Kedua orang ini sangat kasihan.Setelah sampai di kamar Zaina, Gita memberi beberapa instruksi dan meminta Yara untuk menjaga Zaina.Di tempat lain, Agnes mengerutkan kening tidak senang saat melihat Yara pergi."Ada apa? Ke mana Yara?""Nggak tahu." Melanie menggelengkan kepalanya. "Sepertinya dia kenal perawat itu. Mungkin mereka berteman."Wajah Agnes semakin jelek, tapi dia juga sangat waspada."Lalu ada apa perawat itu memanggilmu?""Oh, dia dari kamar ibuku. Aku memintanya untuk membantu menjaga ibuku. Dia cuma bilang, keadaan ibuku nggak ada masalah.""Baguslah kalau begitu." Agnes mengangguk puas. "Malah kamu yang berbakti kepada kakek. Kakek pasti mengerti nanti."Sambil berbicara, pintu ruang gawat darurat terbuka, dan dokter yang merawat serta yang lainnya keluar.Semua orang segera berkumpul."Dokter, bagaimana kondisi Ayah saya?" tanya Agnes."Masa-masa kritis sudah terlewat untuk saat ini. Tapi seperti yang kalian semua tahu, dia terkena serangan jantung. Jangan sampai em
"Yudha, maafkan aku."Melanie tidak punya pilihan selain menggunakan satu hal untuk menutupi hal lain.Dia menatap Yudha memohon, "Aku memberi tahu Silvia kalau kamu pasti akan menikah denganku dan memintanya pergi makan malam untuk membuat keributan. Aku menjanjikan sesuatu padanya, jadi dia bersedia membantuku."Yudha membuangnya, tatapan matanya semakin dingin dan menakutkan."Kenapa kamu menjadi seperti ini?"Melanie jatuh ke lantai dan menangis."Entahlah, aku cuma terlalu takut. Aku terlalu takut kehilangan kamu.""Aku dulu masih kecil, belum mengerti apa-apa. Tapi setelah tumbuh dewasa, aku mengerti, aku kehilangan sesuatu yang sangat berharga."Dia mengangkat kepalanya dan meraih celana Yudha dengan wajah berlinang air mata."Yudha, kamu bukan perempuan. Kamu nggak ngerti apa arti anak bagi kami. Nggak bisa punya anak ... sama saja merampas hak-hakku sebagai perempuan. Yudha, aku cuma punya kamu."Yudha menunduk menatapnya, memikirkan masa lalu, dan akhirnya mendesah.Dia mengu
Akhirnya, setelah mendengar kata-kata ini, Zaina tidak tahan lagi, matanya terpejam dan dia jatuh pingsan.Yara begitu ketakutan sampai dia menampar Melanie tanpa pikir panjang."Dia ibumu, kenapa kamu marahi dia?"Seluruh tubuh Melani terpaku.Dalam waktu setengah jam, dia ditampar oleh dua orang.Dia masih bisa terima Yudha menamparnya, tapi punya hak apa Yara sialan ini?Dia segera tersadar dan pikirannya menggila, ingin menyerang Yara. Dia benar-benar mengabaikan Zaina yang pingsan.Yara menariknya sambil berteriak memanggil seseorang di luar pintu.Si perawat Gita segera datang. Kebetulan dia sedang shift malam kali ini."Ada apa di sini?" Ini pertama kalinya dia melihat seseorang berkelahi tepat di kamar pasien, bahkan salah satunya adalah anak dari pasien itu.Melanie cepat-cepat mengeluarkan kemampuan aktingnya dan langsung menangis, "Gita, orang ini melarangku masuk ke kamar ibuku. Dia ingin membunuh ibuku.""Gita," kata Yara dengan penuh harapan, tetapi dia tidak berusaha mem
Yara terus menunggu di luar kamar.Dia berjalan mondar-mandir dengan cemas, dalam hati berdoa untuk Zaina.Setelah beberapa saat, dia melihat Melanie kembali bersama Santo."Paman!" sapa Yara dengan sopan, tetapi segera menyadari ada yang salah dalam tatapan Santo kepadanya.Santo melangkah maju dengan agresif dan langsung menampar Yara.Kemarahannya meluap-luap. "Rara, aku kecewa padamu."Yara tidak tahu kesalahan apa yang dia lakukan. Dia menutupi wajahnya dan menatap Santo. "Paman, ada apa?""Rara, pulang saja." Melanie di samping berkata, "Ibuku sudah pingsan. Kamu ingin membuatnya marah dengan cara apa lagi?"Mata Yara membelalak kaget. Dia pun mengerti seketika bahwa Melanie telah memfitnahnya.Dia ingin menjelaskan kepada Santo, tapi Melanie menariknya pergi dengan paksa."Kalau kamu ingin ibuku tetap hidup, pergi dari sini!" ancam Melanie dengan kejam."Apa maksudmu?" Yara tidak mengerti kegilaan Melanie. "Dia ibumu!"Melanie mengerutkan bibirnya dan berkata, "Bagus kalau kamu
Siska masih ragu-ragu. "Maksudku, Kakek Susilo pasti sudah bangun."Dia menganalisis situasinya dengan rasional. "Bukannya kamu bilang cuma ada Agnes di sana? Itu artinya semua orang sudah pulang. Mana mungkin mereka pulang kalau Kakek Susilo belum bangun?""Benar juga." Yara mengangguk setuju."Rara, kamu belum tidur semalaman 'kan?" Siska menghiburnya dengan lembut. "Mending kamu tidur dulu sebentar, wajahmu jelas sangat kecapekan."Yara memang lelah. Tubuhnya tegang seperti seutas tali yang ditarik dari kedua ujungnya kuat-kuat."Oke." Yara berganti pakaian, makan sedikit bubur, dan pergi tidur.Matahari sudah hampir terbit. Sebelum berangkat kerja, Yudha menyempatkan pergi ke rumah sakit terlebih dahulu.Dia masih belum melihat Yara."Bu," tanya Yudha pada Agnes dengan nada tidak senang. "Yara nggak ke sini?""Kamu ingin dia ke sini?" Agnes merendahkan suaranya. "Yudha, kakekmu akhirnya menerima perceraianmu. Kamu ingin membuatnya pingsan lagi?"Dia memperingatkan Yudha, "Dia nggak
Kakek Susilo melambaikan tangan padanya.Melanie cepat-cepat mendekat dengan riang."Di bawah tempat tidur, ada pispot yang kupakai tadi malam. Buangkan isinya, lalu bersihkan dan bawa kembali."Pispot?Melanie tertegun sesaat sebelum akhirnya menyadari benda apa itu, lalu dia langsung terlihat seperti ingin muntah.Dia jelas merasa bahwa Kakek sedang menggodanya, jadi dia menampakkan wajah sedih dan tidak senang."Kenapa? Nggak mau?" Kakek tidak terkejut. "Jadi ingat, selama aku hidup, jangan mimpi bisa masuk keluarga Lastana."Melanie meledak-ledak. "Kenapa kamu ingin mempersulit aku? Kenapa kamu nggak minta Rara membersihkan pispot untukmu?"Dia tidak percaya Yara mau melakukan hal rendahan seperti itu.Alhasil, Kakek Susilo tersenyum lembut. "Kamu pikir Rara belum pernah melakukannya?""Saat awal menikah dengan Yudha, dia pertama tinggal di rumah keluarga besar. Dia membantuku membersihkan pispot dan bahkan mencuci seprai kotorku dengan tangannya sendiri.""Di matamu, aku cuma lela
"Ya." Ketika Melanie kembali, dia melihat Silvia datang."Kak, aku minta maaf padamu atas anakku Rara." Silvia menyeka air matanya. "Anak itu ... aku terlalu memanjakan dia."Santo sama sekali tidak menyukai Silvia. Ditambah marah pada Yara, dia sangat tidak ingin bertemu Silvia.Dia mengibaskan tangannya dan menyuruhnya pergi. "Sudah, kamu pulang saja. Zaina perlu istirahat sekarang. Kamu nggak perlu datang ke sini lagi.""Ya sudah Kak, kamu jaga kesehatan." Silvia mengerutkan bibirnya."Ayah, aku antarkan Bibi Silvia keluar dulu ya." Melanie ikut pergi mengikuti.Keduanya pergi untuk bicara di koridor."Melly, ibumu masih mungkin bangun lagi?" tanya Silvia ingin bergosip.Melanie mendengus. "Lebih baik mati saja.""Nak, kamu ini." Silvia diam-diam bersukacita dalam hati dan merendahkan suaranya. "Melly, ibu punya kabar baik untukmu. Agnes menghubungiku dan memberi tahu bahwa Yudha akan menceraikan Yara.""Beneran?" Melanie sangat gembira. Agnes tampaknya sudah menerima dia sepenuhnya
Setelah Yara menerima pesan itu, dia bergegas ke rumah sakit tanpa menduga akan bertemu Melanie di lantai pertama."Mau apa lagi kamu ke sini?" kata Melanie seolah bersikap sangat hati-hati."Bukan urusanmu." Yara tidak mau memedulikan dia dan berusaha berjalan secepat mungkin.Namun, Melanie penuh kecurigaan dan bersikeras mengikutinya. "Kamu masih ingin ditampar ayahku lagi?"Yara menoleh tajam. "Tenang saja, aku ke sini bukan untuk menjenguk Bibi.""Oh, jadi Kakek Susilo?" Melanie menyeringai mengejek. "Yara, kamu nggak punya malu ya? Keluarga Lastana nggak menerima kedatanganmu, kamu masih nggak tahu malu juga datang ke sini?"Yara berhenti dan berbalik untuk menatapnya, "Melanie, aku datang ke rumah sakit bukan untuk menjenguk Kakek. Gita memanggilku ke sini."Dia benar-benar muak. "Bisakah kamu berhenti mengikutiku?"Gita?Seluruh tubuh Melanie kaku karena waspada dan dia buru-buru berlari menarik Yara."Ibuku sudah bangun.""Benarkah?" Yara tampak terkejut.Melanie mengangguk. "
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid