"Kantor pusat TaLa di Meria?"Yara mengangguk."Tapi kamu nggak tahu jalan-jalan di sana. Kamu sedang hamil. Kamu yakin bisa bertahan sendirian?" Siska tidak bisa ikut. Dia harus tetap di sini merawat ibunya."Nggak apa-apa, aku akan bekerja. Dari perusahaan pasti ada perjanjian." Yara membulatkan tekad. "Jangan beri tahu Kak Felix dulu. Aku sudah menolak tawaran TaLa waktu itu. Aku mungkin sudah kehilangan kesempatan."Siska tidak bisa menghilangkan rasa tidak tenang dalam hatinya."Percayalah, nggak apa-apa." Yara memeluknya dengan lembut.Pada saat itu, bel pintu berbunyi. Itu pasti Felix.Yara bangkit membukakan pintu, sekali lagi berpesan agar Siska menjaga rahasianya.Pintu terbuka dan Felix masuk membawa beberapa barang. Saat melihat Yara, dia teringat perkataan Gio semalam dan seketika tersipu malu."Selamat pagi, Kak Felix." Yara menyapanya dan ingin membantunya membawakan barang-barang itu."Nggak usah, aku bisa sendiri." Felix menunduk, bahkan tidak berani menatap Yara."Di
Pagi harinya, Yara pergi seorang diri ke rumah keluarga Lastana untuk menemui Kakek Susilo."Kakek, aku mungkin harus pergi ke luar negeri sebentar." Dia duduk di samping ranjang rumah sakit dan bicara dengan nada enggan sambil mengupas jeruk."Ke luar negeri? Ke mana?" Kakek Susilo juga tahu bahwa keadaannya semakin memburuk. Dia juga sangat tidak ingin menyerah saat ini."Ke Meria." Yara berkata lirih. "Aku mungkin akan pergi selama tiga bulan dulu. Kalau keadaan di sana memang bagus, aku mungkin akan mempertimbangkan untuk tinggal di sana juga."Mata Kakek Susilo memerah untuk beberapa saat. "Rara, perayaan tahun baru tinggal kurang dari sebulan lagi. Apa nggak bisa tunggu sebentar sampai lewat hari itu?"Yara mencoba tersenyum, tetapi senyumannya pahit.Hari perayaan tahun baru adalah hari yang penting bagi orang-orang negara mereka karena melambangkan reuni keluarga dan awal yang baru.Namun, baginya, di manakah rumah dan keluarganya?Satu-satunya anggota keluarga yang dia miliki
Wajah Yara lebih dingin lagi. "Mereka anak-anakku.""Anak-anakmu?" Agnes tertawa jengkel. "Sehebat itukah kamu sampai bisa hamil sendiri tanpa peran laki-laki?"Yara menatap Agnes penuh amarah. Dia tidak menyangka orang ini akan berbalik melawannya secepat itu."Kamu nggak perlu menatapku seperti itu," kata Agnes dingin. "Kamu mengandung darah daging anakku, calon pewaris keluarga Lastana. Mana mungkin aku diam saja?"Dia mengatakan kepada Yara sejelas mungkin, "Kamu cuma punya dua pilihan. Pertama, menikah dengan Felix. Kedua, melahirkan sendiri dan memberikan mereka kembali ke keluarga Lastana.""Mustahil." Yara spontan menolak. "Mereka anak-anakku. Nggak ada yang akan mengambil mereka dariku.""Menikah dengan Felix kalau begitu." Agnes mengerutkan keningnya. "Meskipun aku juga nggak mau, Felix menginginkannya. Aku menghormati keputusannya."Yara merasa hal itu sungguh membingungkan. "Aku nggak akan menikah dengan Kak Felix. Aku nggak mencintai dia. Dia nggak mencintai aku. Nggak ada
Yara duduk bersandar di pintu mobil, berusaha menjaga jarak dengan Yudha.Yudha tentu saja menyadarinya. Dia mengerutkan kening, tapi tidak mengatakan apa-apa."Katanya kamu mau membicarakan sesuatu?" Yara akhirnya bertanya sendiri setelah melihat Yudha diam saja.Yudha mengangkat alis ke arahnya. "Ada apa? Kamu sedang terburu-buru?"Yara berbalik dan hendak keluar dari mobil. "Kalau nggak ada keperluan apa-apa, aku pergi ..."Satu tangan Yara sudah memegang pegangan pintu. Sebelum dia sempat membuka pintu, Yudha bangkit dan menahan tangannya, mencegahnya membuka pintu.Ruang yang semula luas seketika terasa sempit karena Yudha yang mendekat setengah memeluk.Yara tidak terbiasa dengan jarak sedekat itu. Dia mendesakkan diri ke belakang dengan keras dan menatap Yudha penuh waspada. "Apa sebenarnya yang ingin kamu bicarakan?"Yudha menatapnya.Dengan jarak sedekat itu, cahaya berkilauan yang menerpa wajah Yara memperlihatkan rasa tidak suka di matanya.Aroma unik yang hanya dimiliki ole
"Baik." Revan mengalihkan pandangannya, buru-buru menyalakan mobil dan berjalan pergi.Dari kaca spion, Yara terlihat masih berdiri di jalan. Pakaiannya tipis dan dia terlihat lemah tak berdaya.Yudha mengeluarkan ponselnya dan segera mencari nomor Felix."Halo?""Pacarmu hampir mati kedinginan di luar rumah keluarga besar!" Lalu panggilan itu dia akhiri.Felix tertegun sebentar, baru dia menyadari bahwa Yudha sedang membicarakan Yara. Dia pun buru-buru pergi ke arah rumah keluarga besar.Benar saja, dia melihat Yara di pinggir jalan.Yara masuk ke dalam mobil dan mereka berdua pergi bersama.Ketika melewati sebuah persimpangan, Felix melihat sebuah mobil yang diparkir di pinggir jalan dari arah lain. Mobil itu ... mobil Yudha!Melihat Yara telah dijemput, Yudha memejamkan mata dengan lelah. "Kembali ke kantor.""Rara?" Felix melihat tatapan Yara yang hampa. "Kamu ... ketemu Yudha?""Ya, aku pergi menemui kakek, nggak sengaja ketemu dia." Yara terus memandang keluar jendela. Kata-kata
Saat Felix datang, suasananya tampak serius."Apa yang Ibu katakan padamu?" tanya Felix pada Yara tanpa basa-basi.Yara menggeleng. Dia tidak bisa membiarkan Felix melawan Agnes demi dirinya dan anak-anaknya.Dia harus memikirkannya sendiri.Felix mendesah. "Kamu mau pergi ke Meria?"Yara entah kenapa merasa bersalah. Dia mengangguk dan menjelaskan, "TaLa mengundangku belajar di sana dulu. Kandunganmu masih terlalu awal waktu itu, jadi aku menolak.""Ya, ini adalah kesempatan yang bagus, pergilah." Tak disangka, Felix setuju.Mata Siska membelalak kaget. "Kak, kamu mau ikut juga?"Yara seketika menatap Felix dengan gugup. Dia tidak ingin Felix pergi, dia tidak ingin membawa masalah bagi Felix lagi."Pekerjaanku memang nggak ada jadwal pasti setiap hari, tapi aku tetap nggak bisa pergi-pergi sesukaku." Felix tersenyum pada Yara. "Tenang saja, aku nggak akan pergi."Yara menghela napas lega.Tak dapat dipungkiri, Felix merasa sedikit kepahitan dalam hatinya meski dia tersenyum. "Tapi kam
"Iya." Yara setuju sambil menggelengkan kepala tak berdaya.Siska lalu membungkuk dan menepuk-nepuk perut Yara. "Kalian berdua juga nggak boleh nakal, bantu aku menjaga ibu kalian.""Iya, aku bantu jawabkan." Yara benar-benar geli dibuatnya.Dia kemudian menatap Felix. "Kak, aku masuk dulu, ya. Jaga selalu kesehatanmu. Terima kasih banyak untuk beberapa hari ini.""Iya, hati-hati di jalan. Jangan lupa telepon Gio kalau sudah turun dari pesawat." Felix tidak bisa menggambarkan betapa berat hatinya membiarkan Yara pergi.Mereka berdua menyaksikan Yara melewati pemeriksaan keamanan dan menghilang dari pandangan.Siska menatap ekspresi Felix dan bertanya penasaran, "Kak, kamu beneran nggak ikut?""Aku masih ada misi." Felix melihat ke arlojinya dan berpamitan. "Siska, hati-hati menyetir sendirian, aku mau ke kamp.""Iya." Siska tetap merasa ada yang mengganjal di sini. Melihat Felix bergegas pergi, dia berpesan lagi dengan lantang, "Hati-hati."Felix tidak mengatakan secara spesifik misi a
Keesokan paginya, Yara pergi ke kantor pusat TaLa.Tempat itu sangat indah, dengan cita rasa desain yang tinggi. Orang-orang yang masuk dan keluar adalah para fashionista, memamerkan modal desain penuh gaya.Orang yang bertanggung jawab untuk menerima Yara juga berasal dari negara yang sama, bernama Berlina Givani. Wanita itu sedikit lebih tinggi dari Yara, dengan rambut pendek dan kepribadian yang sangat ceria."Selamat datang, Nona Yara, aku sudah lama menjadi penggemarmu." Begitu bertemu, Berlina langsung memeluk Yara erat-erat.Yara mau tak mau merasa tersanjung. "Penggemar?"Berlina mengangguk. "Ya, aku sangat suka karya-karyamu, terutama "Pulau"."Yara tertegun sejenak. Berlina bicara tentang Melanie yang menjiplak karya-karyanya. Tak kusangka, ada orang dari kantor pusat TaLa mengetahui hal itu juga.Dia tersenyum tipis. "Terima kasih.""Sama-sama. Kamu pantas mendapatkannya. Nggak seperti seseorang ..." Berlina mengerutkan bibirnya. "Yang cuma bisa pencuri."Dia berkata lagi di