Melanie?Beberapa saat, Yara tidak bergerak."Mau kutemani?"Anita di sebelahnya tiba-tiba berbicara.Yara menggelengkan kepalanya penuh rasa terima kasih. "Nggak apa-apa, pergi sendiri saja."Ruang kantor Melanie sangat indah dan mewah. Bunga-bunga selalu diganti setiap hari, memancarkan keharuman ringan. Dinding kacanya menghadap separuh kota.Setiap detailnya menunjukkan tinggi statusnya di mata perusahaan.Yara berdiri tegak di depan meja kerjanya. "Bu Melanie, ada yang bisa dibantu?""Rara, selamat datang kembali di perusahaan." Melanie memasang senyum di wajahnya.Yara mual melihatnya. "Bu Melanie, kita sedang di kantor. Panggil aku Yara."Berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Selain itu, tolong jangan panggil aku Rara sama sekali. Hubungan kita nggak sedekat itu.""Pfft!" Melanie tertawa tanpa rasa jengkel. "Rara, kamu selalu kekanak-kanakan.""Kalau nggak ada urusan lain, aku keluar sekarang."Yara terlalu malas untuk memedulikan dia dan berjalan pergi."Yara." Melanie kembali b
Anita menugaskan pesanan baru padanya. "Kerja yang baik mulai sekarang.""Terima kasih, Kak Anita, aku keluar dulu."Kemajuan di tempat kerja memberi Yara sedikit suntikan energi.Setelah kembali ke tempat kerjanya, dia mengerahkan seluruh kemampuan untuk bekerja. Hari pun berlalu cepat.Saat pulang kerja, orang-orang mulai mengucapkan selamat tinggal padanya. Akhirnya, dia bukan lagi orang yang dianggap tidak ada.Setelah keluar dari gedung perusahaan, Yara melihat Yudha datang menjemput Melanie.Yudha sedang berdiri di samping mobil dan Melanie sedang berjalan menuju kursi samping pengemudi.Tanpa ragu, Yara langsung beranjak ke sana sambil berteriak dan berlari sekuatnya. "Suamiku, kamu datang menjemputku?"Dalam sekejap, wajah orang-orang yang tadinya iri pada Melanie berubah kaget.Sorot mata Yudha dan Melanie menjadi kejam seperti ingin memangsa.Yara mengabaikan mereka dan langsung masuk ke dalam mobil, duduk di kursi samping pengemudi.Dia memandang Melanie yang masih tertegun
"Ah!"Yudha menandaskan pedal rem dan mobil tiba-tiba berhenti. Yara begitu ketakutan hingga jiwanya hampir terbang keluar."Kamu gila?" Yara menatapnya kaget."Belum habis-habis juga perkaranya?"Yudha menatapnya dengan pandangan penuh rasa jijik, hina dan tidak sabar."Kamu masih belum paham bagaimana kamu bisa kembali bekerja di Baruy?"Yara merasa napasnya sesak. "Apa maksudmu?""Kalau Melly nggak memohon ke perusahaan dan membelamu, apa menurutmu kamu bisa kerja lagi?""Ini yang dia katakan padamu?"Suara Yara sedikit tercekat. "Jadi, kamu percaya apa saja yang dia katakan? Semua kata-kataku bohong?""Kalau memang begitu kenyataannya?"Yudha menatapnya dingin. "Dengan alasan apa aku harus percaya padamu?"Yara memejamkan mata dan bersandar di kursi dalam keputusasaan.Dia ingin bertanya pada Yudha, kenapa dia memercayai Melanie?Namun, dia tahu jawabannya yaitu karena Yudha mencintainya.Yudha menyadari air mata yang mengalir deras di pipi Yara dan entah kenapa dia merasa lebih ke
Malam harinya, dia menerima pesan yang sangat mengejutkan dan tidak biasa dari Silvia."Rara, kenapa kamu nggak pulang dan berkumpul bersama ibumu akhir-akhir ini? Kamu masih marah sama Ibu? Ibu minta maaf. Pulanglah besok, beri Ibu kesempatan untuk menebus kesalahan."Yara sempat ragu. asil tes DNA-nya sepertinya akan keluar besok. Kebetulan dia juga perlu pergi keluar.Jadi, dia menjawab: "Oke."Keesokan harinya, Yara bangun pagi, siap-siap, lalu pulang ke rumah keluarga Lubis.Dia tidak menyangka Silvia sangat antusias, seperti orang yang sama sekali berbeda."Rara, Ibu dengar kamu sudah bekerja. Bagaimana? Pekerjaannya lancar?"Yara mengangguk. "Lancar.""Rara, Ibu kasihan sama kamu. Kamu belum pernah kerja sebelumnya. Kalau nggak bisa, berhenti kerja juga nggak apa-apa."Yara tercengang. "Berhenti kerja? Siapa yang mau menghidupi aku?""Ibumu bisa menghidupi kamu." Silvia meraih tangan Yara dan berkata, "Rara, Ibu sudah memikirkannya. Kalau kamu berhenti bekerja, Ibu akan mengirim
"Rara?"Suara yang sangat lembut terdengar dari belakang.Yara segera menutup hasil tes itu dan melihat ke belakang."Bibi?"Dia tidak menyangka akan bertemu Ziana Hermawan, ibu Melanie.Saat ini, Ziana mengenakan gaun rumah sakit, tanpa riasan, wajahnya tampak sangat pucat serta lemah.Saat melihat bahwa orang yang di depannya ini benar-benar Yara, dia langsung tersenyum bahagia. Matanya melengkung karena senyuman, terlihat sangat indah."Ternyata benar kamu. Aku takut tadi, kukira salah orang."Ziana bertanya dengan lembut, "Ada apa? Rara sakit?""Nggak." Yara menggelengkan kepalanya. "Cuma cek kesehatan biasa."Ekspresinya rumit dan entah kenapa hidungnya terasa sakit seperti hendak menangis.Setelah insiden pesta ulang tahun itu, dia menghindari paman dan bibinya. Dia terlalu malu untuk berhadapan dengan mereka.Ini pertama kalinya dia dan Ziana bertemu setelah lebih dari setahun.Dia tahu yang sebenarnya sekarang. Namun, mana mungkin dia tega memberi tahu Ziana?"Syukurlah kalau k
Tebakan Yara tepat. Melanie adalah anak perempuan dari Silvia dan putra ketiga keluarga Lubis.Keputusan terbesar yang pernah diambil Silvia dan suaminya dalam kehidupan ini adalah menukar kedua anak itu setelah Yara lahir.Melanie mengetahui yang sebenarnya ketika dia berusia tujuh atau delapan tahun.Dia menikmati hidup dengan dua pasang orang tua.Ketika Yara datang untuk menguji DNA, kebetulan Melanie juga datang menjenguk Ziana. Jadi, Melanie menggantikan sampel Yara dengan miliknya sendiri.Meskipun ini adalah kehidupan yang dicuri, Melanie tidak akan pernah melepaskannya."Melly?" Ziana kembali."Bu!" Melanie meletakkan kopinya dan mendekati Ziana untuk menggandengnya. "Kamu pergi-pergi lagi, bikin aku khawatir."Senyuman lembut muncul di wajah Ziana. "Pas banget tadi ketemu Rara. Kami ngobrol sebentar."Gerakan Melanie terhenti dan dia tidak menjawab."Melly," lanjut Ziana. "Kamu dan Yudha ....""Bu!" Melanie menyela kata-kata Ziana. "Aku harus menikah dengan Yudha. Dan juga, j
"Ngajak berantem?"Kebetulan Siska perlu meluapkan kemarahannya.Tubuhnya lebih tinggi dari adiknya dan dia menjambak rambut gadis itu. "Biar kutunjukkan padamu seperti apa rasa sakit yang sebenarnya.Mereka pun segera bergumul dan berkelahi. Jeritan adik Siska menggema di seluruh penjuru Mistique.Orang-orang yang menonton juga semakin banyak."Stop! Berhenti berkelahi!" Yara melangkah maju untuk menghentikan perkelahian mereka dan beberapa kali terkena pukulan salah sasaran dari adik Siska.Mereka berdua sama-sama bisa berkelahi. Yara tidak mampu melerai."Biar kubantu."Suara bernada rendah dan memikat tiba-tiba terdengar.Yara menengok ke belakang dan melihat seorang pria yang tinggi dan kurus meraih kedua tangan adik Siska. "Berhenti berkelahi."Yara juga buru-buru mendekap Siska. "Sudah, jangan marah. Ayo pergi.""Kenapa?" Siska menggertakkan gigi dan masih mencoba melempar tinjunya. "Kenapa kita yang pergi? Mereka saja yang pergi!"Ketika melihat pria itu, raut wajah adik Siska
"Berani-beraninya dia?"Wajah Yudha tampak menyiratkan kemarahan mendalam dan dia berdiri, hendak pergi."Yudha, kamu mau ke mana? Nggak jadi makan?""Aku mau pulang sekarang. Besok pagi, akan kuseret Yara untuk menyelesaikan perceraiannya."Yudha menggertakkan gigi dan berjalan keluar. "Dia sudah nggak punya alasan untuk menolak. Aku ingin lihat masih bisa ngomong apa lagi dia."Di dalam Mistique, meski suasana hati Yara buruk, dia tahu batas kemampuan minumnya dan tidak minum terlalu banyak.Namun, dia tidak menyangka dia tetap muntah-muntah dan kehilangan kesadaran.Siska menatapnya cemas. "Rara, aku antar kamu pulang, ya? Kamu kelihatan kurang sehat."Yara mengangguk setuju dan tampak menyesal. "Siska, lain kali aku traktir kamu makan besar."Siska mengantar Yara sampai ke gerbang kompleks."Aku bisa masuk sendiri, sekalian cari udara segar."Yara mengucapkan selamat tinggal pada Siska dan berjalan pulang perlahan menuju rumah keluarga Lastana.Begitu memasuki pintu, Yunita menyapa