Tinggal setengah bulan lagi sebelum pertunjukan akhir tahun. Kondisi Yara jelas sudah benar-benar pulih, dan Siska sudah akrab dengan orang-orang yang ada di kamp."Dokter Gio, kamu juga harus pergi ke pertunjukan nanti." Siska juga punya hobi baru, yaitu menggoda Gio."Nggak tertarik." Gio menolak dengan wajah tanpa ekspresi."Ayolah, kaptenmu pasti akan menemani Rara di sana. Aku jadi nggak punya teman." Siska mengangkat alisnya. "Maksudku, teman pria yang ganteng.""Aku saja kalau begitu." Bayu tiba-tiba muncul dari seberang meja."Anak nakal, minggir." Siska terlihat jijik dan terus membujuk Gio. "Dokter Gio, Dokter Gio yang super ganteng, jangan abaikan aku. Membosankan sekali tinggal di kamp setiap hari."Dia menyeret Yara yang berada di sebelahnya. "Rara, bantu aku membujuk dia."Yara tersenyum. "Dokter Gio, kami semua berharap kamu bisa hadir."Gio menyapu pandang ke arah kerumunan orang itu dan akhirnya mendarat di wajah Felix.Felix mengangguk. "Silakan, kamu penasaran 'kan s
Yudha masih bimbang apakah harus menceritakan soal tes DNA tadi kepada Santo."Yudha, ini soal pernikahan waktu itu." Santo mendesah dan mengambil alih pembicaraan. "Paman ingin meminta maaf padamu."Yudha mengerutkan kening. "Kenapa kamu mengizinkan Yara masuk saat itu?""Mungkin aku hilang pikir sejenak." Santo tidak ingin menyinggung soal Zaina. Istrinya itu sudah tiada. Dia tidak ingin orang-orang berspekulasi tentang istri tercintanya.Dia menatap Yudha dengan wajah serius. "Yudha, kapan keluargamu berencana mengulang pernikahannya?""Apa kamu nggak ingin tanya kenapa aku pergi dengan Yara?" Yudha balik bertanya."Apa itu penting?" Santo seolah tak peduli. "Semua orang pasti pernah kebingungan. Asalkan kamu yakin tetap akan menikah dengan Melly."Yudha terdiam.Setelah mengetahui misteri masa lalunya, entah mengapa, dia merasa sedikit goyah untuk menikahi Melanie.Samar-samar dia menyadari bahwa sepertinya ada banyak hal yang perlu dia ketahui.Suatu ketika, Yudha hanya memiliki s
Dia terkadang tidak bisa menerka. Pada saat itu, apa sebenarnya perasaannya terhadap Yara?Melanie kemudian muncul dan mengeluarkan liontin permata itu. Dia menyadari bahwa dia telah mengenali orang yang salah.Dia tidak dapat mengingat kembali seperti apa adegan saat dia pertama mengetahui identitas Melanie. Yang dia ingat dengan jelas adalah perasaannya saat itu.Ternyata Yara benar-benar bukan gadis kecil itu!Hanya inilah satu-satunya pikiran yang ada dalam benaknya saat itu.Setelah itu, Melanie semakin sering muncul, tetapi dirinya tetap tidak menaruh perhatian.Dia bahkan takut dengan kemunculan Melanie saat itu, meskipun dia tidak tahu apa yang dia takutkan.Hari itu akhirnya tiba. Melanie menangis dan berkata bahwa dia tidak bisa memiliki anak, berkata bahwa dia jatuh cinta padanya ... lalu mereka meresmikan hubungan mereka.Seolah-olah semuanya terjadi secara tiba-tiba, tetapi Yudha seperti sudah tahu hal ini akan terjadi.Dia tidak berani menghadapi Yara lagi. Dia mengatakan
Melanie tidak memberi Yudha kesempatan untuk bicara atau waktu untuk memikirkan pertanyaan itu.Dia terus menangis dan berkata, "Pernahkah kamu berpikir bahwa bukan cuma aku yang tahu tentang ini. Bukan cuma Silvia, tapi Zaina juga?"Yudha tertegun mendengar pertanyaan itu dan teringat bahwa Zaina memang sangat baik pada Yara."Jangan lupa, Zaina akhirnya masuk ruang gawat darurat setelah memberikan transfusi darah kepada Yara." Melanie membenamkan wajah di antara lututnya dan menangis.Dia menangis dan mengeluh, "Saat tumbuh dewasa, Zaina selalu menyukai Yara. Dia selalu memikirkan Yara ketika dia memiliki hal-hal baik. Bagaimana dengan saya? Saya tidak mengerti ketika saya masih kecil. Saya hanya berpikir bahwa saya tidak baik cukup dan hanya ingin berperilaku lebih baik, tetapi apakah itu berguna?"Dia menangis semakin keras, "Sebelum meninggal, Zaina hanya memikirkan Yara dan meminta ayahku untuk menjaga Yara dengan baik, tapi Yara berkali-kali menyakiti hati ayahku, pernahkah dia
"Halo semuanya!" Yara memiringkan kepalanya dan tersenyum.Kolom percakapan segera penuh dengan pujian. Beberapa orang yang bermata tajam dapat melihat di ruangan itu ada dua orang pria juga. Mereka pun minta kamera didekatkan pada mereka juga.Namun, Felix tidak bisa muncul karena statusnya yang istimewa, jadi Siska mengarahkan kamera ke Gio."Ini Dokter Gio, pac ... teman baruku. Dia tampan 'kan?"Gio mengenakan kacamata berbingkai emas. Dia terlihat seperti pria elite berpenampilan sempurna saat wajahnya tanpa ekspresi, membuat para penonton memekik.Siska kembali fokus mengobrol dengan para penonton. Siaran langsungnya semakin memanas dan jumlah penonton semakin meningkat.Tepat pada saat itu, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.Yara membuka pintu dan melihat yang ada di luar ternyata Pak Direktur Ken dan seorang wanita bule yang tidak dia kenali.Ken memperkenalkan wanita itu sebagai direktur bagian desain TaLa, bernama Candy. Dia sangat puas dengan hasil kerja Yara kali ini dan
"Nona Yara, karyamu sangat indah, seperti mimpi."Direktur TaLa penuh pujian untuk Yara."Terima kasih atas apresiasinya." Yara tersenyum manis."Nona Yara, saya dengar kamu menolak kesempatan untuk lanjut belajar di kantor pusat kami. Bolehkah saya tahu alasannya?Yara memikirkannya sejenak. "Alasannya pribadi, maaf saya tidak bisa menyebutkannya. Saya belum bisa ke luar negeri dalam waktu dekat. Kalau boleh ...""Sayang sekali." Direktur TaLa menyela Yara, menggelengkan kepala."Mohon maaf." Yara menarik sudut mulutnya. Dia merasakan seseorang menatapnya dari sudut matanya. Dia menoleh dan menatap mata Yudha.Yudha cepat-cepat mengalihkan pandangannya dan berjalan ke belakang Yara dengan wajah seperti biasa.Yara pura-pura tidak terjadi apa-apa. Setelah foto bersama, dia hendak pergi.Namun, Yudha rupanya mengikutinya."Ayo bicara," katanya dengan suara pelan.Yara pura-pura tidak mendengar dan mempercepat langkahnya.Yang mengejutkan, Yudha mengejar dan meraih lengannya, menatapnya
Ternyata setelah hati berubah dingin, sangat susah untuk menghangatkannya lagi.Melihat Yudha yang tetap diam, dia bertanya dengan sabar, "Jadi bicara nggak?"Yudha menatapnya lagi. Dia bisa merasakan ketidaksabaran dalam nada bicara Yara. Apakah dia begitu kesal pada dirinya sekarang?"Ada sesuatu yang menurutku kamu perlu tahu." Kata-katanya perlahan.Yara menunggunya melanjutkan."Pernahkah kamu terpikir bahwa kamu mungkin bukan putri kandung Silvia?" Yudha menatapnya, dengan sentuhan rasa sesak yang tidak terlalu kentara di matanya.Yara tetap tenang dan balik bertanya, "Kamu tahu?""Kamu sudah tahu?" Yudha terkejut."Kalau memang itu yang mau kamu bicarakan, aku bisa pergi sekarang?" Yara hendak melepas jaket itu dan mengembalikannya.Yudha mengerutkan kening. "Kamu nggak ingin mengatakan apa-apa?""Apa yang perlu dikatakan?" Yara tersenyum sinis. "Tentang aniaya Silvia kepadaku, tentang hidupku yang sengsara dan menyedihkan?"Yudha mengatupkan bibirnya. Bukankah dia orang pertama
Di lantai dansa, Siska dan Gio berdansa bersama.Siska pandai berdansa setelah berlatih semasa kuliah. Dia tidak menyangka Gio juga sangat lancar berdansa."Dokter Gio ternyata petualang cinta juga ya." Siska tidak bisa menahan diri untuk tidak menggoda.Gio setengah tersenyum dan berkata dengan nada santai, "Semua orang pernah muda.""Hahaha ...." Siska merasa geli. "Dokter Gio, umurmu belum genap 30 tahun 'kan? Kenapa tingkahmu seperti orang tua?""Anak gadis nggak akan mengerti." Gio menghela napas panjang. "Seseorang mungkin sudah lama meninggal pada usia 27 tahun, dan yang masih hidup sekarang hanya cangkang tak berisi.""Apaan itu!" Siska tampak meremehkan.Setelah berdansa hingga satu lagu selesai, mereka pergi mencari Felix bersama-sama. Tak disangka, Tanto menghadang mereka di tengah jalan."Tuan Lastana ada perlu apa?" Siska menggandeng lengan Gio dan bahkan menyandarkan kepalanya dengan mesra.Tubuh Gio terlihat menegang sejenak, tetapi dia tidak menolak.Tanto mengerutkan k
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid