"Nona Yara, karyamu sangat indah, seperti mimpi."Direktur TaLa penuh pujian untuk Yara."Terima kasih atas apresiasinya." Yara tersenyum manis."Nona Yara, saya dengar kamu menolak kesempatan untuk lanjut belajar di kantor pusat kami. Bolehkah saya tahu alasannya?Yara memikirkannya sejenak. "Alasannya pribadi, maaf saya tidak bisa menyebutkannya. Saya belum bisa ke luar negeri dalam waktu dekat. Kalau boleh ...""Sayang sekali." Direktur TaLa menyela Yara, menggelengkan kepala."Mohon maaf." Yara menarik sudut mulutnya. Dia merasakan seseorang menatapnya dari sudut matanya. Dia menoleh dan menatap mata Yudha.Yudha cepat-cepat mengalihkan pandangannya dan berjalan ke belakang Yara dengan wajah seperti biasa.Yara pura-pura tidak terjadi apa-apa. Setelah foto bersama, dia hendak pergi.Namun, Yudha rupanya mengikutinya."Ayo bicara," katanya dengan suara pelan.Yara pura-pura tidak mendengar dan mempercepat langkahnya.Yang mengejutkan, Yudha mengejar dan meraih lengannya, menatapnya
Ternyata setelah hati berubah dingin, sangat susah untuk menghangatkannya lagi.Melihat Yudha yang tetap diam, dia bertanya dengan sabar, "Jadi bicara nggak?"Yudha menatapnya lagi. Dia bisa merasakan ketidaksabaran dalam nada bicara Yara. Apakah dia begitu kesal pada dirinya sekarang?"Ada sesuatu yang menurutku kamu perlu tahu." Kata-katanya perlahan.Yara menunggunya melanjutkan."Pernahkah kamu terpikir bahwa kamu mungkin bukan putri kandung Silvia?" Yudha menatapnya, dengan sentuhan rasa sesak yang tidak terlalu kentara di matanya.Yara tetap tenang dan balik bertanya, "Kamu tahu?""Kamu sudah tahu?" Yudha terkejut."Kalau memang itu yang mau kamu bicarakan, aku bisa pergi sekarang?" Yara hendak melepas jaket itu dan mengembalikannya.Yudha mengerutkan kening. "Kamu nggak ingin mengatakan apa-apa?""Apa yang perlu dikatakan?" Yara tersenyum sinis. "Tentang aniaya Silvia kepadaku, tentang hidupku yang sengsara dan menyedihkan?"Yudha mengatupkan bibirnya. Bukankah dia orang pertama
Di lantai dansa, Siska dan Gio berdansa bersama.Siska pandai berdansa setelah berlatih semasa kuliah. Dia tidak menyangka Gio juga sangat lancar berdansa."Dokter Gio ternyata petualang cinta juga ya." Siska tidak bisa menahan diri untuk tidak menggoda.Gio setengah tersenyum dan berkata dengan nada santai, "Semua orang pernah muda.""Hahaha ...." Siska merasa geli. "Dokter Gio, umurmu belum genap 30 tahun 'kan? Kenapa tingkahmu seperti orang tua?""Anak gadis nggak akan mengerti." Gio menghela napas panjang. "Seseorang mungkin sudah lama meninggal pada usia 27 tahun, dan yang masih hidup sekarang hanya cangkang tak berisi.""Apaan itu!" Siska tampak meremehkan.Setelah berdansa hingga satu lagu selesai, mereka pergi mencari Felix bersama-sama. Tak disangka, Tanto menghadang mereka di tengah jalan."Tuan Lastana ada perlu apa?" Siska menggandeng lengan Gio dan bahkan menyandarkan kepalanya dengan mesra.Tubuh Gio terlihat menegang sejenak, tetapi dia tidak menolak.Tanto mengerutkan k
Gio segera pergi.Nona Siska memang masih muda dan menarik. Dokter Gio pasti orang yang hebat ya?" Liana memperhatikan Gio pergi dan bicara penuh sindiran.Siska tidak memiliki dendam dengan Liana, tetapi kata-kata Gio barusan jelas ditujukan untuk menyerang Liana.Dia pun harus berhati-hati."Nona Liana, perlu bicara apa denganku?" Dia pura-pura tidak mengerti dan bertanya langsung.Liana menunduk dan tersenyum. "Nona Siska kenapa memusuhiku seperti ini?"Siska tidak berkata apa-apa dan mengerutkan kening karena kesal."Apa Pasha bilang sesuatu sebelum dia mati?" Liana memasang wajah terkejut."Pasha?" Sirene tanda bahaya berbunyi tepat di telinga Siska. "Kamu ... kenapa bisa tahu Pasha?"Tentu saja aku kenal Pasha. Liana berkata dalam suasana hati yang baik, "Lagi pula, aku mengatakan kepadanya secara pribadi bahwa kamu menyembunyikan sesuatu. Sayang sekali, dia salah paham dan mengira kamu adalah tipe wanita yang mau disentuh siapa saja. "Dia mendecakkan lidahnya. "Bodoh sekali, ng
Siska gemetar menahan amarah. Dia tidak menyangka semuanya akan seperti ini.Melihat kelicikan Liana, Siska tak bisa membayangkan sudah berapa kali dirinya diperdaya olehnya.Ketegangan antara Tanto dan Gio semakin mencekam dan kedua belah pihak tidak ada tanda-tanda menyerah."Dok." Siska tidak mau berlama-lama lagi dan menarik baju Gio. "Ayo pergi."Gio mengangguk. "Kamu duluan."Yara dan Felix datang pada saat ini.Melihat wajah merah Siska, Yara langsung menyadari ada yang tidak beres. Dia segera bertanya, "Siska, ada apa?""Ayo pulang, nanti kita bicarakan lagi." Suara Siska bergetar."Oke, oke." Yara mengangguk dan berjalan keluar setengah memeluk Siska.Felix menghampiri dan menepuk pundak Gio. "Kamu antar mereka pulang dulu. Di sini biar aku yang urus."Gio pun beranjak pergi.Tanto begitu marah dan berusaha mengejarnya, tapi Felix menekan pundaknya. Untuk sejenak, pria itu tidak bisa bergerak.Felix melihat Liana duduk di tanah dalam keadaan basah kuyup dan merendahkan suarany
"Mau coba?" Suara Felix dipenuhi antisipasi."Coba? Aku dan Siska?" Gio menatap mata Felix lebih lekat lagi.Cahaya dari bar menerpa wajahnya. Matanya selembut air, di balik kacamata berbingkai emas.Felix tiba-tiba merasa tidak sanggup melanjutkan pembicaraan dan lebih dahulu memalingkan muka.Namun, Gio menepuknya dan memintanya mendekatkan telinga.Meskipun Felix agak enggan berbisik-bisik sesama laki-laki, dia sudah sedikit mabuk dan sangat berterima kasih kepada Gio. Akhirnya, dia mencondongkan kepalanya ke samping dengan patuh.Lalu dia mendengar Gio berkata dengan suara yang dalam, "Membosankan."Felix mengerutkan kening. "Bukannya kamu barusan muji-muji dia setinggi langit, kenapa sekarang malah dibilang membosankan?"Gio merasa malu, "Mereka berdua terlalu rasional, pokoknya membosankan."Dia menatap Felix lagi. "Karena itulah Siska dan Yara bisa berteman baik. Aku dan kamu ... paling nggak bisa dikatakan setengah berteman.""Maksudmu?" Felix memprotes, "Aku kurang rasional di
Karena bertepatan dengan Tahun Baru, rumah keluarga besar Lastana cukup ramai.Ketika Yara sampai, dia menemukan Tanto dan Liana ada di sana. Bahkan Santo dan Melanie pun di sana. Hanya Yudha yang tidak ada, dan dalam hati dia merasa kecewa."Rara datang?" Agnes langsung menyapanya dengan antusias begitu Yara masuk.Yara tersenyum canggung. "Aku ingin menjenguk kakek.""Ayo masuk. Kakek baru saja tidur, tunggu sampai dia bangun lagi." Agnes mempersilakan dia masuk dan mengedipkan mata pada Felix."Rara, ayo masuk. Kita makan siang di sini nanti." Felix merendahkan suaranya. "Anggap saja untuk menemani Kakek. Nafsu makan Kakek nggak terlalu bagus akhir-akhir ini.""Oke." Yara mengikuti ke ruang tamu.Agnes pergi ke dapur untuk meminta makan siang dihidangkan. Di ruang tamu Tanto dan Santo sedang bermain catur, dan Liana sedang mengobrol dengan Melanie.Felix berdiri di belakang Yara dan bertanya dengan lembut, "Kamu mau pergi ke kamarku saja?""Rara, ayo duduk di sini. Kita belum sempat
Namun, memikirkan dua orang gila di lantai bawah membuatnya lebih memilih untuk menunggu di sini.Dia melihat-lihat mainan sebentar sebelum dia mendengar ketukan di pintu.Begitu membuka pintu, dia mendapati bahwa itu adalah Yudha.Yudha melirik ke dalam kamar, tetapi tidak melihat Felix, "Di mana Kak Felix?"Setelah bertanya, dia tahu sendiri jawabannya karena suara gemericik air yang berasal dari kamar mandi.Sekejap, Yudha menarik Yara keluar kamar."Apa-apaan sih?" Lengan Yara terasa sakit karena genggaman Yudha terlalu keras."Baju tidurmu ketinggalan 'kan waktu itu? Yudha beralasan. "Aku menemukannya. Ikuti aku, kamu ambil sekalian.""Baju tidur?" Yara merasa bingung."Baju tidur kuning yang ada gambar bebeknya." Yudha berbalik ke kamarnya. "Cepat ambil. Di sini merusak pemandangan.""Buang saja kalau memang merusak pemandangan." Yara berdiri diam."Kamu yang buang!" kata Yudha memaksa.Yara merasa tak berdaya dan tidak punya pilihan.Begitu masuk, dia hanya berdiri di ambang pin
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid