Yara sungguh terkejut.Dia tidak mengerti kenapa orang yang sudah memindahkan barang-barangnya masih begitu sering datang.Sekarang dia jadi merasa seperti terpergok selingkuh."Kak Pram, terima kasih untuk hari ini."Yara bicara singkat saja. Dia hanya berharap Pramudya segera pergi.Tak diduga, Pramudya ingin menghampiri dan menyapa saat melihat Yudha."Kak Senior masih ingat aku?"Dia satu tahun lebih tua dari Yara dan Siska, serta satu tahun lebih muda dari Yudha.Namun, Yudha bahkan tidak melihat ke arah Pramudya. Langsung berbalik masuk rumah.Yara menahan kekesalannya dan meminta maaf kepada Pramudya berulang kali."Nona Yara," ucap Pramudya agak ragu. "Sebagai orang luar, aku memang tidak berhak berkomentar, tapi ...."Dia melirik pintu dan berkata, "Sebaiknya Nona Yara mulai pikirkan rencana masa depan tentang pernikahan ini."Yara mengerutkan bibir, merasa agak canggung. Dia menunggu sampai mobil Pramudya pergi sebelum kemudian masuk ke rumah."Sudah cukup bersenang-senang?"
Yara melirik hasil karya Melanie dan tak kuasa menahan diri mengeluh dalam hatinya. "Yudha, kamu buta sekali!"Saat meninggalkan kantor Melanie, Anita menoleh ke arah Yara. "Apa yang kamu sukai dari pria itu?""Hah?" Yara sejenak bingung diberi pertanyaan tiba-tiba."Dasar estetikanya saja nggak ada. Jiwa senimu sudah habis dimakan cinta?"Yara tertawa dan menggelengkan kepalanya.Anita menggandeng Yara ke dalam kantor dan menyerahkan sebuah formulir pendaftaran."Ini salah satu kompetisi desain terbaik di negeri ini. Perusahaan kita cuma bisa mengirim satu orang. Aku berhasil memenangkan posisi itu untukmu."Yara merasa terharu. "Kak Anita ....""Nggak usah terima kasih." Anita kembali menampilkan sikap sok-nya. "Pulang sebagai juara satu lebih berarti daripada kata-kata apa pun."Dia menatap Yara lekat-lekat. "Yara, aku tahu kamu punya cukup kekuatan untuk melakukannya.""Ya." Yara mengangguk tegas. "Kak Anita, jangan khawatir. Aku janji akan memberikan yang terbaik.""Yang mau diiku
Tangan Yara gemetaran memegang ponselnya. Jatuh dalam keputusasaan seolah jatuh ke dalam gua es yang sangat dingin.Melanie melanjutkan, "Rara, aku barusan mendapat beberapa sketsa bagus. Kamu tertarik mau lihat sebagai referensi?"Yara menggertakkan giginya. "Melanie, kamu benar-benar membuatku muak!""Rara, aku cuma ingin membantu."Suara Melanie berubah panik.Samar-samar Yara mendengarnya berkata, "Yudha, beneran, aku cuma niat membantu dia."Panggilan itu segera ditutup. Dia tidak menyangka Melanie sengaja menelepon di depan Yudha. Sungguh licik."Nyonya?" Yunita tampak khawatir."Mulai sekarang, jangan bukakan pintunya kalau Silvia datang."Yara hanya mengucapkan kata-kata itu dan naik ke lantai atas.Dia sedang menunggu. Menunggu Melanie menghubunginya lagi.Benar saja. Satu jam kemudian, Melanie mengirimkan alamat yang ternyata adalah tempat pemandian air panas.Yara segera menyadari bahwa Melanie takut dia akan merekam bukti.Dia sekali lagi dibuat takjub akan kemampuan wanita
"Apa yang terjadi?" Anita bertanya langsung ke intinya.Yara dilanda bimbang sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kak Anita, aku ... nggak jadi ikut kompetisi desain itu."Anita mengernyitkan dahinya. "Ada masalah apa?"Yara memandang ke sungai dan menghela napas dalam-dalam. "Melanie mengambil rancangan desainku."Dia dan Anita bekerja keras selama sepuluh hari dan penyerahannya harus dilakukan besok pukul delapan. Mereka tidak mungkin bisa mulai dari awal lagi.Anita tidak berkata apa-apa. Dia juga menatap ke sungai di kejauhan.Keduanya terdiam. Hanya terdengar suara desiran angin sungai.Beberapa saat kemudian, Anita berkata perlahan, "Nggak apa-apa, keputusanmu sudah benar."Yara menatapnya, terkejut.Anita melanjutkan, "Melanie pasti mengancammu dengan desain itu, tapi kamu nggak mau kompromi. Begitu?""Kak Anita, maafkan aku."Suara Yara tercekat."Rara." Anita memandangnya dengan wajah sangat serius. "Keputusanmu sudah benar.""Tapi ...."Anita menepuk pelan bahu Yara. "Rara, kes
Hari itu Yara jalani dengan kebingungan dan kehampaan.Saat waktu pulang kerja tiba, Safira menepuk lengannya dan berkata, "Rara, jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri."Sebelum Anita pergi, dia menjelaskan banyak hal kepada semua orang tentang Yara. Safira serta yang lainnya tidak bermaksud menyalahkan Yara.Namun, semakin mereka seperti ini, Yara semakin merasa tidak nyaman, merasa tidak bisa membantu Anita."Rara, kamu bisa pergi ke Mistique nggak malam ini? Kak Pram yang traktir!"Pesan Siska datang di waktu yang tepat."Oke."Yara saat ini benar-benar ingin mabuk.Sesampainya di Mistique, Siska hari ini jelas berdandan secara khusus.Penampilannya memang sudah diberkati dari sananya, dengan kulit putih dan lembut. Kecantikan bawaannya tetap terpancar meski tanpa riasan.Hari ini dia mengenakan kaus pendek berwarna hijau muda yang dipadukan dengan celana denim berwarna terang. Dia tampak seperti anak kuliahan. Orang yang melihatnya pasti tidak ingin mengalihkan pandangan."Sisk
Yara sudah punya niat mabuk-mabukan malam ini. Namun, dia tidak menyangka. Saat dia benar-benar menginginkannya, dia justru tidak bisa mabuk."Siska, aku nggak berguna." Dia meraih tangan Siska. "Kamu tahu? Gara-gara aku, Kak Anita mengundurkan diri."Siska ikut merasa pilu. "Rara, jangan sedih. Aku nggak tahu persis apa yang terjadi. Tapi, Kak Anita pasti melakukan ini karena dia merasa itu sepadan demi kamu."Yara tertegun sejenak dan merasa perkataan Siska masuk akal juga.Yang harus dia lakukan sekarang bukanlah menyerah dan mabuk-mabukan, tetapi menyemangati diri dan menstabilkan posisinya di Baruy.Mungkin suatu saat nanti, dia bisa mengundang Anita kembali dengan identitas lain."Aku mengerti, Siska." Tadinya dia minum banyak karena ingin mabuk, jadi sekarang dia sangat ingin ke kamar mandi."Rara, aku temani." Siska mengikutinya berdiri."Nggak usah, aku nggak mabuk."Yara memberinya tatapan yang mengisyaratkan padanya agar memanfaatkan kesempatan berduaan dengan Pramudya.Sisk
Yudha berdiri di pintu masuk koridor.Dia melihat Yara dan Pramudya berturut-turut memasuki kamar mandi, jadi dia entah kenapa mengikuti mereka.Di belakangnya ada musik yang bergemuruh keras dan di depannya ada pemandangan pria dan wanita dengan tubuh saling berdekatan.Dia tahu seharusnya dia segera pergi, tetapi kakinya terasa seperti dipaku."Yudha, tolong aku! Tolong aku!"Yara masih berteriak sekuat tenaga. Cahaya yang tidak jauh darinya bersinar terlalu terang, membuatnya tidak bisa melihat ekspresi Yudha dengan jelas."Tolong ... aku?"Yudha merasa ada yang tidak beres. Begitu dia melangkah maju, ada yang menarik lengannya."Yudha, kenapa kamu di sini?"Melanie melirik ke lorong seakan tidak sengaja, lalu cepat-cepat menutup matanya."Yudha, ayo kembali. Jangan lihat."Yara menyaksikan tanpa daya saat Yudha ditarik pergi.Air mata menggenang di matanya dan seketika dia berubah menjadi boneka yang tak berdaya di bawah kendali orang lain.Yudha pergi.Yudha pergi begitu saja.Sek
Melanie tidak berkata apa-apa dan mengajak orang itu ke pojokan di belakang Mistique."Itu sih gara-gara kamu nggak berguna. Kalau Yara tertarik padamu, mana mungkin dia menolak begitu keras?"Pramudya tersenyum sinis dan berkata dengan nada menghina, "Sisa uangnya bisa dikirim kapan?""Besok." Melanie akhirnya memberi peringatan. "Ingat, kamu nggak boleh datang kepadaku di masa depan. Kalau sampai masalah ini terungkap, aku punya banyak cara untuk membunuhmu."Pramudya memandangi kepergiannya, lalu mendengus.Beberapa hari yang lalu, wanita yang dulunya mahasiswi tercantik di kampus tiba-tiba datang padanya dan memintanya untuk mendekati Yara. Wanita itu berjanji akan memberinya satu miliar.Merayu wanita adalah keahliannya, tak terkecuali istri Yudha Lastana.Pada hari dia bertemu kembali dengan Yara dan Siska, dia tahu bahwa Siska tertarik padanya. Jadi, dia memanfaatkan Siska untuk mengajak Yara berkencan lagi dan lagi.Setiap kali bertemu Yara, dia akan memberitahu Melanie.Puncak
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid