Gita sedang duduk di meja kerjanya, sepertinya sedang menulis sesuatu. Saat Yara masuk, dia hanya mengangkat kepalanya dan melirik sekilas."Ah! Sebenarnya nggak ada apa-apa. Aku barusan mau telepon biar kamu nggak perlu datang.""Hah?" Yara merasa aneh.Gita menunduk dan memaksakan senyuman. "Sebenarnya, darah yang sesuai dengan golongan darah bibimu di bank darah hampir habis. Kalau kamu bisa, aku mau ....""Nggak masalah." Yara segera menarik lengan bajunya. "Ambil sebanyak-banyaknya kalau butuh."Hidung Gita terasa perih. "Oke, langsung ke ruang donor darah saja. Aku masih ada pekerjaan lain, jadi nggak bisa menemanimu ke sana.""Oke." Yara selalu merasa ada yang salah dengan Gita, jadi dia memastikan sebelum pergi, "Gita, kamu baik-baik saja?""Ah?" Gita tertawa datar. "Nggak apa-apa, aku baik-baik saja. Cepat pergi."Setelah Yara menjauh, Gita melihat ke arah sudut lemari dengan pandangan marah.Tak lama kemudian, Melanie keluar dari belakang. Setelah dia berpisah dengan Yara bar
Tanto tertawa marah. "Yudha, kamu cemburu?""Jangan asal bicara." Yudha menatap Tanto dingin. "Aku cuma mau mengingatkan, Yara sebentar lagi bukan bagian dari keluarga Lastana. Sebaiknya kamu jaga jarak darinya."Tanto mengangkat sudut kanan bibirnya. "Bukan bagian dari keluarga Lastana. Lebih-lebih lagi, bukan istrimu. Bukan urusanmu dia mau pergi dengan siapa."Setelah sengaja menyulut kemarahan Yudha, dia memasukkan tangan ke dalam sakunya dan bersenandung, berjalan memasuki kamar rumah sakit.Wajah Yudha sangat muram. Dia tadi baru saja tiba saat melihat Tanto dan Yara meninggalkan rumah sakit sambil bergandengan.Dia baru tahu mereka cukup dekat juga, bahkan sampai pergi sarapan bersama.Kobaran api yang dia sendiri tidak mengerti langsung menyala dalam hatinya.Tentu saja dia tidak cemburu. Dia hanya takut mereka akan mengundang gosip jika ada orang lain yang mengetahui interaksi mereka.Yudha percaya bahwa sebagai kepala keluarga, dia berhak menjaga nama baik keluarga Lastana. I
"Bukan begitu," sela Melanie. "Dok, di keluarga saya sedang ada masalah. Saya harap ibu saya belum akan bangun untuk saat ini.""Apa?" Faris bahkan lebih terkejut lagi. "Apa maksudnya?""Dok, tolong bantu saya." Melanie menangis pelan. "Saya sedang ada salah paham dengan ibu saya saat ini. Kalau dia bangun, konflik di antara kami hanya akan semakin besar."Dia meraih lengan baju Faris memohon-mohon, "Dok, saya cuma perlu sedikit waktu untuk menemukan bukti. Bisakah Anda membantu saya?"Memanfaatkan situasi ini, dia memasukkan kartu itu ke dalam saku Faris.Faris merasa agak malu, tetapi godaan 2 miliar itu jauh terlalu besar. "Saya cuma perlu memastikan dia nggak bangun, 'kan?"Melanie mengangguk. "Ya, terima kasih, Dokter Faris."Faris mengikuti Melanie menemui Zaina. Ketika dia tiba di bangsal, Gita juga ada di sana."Dok," kata Gita gembira. "Bibi Zaina sudah pulih dengan baik dan menunjukkan tanda-tanda akan bangun.""Benarkah? Coba diperiksa dulu." Faris pura-pura memeriksa Zaina
Yara berpikir lama sebelum sampai pada kesimpulan, "Aku nggak bisa menebaknya sama sekali."Dia menjelaskan, "Di keluarga Lastana, Paman selalu dianggap sebagai orang yang paling nggak bisa diandalkan dan nggak punya ambisi. Tapi menurutku selama ini ... dia bukan orang semacam itu."Siska mengangguk sambil berpikir, "Benar juga, memang sulit dimengerti.""Hah?" Yara merasa aneh. Siska harusnya sangat jarang berhubungan dengan Tanto, kenapa dia bisa berkata sulit ditebak?"Maksudku ...." Siska memulai keahlian komentar kasarnya. "Dia jelas-jelas bukan orang baik, tapi dia sempat perhatian padamu. Benar-benar sulit dimengerti."Yara tertawa. "Kalau begitu, mungkinkah aku bisa minta tolong dia memberikan lukisan ini kepada Kakek?""Harusnya sih bisa." Siska mengangguk setuju dan tidak bisa menahan diri mengata-ngatai, "Masih mending daripada diberikan kepada Yudha yang buta itu.""Oke, begitu saja." Yara segera menghubungi Tanto dan mereka berdua membuat janji bertemu.Keesokan harinya,
"Gambar pakai tangan kiri?" Safira terkesima. "Rara, kamu terlalu hebat."Yara mendesah pelan. "Kehidupan memaksaku."Candra mendecakkan lidahnya dua kali. "Aku pun nggak mungkin bisa walaupun hidup memaksaku sampai mati."Safira ikut mengangguk. "Aku setuju itu."Yara mengobrol sebentar dengan mereka, lalu pergi ke kantor direktur untuk menemui Ken.Ken masih ingat Yara dari acara tahunan Baruy. "Selamat datang kembali.""Terima kasih." Yara tidak menyangka akan berjalan selancar ini."Bagaimana kalau kamu mulai jadi manajer?" Ken sepertinya sudah menunggu-nunggu hari ini. "Posisi Anita dulu aku serahkan padamu.""Benarkah?" Ini adalah bonus yang tidak terduga. Yara mengucapkan terima kasih berulang kali.Safira dan yang lainnya juga ikut berbahagia untuknya. Yara menjadi bos baru mereka, akhirnya mereka tidak perlu diperintah-perintah Melanie lagi.Malam harinya, mereka memanggil Anita untuk merayakannya bersama.Saat mereka berpisah, Anita memberikan sebuah undangan kepada Yara. "Ak
"Nggak peduli siapa yang mengawali di antara mereka, mereka nggak bisa bersama."Yudha mengucapkan kalimat itu, lalu melenggang pergi diliputi amarah.Dia kembali ke vila. Setelah memikirkannya, akhirnya dia tidak bisa menahan diri dan menelepon Yara."Kamu pulang sekarang."Pulang?Yara tidak begitu mengerti maksudnya. "Pulang? Pulang ke mana?""Ke vila!" Rahang Yudha terkatup."Haha ...." Yara tertawa pelan. "Kamu salah, itu bukan rumahku."Yara hampir menutup telepon."Kamu ke sini sekarang juga, tanda tangan perjanjian cerai!" Malam ini juga Yudha harus menemui Yara."Besok saja nggak bisa?" Yara ragu-ragu. "Sekarang sudah larut malam.""Aku mau ke luar kota besok. Kamu ke sini sekarang juga." Lalu Yudha menutup teleponnya."Bajingan! Sok ngatur-ngatur!" Yara mengumpat beberapa kali pada ponselnya. Namun, dia tetap berencana pergi sekalian membawa lukisannya.Karena Tanto tidak mau membantu, dia hanya bisa meminta bantuan Yudha.Satu jam kemudian, Yara tiba di ruang tamu vila."Nyo
"Berengsek!" Yara mengambil lukisannya dan berjalan keluar.Dia benar-benar gila ingin meminta bantuan Yudha. Pria berengsek ini hanya akan menginjak-injak harga dirinya.Suara Yudha terdengar dari jauh di belakangnya. "Aku minta sopirku mengantarmu.""Nggak perlu." Yara menolak dengan keras.Namun, sepuluh menit kemudian, dia berakhir duduk di dalam mobil Yudha.Tumpangan gratis, kenapa harus ditolak?Di dalam mobil, mengingat Yudha menuduhnya berhubungan dengan pamannya, Yara begitu marah sampai harus menyeka air matanya.Setelah begitu lama, pria ini masih tidak punya sedikit pun kepercayaan padanya.Busuk!Sepertinya dia harus meluangkan waktu untuk mengirimkan lukisan sendiri kepada Kakek.Pada hari Sabtu, Yara pergi ke pernikahan Anita.Cuacanya sangat bagus. Pesta pernikahan itu tidak mengundang banyak orang. Keseluruhannya sederhana, tetapi disiapkan sepenuh hati dan jiwa. Yara dapat melihat bahwa Jeremy sangat perhatian.Pasangan pengantin baru ini selalu tersenyum tipis dan s
Setelah Siska mengirimkan pesan tersebut, dia lalu melerai perkelahian tersebut."Berhenti, berhenti!"Dia sangat cemas, tetapi mata kedua pria itu sama-sama merah menyala. Dia tidak berani melangkah maju sama sekali.Pagi ini, tak lama setelah Yara keluar, Tanto menelepon dan meminta Siska keluar untuk menemaninya.Beberapa hari terakhir ini, karena pernikahan Anita, Siska kembali memikirkan dirinya sendiri. Suasana hatinya sedang kacau, sehingga dia berbohong dan berkata dia pergi menemani Yara.Siapa sangka, Tanto sudah menunggu di bawah rumahnya dan sudah tahu Yara keluar sendirian.Tak lama kemudian, Tanto mengetuk pintu.Setelah bercumbu sebentar, saat Siska hendak mandi, ada lagi yang datang mengetuk pintunya, dan ternyata itu Yudha.Tanpa diduga, yang membuka pintu Tanto.Siska tidak tahu bagaimana mereka mulai berkelahi. Saat dia keluar dari kamar mandi, dia melihat pintunya terbuka dan Tanto sudah tidak di dalam.Setelah berganti pakaian, dia mendengar seseorang berteriak-ter
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid