduk dan tersenyum lemah. "Bu Sophia, kamu salah paham. Yudha setuju ingin bercerai.""Benarkah?" Sophia merasa penilaiannya tidak mungkin salah. Yudha kemarin jelas-jelas tidak ingin bercerai."Kalau kamu nggak percaya, silakan telepon dia sekarang dan tanyakan sendiri," tambah Yara. "Tapi aku sarankan nggak usah telepon, daripada kena marah."Sophia tersenyum canggung."Karena kami berdua nggak ada yang keberatan, proses cerainya bisa langsung dimulai, 'kan?" Yara bertanya dengan khawatir."Sidangnya akan dijadwalkan untuk minggu depan. Kalau kedua belah pihak setuju dan nggak ada keberatan soal pembagian harta serta urusan lain-lain," ucap Sophia memperkirakan. "Kalian bisa resmi bercerai dalam waktu sekitar tujuh hari kerja s
Siska menjulurkan lidahnya karena malu. "Aku yang bilang kamu suka makanan di sini."Yara tertawa karenanya. "Oke, oke. Kamu sepertinya sudah sangat suka padanya."Pintu restoran terbuka dan keduanya masuk beriringan.Saat Yara datang bersama Yudha, seluruh tempat biasanya penuh. Anehnya, hari ini hampir tidak ada seorang pun di sana.Saat sedang bertanya-tanya dalam hati, tiba-tiba dia mendengar sapaan dari suara yang sangat familier. "Siska, Rara, akhirnya kalian datang juga."Yara menoleh, tidak percaya. "Tanto?"Dia berbalik lagi ke arah Siska, masih tak percaya. Bertanya, "Pacarmu?""Ya." Siska bergegas mendekat dan menggenggam tangannya. "Rara, banyak hal terjadi selama tiga bulan kamu pergi. Tanto sudah menjelaskan ke Liana dan dia juga sudah sadar isi hatinya yang sebenarnya."Dia ragu-ragu sejenak sebelum melanjutkan, "Aku ... aku juga nggak bisa melupakan dia. Jadi, aku cuma ingin memberi kesempatan kepada dia dan diriku sendiri."Yara tetap diam tanpa kata.Meskipun dia tida
Rasa terima kasih Tanto pada Liana mungkin setinggi langit.Memikirkan semua yang Yudha lakukan untuk Melanie demi membalas budi, Yara merasa Liana sangat berbahaya."Jangan khawatir, aku akan selalu waspada." Siska sedang berbunga-bunga. Sebuah senyuman selalu tersungging di wajahnya.Bibir Yara berkedut dan dia tidak mengatakan apa-apa lagi.Di tempat lain, Tanto memanggil semua orang ke ruang tamu begitu dia pulang."Kebetulan, semua orang ada di sini hari ini." Pria itu menatap sekelilingnya. "Beberapa hari lagi, aku ingin membawa Siska ke sini untuk bertemu dengan kalian dan mengenalkannya kepada Ayah."Beberapa saat, tidak ada orang yang bicara. Kecuali Yudha yang terlihat tidak peduli, semua orang melihat ke arah Liana."Syukurlah." Liana tersenyum. "Tanto sudah nggak muda lagi. Memang sudah waktunya untuk menikah."Agnes mengerutkan kening. "Siska? Si artis itu lagi?""Bukan, Siska teman baik Rara." Melanie menawarkan diri untuk menjelaskan."Teman Yara?" Agnes semakin merasa a