Yudha tidak berkata apa-apa lagi dan melangkah keluar.Revan menunggu di luar dan segera menyambutnya ketika dia datang."Kamu lihat kakakku tadi?" Yudha bertanya sambil berjalan sangat cepat.Revan ragu-ragu sejenak. Dia merasakan suasana hati Yudha yang sedang kacau dan menjawab dengan suara pelan, "Beberapa jam yang lalu, banyak truk-truk militer berdatangan di sini, tapi saya nggak lihat Tuan Muda Felix."Truk militer?Yudha tersentak berhenti. Mudah saja jika dia ingin mencari seseorang di Selayu. Namun, jika Felix sengaja ingin menghindar darinya ... dia mungkin tidak bisa berbuat apa-apa.Sungguh menyebalkan!Dia memerintahkan Revan dengan suara rendah, "Periksa ke mana semua kendaraan militer itu pergi. Kak Felix membawa pergi Yara.""Baik." Revan mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang sedang dilakukan kakak beradik itu.Di tempat lain, setelah membawa Yara keluar dari rumah sakit, Felix tidak pergi ke rumah sakit bersalin. Tempat itu masih wilayah kekuasaan Grup Lastana d
"Anak-anak ... bagaimana keadaan anak-anak?"Ketika Yara melihat Felix masuk, dia berusaha untuk duduk, meraih lengan pria itu dengan tatapan cemas."Berbaringlah dulu." Felix menenangkannya dengan suara pelan. "Kamu nggak penasaran kamu sedang di mana?"Di telinga Yara, jawaban ini terdengar seperti menghindari pertanyaan. Dia jadi semakin takut. "Jawab pertanyaanku dulu. Anak-anakku ... masih ada?"Dia bahkan tidak berani memikirkannya sama sekali. Dia hanya ingin mendengar jawaban yang pasti."Mereka baik-baik saja." Felix menyadari bahwa Yara akhirnya terlihat lega setelah mendengarnya dan dia menambahkan, "Tapi hanya untuk saat ini."Yara berbaring kembali di tempat tidur, matanya menatap lurus ke atas, seolah kegembiraan atas apa yang baru saja dia dengar telah menghabiskan seluruh sisa energinya.Felix dapat melihat bahwa Yara benar-benar menganggap kedua anak itu lebih penting dari nyawanya sendiri.Dia mendesah pelan. Hatinya terasa agak sesak. Sambil membantu menyelimuti Yara
Felix menendangnya. "Bocah, ngapain kamu menatapku di sini. Siapa yang mengawasi latihan mereka?""Memangnya masih perlu diawasi? Mereka lebih patuh dari anak-anak bebek." Bayu mengelak dengan cerdas. "Tapi kamu. Kamu aneh sekali, membuat semua orang khawatir."Felix mendengus dan mengangkat kakinya keluar dari pintu, menuju ke arah tempat latihan.Bayu mengikuti di belakang. "Kapten, kamu beneran nggak ingin mengaku? Anak-anak pasti penasaran setengah mati. Kalau aku nggak memberi informasi, mereka mungkin nggak akan mendengarkan perintahku lagi."Dia menggelengkan kepalanya sambil mendesah pura-pura. "Melatih pendatang baru itu sangat sulit sekarang. Entahlah apa yang salah dengan kamp pelatihan khusus."Kedua pria itu menemukan tempat untuk duduk di tepi tempat latihan.Felix tidak mengatakan apa-apa, dengan wajah tampak berat.Bayu adalah orang yang cerdas dan telah menjadi bawahannya selama bertahun-tahun. Dia segera bertanya dengan serius, "Kapten, kamu ada masalah? Ceritakan saj
Melihat Felix tidak melanjutkan, Bayu menoleh padanya penuh rasa ingin tahu.Dia melihat bahwa mata Felix tampak dipenuhi rasa penyesalan dan menyalahkan diri sendiri/ Dia tidak menyangka sang kapten yang selalu tampak kuat dan berkuasa itu bisa terlihat seperti ini juga.Tak kuasa menahannya, dia mengulurkan tangan dan menepuk pundak Felix.Baru setelah itu Felix melanjutkan, "Tapi kakak itu terlalu takut. Setelah melihat keluarganya, dia menangis dan mencari penghiburan. Setelah dihibur beberapa saat oleh keluarganya, baru dia ingat. Ada dua orang adik yang masih dalam bahaya."Dia membenamkan kepala dalam di kedua lengannya dan tidak berbicara lagi untuk waktu yang lama."Kapten." Bayu bertanya ragu-ragu setelah beberapa saat, "Jadi, kamu meninggalkan rumah waktu masih enam tahun dan bergabung dengan kamp pelatihan khusus untuk menebus kesalahan yang kamu perbuat saat itu?""Saat itu, adik laki-lakiku baru umur lima tahun. Dia demam tinggi sampai sebulan setelah diselamatkan. Sedang
Melly menatap Yudha meminta bantuan. Dia merasa aneh. Meski Felix sudah memberi tahu Agnes bahwa dia telah melukai Yara, Agnes seharusnya tidak begitu marah.Kecuali .... Dia tiba-tiba mengerti. Pantas saja sikap Agnes terhadap Yara berubah 180 derajat. Ternyata Agnes sudah tahu kalau Yara hamil.Wanita yang menyebalkan ini!"Sana pergi. Pasti tentang pernikahan." Yudha tidak peduli. Matanya mengikuti Felix yang berjalan turun ke bawah.Melanie tidak punya pilihan selain naik ke atas.Begitu masuk ke ruang kerja, Agnes menamparnya sangat keras."Berani-beraninya! Berani-beraninya kamu mengincar garis keturunan keluarga Lastana." Dia berusaha sekuat tenaga untuk merendahkan suara dan menahan emosinya.Melanie menutupi wajahnya. "Kenapa? Bibi nggak setuju Yudha menceraikan Yara? Cuma karena Yara mengandung keturunan keluarga Lastana?"Dia tahu orang seperti apa Yudha itu. Dia tidak akan pernah memberi tahu Agnes tentang dirinya tidak bisa mengandung.Jadi, dia tersenyum. "Cuma masalah ha
Suara Felix terdengar enggan. "Jadi, kamu ingin berubah pikiran?""Menyesal apanya?" Yara menggeleng. "Aku khawatir soal kesehatanku. Aku juga nggak tahu tempat ini dekat dengan kantor catatan sipil atau nggak."Felix diam-diam menghela napas lega."Jangan khawatir. Kalau di hari itu kamu benar-benar ingin pergi, aku akan mengantarmu ke sana, bahkan meski harus kugendong."Yara tertawa kecil. "Kak Felix, setelah aku menceraikan Yudha, sebaiknya jangan dekat-dekat dengan aku. Meskipun cuma untuk membalas budi, aku rasa semua ini sudah sangat cukup.""Nggak cukup!" Felix lanjut mengatur barang-barangnya."Beneran sudah cukup." Karena tubuh yang lemah, suara Yara jadi sangat lembut. "Kita semua masih anak-anak waktu itu. Bahkan kalaupun yang melarikan diri itu aku, belum tentu aku bisa mencari keluargaku secepat itu."Dia menatap Felix dengan tatapan tulus. "Kak, aku nggak pernah menyalahkanmu."Tangan Felix yang sedang memegang pakaian pun terhenti. Urat-uratnya menonjol menahan emosinya
#Percakapan berlanjut dan Teresa bertanya lagi, "Aku dengar dari Felix, kamu baru satu tahun menikah. Bagaimana sebelumnya? Pacaran?"Yara menggeleng."Cuma berteman?"Yara berpikir keras sebelum akhirnya menjawab, "Nggak juga, mungkin ... sebatas kenalan saja."Teresa merasa semakin aneh setelah mendengarkannya. "Lalu kapan kamu jatuh cinta padanya?"Jika tidak ada cinta yang mendalam, tidak mungkin Yara sangat menyayangi bayi-bayi dalam kandungannya sampai sejauh ini."Mungkin cinta pada pandangan pertama waktu aku kelas 2 SMA. Mungkin ... waktu pelatihan bela negara saat baru masuk kuliah. Atau mungkin waktu dia mulai pacaran dengan orang lain."Berkali-kali, Yara sendiri tidak tahu kapan dia benar-benar jatuh cinta pada Yudha.Teresa mengerutkan keningnya. Mendengarkan kata-kata Yara, dia bisa membayangkan betapa rumit hubungan mereka."Bagaimana dengan dia? Apa dia pernah mencintaimu?"Yara terdiam beberapa saat, lalu berkata sambil tersenyum masam, "Dulu aku mengira dia pernah me
Yara menghabiskan satu tahun berikutnya dengan penuh penderitaan.kuliahnya, kehidupannya, hubungannya, semuanya kacau balau. Memikirkan masa itu masih membuat dadanya sesak seperti tercekik.Teresa menyadari bahwa Yara mulai terlihat sangat kuyu. Dia pun bertanya penuh khawatir, "Rara, kamu nggak apa-apa? Ada yang sakit?"Yara menggeleng. "Aku baik-baik saja."Namun, wajahnya benar-benar sangat pucat.Felix bergegas menghampiri, "Oke, ayo pulang saja."Yara mengangguk. Dia tidak menyangka, sampai sekarang, mengingat masa-masa itu masih sangat memengaruhi pikirannya.Dia tersenyum meminta maaf pada mereka berdua. "Aku baik-baik saja, maaf membuat kalian khawatir."Setelah mengantarnya pulang ke rumah sakit, Teresa pergi bersama Felix.Teresa mendesah dan menggelengkan kepalanya. Dia selalu lurus sepanjang hidupnya. Bertemu calon suami dari kencan buta, lalu menikah satu tahun kemudian, kemudian memiliki seorang anak dua tahun kemudian. Semuanya seperti mengikuti jadwal, jadi dia tidak
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid