Dokter spesialis itu menatap Yudha dengan tatapan meminta maaf. "Pak Yudha, saya nggak bisa berbuat apa-apa."Melanie terisak dan segera menangis di bahu Yudha. "Maafkan aku Yudha, aku sudah tahu akan seperti ini. Maaf sudah mengecewakanmu."Yudha mematung. Seolah harapan yang baru saja muncul di hatinya hancur begitu saja seperti gelembung sabun.Dia bahkan lupa menghibur Melanie."Nona Lubis, jangan sedih." Dokter itu berinisiatif untuk menghibur. "Kalau memang ingin anak, kalian bisa adopsi. Sebenarnya nggak ada bedanya."Melanie mengangkat kepalanya dan menatap wajah Yudha dengan seksama.Yudha membantunya berdiri dan mengucapkan terima kasih. "Anda ingin tinggal lebih lama lagi di Selayu? Atau langsung pulang malam nanti?""Langsung pulang malam nanti." Dokter itu jelas tidak ingin berlama-lama."Oke, saya sudah mengatur penerbangan khusus. Tunggu saja, nanti ada yang akan menjemput." Yudha pergi bersama Melanie."Yudha, tunggu aku." Melanie berlari mengejar Yudha yang berjalan ce
Yudha sangat marah. Dadanya naik turun hebat. Dia merasa dirinya sangat bodoh dan semua yang dia lakukan sangat konyol.Menatap punggung Yara dari kejauhan, dia berkata dengan kasar, "Dalam khayalannya saja."Kemudian, dia berbalik dan berjalan pergi.Melanie buru-buru mengikuti. Dia cukup bijaksana dan tidak mengatakan apa-apa lagi.Dia tahu Yudha jatuh cinta pada Yara. Namun, karena terlalu mementingkan harga diri, atau memang karena tidak terlalu cinta, Yudha tidak akan mengakuinya dalam waktu dekat.Ini bisa jadi kesempatan terakhirnya.Yara menemani Siska masuk ke ruang pemeriksaan kandungan dan langsung menemui Dokter Teresa."Ayo masuk. Aku tunggu di luar." Yara menjabat tangan Siska dengan kuat. "Jangan gugup."Siska mengangguk dan segera masuk.Teresa tersenyum melihat wajah Yara yang terlihat sehat. "Perjuangan sekali. Dua bulan lagi melahirkan, kamu sudah berhasil melewatinya."Sebagai dokter yang menangani Yara dan kedua janin itu, dia mengerti betapa sulitnya perjalanan Ya
"Katanya, Nona Lubis sudah melahirkan satu anak dan nggak kuat menahan rasa sakit saat melahirkan, jadi dia nggak berencana punya anak lagi. Tapi ..." Raut muka dokter itu berubah serius selama beberapa saat. "Keluarga calon suaminya pasti akan memaksa dia punya anak lagi. Jadi saya perlu berbohong."Dokter itu tampak sangat ekspresif. "Sebagai ahli kandungan dan kesuburan, saya sangat menghormati keinginan wanita dalam hal ini. Saya juga tahu, mengandung dan melahirkan adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Jadi, saya selalu berusaha sebaik mungkin untuk membantu. Jangan khawatir, saya nggak akan membocorkan apa-apa ke Pak Yudha."Dia tersenyum lagi di akhir. "Walaupun dia sendiri yang memanggil saya ke sini."Jadi begitu.Saat ini, Yara benar-benar merasa sedikit bersimpati kepada Yudha.Dia bertanya lagi kepada dokter di depannya, "Yang bilang itu Melanie sendiri?""Bukan. Perempuan lain. Sepupu Nona Lubis yang menemui saya tadi malam." Dokter itu merendahkan suaranya. "Dia juga meng
Yara tersenyum hambar dan menanyakan beberapa hal lagi sebelum mengucapkan selamat tinggal pada Teresa."Terima kasih Dok, kami pergi dulu." Yara membantu Siska berdiri dengan hati-hati."Aku baik-baik saja." Siska berdiri dan mengikuti Yara keluar dari kantor Teresa dengan ekspresi linglung seakan jiwanya tersesat. Dia bersandar di dinding dan tidak bergerak."Siska?" panggil Yara dengan cemas. "Ayo kita pulang dulu. Kita bicarakan lagi di rumah, oke?"Wajah Siska sangat pucat. Dia takut gadis ini akan melakukan sesuatu yang impulsif.Benar saja, Siska tiba-tiba menatap Yara dan berkata, "Rara, aku ingin aborsi.""Siska, jangan gegabah." Yara meraih tangan Siska. "Aborsi itu nggak baik buat tubuhmu. Janinnya masih kecil, jadi kamu masih punya waktu untuk memikirkannya."Seluruh tubuh Siska gemetar. "Rara, aku nggak mau memikirkannya. Aku nggak mau terjerat dengan Tanto seumur hidupku karena anak ini. Apa yang akan terjadi kalau dia tahu aku hamil? Apa yang akan dia lakukan padaku? Aku
Yara tertegun dan hendak mengatakan sesuatu, tetapi dia mendengar Rita memanggil Tanto."Tanto, cepat ke sini. Aku nggak enak badan, ayo temani aku masuk ke dalam." Suara wanita itu terdengar sangat manja dan mendayu-dayu. Masih sama menyebalkannya seperti saat pertama kali mereka bertemu."Tolong bantu aku jaga Siska," ucap Tanto sebelum berlari pergi.Yara merasa jengkel sampai hatinya seperti diremas-remas. Dia sangat tidak mengerti mengapa Tanto bersikap seperti ini. Hanya karena Rita hamil?Sangat sulit dipercaya. Sama sekali bukan seperti Tanto yang dia kenal.Saat itu, Siska sudah masuk ke dalam taksi. Melalui jendela, dia melihat Tanto yang dengan gugup berlari kembali untuk menggandeng Rita.Siska menundukkan kepala dan rasa perih di dadanya menyebar ke seluruh tubuh.Yara segera masuk ke dalam taksi tak lama kemudian. "Orang itu, mungkin ... otaknya terjepit pintu."Jarang sekali Yara mengumpat seperti ini. Siska merasa geli."Aku serius," kata Yara dengan nada tidak bercanda
Setelah menyadari maksud Siska, wajah Felix seketika tersipu malu. Dia pun berlari ke dapur membawa barang-barangnya."Aku siapkan makan malam untuk kalian dulu. Kebanyakan sudah setengah jadi, nggak akan lama."Yara menyentil pinggang Siska dan mendesah. "Jangan bicara macam-macam. Kamu duduk sama Dokter Gio sebentar, aku mau bantu masak.""Aku bicara macam-macam ya?" Siska bertanya pada Gio sambil tersenyum.Gio merentangkan tangannya. "Entahlah, kita lihat saja nanti.""Ayolah." Siska memukul bahu Gio. "Apa masih perlu diragukan lagi kalau Kak Felix kangen Rara?""Yang aku maksud itu kamu." Gio menatap Siska dari atas ke bawah."Kenapa aku?" Siska memasang senyum lebar. "Aku nggak sedang mabuk cinta."Gio tampak berpikir keras. "Nggak usah pura-pura bahagia. Orang yang bisa kamu bohongi sudah pergi ke dapur."Siska memutar matanya dan menjatuhkan diri ke sofa. "Gila."Gio duduk di sampingnya dan menepuk pundaknya. "Ayo cerita, ada apa?""Ada apa?" Siska terlihat gusar. "Jangan curig
Felix mengangkat sendoknya untuk memukul samping kepala Gio. Gio bahkan tidak bisa menghindar sama sekali.Dokter itu sampai menangis karena kesakitan. Sambil mengusap kepalanya, dia berkata, "Aku bermaksud baik. Begini caramu berterima kasih?"Di ruang tamu, Yara perlahan duduk di samping Siska. "Sudah, nanti kamu sumpek. Mereka sudah di ruang makan."Siska memperlihatkan dua mata lebar yang tampak memelas. "Mereka pasti sudah sadar."Yara tidak menjawab. Dengan penampilan Siska tadi, siapa yang tidak bisa melihat?"Nggak apa-apa. Mereka pasti bisa jaga rahasia." Dia menepuk-nepuk punggung Siska dengan lembut. "Masih mual? Nggak bisa makan sama sekali?"Siska menggeleng. "Meskipun harus mati kelaparan, aku nggak mau makan."Dia lalu mendorong Yara. "Jangan khawatir. Cepat makan sana, jangan biarkan anak-anakmu kelaparan.""Oke, aku makan sekarang." Yara berdiri dan menatap Siska sejenak. "Tapi kamu nggak boleh begini terus. Kak Felix beli banyak buah, aku ambilkan ya? Pilih yang kamu
"Rara ..." Felix akhirnya mengumpulkan keberanian untuk membuka mulutnya. "Aku ...""Kak Felix!" Yara menyela hampir tanpa sadar. Dia tidak berani menatap. Kepalanya tetap tertunduk. "Siska benar. Sekarang sudah larut. Kalian pulang dulu saja, istirahat yang cukup."Untuk sesaat, Felix tampak tercengang. Keberanian yang baru saja berhasil dia kumpulkan tiba-tiba terjebak di tengah jalan.Gio pun berusaha membantu perjuangan Felix. "Rara, sebenarnya Felix punya ingin bicara sesuatu denganmu.""Aku tahu." Yara masih menundukkan kepala. Suaranya sedikit tercekat dan dia mengulangi, "Aku tahu. Tapi aku sudah ngantuk, aku ingin istirahat dulu."Dia tidak berani menatap mereka, terutama Felix. Dia takut melihat kekecewaan di kedua mata itu.Dia berbalik hendak pergi.Gio mencoba menghentikannya, tetapi Siska menangkapnya.Siska menggeleng. Urusan seperti ini tidak bisa dipaksakan. Dilihat dari reaksi Yara sekarang, memaksakannya tidak akan berbuah baik."Rara!" Tanpa diduga, Felix bicara lag
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid