Namun, karena Yudha membuka topik pembicaraan ini, Yara pun lanjut bicara. "Kamu .... Aku dengar Melanie nggak bisa punya anak.""Ya." Yudha masih menutup matanya."Jadi, bagaimana rencana kalian?" Yara bertanya ragu-ragu. "Teknologi sekarang sudah sangat maju. Kalau kalian mau punya anak ...""Nggak mau!" Yudha membuka matanya dan menatap Yara dengan sorot mata tidak senang.Yara terkejut. Dia tidak menyangka Yudha begitu benci dengan anak-anak. Setelah berjuang mengumpulkan keberanian, dia melanjutkan, "Walaupun anak-anak memang agak merepotkan, mereka bisa jadi penguat hubungan orang tua ..."Yudha tertawa marah. "Yara, kamu sangat ingin aku punya anak dengan perempuan lain?"Maksudnya perempuan lain? Memangnya dia punya wanita lain selain Melanie?"Menurutku, kamu harus menghargai keinginan Melanie soal anak," lanjut Yara. "Mungkin, nggak bisa menjadi seorang ibu akan menjadi penyesalan di hati Melanie.""Sejak kapan kamu dekat dengan dia?" Yudha benar-benar kesal. "Yara, nggak sem
"Sesedih apa pun kamu sekarang, dia nggak akan hidup lagi." Yudha berkata dengan sabar. "Kamu juga sedang mengandung. Pikirkan mereka."Yara tidak berkata apa-apa. Dia juga tahu dirinya harus mengendalikan emosi, tapi dia sangat sedih memikirkan kepergian Okti.Yudha tidak berusaha menghibur lagi dan memberinya waktu untuk menenangkan diri.Benar saja. Setelah sekitar setengah jam, Yara berangsur-angsur tenang.Yudha berkata lagi, "Kalau kamu mau, kita bisa pergi menemui Deka bersama."Deka, kakak yang sangat menyayangi Okti.Yara menatap Yudha dengan penuh haru dan mengangguk, "Iya."Selama sisa waktu perjalanan, Yara tidak banyak bicara. Yudha lebih aktif mengingatkan agar dia minum, mengingatkan untuk bangun dan meregangkan tubuh, dan menanyakan apakah dia lapar.Saat pesawat mendarat, dia berkata kepada Yara, "Aku akan mempertimbangkan soal adopsi anak. Terima kasih untuk saran darimu."Yara tertegun. Yudha yang dia lihat hari ini tampak seperti orang yang berbeda. Dia sangat terke
"Aku paksa mereka kasihkan teleponnya ke Naya. Tapi bukan panggilan video." Berlina mencibir, "Mereka pasti menolak panggilan video karena memang ada masalah.""Asalkan Naya baik-baik saja untuk saat ini." Yara menghela napas panjang.Tak lama kemudian, mobil tiba di depan gedung apartemen Berlina. Mereka keluar dari mobil satu per satu.melihat Yudha juga turun, Yara sedikit bingung. Namun, urusan Berlina lebih penting sekarang. Dia tidak punya waktu untuk bertanya mengapa Yudha masih mengikuti.Dia dan Berlina berjalan di depan, diikuti Yudha dan Felix.Alhasil, sebelum memasuki gedung, Berlina tiba-tiba berhenti. Dia menggandeng Yara dan bersembunyi di balik pohon terdekat.Ekspresinya terlihat sangat emosional, dan matanya berkaca-kaca. Menatap sepasang pria dan wanita yang berjalan tak jauh dari sana.Yara mengikuti tatapannya. Pria dan wanita itu tampak seperti sepasang kekasih. Mereka bergandengan sangat mesra, berbicara dan tertawa sepanjang jalan.Saat itu sudah pukul delapan
"Di mana Naya?" Berlina menggenggam tangan Yara dengan sangat erat. Suaranya sedikit bergetar.Lelaki itu tertawa dingin. Tatapannya menyapu Yara dan yang lainnya dengan waspada sebelum akhirnya mendarat pada Berlina. "Baru sekarang kamu peduli pada Naya? Saat kamu bersenang-senang di luar negeri, kenapa kamu nggak ingat Naya sedikit pun?""Gilang, jaga mulutmu." Berlina merasa pria di depannya ini sangat aneh. Padahal orang ini adalah suami yang dulu sangat dia cintai.Dia membendung kesedihannya dan bertanya lagi, "Jawab aku, di mana Naya?""Apa urusanmu Naya ada di mana?" Gilang berdiri dan berkata dengan nada dingin, "Gubuk kecilku ini nggak pantas disinggahi orang hebat sepertimu yang pernah pergi ke luar negeri. Jadi, tolong cepat pergi dengan teman-temanmu.""Gilang Wijaya!" Berlina merasa seperti hampir kehilangan kewarasannya karena marah."Kak Berlina, tenangkan dirimu." Yara menepuk Berlina dan menoleh ke arah Gilang. "Pak Gilang Wijaya, benar? Kamu bilang Kak Berlina nggak
"Oke." Dinda mengangguk dan berbisik, "Hati-hati. Dua laki-laki itu kelihatannya sangat berbahaya.""Jangan khawatir, mereka nggak bisa berbuat apa-apa padaku."Setelah keluar dari apartemen, Yara dan Berlina masuk ke dalam mobil, diikuti Felix, lalu Yudha yang terakhir.Mata Gilang berbinar-binar ketika melihat mobil itu. Meski dia orang miskin, dia suka mobil. Dia tahu mobil di depannya ini pasti berharga miliaran. Dia mengikuti dari dekat dan hendak masuk ke dalam, tetapi menerima tendangan Yudha."Jangan dekat-dekat. Sampah sepertimu nggak pantas naik mobilku." Yudha masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya.Gilang bangkit dari tanah dan mengumpat dari belakang mobil. "Pelacur! Apa kataku, kamu bersenang-senang dan kencan dengan laki-laki kaya di luar negeri! Tapi kamu selalu bilang nggak punya uang untuk dikirimkan. Kamu pasti sengaja! Dasar pelacur, tunggu saja!"Dia hanya bisa mengumpat dan naik taksi sendirian.Rumah nenek Naya tidak jauh. Sesampainya di sana, Berlina turun da
"Tahu apa kamu?" Wanita tua itu mengganti sasarannya menjadi Yara. "Ibu hamil harus lebih jaga omongan. Pikirkan anak di perutmu.""Cuma ingin uang, 'kan?" Yudha yang berada di samping tiba-tiba berbicara. "Berapa banyak yang kamu inginkan?"Yara dan yang lainnya serempak menoleh.Wanita tua itu menatap Yudha dari atas ke bawah.Gilang segera menghampiri dan berbisik, "Bu, orang ini kaya. Dia punya mobil harga miliaran."Dengan kata lain, minta harga yang tinggi dan ambil keuntungannya."Kami sudah merawat Naya selama bertahun-tahun, menambahkan kekurangan untuk pengobatan Naya. Sekarang Gilang nggak punya pekerjaan yang cocok ...." kata wanita tua itu, berlagak baik."Berapa?" Yudha tampak tidak sabar.Wanita tua itu menggertakkan gigi. "Sepuluh miliar!"Gilang mengangguk penuh semangat dari samping. Jantungnya melonjak kegirangan.Jika mereka benar-benar bisa meraup sepuluh miliar, mereka tinggal menikmati masa depan indah yang tidak ada habisnya.Yara tahu bahwa sepuluh miliar tidak
"Naya ada di atas, ayo naik." Wanita tua memimpin jalan dengan senyum manis yang dibuat-buat.Gilang berjalan paling belakang, takut Yudha kabur.Dalam perjalanan ke atas, Yara beberapa kali memandang Yudha. Yudha tidak terlihat seperti orang yang mudah dimanfaatkan. Namun, apa sebenarnya yang direncanakan pria itu?Setibanya di depan pintu rumah, wanita tua itu tersenyum lagi pada Berlina."Naya sudah nggak bisa bangun dari tempat tidur lagi. Dia jarang gerak, makannya juga berkurang, jadi berat badannya turun."Jantung Berlina langsung berdegup kencang mendengarnya. "Buka pintunya!"Wanita tua itu membuka pintu dengan agak lambat.Dalam sekejap, tercium bau tak sedap. Wanita tua itu pun mengumpat, "Dasar anak sialan, kamu buang air di tempat tidur lagi ya?"Tubuh Berlina terhuyung dan menarik wanita tua itu bersamanya. "Coba kulihat.""Jangan khawatir, tunggu aku masuk membersihkannya dulu." Wanita tua itu dengan santai mengambil lap kotor di sampingnya."Aku sendiri saja." Suara Ber
Berlina menoleh dan melihat Naya memegang ujung bajunya.Anak itu cepat-cepat melepaskan tangannya. Meski masih waspada, tatapan matanya jelas menunjukkan bahwa dia tidak ingin Berlina pergi."Sebentar ya, Ibu mau beli baju dulu buat Naya. Sebentar saja." Berlina membendung rasa pilu dalam hatinya dan segera turun ke bawah."Bagaimana?" Melihatnya keluar, Yara segera menyapanya.Berlina tampak sedang buru-buru. "Aku mau beli baju bersih dulu, dia nggak punya baju ganti.""Kamu ini bilang apa? Baju gantinya ada di lemari semua, nggak perlu beli yang baru. Sini aku carikan," teriak ibu Gilang dengan tidak sabar.Berlina menggertakkan gigi dan memelototi wanita tua itu. "Nggak ada yang bisa dipakai sama sekali. Tunggu nanti, aku selesaikan masalah ini denganmu."Pada saat itu, Revan turun dari mobil dan bergegas menghampiri. "Pak Yudha, ada yang perlu dibantu?""Belikan baju untuk anak-anak ...." Yudha menoleh kepada Yara."Umur tujuh tahun, laki-laki." Yara mengingatkan.Yudha mengangguk
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid