Share

The Real Loser

Author: Mbak Kopi
last update Last Updated: 2021-03-04 16:36:39

"Kau tahu, seseorang yang tidak bisa berkaca diri adalah pecundang sejati."

                               -Sagara Affandra-

Tatapan murka itu tak sedetik pun menyingkir dari mata Fidella. Rasa kesal, kecewa, dan marah berbaur jadi satu. 

Kesal, saat mendengar dokter lain menggantikannya untuk mengoperasi Mr. Janson. Kecewa, pada Dr. Harold yang sudah bertindak sewenang-wenang dan menyalahi aturan. Marah, karena ternyata Sagara adalah orang yang menggantikan dirinya.

 Benar-benar sial. Fidella merasa hari ini Tuhan tidak mengizikannya untuk merasa sedikit tenang. 

Langkah tak sabar Fidella menunjukkan bahwa gadis itu ingin segera menuntaskan permasalahan ini dengan Sagara. Pecundang sialan itu selalu bisa membuat Fidella jadi kebakaran jenggot.

 Beberapa orang dan rekan kerja yang berpapasan dengannya di sepanjang jalan memandang Fidella dengan tatapan heran. Tidak ada yang peduli, yang ada di pikiran Fidella saat ini adalah bagaimana cara memberi pelajaran pada Sagara. 

Ia juga ingin meminta penjelasan dari Dr. Harold terkait keputusannya yang menyalahi aturan. Sudah jelas itu melanggar kode etik kedokteran, Fidella akan menuntut haknya.

 Dia tidak terima dengan keputusan gegabah ini, sekali pun itu adalah keputusan Dr. Harold. Jika pimpinannya salah, Fidella tidak akan segan untuk menegur. 

Fidella sudah tiba di depan ruangan kerja Sagara. Sejenak ia memejamkan mata dan melakukan meditasi singkat untuk tetap mengendalikan emosi. Perlahan gadis itu menghirup dan mengembuskan napasnya secara teratur. Tangannya sudah siap untuk memutar kenop pintu.

 "Kali ini kau harus benar-benar mati, Sagara Affandra!" umpat Fidella sebelum membuka pintu. 

Tangannya mulai menarik kenop itu secara perlahan. Namun, siapa sangka, tiba-tiba pintu tersebut sudah terbuka dengan sendirinya. Ah, tidak, bukan terbuka sendiri, tepatnya ada seseorang dari arah berlawanan yang membuka pintu sebelum Fidella melakukannya. 

Kesialan jadi kian sempurna ketika tubuh Fidella ambruk menimpa tubuh seseorang yang entah siapa. Posisi Fidella tepat menindih tubuh orang itu.

 Mereka berdua tergeletak di lantai usai suara benturan antara tubuh dan lantai marmer itu menguar cukup keras. Sontak saja hal tersebut turut mengundang perhatian beberapa orang di wilayah sekitar, baik pengunjung mau pun petugas rumah sakit. 

 Fidella terbelalak bukan main, saat menyadari tubuhnya berada di atas tubuh pria itu. Mata mereka sudah saling bertautan, memancarkan ekspresi yang kontras dari keduanya.

"Caramu berkunjung sangat unik Dr. Fidella," ujar Sagara yang usil, pria itu masih bertahan di posisinya.

Tubuh mungil Fidella bukanlah beban berat yang harus segara disingkirkan. Lebih dari itu, Sagara merasa kejadian ini sangat menyenangkan. Hiburan di pagi hari. Entah mengapa gadis ini selalu saja membuatnya tak bosan untuk sekadar melayangkan godaan.

 "Aku baru saja mau menemuimu. Sepertinya kontak batin kita bekerja dengan baik. Mungkin ini yang namanya sehati, bukan begitu?" Sagara menyimpan kedua tangannya di belakang leher. 

"Sialan, kau pasti sengaja!" Fidella bangkit dan sempat mendorong pundak Sagara, hingga punggungnya kembali membentur lantai. 

"Sengaja? Jangan bercanda, aku saja tidak tahu jika kau ada di seberang pintu. Justru kau yang menghalangi jalanku, apa mungkin dirimu yang melakukannya dengan sengaja?" Sagara sudah bangkit, ia berdiri dengan gagah di depan Fidella. Beberapa saat kemudian, pria itu terlihat menepuk pakaian serba biru yang dikenakannya. 

"Jangan berkelok!" bentak Fidella, Sagara agak terhenyak lalu memutar bola matanya. 

"Aku datang ke sini bukan untuk mendengarmu membual. Kau harus menjelaskan semuanya." Fidella mengembuskan napas panjang sekali lagi. 

Ia harus bersikap tenang, banyak mata yang sedang memperhatikannya saat ini. Terutama orang-orang yang berada di ruangan itu. 

Sebelumnya, sempat ada beberapa rekan Sagara yang ingin menghampiri untuk sekadar memberi pertolongan. Namun, Sagara mencegahnya dengan isyarat tangan. Sagara lebih suka menghadapi Fidella seorang diri. 

"Menjelaskan apa? Kejadian barusan?" tutur Sagara santai, Fidella menarik surai kecokelatannya ke belakang.

 Berbicara dengan orang ini memang memerlukan tingkat kesabaran yang tinggi dan itu sangat sulit untuk Fidella lakukan. Bagaimana dia bisa menahan emosi lebih lama, sedangkan setiap kata dan tingkah laku Sagara kerap membuatnya naik darah?

"Aku yakin kau tidak bodoh. Sudah pasti kau mengerti maksudku, jangan bicara omong kosong. Sebaiknya cepat jelaskan, sebelum aku menyeretmu ke gudang belakang," ketus Fidella sinis. 

"Dan aku pastikan tidak akan ada ampun untukmu jika hal itu sudah terjadi," lanjutnya lagi penuh ancaman. 

"Cemerlang! Idemu bagus juga." Sagara menjentikkan jarinya.

 "Aku senang mendengarnya. Ayo, gudang belakang lebih baik daripada tempat umum seperti ini." Sagara masih menanggapi kekesalan Fidella dengan tenang. 

Orang-orang di sana terlihat saling berbisik, mereka bingung melihat Sagara dan Fidella yang selalu saja berseteru dalam hal apa pun. Masing-masing rekan kerja Sagara dan Fidella saja tidak paham hal apa yang melatarbelakangi persaingan sengit antara kedua dokter muda handal tersebut.

"Dia menganggap ancamanku sebagai bualan rupanya," gumam Fidella setengah menunduk dan tangan mengelus tengkuk.

Ia sudah kehabisan kata-kata halus untuk orang ini. Sagara memang tidak pantas mendapatkan itu darinya. 

"Mr. Janson adalah pasienku. Sejak awal aku yang bertanggung jawab untuk operasinya. Lalu kenapa sekarang kau menggantikanku?" tanya Fidella langsung ke intinya, dia tidak ingin berbasa- basi lagi. Berharap semuanya cepat tuntas dan ketidakadilan ini bisa segera ditanggulangi dengan cepat.

"Jika itu masalahnya, kau bertanya pada orang yang salah, Beauty." Sagara mencolek dagu Fidella dan mendapat tepisan kasar dari gadis itu. Sagara terkekeh lucu. 

"Sebelum kau mati penasaran, ada baiknya sekarang kau temui Dr. Harold dan tanyakan semua pertanyaan yang bersarang di benakmu itu. Aku adalah orang yang paling mengutuk kematianmu, Beauty." Sagara meramu ekspresi yang benar-benar memuakkan. Fidella ingin melenyapkan wajah itu jika ia bisa.

 "Ini ulahmu, 'kan?" tuduh Fidella tak berdasar, Sagara membentuk seulas senyum. Lengkungan bibir yang tak bisa dibilang indah. Lebih dari itu, ia mulai bosan dengan perbincangan alot ini. 

"Kau tidak bermaksud menuduhku sengaja mencuri pasienmu, 'kan?"

"Tebakanmu akurat sekali, aku tidak akan meragukan kejujuranmu itu, Dr. Sagara."

 

Perdebatan makin memanas. Sungguh, mereka sudah terjebak dalam atmosfer kemarahan yang sangat kental. Sagara yakin Fidella tidak akan menyerah sampai salah satu dari mereka kalah.

 Pria itu mendecih singkat, hawa panas menggerogoti hatinya. Gadis yang satu ini memang sulit diajak berdamai. Kepala batu!

"Sikap manisku tidak pernah berarti di matamu, Fidella." 

"Karena aku tidak pernah memberi kesempatan pada orang munafik untuk memperdayaku, Dr. Sagara. "

Sagara mengangguk paham. Baiklah, dia menyerah. Ia sudah terlalu banyak membuang waktu untuk bermain-main dengan Fidella. Masih banyak pekerjaan penting yang harus ia kerjakan ketimbang beradu argumen dengan gadis itu. Sampai mulutnya berbusa pun, Fidella tidak akan percaya pada penjelasannya.

"Kurangi keangkuhanmu itu, Fidella. Mungkin kau tidak tahu, tapi sewaktu-waktu dia bisa menjadi malapetaka besar bagimu. Aku hanya mendapat tugas dari Dr. Harold untuk menangani Mr. Janson. Terkait alasannya, silakan cari tahu sendiri." 

Sagara berlalu melewati Fidella. Belum sampai tiga langkah kakinya bergeser, pria itu berbalik dan mengungkapkan sesuatu yang membuat harga diri Fidella kian terluka.

"Dokter Harold tidak akan mengambil keputusan ini seandainya dia benar-benar percaya padamu. Renungkan saja, mungkin masalahnya ada pada dirimu sendiri. Jangan sembarangan menyalahkan orang lain. Kau tahu, seseorang yang tidak bisa berkaca diri adalah pecundang sejati." 

Nada bicara Sagara menguarkan sensasi dingin yang mampu membekukan waktu. Fidella tertegun, ia ingin membalas perkataan Sagara, tetapi lidahnya kelu.

Usai berucap dingin, Sagara meleburkan kembali suasana dengan senyuman manis tulus dari hatinya.

"Aku duluan, Mr. Janson pasti sudah menantikan dokter tampan ini di ruang operasi." Sagara menepuk pundak kiri Fidella lalu melengos begitu saja.

 "Argh! Orang tua itu. Sebenarnya apa maunya?" Fidella mendesah kasar lalu memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Dia belum menyerah, tujuan berikutnya adalah ruang kendali operasi, Dr. Harold pasti ada di sana. 

Mr. Janson adalah salah satu investor utama di rumah sakit Downtown, tidak heran seluruh tim medis ingin memberikan perawatan dan pelayanan terbaik guna kesembuhan pria paruh baya itu. Hal ini pula yang menjadi alasan Dr. Harold turun langsung untuk mengawasi jalannya proses operasi yang akan dilakukan oleh Sagara. 

*** 

Lima menit berlalu, akhirnya Fidella tiba di ruang kontrol operasi yang berada di lantai lima belas. Terlihat beberapa dokter ahli sudah berjajar di kursi menghadap langsung ke ruang operasi di bawah sana. Di sudut kanan ruangan terdapat monitor besar lengkap dengan microphone kecil yang biasa digunakan dokter pengawas untuk memberi arahan pada tim medis ketika operasi berlangsung. 

"Dokter Harold, kita harus bicara," tukas Fidella mengalihkan perhatian orang-orang ketika ia menghampiri Dr. Harold. 

"Dokter Fidella, kenapa kau masih di sini?" ungkap Dr. Harold kaget sontak membuat Fidella mengernyit.

 "Operasinya sebentar lagi akan dimulai. Sebaiknya kau cepat bersiap!" lanjut Dr. Harold. 

Segala pertanyaan yang telah disiapkan Fidella, hilang tak bersisa. Mungkinkah Dr. Harold sedang mempermainkannya?" 

"Apa maksud, Anda?" tanya Fidella serius dan penasaran. 

"Seharusnya kau sudah masuk ke ruangan itu dan melakukan tugasmu. Lalu sekarang apa yang kau lakukan di sini?" tanya dokter berperawakan tinggi itu sedikit jengkel.

"Apa?! Bukankah Anda sudah menggantikan saya dengan Dr. Sagara?"

Bersamaan dengan pertanyaan itu, di bawah sana -tepatnya di ruang operasi- Sagara dan timnya sudah muncul dengan pakaian khusus operasi.

Fidella mengarahkan atensinya ke bawah, sejalan dengan Sagara yang juga mendongakkan kepalanya. Kembali, kedua iris itu bertemu dalam satu titik pandang.

Sagara menyunggingkan senyum manis, yang terlihat menjengkelkan di mata Fidella. Entahlah, Fidella hanya merasa jika senyum itu adalah sebuah ejekan untuknya.

"Aku memang melakukannya, tapi apa kau belum mendengar jika kau juga ikut andil dalam operasi kali ini," sahut Dr. Harold menjawab kebingungan Fidella. 

 

 "Aku? Bersama pria itu?" Fidella bergantian menunjuk dirinya sendiri dan Sagara. 

"Iya, kau dan Dr. Sagara akan bekerja sama dalam operasi kali ini. Sudah jelas, bukan?" terang Dr. Harold, "sekarang cepat turun ke bawah dan lakukan tugasmu dengan baik!" timpalnya memerintahkan Fidella. 

"Kegilaan apa lagi, ini? Aku harus satu ruangan dengan dokter sialan itu? Yang benar saja, cih," batin Fidella kesal, tak terima. 

"Tapi Ketua, aku——" 

 "Jangan membantah, singkirkan egomu dan bekerjalah sebagaimana seorang dokter sejati! Aku tidak ingin kau mencampuradukan masalah pribadi dengan pekerjaan. Kau tidak ingin dicap sebagai dokter yang tidak profesional, bukan?" tegas Dr. Harold dengan tajam. 

Fidella diam tertunduk, serangan Dr. Harold membuatnya kalah telak.

 "Jangan merusak kredibilitasmu sebagai seorang dokter, Fidella. Kau adalah salah satu dokter andalanku."

Meski awalnya Fidella enggan menerima keputusan ini, tetapi semua perkataan Dr. Harold memang benar adanya. Ini perkara nyawa seseorang, sumpah jabatan sudah ia kumandangkan beberapa tahun silam. Fidella tidak boleh melalaikan tugas hanya karena perasaan pribadi.

Dengan terpaksa Fidella harus melupakan sejenak kekesalannya terhadap Sagara. Menenggelamkan emosi dan menjunjung tinggi rasa tanggung jawab. 

"Demi kelancaran operasi, sekali saja. Kau bisa menghadapinya. Sekali ini saja, Fidella," tekadnya di dalam hati. 

"Baiklah, aku permisi." Fidella menunduk hormat pada orang-orang di ruangan itu. Sebelum benar-benar pergi, ia sempat menoleh ke arah Sagara. Tidak disangka, rupanya pria itu juga masih memerhatikannya.

Mata tajam yang bersembunyi di balik kaca mata kecil khusus itu mengerling jahil. Seakan memanggil Fidella untuk segera memasuki ruang operasi. Fidella ingin mencekik leher pria itu ketika Sagara menggodanya dengan kedipan mata. 

"Pria brengsek, huh, tenang, Fidella. Kamu pasti bisa melakukannya. Huh, iya, pasti bisa," gumam Fidella menyemangati diri. 

 *** 

 "Tiga tahun," cakap Sagara saat Fidella sudah berdiri di seberang ranjang operasi, tempat pasien yang sudah dibius total terbaring. 

 Gadis itu sudah sudah mengenakan pakaian operasi seperti yang dikenakan semua rekannya di tempat itu. Ia mendelik ke arah Sagara, tampak tak mengerti maksud celetukan aneh pria itu. 

Beberapa perawat di ruangan tersebut bergeming, membiarkan Sagara menyambut kehadiran rival abadinya sebelum operasi benar-benar dimulai. 

"Tiga tahun berlalu sejak perkenalan kita. Akhirnya, kita bertemu di ruang operasi. Bukankah ini mimpi terbesarmu, Dr. Fidella?" lanjut Sagara memamerkan senyum khas andalannya.

Lampu bundar berukuran cukup besar itu sudah dinyalakan, mengarahkan cahayanya langsung pada tubuh pasien.

"Jangan banyak bicara, mari kita mulai operasinya," balas Fidella yang ingin fokus pada pasiennya. 

"Tentu, kita akan segera melakukannya," sahut Sagara santai.

"Namun, ada satu hal yang perlu kau ingat, di sini akulah pemimpinnya!" Sagara berujar sombong. 

"Sebaiknya kau lepas keangkuhanmu sebagai ketua tim HPB dua. Mulai dari sekarang dan seterusnya, kau harus terbiasa bertugas di bawah kendaliku. Kau mengerti, Beauty?" sambungnya yang membuat Fidella kesal. 

 "Omong kosong apa yang kau bicarakan?" geram Fidella, lihat dia suka sekali memancing amarah Fidella. 

"Tanda-tanda vital?" tanya Sagara pada Lucas, seorang perawat yang membantu jalannya operasi kali ini. Sagara sama sekali tak mengindahkan pertanyaan Fidella.

"Bp 120 lebih dari 60, denyut jantung 88, dan tingkat kejenuhan 02 pada 98%," jelas Lucas merinci keadaan vital pasien berdasarkan apa yang tertera di monitor dan berbagai macam alat medis di sana. 

Sagara mengangguk paham, kemudian menatap Fidella dengan serius. Tidak ada lagi candaan bodoh dari pria itu. Ia mulai berperan sebagai dokter yang sesungguhnya. 

"Kita akan mulai operasi pengangkatan tumor Pankreas pada pasien Janson Smith sekarang," tutur Sagara, disetujui oleh anggukan Fidella dan petugas lainnya.

"Scalpel!" ujar Sagara meminta pisau bedah.

 Setelah senjata utama sudah ada di tangannya, pria itu mulai menekan pelan bagian permukaan perut Mr. Janson, memilah bagian yang tepat untuk ia bedah menggunakan senjata medis itu. 

Fidella belum melakukan pergerakan, gilirannya belum tiba. Ia hanya memperhatikan aksi rival-nya yang kentara mahir saat melakukan hal semacam ini. 

Tentu saja, Sagara Affandra adalah seorang dokter spesialis bedah. Apalagi yang mesti diragukan?

 Sagara merobek kulit luar perut Mr. Janson dengan hati-hati, menarik garis vertikal pisau bedah tersebut secara perlahan hingga rembesan darah pun keluar. Dengan tingkat konsentrasi tinggi, Sagara menggerakkan scalpel itu, menusuk perut Mr. Janson lebih dalam untuk membelah perut pasien dan kegiatan inti dari operasi ini pun bisa segera dilakukan.

 Segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Ketenangan Sagara membawa atmosfer sejuk dalam ruangan itu.

Sagara terus mengoyak lapisan daging pada perut pasien, hingga tak berselang lama perut yang semula utuh itu pun sukses terbelah dua. Isi perut itu sama persis dengan susunan organ yang biasa kita lihat pada patung anatomi tubuh manusia. Menampilkan pemandangan yang terbilang menakutkan bagi orang awam. Namun, tidak untuk para dokter bedah layakya Sagara dan Fidella.

"Bovie," ujar Sagara lagi meminta sebuah alat pada perawat Nately. 

Sagara memasukan alat itu ke dalam organ, di mana tumor tersebut bersarang. Ia berniat untuk membekukan salah satu organ yang terus mengeluarkan darah menggunakan alat itu.

Fidella memerhatikan wajah Sagara sekilas lalu kembali terfokus pada pasien. Iris cokelatnya menangkap gerakan lihai tangan Sagara yang sedang sibuk mengorek organ itu lebih dalam lagi. 

Saat ini, gadis itu hanya bertugas sebagai dokter pendamping, membantu Sagara untuk mengangkat organ yang menutupi tumor dalam pankreas Mr. Janson. Beberapa saat giliran Fidella yang beraksi, menjahit kembali perut Mr. Janson yang sudah Sagara bedah.

Jujur Fidella sangat kecewa, dalam hatinya ia berujar bahwa seharusnya dirinyalah yang melakukan aksi heroik itu. Namun, bagaimana pun sebagai seorang dokter, Fidella harus tetap bersikap bijaksana. Ia tidak boleh egois, yang terpenting saat ini adalah kesuksesan operasi dan keselamatan nyawa pasien. 

"Tunggu sebentar, Dr. Sagara. Sepertinya ada yang aneh," sela Fidella menghentikan aksi Sagara sejenak. 

Gadis itu mengambil clamp, sejenis alat penjepit untuk mengangkat organ dalam yang menurutnya terlihat ganjil. Sagara terdiam, tampak begitu ragu dengan tindakan yang sedang Fidella lakukan. Entah mengapa, tiba-tiba perasaan buruk menyambangi hatinya.

"Ini aneh, mungkinkah?" batin Sagara gelisah. 

Crett!

 Semburan darah mengenai wajah dan sebagian baju operasi yang dikenakan Fidella. Sagara terkejut bukan main, kekhawatirannya benar- benar terjadi. 

 

"Gawat! sepertinya arteri celiac baru saja pecah," panik Nately, perawat yang ikut andil dalam operasi itu.

Deru napas Fidella terdengar tidak beraturan, matanya terbelalak, seketika tubuhnya membeku. Suara genderang perang bertalu-talu di setiap penjuru. 

Fidella, sang pelaku utama yang menimbulkan kegentingan ini malah mematung seperti tubuhnya baru saja dibekukan. Ini adalah kesalahan pertamanya di ruang operasi.

 "Dokter Sagara, kau bisa mengatasinya?" Tiba-tiba saja suara Dr. Harold menggema di tengah kegentingan yang terjadi di ruang operasi. 

Ketua medik itu sedang gusar di atas sana. Ia terus memberikan dukungan melalui kata-katanya. Meminta Sagara dan Fidella untuk tetap tenang. 

Sagara mendongak tepat ke arah Dr. Harold lalu mengangguk yakin. Pria paruh baya itu mengela napas sedikit lega.

 Namun, keyakinan Sagara itu masih belum bisa menenangkan perasaannya. Dokter Harold berdiri di atas podium, di mana microphone yang ia gunakan tadi berada. 

Sagara segera mengambil tindakan. Ia meminta Fidella untuk menarik tangannya dari tubuh pasien. Gadis itu hanya menurut di tengah kekalutan yang mengacaukan pikirannya.

 "Kita harus segera melakukan kompresi. Suction!" Sagara meminta alat penghisap untuk menyurutkan darah yang mulai menggenang di sana akibat pecahnya arteri celiac tadi. 

Kejanggalan yang dirasa Fidella memang benar adanya. Tadi ia merasa ada gangguan pada salah satu organ yang tertutup gumpalan tumor di bagian pankreas. Semula Fidella hanya ingin memastikan, takut-takut terjadi pembengkakan di sekitar organ hati seperti perkiraannya.

 Hanya saja siapa sangka, pergerakan tangan Fidella ternyata dinilai kurang tepat. Dia tidak sengaja memecahkan arteri itu dengan bovie dan clamp yang tadi ia gunakan.

 "Tidak apa-apa, operasinya pasti berhasil," cetus Sagara menenangkan Fidella. 

Pria itu tahu, Fidella sedang tertekan. Dokter juga manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Ini wajar, meski risiko yang harus ditanggung sangat besar. 

Fidella menatap Sagara yang sedang sibuk memperbaiki kesalahannya. Ini kali pertama bagi Fidella mendengar ungkapan Sagara yang tak membuatnya kesal. 

Entah karena suasana hatinya yang sedang kalut atau memang ungkapan Sagara itu benar-benar tulus. Yang jelas Fidella yakin, Sagara sedang khawatir akan keadaan psikisnya.

Sagara menggunakan alat jepit untuk menghentikan pendarahan. Dan rupanya itu berhasil menghentikan pendarahan.

 "Vital?" tanya Sagara memastikan kondisi vital yang sebelumnya tidak stabil akibat ketidaksengajaan Fidella.

"Saturasi, denyut jantung, dan tekanan darahnya sudah kembali normal sekarang," papar Lucas cepat. 

Helaan napas lega pun terembus dari masing- masing petugas yang ikut terlibat dalam operasi ini. Entah bagaimana nasib mereka semua jika di sana Sagara tidak bisa menangani masalah tadi dengan baik.

 "Aku akan memotong arteri celiac pada sisi kanan dari klem. Metzembaum," tambah Sagara lagi memutuskan tindakan selanjutnya, setelah ia mengetahui kondisi vital pasien yang sudah normal.

 Salah satu perawat mengusap peluh yang bercucuran di dahi Sagara, pria itu tidak menolak. Ia masih sangat fokus melaksanakan tugasnya. Kejadian menegangkan barusan, begitu memacu semangat Sagara untuk mengerahkan seluruh kekuatannya guna kelancaran operasi.

Sagara sedang menjahit bekas arteri yang sebelumnya sudah ia potong. Gerak tangannya terlihat sangat luwes, tak sedikit pun detak gugup mengganggu konsentrasinya.

"Sekarang kita akan mengeksisi tumor itu, bovie!" 

Ciptratan darah itu masih membasahi wajah Fidella. Tak sedikit pun ia bergeser dari posisinya, gadis itu hanya diam meratapi kebodohannya. Ia nyaris menjadi seorang dokter pembunuh.

Operasi hampir selesai dan sejauh ini semuanya terbilang baik-baik saja. Para dokter dan ketua yang menyaksikan adegan menegangkan itu dari ruang kontrol, akhirnya bisa menghela napas lega. Sagara berhasil mengeluarkan tumor sebesar kepalan tangan orang dewasa itu dari pankreas Mr. Janson.

 "Kontrol perdarahan dan selesaikan operasinya. Kau tidak perlu aku untuk itu, 'kan?" titah Sagara pada Fidella.

 Gadis itu menatapnya terkejut. Sagara menepuk pundak Fidella dua kali lalu meninggalkan ruang operasi lebih dulu. Semua perawat di sana tersenyum lega bersamaan dengan rasa syukur yang berkumandang di hati masing-masing.

 "Apa itu tadi? Ada apa dengannya? Kenapa aku merasa dia sedang berusaha menolongku?" 

To be continue

Gimana aksi Sagara? Wkwk

Related chapters

  • Cinta yang Tak Diundang   Terlalu Sakit untuk dimaafkan

    "Maaf, semua ini memang salahku." Fidella menunduk sesal. Ia tahu kata maaf tidak akan memperbaiki keadaan. Hanya saja Fidella tetap melakukannya, setidaknya dengan meminta maaf bisa sedikit mengurangi rasa bersalah di hatinya.Fidella sedang berada di ruang kerja Dr. Harold, terletak di lantai enam belas dengan ukuran cukup luas membuat siapa saja bisa melihat pemandangan kota New York yang padat dan tidak pernah tenang. Bangunan-bangunan klasik menjulang tinggi seperti hendak menggapai langit di kawasan Civic Center Manhattan.Di sebelah utara tampaklah Broadway dan kawasan Chinatown. Beralih ke timur terdapat pemandangan indah dari sungai East dan jembatan Brooklyn yang bisa kita nikmati dengan mudah kapan saja.Semua keindahan yang bisa memanjakan mata itu sama sekali tidak memberikan hiburan apa pun untuk Fidella. Wanita itu masih berdiri di samping sofa. Memainkan jemarinya tanpa sadar, sementara Dr. Harold s

    Last Updated : 2021-03-08
  • Cinta yang Tak Diundang   Pria Idaman

    "Sudah lama?" tanya Fidella menghampiri Stevan, napasnya terdengar tak beraturan selepas berlari sepanjang jalan takut tunangannya menanti terlalu lama."Tidak, hanya lima belas menit. Satu jam pun aku sanggup untuk menunggumu, Sayang." Stevan mulai menggombal, Fidella tersipu lantas memukul pelan dada bidang prianya.Stevan mengunci tangan mungil itu di sana, mengikis jarak antara dirinya dengan Fidella kemudian merengkuh kekasihnya erat."Ahh, aku sangat merindukan pelukan hangat wanita manja ini," tutur Stevan, menyimpan dagunya pada puncak kepala Fidella."Aku juga sangat merindukanmu, Honey. Kau tahu, akhir-akhir ini Sagara kembali berulah. Aku selalu dibuat kesal setengah mati olehnya," gerutu Fidella sambil mengeratkan pelukannya.Gadis itu menenggelamkan wajah lelahnya pada dada bidang sang kekasih; mencium aroma maskulin khas prianya yang teramat ia suka.

    Last Updated : 2021-03-08
  • Cinta yang Tak Diundang   Dilema Dua Cinta

    Stevan Anderson, pria itu masih sibuk berkutat dengan segudang pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawabnya di perusahaan San Capital Corporation, milik keluarganya. Ia menjabat sebagai manager keuangan di sana.Pria itu perlu belajar banyak tentang berbagai ilmu dan taktik dalam menjalankan usaha, sebelum kelak menggantikan sang ayah sebagai direktur utama. Terlahir dari pasangan Sammuel Anderson dan Jenna Kirania, membuat kehidupan Stevan begitu diberkati dengan harta kekayaan yang melimpah.Statusnya sebagai anak tunggal di keluarga besar Anderson, mau tidak mau memposisikan Stevan sebagai satu-satunya harapan untuk meneruskan bisnis yang telah dirintis kedua orang tuanya. Sejak kecil, pria muda bertalenta ini memang sudah diarahkan untuk belajar bisnis dan mengelola perusahaan.Tidak seperti kebanyakan anak konglomerat lain yang merasa terkekang atau terbebani oleh keinginan orang tuanya. Stevan j

    Last Updated : 2021-03-08
  • Cinta yang Tak Diundang   Ada Apa Dengan Stevan?

    Fidella tengah disibukkan dengan persiapan pernikahannya yang akan digelar kurang lebih tiga hari lagi. Mulai dari menyewa gedung resepsi sampai menentukan tema dekorasi dilakukan oleh pihak keluarga Fidella.Stevan dan orang tuanya masih berada di Perancis; mengurus masalah pekerjaan yang sulit untuk ditinggalkan. Meskipun harus menyiapkan segala sesuatunya sendiri, Nyonya Hara dan Reno Vinandra sama sekali tidak keberatan, terlebih ini demi kelancaran acara pernikahan putri sulung mereka.Sejauh ini semuanya berjalan sebagaimana mestinya dan terencana dengan baik. Jika dipresentasekan, mungkin persiapan pernikahan Fidella kurang lebih sudah mencapai angka 95%.Wanita itu sangat bahagia, tidak menyangka jika hubungannya dengan Stevan yang baru berjalan satu tahun terakhir ini bisa berujung di pelaminan. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi istri yang baik untuk Stevan. Kepala wanita itu sudah dipenuhi ole

    Last Updated : 2021-03-08
  • Cinta yang Tak Diundang   Pernikahan Tak Terduga

    "Aku sudah sangat merindukanmu.""Ahh, mengapa aku belum dipanggil juga? Rasanya satu menit ini sudah seperti satu jam. Waktu berjalan sangat lambat, ish, menyebalkan!" Fidella terus mendumel tak karuan, sebegitu tidak sabarnya dia menanti detik-detik terindah dalam hidupnya ini."Aku sangat bahagia dan juga gugup, honey."Ketukan pintu terdengar sangat nyaring hingga membuat Fidella cukup terkejut akan hal itu. Nyonya Hara masuk menghampiri Fidella dengan tergesa.Wanita paruh baya yang nampak anggun dengan gaun putihnya itu memandang miris putrinya. Hatinya kian teriris melihat ekspresi bahagia Fidella.Wanita itu nampak sangat cantik menggunakan gaun pengantin panjang serta penutup wajah. Rambut sebahu yang dibiarkan tergerai membuat Fidella terlihat semakin manis. Sebuah aksesoris berbentuk kupu-kupu berwarna perak yang mengkilap semakin menambah kesan anggun pada penampi

    Last Updated : 2021-03-08
  • Cinta yang Tak Diundang   Alasan Stevan

    "Angin tidak hanya berembus di satu tempat, Fidella. Semua akan berlalu dengan semestinya, kuatlah."-Sagara Affandra-***Hai, Fidella.Ini hari kesepuluh kita tidak saling menyapa. Seharusnya kita bertemu sekarang, berdiri di depan altar dan mengucap janji sehidup semati.Kau pasti sangat cantik hari ini, kerugian bagiku karena tidak bisa melihat kecantikanmu itu. Membayangkannya saja sudah membuatku senang, apalagi jika aku berada di sana.Cih, apa yang sedang aku lakukan sekarang? Memuji padahal aku sedang menyakitimu. Maaf, tolong maafkan manusia bodoh dan brengsek ini.Aku tidak bisa menjadi mempelai priamu. Aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk membahagiakanmu. Aku tidak bisa menjadi rumah untuk hatimu berpulang jika ia lelah.Bukan a

    Last Updated : 2021-03-08
  • Cinta yang Tak Diundang   Nikahi Aku!

    Hening, tidak ada kata terucap dari keduanya setelah ucapan terakhir Sagara. Posisi duduk Fidella membelakangi Sagara, mereka berdua terlihat seperti pasangan pengantin yang sedang bertengkar.Bagaimana tidak? Penampilan keduanya pasti membuat semua orang yang melihatnya berpikir demikian. Fidella yang masih mengenakan gaun pengantin, juga Sagara yang mengenakan tuxedo hitam dengan gaya rambut tanpa poni itu cukup untuk menipu semua mata.Sepatu kulit Sagara yang mengkilap itu memunculkan bayangan sang pemilik dan seorang wanita di sebelahnya. Pria itu memang sengaja melihat bayangan dirinya dan Fidella dari sana."Aku menepati janjiku. Jadi, berbahagialah.""Tidak ada alasan untukku bahagia saat ini," balas Fidella untuk yang pertama kalinya sejak Sagara hadir di sana."Kenapa tidak? Sejatinya kau punya beribu kesempatan untuk bahagia setiap hari. Tergantung kemampuanmu menciptakan kebahagiaan it

    Last Updated : 2021-03-11
  • Cinta yang Tak Diundang   Lamaran Teraneh

    Fidella meraih tangan Sagara yang sedang sibuk menyeka air matanya. Lalu ia menggenggam tangan kekar itu erat."Kumohon bantu aku, Sagara.""Shit, wanita gila ini benar-benar keras kepala!" Sagara mengempaskan tangan Fidella lalu berdiri sambil berkacak pinggang penuh emosi.Pupus sudah harapan terakhir Fidella, mungkin ia memang harus menerima kenyataan pahit ini. Ditinggal pria yang sangat ia cinta di hari pernikahannya dan mendapat cibiran karena pembatalan pernikahan ini. Oh, takdir memang kejam."Bangunlah!"Fidella mendongak saat mendapati uluran tangan Sagara. Ia menatap lekat pria itu penuh tanya."Cepat bangkit, bukankah kau bilang kita harus menikah?""Kau setuju?""Apa ungkapanku barusan t

    Last Updated : 2021-03-11

Latest chapter

  • Cinta yang Tak Diundang   Misunderstanding

    "Siapa bintang tamunya?" tanya Fidella penasaran. Jenny menggulum senyum, sepertinya rencananya mengajak Fidella akan berjalan lancar."Michael Bubble," sebut Jenny sambil menjentikkan jarinya."Really?" pekik Fidella senang."Yups, benar sekali," jawab Jenny yakin.Michael Bubble adalah salah satu penyanyi jazz yang sangat diidolakan Fidella. Beberapa album dari penyanyi berbakat yang sekarang sudah berusia sekitar empat puluh tahunan itu sudah Fidella koleksi sejak lama.Salah satu album yang paling gadis itu suka adalah "It's Time" dan "Call Me Irresponsible". Dengan kedua album itu karir Michael Bubble semakin melejit hingga lagu-lagunya di album itu sukses merajai tangga lagu di Kanada, Us Billboard 200, dan Australia Album Chart.Bisa kalian bayangkan bagaimana perasaan Fidella sekarang ini? Bertemu dengan sang idola, sungguh hal yang

  • Cinta yang Tak Diundang   Michael Bubble

    "Jika seperti itu yang terjadi, maka lanjutkan saja. Jangan biarkan kebencian itu luntur sedikit pun hatimu. Jika dengan membenciku hatimu akan lebih tenang, maka benci aku selamanya. Lupakan kata-kataku yang pernah memintamu untuk tidak melepasku. Buang aku sejauh yang kau mau!" balas Sagara yang meneriaki Fidella.Merasa hatinya kian panas memikirkan hal tersebut, Sagara mencoba menarik napas dalam. Sagara berdiri, ia tidak kuat berlama-lama berseteru dengan Fidella."Apa ada yang bisa menghentikan laju angin untuk tidak berembus? Apa ada yang mampu menahan dentang waktu barang sedetik saja?" ketus Fidella menyoal sambil menyeka air matanya kasar.Gadis itu ikut berdiri. Menatap Sagara tajam dan menumpahkan kekecewaannya tanpa ragu dan malu. "Tidak satu pun insan yang mampu menghentikan tumbuh kembang perasaan seseorang. Tidak satu pun orang bisa menghentikan hati untuk men

  • Cinta yang Tak Diundang   Pertengkaran Tak Terduga

    "Berterima kasihlah padaku!" sungut Fidella kesal."Hah?" pekik Sagara merasa aneh."Aku yang membuatnya bukan ibu!" sentak Fidella sekali lagi. Ia menjelaskan dengan nada tinggi.Sagara terpaku. "Benarkah itu istrinya?" pikir Sagara konyol.Menyadari ini memalukan, Sagara menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Ia dibuat tak menyangka oleh tindakan Fidella, istri keras kepalanya."Maaf, kupikir itu—""Oke, aku paham," potong Fidella memaklumi.Gadis itu ikut berjongkok di sebelah suaminya. Dia meletakan nampan dan gelas jus tadi di atas tanah berlapis rumput."Setiap pagi kerjaanmu memberi makan ikan. Apa kau tidak bosan?" tanya Fidella membuka pembicaraan atau kalau tidak, kecanggungan ini akan mencekiknya lagi."Tidak sama sekali. Jika aku bosan, mungkin ikan-ikan cantik ini

  • Cinta yang Tak Diundang   Pasutri Unik

    "Hoamm ...."Fidella menguap lepas saat terbangun dari lelapnya. Ia mengerjapkan mata dan merasakan sesuatu yang aneh di daerah kening.Gadis itu mengambil handuk yang ternyata masih menyampir di sana. Fidella mengangkat sebelah alisnya, merasa heran."Siapa yang mengompresku? Apa itu ibu atau Lolly?" Fidella mencoba menerka-nerka."Wajahku terasa ringan dan tidak lengket. Apa ibu juga yang membersihkannya?" Kembali Fidella menerka dan menduga kalau itu adalah perbuatan ibunya, tanpa tahu hal tersebut adalah hasil kerja keras Sagara.Gadis itu menoleh ke arah meja. Matanya berbinar saat melihat sebuah mangkuk yang tertutup lengkap d

  • Cinta yang Tak Diundang   Romansa

    -Sagara Affandra Ramirez-Aku masuk sedikit mengendap-endap. Gadis itu sudah tertidur tanpa mengganti baju dan menghapus riasan natural di wajahnya. Mungkin karena kelelahan, hingga Fidella tak sempat membersihkan wajahnya.Kuletakan tas kerjaku di bawah ranjang, tepatnya di samping. Aku duduk di tepian tempat tidur Fidella.Walau terpejam, aku tahu mata Fidella sedikit membengkak. Apa dia banyak menangis diam-diam lagi hari ini?Gadis ini pasti tertekan dengan berita yang tersebar. Aku juga heran mengapa dia bisa serapuh ini saat menghadapi masalah yang menurutku tidak terlalu berat, dibandingkan dengan permasalahan tiga tahun lalu.Saat dia baru ke luar dari penjara, banyak orang-orang yang menggunjin

  • Cinta yang Tak Diundang   Kabar Buruk

    -Sagara Affandra Ramirez-Kulihat Fidella begitu tergesa ke luar dari mobil, berjalan lurus menuju rumah tanpa mengucap satu patah kata pun. Sepertinya dia masih marah padaku, terlihat jelas dari ekspresi juga caranya mendiamiku selama perjalanan pulang tadi.Bahkan, sejak kami berdua keluar dari rumah sakit dia sudah mendiamiku. Hah, wanita memang benar-benar rumit dan memusingkan.Selalu marah tanpa alasan yang jelas. Meminta suatu penjelasan dan ketika aku memberinya, dia malah tersinggung hingga menimbulkan permasalahan baru.Aku membuka seatbelt lebih dulu sebelum menyusul Fidella. Sebuah pesan masuk menghentikan niatku yang semula ingin segera membuka pintu.[Min Woo Hyung]-⟨ Hyena sakit. ⟩-Cobaan apa lagi ini? Tidak cukupkah hanya dengan kemarahan Fidella saja?Kenapa mesti ada hal lain yang membuat kepalaku pusing?

  • Cinta yang Tak Diundang   Perihal Luka dan Cinta

    "Sejak kapan kau mendengarkan kata orang?""Tolong jawablah aku sedang tidak ingin membentakmu hari ini, Sagara," pinta Fidella sekali lagi. Ia benar-benar menantikan jawaban itu.Dia ingin memastikan, apakah memang benar ucapan para penggosip itu. Jujur saja, jika ia sakit mengingat ialah penyebab sakitnya Sagara, seperti yang mereka bilang."Aku lebih senang dibentak daripada menjawab pertanyaan tidak penting," balas Sagara penuh ketegasan. Raut wajahnya tak bisa diterka, seperti biasa raut tenang itulah yang ditampilkannya. Meski ada sedikit guratan amarah terlihat, hal tersebut bukan masalah besar, karena mimik tenanglah yang lebih dominan.Sagara langsung beranjak meninggalkan Fidella. Pria itu hampir memasuki ruangannya dan tiba-tiba saja ada sesuatu yang menahannya untuk masuk.Memaksa

  • Cinta yang Tak Diundang   Terluka?

    Dr. Harold tahu Sagara bukan tipikal orang yang bisa mengungkapkan kegelisahannya. Pria muda itu pandai menyembunyikan perasaan dalam ketenangan yang selalu ia perlihatkan setiap hari.Bahkan, meski Dr. Harold sudah mengenal Sagara hampir enam tahun lamanya. Ia masih belum bisa memahami diri Sagara sepenuhnya. Menurutnya, Sagara itu terlalu misterius.Bukan karena ia tidak ingin memahami bocah itu lebih dalam, hanya saja Sagaralah yang tidak mengizinkan siapa pun memahami dirinya. Sagara tercenung, topik pembicaraan ini mulai terasa tidak nyaman untuknya."Terima kasih atas perhatian Anda, Ketua, tapi untuk urusan ini, biar aku dan Fidella saja yang menyelesaikannya," jelas Sagara dengan tenang dan sopan. Ia ingin menuntas perbincangannya dengan Dr. Harold, tetapi sepertinya itu tidak akan mudah."Alasan apa yang membuatmu bersedia menikahi Fidella, Sagara? Apa kau mencintainya?" tanya Dr. Ha

  • Cinta yang Tak Diundang   Kebungkaman

    Yang membuat kubangan emosi Fidella terkuras bukan karena mereka memanggilnya dengan sebutan jalang. Meski itu terdengar menyakitkan juga, tetapi bukan itu yang membuat emosionalnya memuncak, melainkan karena kata demi kata yang menjelaskan bahwa Sagara sangat menderita karenanya.Kata yang seakan menegaskan jika Fidella memang gadis murahan, yang mengemis belas kasih pada musuhnya sendiri. Tiap kata yang mengikrarkan jika Fidella adalah gadis terkejam di muka bumi, dengan menjadikan Sagara sebagai budak pelampiasannya.Benar, Fidella membenarkan hal itu. Semula ia meminta Sagara menikahinya hanya untuk menghindari aib yang akan melukai harga diri keluarganya.Fidella sama sekali tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Sagara mengenai kejadian ini. Karena sejak awal nalar gadis itu memiliki keyakinan tinggi, jika hatinya tidak akan terusik atau melemah untuk sekadar memikirkan perasaan pria yang menjadi su

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status