"Sesedih apa pun kamu sekarang, dia nggak akan hidup lagi." Yudha berkata dengan sabar. "Kamu juga sedang mengandung. Pikirkan mereka."Yara tidak berkata apa-apa. Dia juga tahu dirinya harus mengendalikan emosi, tapi dia sangat sedih memikirkan kepergian Okti.Yudha tidak berusaha menghibur lagi dan memberinya waktu untuk menenangkan diri.Benar saja. Setelah sekitar setengah jam, Yara berangsur-angsur tenang.Yudha berkata lagi, "Kalau kamu mau, kita bisa pergi menemui Deka bersama."Deka, kakak yang sangat menyayangi Okti.Yara menatap Yudha dengan penuh haru dan mengangguk, "Iya."Selama sisa waktu perjalanan, Yara tidak banyak bicara. Yudha lebih aktif mengingatkan agar dia minum, mengingatkan untuk bangun dan meregangkan tubuh, dan menanyakan apakah dia lapar.Saat pesawat mendarat, dia berkata kepada Yara, "Aku akan mempertimbangkan soal adopsi anak. Terima kasih untuk saran darimu."Yara tertegun. Yudha yang dia lihat hari ini tampak seperti orang yang berbeda. Dia sangat terke
"Aku paksa mereka kasihkan teleponnya ke Naya. Tapi bukan panggilan video." Berlina mencibir, "Mereka pasti menolak panggilan video karena memang ada masalah.""Asalkan Naya baik-baik saja untuk saat ini." Yara menghela napas panjang.Tak lama kemudian, mobil tiba di depan gedung apartemen Berlina. Mereka keluar dari mobil satu per satu.melihat Yudha juga turun, Yara sedikit bingung. Namun, urusan Berlina lebih penting sekarang. Dia tidak punya waktu untuk bertanya mengapa Yudha masih mengikuti.Dia dan Berlina berjalan di depan, diikuti Yudha dan Felix.Alhasil, sebelum memasuki gedung, Berlina tiba-tiba berhenti. Dia menggandeng Yara dan bersembunyi di balik pohon terdekat.Ekspresinya terlihat sangat emosional, dan matanya berkaca-kaca. Menatap sepasang pria dan wanita yang berjalan tak jauh dari sana.Yara mengikuti tatapannya. Pria dan wanita itu tampak seperti sepasang kekasih. Mereka bergandengan sangat mesra, berbicara dan tertawa sepanjang jalan.Saat itu sudah pukul delapan
"Di mana Naya?" Berlina menggenggam tangan Yara dengan sangat erat. Suaranya sedikit bergetar.Lelaki itu tertawa dingin. Tatapannya menyapu Yara dan yang lainnya dengan waspada sebelum akhirnya mendarat pada Berlina. "Baru sekarang kamu peduli pada Naya? Saat kamu bersenang-senang di luar negeri, kenapa kamu nggak ingat Naya sedikit pun?""Gilang, jaga mulutmu." Berlina merasa pria di depannya ini sangat aneh. Padahal orang ini adalah suami yang dulu sangat dia cintai.Dia membendung kesedihannya dan bertanya lagi, "Jawab aku, di mana Naya?""Apa urusanmu Naya ada di mana?" Gilang berdiri dan berkata dengan nada dingin, "Gubuk kecilku ini nggak pantas disinggahi orang hebat sepertimu yang pernah pergi ke luar negeri. Jadi, tolong cepat pergi dengan teman-temanmu.""Gilang Wijaya!" Berlina merasa seperti hampir kehilangan kewarasannya karena marah."Kak Berlina, tenangkan dirimu." Yara menepuk Berlina dan menoleh ke arah Gilang. "Pak Gilang Wijaya, benar? Kamu bilang Kak Berlina nggak
"Oke." Dinda mengangguk dan berbisik, "Hati-hati. Dua laki-laki itu kelihatannya sangat berbahaya.""Jangan khawatir, mereka nggak bisa berbuat apa-apa padaku."Setelah keluar dari apartemen, Yara dan Berlina masuk ke dalam mobil, diikuti Felix, lalu Yudha yang terakhir.Mata Gilang berbinar-binar ketika melihat mobil itu. Meski dia orang miskin, dia suka mobil. Dia tahu mobil di depannya ini pasti berharga miliaran. Dia mengikuti dari dekat dan hendak masuk ke dalam, tetapi menerima tendangan Yudha."Jangan dekat-dekat. Sampah sepertimu nggak pantas naik mobilku." Yudha masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya.Gilang bangkit dari tanah dan mengumpat dari belakang mobil. "Pelacur! Apa kataku, kamu bersenang-senang dan kencan dengan laki-laki kaya di luar negeri! Tapi kamu selalu bilang nggak punya uang untuk dikirimkan. Kamu pasti sengaja! Dasar pelacur, tunggu saja!"Dia hanya bisa mengumpat dan naik taksi sendirian.Rumah nenek Naya tidak jauh. Sesampainya di sana, Berlina turun da
"Tahu apa kamu?" Wanita tua itu mengganti sasarannya menjadi Yara. "Ibu hamil harus lebih jaga omongan. Pikirkan anak di perutmu.""Cuma ingin uang, 'kan?" Yudha yang berada di samping tiba-tiba berbicara. "Berapa banyak yang kamu inginkan?"Yara dan yang lainnya serempak menoleh.Wanita tua itu menatap Yudha dari atas ke bawah.Gilang segera menghampiri dan berbisik, "Bu, orang ini kaya. Dia punya mobil harga miliaran."Dengan kata lain, minta harga yang tinggi dan ambil keuntungannya."Kami sudah merawat Naya selama bertahun-tahun, menambahkan kekurangan untuk pengobatan Naya. Sekarang Gilang nggak punya pekerjaan yang cocok ...." kata wanita tua itu, berlagak baik."Berapa?" Yudha tampak tidak sabar.Wanita tua itu menggertakkan gigi. "Sepuluh miliar!"Gilang mengangguk penuh semangat dari samping. Jantungnya melonjak kegirangan.Jika mereka benar-benar bisa meraup sepuluh miliar, mereka tinggal menikmati masa depan indah yang tidak ada habisnya.Yara tahu bahwa sepuluh miliar tidak
"Naya ada di atas, ayo naik." Wanita tua memimpin jalan dengan senyum manis yang dibuat-buat.Gilang berjalan paling belakang, takut Yudha kabur.Dalam perjalanan ke atas, Yara beberapa kali memandang Yudha. Yudha tidak terlihat seperti orang yang mudah dimanfaatkan. Namun, apa sebenarnya yang direncanakan pria itu?Setibanya di depan pintu rumah, wanita tua itu tersenyum lagi pada Berlina."Naya sudah nggak bisa bangun dari tempat tidur lagi. Dia jarang gerak, makannya juga berkurang, jadi berat badannya turun."Jantung Berlina langsung berdegup kencang mendengarnya. "Buka pintunya!"Wanita tua itu membuka pintu dengan agak lambat.Dalam sekejap, tercium bau tak sedap. Wanita tua itu pun mengumpat, "Dasar anak sialan, kamu buang air di tempat tidur lagi ya?"Tubuh Berlina terhuyung dan menarik wanita tua itu bersamanya. "Coba kulihat.""Jangan khawatir, tunggu aku masuk membersihkannya dulu." Wanita tua itu dengan santai mengambil lap kotor di sampingnya."Aku sendiri saja." Suara Ber
Berlina menoleh dan melihat Naya memegang ujung bajunya.Anak itu cepat-cepat melepaskan tangannya. Meski masih waspada, tatapan matanya jelas menunjukkan bahwa dia tidak ingin Berlina pergi."Sebentar ya, Ibu mau beli baju dulu buat Naya. Sebentar saja." Berlina membendung rasa pilu dalam hatinya dan segera turun ke bawah."Bagaimana?" Melihatnya keluar, Yara segera menyapanya.Berlina tampak sedang buru-buru. "Aku mau beli baju bersih dulu, dia nggak punya baju ganti.""Kamu ini bilang apa? Baju gantinya ada di lemari semua, nggak perlu beli yang baru. Sini aku carikan," teriak ibu Gilang dengan tidak sabar.Berlina menggertakkan gigi dan memelototi wanita tua itu. "Nggak ada yang bisa dipakai sama sekali. Tunggu nanti, aku selesaikan masalah ini denganmu."Pada saat itu, Revan turun dari mobil dan bergegas menghampiri. "Pak Yudha, ada yang perlu dibantu?""Belikan baju untuk anak-anak ...." Yudha menoleh kepada Yara."Umur tujuh tahun, laki-laki." Yara mengingatkan.Yudha mengangguk
"Oh iya, kamu belum tahu nomor rekeningku." Gilang lalu mencari-cari di ponselnya.Yudha merasa dua orang di depannya ini betul-betul bodoh dan serakah, sangat konyol."Aku sudah minta kalian minta maaf, tapi kalian nggak bilang apa-apa. Masih minta uang lagi? Sudah terlambat!""Apa maksudmu?" Mata wanita tua itu membelalak. "Bukannya kami tadi sudah minta maaf ke Bella ...""Bella?" Yudha mengerutkan kening. "Berlina? Maaf, aku nggak terlalu kenal dia. Aku juga nggak akan mengeluarkan uang sepuluh miliar untuk dia."Urat-urat di leher Gilang menegang. "Kamu mau menipu?""Sepuluh miliar nggak ada artinya di mataku. Aku nggak peduli sama sekali." Yudha menatap dingin. "Tapi kalian mencaci-maki orang yang dekat denganku dan belum meminta maaf. Jadi aku pakai sepuluh miliar ini agar kalian minta maaf.""Kamu ... ingin kami minta maaf pada Rara itu?" Gilang lalu menyadarinya. "Tapi dia 'kan sudah pergi?""Makanya kubilang sudah terlambat!""Ya Tuhan!" Siapa sangka, wanita tua itu tiba-tiba