Tanto tertawa marah. "Yudha, kamu cemburu?""Jangan asal bicara." Yudha menatap Tanto dingin. "Aku cuma mau mengingatkan, Yara sebentar lagi bukan bagian dari keluarga Lastana. Sebaiknya kamu jaga jarak darinya."Tanto mengangkat sudut kanan bibirnya. "Bukan bagian dari keluarga Lastana. Lebih-lebih lagi, bukan istrimu. Bukan urusanmu dia mau pergi dengan siapa."Setelah sengaja menyulut kemarahan Yudha, dia memasukkan tangan ke dalam sakunya dan bersenandung, berjalan memasuki kamar rumah sakit.Wajah Yudha sangat muram. Dia tadi baru saja tiba saat melihat Tanto dan Yara meninggalkan rumah sakit sambil bergandengan.Dia baru tahu mereka cukup dekat juga, bahkan sampai pergi sarapan bersama.Kobaran api yang dia sendiri tidak mengerti langsung menyala dalam hatinya.Tentu saja dia tidak cemburu. Dia hanya takut mereka akan mengundang gosip jika ada orang lain yang mengetahui interaksi mereka.Yudha percaya bahwa sebagai kepala keluarga, dia berhak menjaga nama baik keluarga Lastana. I
"Bukan begitu," sela Melanie. "Dok, di keluarga saya sedang ada masalah. Saya harap ibu saya belum akan bangun untuk saat ini.""Apa?" Faris bahkan lebih terkejut lagi. "Apa maksudnya?""Dok, tolong bantu saya." Melanie menangis pelan. "Saya sedang ada salah paham dengan ibu saya saat ini. Kalau dia bangun, konflik di antara kami hanya akan semakin besar."Dia meraih lengan baju Faris memohon-mohon, "Dok, saya cuma perlu sedikit waktu untuk menemukan bukti. Bisakah Anda membantu saya?"Memanfaatkan situasi ini, dia memasukkan kartu itu ke dalam saku Faris.Faris merasa agak malu, tetapi godaan 2 miliar itu jauh terlalu besar. "Saya cuma perlu memastikan dia nggak bangun, 'kan?"Melanie mengangguk. "Ya, terima kasih, Dokter Faris."Faris mengikuti Melanie menemui Zaina. Ketika dia tiba di bangsal, Gita juga ada di sana."Dok," kata Gita gembira. "Bibi Zaina sudah pulih dengan baik dan menunjukkan tanda-tanda akan bangun.""Benarkah? Coba diperiksa dulu." Faris pura-pura memeriksa Zaina
Yara berpikir lama sebelum sampai pada kesimpulan, "Aku nggak bisa menebaknya sama sekali."Dia menjelaskan, "Di keluarga Lastana, Paman selalu dianggap sebagai orang yang paling nggak bisa diandalkan dan nggak punya ambisi. Tapi menurutku selama ini ... dia bukan orang semacam itu."Siska mengangguk sambil berpikir, "Benar juga, memang sulit dimengerti.""Hah?" Yara merasa aneh. Siska harusnya sangat jarang berhubungan dengan Tanto, kenapa dia bisa berkata sulit ditebak?"Maksudku ...." Siska memulai keahlian komentar kasarnya. "Dia jelas-jelas bukan orang baik, tapi dia sempat perhatian padamu. Benar-benar sulit dimengerti."Yara tertawa. "Kalau begitu, mungkinkah aku bisa minta tolong dia memberikan lukisan ini kepada Kakek?""Harusnya sih bisa." Siska mengangguk setuju dan tidak bisa menahan diri mengata-ngatai, "Masih mending daripada diberikan kepada Yudha yang buta itu.""Oke, begitu saja." Yara segera menghubungi Tanto dan mereka berdua membuat janji bertemu.Keesokan harinya,
"Gambar pakai tangan kiri?" Safira terkesima. "Rara, kamu terlalu hebat."Yara mendesah pelan. "Kehidupan memaksaku."Candra mendecakkan lidahnya dua kali. "Aku pun nggak mungkin bisa walaupun hidup memaksaku sampai mati."Safira ikut mengangguk. "Aku setuju itu."Yara mengobrol sebentar dengan mereka, lalu pergi ke kantor direktur untuk menemui Ken.Ken masih ingat Yara dari acara tahunan Baruy. "Selamat datang kembali.""Terima kasih." Yara tidak menyangka akan berjalan selancar ini."Bagaimana kalau kamu mulai jadi manajer?" Ken sepertinya sudah menunggu-nunggu hari ini. "Posisi Anita dulu aku serahkan padamu.""Benarkah?" Ini adalah bonus yang tidak terduga. Yara mengucapkan terima kasih berulang kali.Safira dan yang lainnya juga ikut berbahagia untuknya. Yara menjadi bos baru mereka, akhirnya mereka tidak perlu diperintah-perintah Melanie lagi.Malam harinya, mereka memanggil Anita untuk merayakannya bersama.Saat mereka berpisah, Anita memberikan sebuah undangan kepada Yara. "Ak
"Nggak peduli siapa yang mengawali di antara mereka, mereka nggak bisa bersama."Yudha mengucapkan kalimat itu, lalu melenggang pergi diliputi amarah.Dia kembali ke vila. Setelah memikirkannya, akhirnya dia tidak bisa menahan diri dan menelepon Yara."Kamu pulang sekarang."Pulang?Yara tidak begitu mengerti maksudnya. "Pulang? Pulang ke mana?""Ke vila!" Rahang Yudha terkatup."Haha ...." Yara tertawa pelan. "Kamu salah, itu bukan rumahku."Yara hampir menutup telepon."Kamu ke sini sekarang juga, tanda tangan perjanjian cerai!" Malam ini juga Yudha harus menemui Yara."Besok saja nggak bisa?" Yara ragu-ragu. "Sekarang sudah larut malam.""Aku mau ke luar kota besok. Kamu ke sini sekarang juga." Lalu Yudha menutup teleponnya."Bajingan! Sok ngatur-ngatur!" Yara mengumpat beberapa kali pada ponselnya. Namun, dia tetap berencana pergi sekalian membawa lukisannya.Karena Tanto tidak mau membantu, dia hanya bisa meminta bantuan Yudha.Satu jam kemudian, Yara tiba di ruang tamu vila."Nyo
"Berengsek!" Yara mengambil lukisannya dan berjalan keluar.Dia benar-benar gila ingin meminta bantuan Yudha. Pria berengsek ini hanya akan menginjak-injak harga dirinya.Suara Yudha terdengar dari jauh di belakangnya. "Aku minta sopirku mengantarmu.""Nggak perlu." Yara menolak dengan keras.Namun, sepuluh menit kemudian, dia berakhir duduk di dalam mobil Yudha.Tumpangan gratis, kenapa harus ditolak?Di dalam mobil, mengingat Yudha menuduhnya berhubungan dengan pamannya, Yara begitu marah sampai harus menyeka air matanya.Setelah begitu lama, pria ini masih tidak punya sedikit pun kepercayaan padanya.Busuk!Sepertinya dia harus meluangkan waktu untuk mengirimkan lukisan sendiri kepada Kakek.Pada hari Sabtu, Yara pergi ke pernikahan Anita.Cuacanya sangat bagus. Pesta pernikahan itu tidak mengundang banyak orang. Keseluruhannya sederhana, tetapi disiapkan sepenuh hati dan jiwa. Yara dapat melihat bahwa Jeremy sangat perhatian.Pasangan pengantin baru ini selalu tersenyum tipis dan s
Setelah Siska mengirimkan pesan tersebut, dia lalu melerai perkelahian tersebut."Berhenti, berhenti!"Dia sangat cemas, tetapi mata kedua pria itu sama-sama merah menyala. Dia tidak berani melangkah maju sama sekali.Pagi ini, tak lama setelah Yara keluar, Tanto menelepon dan meminta Siska keluar untuk menemaninya.Beberapa hari terakhir ini, karena pernikahan Anita, Siska kembali memikirkan dirinya sendiri. Suasana hatinya sedang kacau, sehingga dia berbohong dan berkata dia pergi menemani Yara.Siapa sangka, Tanto sudah menunggu di bawah rumahnya dan sudah tahu Yara keluar sendirian.Tak lama kemudian, Tanto mengetuk pintu.Setelah bercumbu sebentar, saat Siska hendak mandi, ada lagi yang datang mengetuk pintunya, dan ternyata itu Yudha.Tanpa diduga, yang membuka pintu Tanto.Siska tidak tahu bagaimana mereka mulai berkelahi. Saat dia keluar dari kamar mandi, dia melihat pintunya terbuka dan Tanto sudah tidak di dalam.Setelah berganti pakaian, dia mendengar seseorang berteriak-ter
Mereka kembali duduk di sofa pada saat yang bersamaan. Tidak ada yang berbicara, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.Yunita masuk ruang tamu lagi, membawa kotak obat. Dia dapat merasakan ada suasana aneh di antara mereka berdua.Dia ragu-ragu sejenak dan berkata, "Nyonya, ini kotak obatnya.""Biar aku saja." Pikiran Yara benar-benar tidak karuan. Berbagai macam hal yang tidak dia inginkan, tetapi semuanya di luar kendalinya.Siska tidak punya kencan buta sama sekali. Dia berhubungan dengan Tanto.Jadi, beberapa waktu lalu, Tanto berkali-kali perhatian padanya karena Siska.Namun ... apakah Tanto akan menikah dengan Siska? Apakah keluarga Lastana akan menerima Siska?Memikirkan hal ini, Yara merasa semakin kesal. Tangannya sedikit kasar saat menekan luka Yudha.Yudha tersentak kesakitan dan segera menghindar. "Rara Lubis, kamu ingin membunuh suamimu?""Maaf." Yara memutar matanya ke arah Yudha. Para pria di keluarga Lastana tidak ada yang baik-baik."Biar kutegaskan, urusan Pama