"N-nggak apa-apa kok." Yara merasa hatinya diremas-remas dan cepat-cepat menggelengkan kepala.Benar juga. Melanie pulang, tentu saja dia akan menemui Yudha secepatnya.Atau mungkin Yudha pergi menjemputnya di bandara.Tidak salah, orang yang paling bahagia dengan kepulangannya pasti adalah Yudha.Tidak hanya Yudha, tetapi juga Silvia, keluarga Lastana .... Semua orang menantikan kepulangannya."Syukurlah kalau kamu nggak keberatan." Melanie meraih tangan Yara dengan penuh perhatian.Yara tanpa sadar mengelak, lalu dia mendongak dengan rasa bersalah, tetapi tidak ada sesirat pun ekspresi menyalahkan di wajah Melanie.Dia tersenyum ringan. "Kalau sesuatu terjadi padamu, Yudha dan aku akan merasa sangat bersalah."Yara merasa dadanya sesak, hampir tidak bisa bernapas."Rara, aku tahu nggak seharusnya aku pulang, apalagi mengirim pesan itu ....""Nggak," bantah Yara, tiba-tiba tersulut sesuatu.Mata Melanie mulai berkaca-kaca."Kukira aku nggak akan pernah pulang lagi seumur hidup. Kukira
Yara berjalan ke jendela dan mengangkat panggilan itu."Sudah pulang dari rumah sakit?" tanya pria itu dengan suara dalamnya yang menghanyutkan."Sudah," jawab Yara.Setelah lama tidak mendengar suaranya, Yara tiba-tiba menyadari bahwa dia sangat merindukan Yudha.Keduanya terdiam beberapa saat, lalu berbicara bersamaan, "Perjanjian ....""Kamu duluan," ucap Yara terlebih dahulu."Perjanjian cerainya sudah aku tanda tangani." Suara Yudha mengalun perlahan. "Aku sedang di luar kota beberapa hari ini ....""Oke, beri tahu aku kalau kamu sudah pulang, kita pergi selesaikan prosesnya secepatnya."Panggilan ditutup dari sana.Benar-benar tidak ingin mendengar satu patah kata yang tidak perlu.Yara tersenyum pahit dan meletakkan ponselnya.Siska dapat menebak siapa yang menelepon dan isi panggilannya.Dia tidak tahu harus apa untuk menghibur Yara, jadi dia harus mengganti topik pembicaraan. "Rencanamu apa setelah ini?""Siska," panggil Yara dengan nada tidak enak. "Aku boleh numpang di rumah
Setelah kembali ke rumah Siska, Yara memberi tahu sahabatnya itu tentang kejadian tadi. Mereka berdua bersama-sama menelusuri di Internet dan dengan segera menemukan apa yang disebut karya asli itu.Total ada lima lukisan dan kelimanya memiliki kemiripan 95 persen dengan yang dikirimkan Yara ke Baruy. Semuanya meraih lima penghargaan yang sangat bergengsi di industri ini.Atas nama Lindari.Siska merasa sulit memercayainya. "Kamu kenal Lindari ini?""Nggak." Yara menggelengkan kepalanya. "Sepertinya bukan nama asli.""Benar. Seaneh-anehnya, pencuri lukisan itu nggak mungkin orang dari luar negeri." Lalu Siska bertanya lagi pada Yara, "Lukisan aslimu disimpan di rumah keluarga Lubis?"Yara mengangguk."Punya foto lukisan aslinya?""Ada!"Seketika Siska mendapat semangatnya kembali. "Urusannya gampang kalau begitu. Kirimkan foto-fotomu ke juri kompetisi itu dan minta mereka mengganti pemenangnya."Dia berpikir sejenak, kemudian menambahkan, "Lalu kirimkan ke forum desainer besar. Mungkin
"Rara." Melanie menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak bisa, nggak bisa diperbaiki.""Rara, kamu tahu aturan di industri desain. Kalau aku mengaku ... karierku akan hancur total."Yara masih tidak rela. "Tapi Melanie, kalau nggak diperbaiki, aku ....""Kamu ingin masuk ke Baruy, 'kan?" Melanie menyeka air matanya. "Serahkan masalah ini padaku.""Tapi ...." Yara tidak ingin masuk dengan nama plagiator."Rara." Melanie tampak penuh penyesalan. "Karena insiden antara kamu dan Yudha, aku nggak bisa menggambar apa pun, jadi aku khilaf dan membuat kesalahan besar."Dia menatap Yara dengan penuh emosi. "Bisakah kamu memaafkan aku kali ini? Aku percaya kamu pasti bisa membuktikan dirimu setelah masuk Baruy."Yara bimbang ingin berbicara. Dia sudah menyebabkan penderitaan untuk Melanie satu kali. Dia tidak bisa lagi melihat karier Melanie hancur karena masalah ini."Ya sudah, kalau begitu aku minta tolong padamu untuk urusan Baruy." Dia akan membuktikan kemampuan dirinya di masa depan.Melanie
