Setelah menutup telepon, Yara kembali sibuk.Waktu hampir habis. Untuk memastikan kuantitas dan kualitas, dia hanya bisa mengorbankan waktu istirahatnya.Memikirkan panggilan telepon tadi, dia mengutuk anjing itu dengan kejam tiga kali!Alhasil, setengah jam kemudian, saat dia mulai mendapatkan inspirasi, ponselnya berdering lagi.Pesan dari Yudha."Turun."Yudha bersandar di mobil dan menatap Hotel Yasmine di depannya.Biaya menginap di hotel bintang tiga pas-pasan ini tidak lebih dari 600 ribu untuk satu malam.Matanya naik lantai demi lantai, akhirnya menetap di lantai 8.Kamar 802 yang sebelah mana?Dalam perjalanan kemari, Yudha sangat marah, dia bahkan sudah siap menggerebek mereka di ranjang. Kalaupun dia bercerai, dia juga ingin reputasi Yara hancur.Namun, ketika dia benar-benar sampai di depan hotel, dia menyadari bahwa dia tidak ingin naik sama sekali.Tidak sama sekali.Pasti karena masalah harga diri.Bagaimanapun juga, dia adalah pria dengan status, penampilan, dan bahkan
Yara mencoba keras untuk menjaga suaranya tetap tenang."Yara." Melanie tiba-tiba melemparkan kembali dua sketsa itu. "Sebagai pendatang baru, aku harap kamu punya pola pikir yang tepat."Yara mengerutkan kening.Melanie melanjutkan, "Kerjakan tugasmu dulu. Kamu nggak perlu berpartisipasi dalam pertunjukan ini."Begitu kata-kata ini keluar, mata keempat seniman lainnya membelalak kaget.Safira yang pertama berdiri dan mencoba melawan. "Bu Melanie, Rara memang punya banyak pekerjaan akhir-akhir ini. Tolong beri kesempatan beberapa hari lagi.""Benar, Bu Melanie, mohon toleransinya," sahut yang lain.Melanie melirik ke tiga orang lainnya."Aku harap kalian paham bahwa aku adalah direktur di perusahaan. Kalian tim pertama yang aku pimpin secara pribadi."Aku pasti akan memperjuangkan kesempatan terbaik kalian di pertunjukan ini. Jadi, kalian harus tahu apa yang harus dan tidak harus kalian lakukan.Safira ingin mengatakan hal lain, tetapi Yara menariknya.Maksud Melanie sangat jelas. Dia
Seminggu berlalu cepat. Yara dan Safira mengirimkan empat sampel bersama-sama."Rara, kamu pasti bisa jadi perwakilan perusahaan kita kali ini."Setelah mereka kembali, semua orang langsung bergegas memberi ucapan selamat kepada Yara."Jangan bilang begitu. Desainmu juga bagus-bagus, cuma gayanya saja yang beda."Yara agak malu menerima pujian."Sekarang bebannya beralih ke tim produksi. Detail-detailnya bisa ditangkap semua nggak ya?"Jangan khawatir, waktunya setengah bulan. Kamu bisa pergi periksa perkembangannya ke sana kapan saja. Aku yakin nggak akan ada masalah.""Oh ya, mau pergi merayakannya nanti malam?"Mereka bertiga menatap Yara secara bersamaan."Oke, aku yang traktir."Yara setuju tanpa pikir dua kali. Dia sudah lama ingin mencari kesempatan untuk berterima kasih kepada mereka.Safira menyarankan untuk memanggil Anita juga.Yara langsung menelepon Anita. "Kak Anita, sedang ada waktu? Aku mau ngomong sesuatu.""Apa?" Anita masih seperti biasanya, menghargai kata-katanya s
"Oke, sepakat!"Mereka menunggu taksi di pinggir jalan dan Anita meminta Yara pergi dulu.Begitu Yara membuka pintu mobil, dia mendengar seseorang memanggil namanya."Rara! Rara!"Yara menoleh dan tidak menyangka ternyata itu adalah Silvia.Anita melirik Yara dan bertanya, "Kamu kenal dia?""Ibuku." Yara menggerakkan bibirnya dengan enggan.Dia tahu kepulangannya harus tertunda. "Kak Anita, kamu pulang dulu."Anita tertegun sejenak. "Aku ikut nyapa ibumu sebentar juga.""Nggak usah, nggak apa-apa kok. Kak Anita, cepat pulang. Sopirnya sudah nunggu."Yara mendorongnya masuk ke dalam taksi dan menunggu mobilnya pergi sebelum dia berjalan ke arah Silvia.Dia tidak menyangka akan bertemu Silvia di sini. "Kenapa kamu di sini?""Yara, Ibu kangen. Masa nggak boleh aku ketemu kamu?"Mata Silvia berbinar.Yara merasa aneh. "Bagaimana kamu tahu aku ada di sini?"Seperti dugaannya, Silvia terhenti karena pertanyaan itu. Tanpa menjawab, dia menarik Yara dan berkata, "Ikuti aku.""Mau ke mana?" Yar
Keesokan paginya, Yudha menunggu satu jam di depan hotel, tetapi Yara tidak kunjung muncul.Akhirnya dia tidak tahan lagi dan langsung menuju kamar 802.Alhasil, Yara masih tidak keluar juga setelah mengetuk pintu cukup lama.Petugas pembersih yang lewat bertanya padanya dengan hati-hati, "Pak, Anda mencari Nona Yara?"Yara sudah tinggal di sini cukup lama dan jadi akrab dengan para petugas kebersihan."Dia sudah keluar?" tanya Yudha dingin."Rasanya belum," jawab wanita pembersih itu sambil mengingat-ingat. "Nona Yara sepertinya tidak pulang tadi malam."Yudha mengerutkan keningnya. "Kalau ... laki-laki yang tinggal dengannya? Dia nggak pulang juga?""Hah?" Wanita pembersih itu tidak begitu mengerti. "Cuma ada satu orang yang tinggal di kamar 802, Nona Yara.""Dia tinggal sendirian?" Yudha agak terkejut.Petugas kebersihan itu menggelengkan kepalanya. "Sendirian. Saya belum pernah lihat orang lain datang ke sini. Nona Yara sepertinya terlalu sibuk dengan pekerjaan dan selalu berangkat
Panggilan dari Melanie.Tanpa sadar, Yudha merasa tidak ingin mengangkat panggilan itu, tetapi panggilannya masih terus berdering sampai dia sampai di pintu lift.Dia tidak punya pilihan selain mengangkatnya."Yudha ... terjadi ... terjadi sesuatu ..."Suara Melanie gemetaran, terdengar jelas bahwa dia sedang menangis."Apa yang terjadi?""Rara, Rara ... dia menyayat pergelangan tangannya lagi!"Yudha terhuyung dan hampir menjatuhkan ponselnya.Tangannya berpegangan di dinding. Ketika dia memejamkan mata, matanya dipenuhi warna merah darah dan napasnya terasa seolah sedang dicekik."Yudha, cepat kemari. Kami sudah di Rumah Sakit Pusat, cepat kemari!""Oke, aku ke sana sekarang juga."Yudha menutup teleponnya dan butuh waktu lama untuk menggerakkan kakinya dan masuk ke dalam lift.Menyayat pergelangan tangannya lagi?Kali ini pura-pura juga atau bukan?Wanita ini benar-benar gila!Ketika mereka tiba di rumah sakit, Silvia menangis sesenggukan di koridor dan Melanie mencoba menenangkanny
"Siapa? Ada apa?"Silvia terbangun ketakutan, seakan separuh jiwanya hilang.Dia berteriak pada Yara. "Kamu gila apa lagi hah?"Yara tampak acuh tak acuh dan wajahnya sedikit kelam. "Apa kamu nggak ingin menjelaskan?""Menjelaskan apa?"Silvia membuang muka dengan rasa bersalah."Kamu minum terlalu banyak tadi malam dan terus mengatakan kamu tidak ingin bercerai. Aku mengirimmu ke atas untuk beristirahat, tapi aku tidak menyangka kamu akan melakukan sesuatu yang bodoh."Retorikanya hampir sama seperti sebelumnya.Namun, pada saat itu, dia sedang sangat sedih dan pergi minum bersama teman-teman sekelasnya ... Sedangkan kali ini, dia dalam keadaan sadar dan diculik ke rumah keluarga Lubis."Aku minum cuma sedikit tadi malam."Yara menatap dingin kepada Silvia. "Aku jelas-jelas ingat, kamu dan dua orang prialah yang membuatku pingsan.""Ngomong apa kamu ini?" Silvia berteriak lagi. "Pikiranmu pasti masih belum sadar sepenuhnya."Silvia tidak mau berhenti menyangkal. Yara pun malas bicara
Zaina terdiam di tempat dengan raut wajah kaget. Dia tidak menyangka Yara mempunyai golongan darah panda."Kak Zaina?" Silvia berjalan perlahan-lahan membawa makanan seperti baru saja keluar membeli makan. "Kenapa kamu di sini?"Zaina segera melangkah maju dan menarik Silvia. "Dokter, ini ibu pasien. Golongan darah mereka pasti sama, 'kan? Pakai darah darinya."Sebelum dokter sempat bicara, Silvia menolak."Mana bisa?"Dokter dan Zaina menoleh terkejut pada saat yang bersamaan."Maksudku, aku sedang kurang sehat dan minum banyak obat akhir-akhir ini. Aku takut ada yang salah kalau pakai darah dariku."Zaina tampak agak malu.Dokter bertanya langsung. "Golongan darah Ibu B dengan RH negatif?""Bukan." Silvia menggeleng."Itu golongan darah saya," kata Zaina tiba-tiba dari sebelahnya. "Pakai darah saya.""Jangan!" Tanpa diduga, Melanie juga datang mencarinya.Dia melangkah maju dan meraih lengan Zaina. "Bu, mana bisa pakai darahmu. Kamu lupa bagaimana kesehatanmu akhir-akhir ini?""Melly