Melanie sibuk menyapa rekan-rekan kerjanya dan tidak melihat Yara. Setelah diingatkan Yudha, rasa tidak senang melintas sekilas di matanya.Begitu banyak orang keluar gedung bersama-sama, tetapi Yudha tetap bisa menemukan dia?Giginya terkatup dalam diam, lalu dia memaksakan senyum dan mengejar Yara."Rara, tunggu." Dia meraih lengan Yara. "Rara, kita sudah sepakat mau merayakan bersama, kenapa kamu menyelinap pergi?""Nggak usah, aku ...." Yara tidak ingin pergi sama sekali. "Kamu belum lama pulang, aku nggak akan mengganggu waktu kalian berduaan.""Ngomong apa kamu ini?" Melanie tersipu. "Kamu dan Yudha belum bercerai. Lagi pula, kamu bukan orang lain.""Melanie." Yara ingin cepat-cepat menjelaskan. "Tanyakan pada Yudha kapan dia punya waktu menyelesaikan proses perceraiannya.""Aku nggak mau tanya. Kalau kamu mau tanya, tanya saja sendiri." Melanie pura-pura marah sekaligus manja. "Jangan biarkan dia berpikir aku ingin buru-buru menikah dengannya. Biar kuberi tahu ya, bagi pria itu,
Yara tidak menyangka Yudha akan datang.Sinar di matanya sedikit demi sedikit padam di bawah tatapan menghina pria itu."Nggak, aku cuma mau bantu Melanie pilih-pilih gaun.""Semoga memang begitu."Yudha mencibir."Yara, aku sudah peringatkan kamu sejak lama.""Jangan mimpikan hal-hal yang bukan milikmu. Nggak akan ada akhir yang baik kalau dipaksakan."Yara membendung perasaannya dalam diam.Dia mengerti bahwa di mata Yudha, pernikahan mereka adalah sesuatu yang bukan miliknya. Lebih-lebih lagi pria itu. Tidak pernah menjadi miliknya sama sekali.Oleh karena itu, hingga saat ini, Yara sendiri memikul tanggung jawab penuh atas segalanya.Yara ingin pulang saja. "Yudha, kalau kamu sudah sempat, jangan lupa menyelesaikan proses perceraian kita.""Rara, kamu pikir semua orang punya waktu luang sebanyak dirimu?"Wajah Yudha bertambah kelam."Kamu bisa menyisihkan waktu pergi ke sini. Kenapa ....""Kenapa? Kamu merasa diabaikan?" Yudha tertawa sinis. "Yang satu adalah orang yang sebentar la
"Bu Anita!"Yara meletakkan gambar desain itu langsung di atas meja.Anita menatap Yara dengan amarah terbendung, menunggunya melanjutkan."Bu Anita, bukankah ada sesuatu yang harus Anda jelaskan pada saya?"Yara sangat percaya diri.Anita benar-benar tertawa saking marahnya.Baru pertama kali ini dia melihat plagiator yang begitu sombong."Penjelasan? Penjelasan apa yang kamu minta?""Klien sudah menerima desain yang saya buat, bukankah seharusnya Bu Anita memberi tahu saya?""Saat saya mengumpulkan rancangannya waktu itu, kenapa Bu Anita marah tanpa alasan?""Terakhir, kalau memang rancangan saya diterima, kenapa Bu Anita nggak memberi saya pesanan lagi? Saya ingin tahu kenapa."Satu per satu, Yara mengatakannya dengan jelas.Anita terdiam sesaat. Dia tidak menyangka plagiator ini memiliki logika berpikir yang begitu jelas.Dia berpikir beberapa saat, lalu menjawab satu per satu."Akhir-akhir ini aku sibuk, jadi aku lupa memberi tahu kalau rancangannya sudah disetujui.""Aku nggak ma
Setelah Yara pergi, Yudha merasa semakin kesal dan gelisah.Dia memijat kening dan merasakan rasa panas yang aneh perlahan-lahan muncul dalam hatinya.Melanie duduk dan bersandar pada Yudha, entah sengaja atau tidak menyenggolkan dadanya pada tubuh Yudha."Yudha, jangan tunda lagi perceraiannya.""Aku dengar dari Bibi Silvia, dia sudah mencarikan kencan buta buat Rara. Katanya Rara juga suka."Sambil bicara, dia mengamati reaksi Yudha.Dia tadi memasukkan sesuatu yang menyenangkan ke dalam minuman itu.Yudha terlalu sibuk dan merasa tidak harus terburu-buru bercerai, tetapi Melanie tidak bisa menunggu lebih lama lagi.Jika mereka berdua pergi ke ranjang malam ini, dia punya senjata untuk memaksa Yudha agar segera bercerai.Yudha merasa kepalanya berdenyut parah. Rasa panas dari di dalam hatinya seakan menyebar ke seluruh tubuh, membuatnya seperti terbakar.Dalam sekejap, ingatan setahun yang lalu terlintas di depan matanya.Dia pun paham saat itu juga. Dia dijebak lagi.Dia melihat min
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid