"Aku sudah sangat merindukanmu."
"Ahh, mengapa aku belum dipanggil juga? Rasanya satu menit ini sudah seperti satu jam. Waktu berjalan sangat lambat, ish, menyebalkan!" Fidella terus mendumel tak karuan, sebegitu tidak sabarnya dia menanti detik-detik terindah dalam hidupnya ini.
"Aku sangat bahagia dan juga gugup, honey."
Ketukan pintu terdengar sangat nyaring hingga membuat Fidella cukup terkejut akan hal itu. Nyonya Hara masuk menghampiri Fidella dengan tergesa.
Wanita paruh baya yang nampak anggun dengan gaun putihnya itu memandang miris putrinya. Hatinya kian teriris melihat ekspresi bahagia Fidella.
Wanita itu nampak sangat cantik menggunakan gaun pengantin panjang serta penutup wajah. Rambut sebahu yang dibiarkan tergerai membuat Fidella terlihat semakin manis. Sebuah aksesoris berbentuk kupu-kupu berwarna perak yang mengkilap semakin menambah kesan anggun pada penampi
"Angin tidak hanya berembus di satu tempat, Fidella. Semua akan berlalu dengan semestinya, kuatlah."-Sagara Affandra-***Hai, Fidella.Ini hari kesepuluh kita tidak saling menyapa. Seharusnya kita bertemu sekarang, berdiri di depan altar dan mengucap janji sehidup semati.Kau pasti sangat cantik hari ini, kerugian bagiku karena tidak bisa melihat kecantikanmu itu. Membayangkannya saja sudah membuatku senang, apalagi jika aku berada di sana.Cih, apa yang sedang aku lakukan sekarang? Memuji padahal aku sedang menyakitimu. Maaf, tolong maafkan manusia bodoh dan brengsek ini.Aku tidak bisa menjadi mempelai priamu. Aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk membahagiakanmu. Aku tidak bisa menjadi rumah untuk hatimu berpulang jika ia lelah.Bukan a
Hening, tidak ada kata terucap dari keduanya setelah ucapan terakhir Sagara. Posisi duduk Fidella membelakangi Sagara, mereka berdua terlihat seperti pasangan pengantin yang sedang bertengkar.Bagaimana tidak? Penampilan keduanya pasti membuat semua orang yang melihatnya berpikir demikian. Fidella yang masih mengenakan gaun pengantin, juga Sagara yang mengenakan tuxedo hitam dengan gaya rambut tanpa poni itu cukup untuk menipu semua mata.Sepatu kulit Sagara yang mengkilap itu memunculkan bayangan sang pemilik dan seorang wanita di sebelahnya. Pria itu memang sengaja melihat bayangan dirinya dan Fidella dari sana."Aku menepati janjiku. Jadi, berbahagialah.""Tidak ada alasan untukku bahagia saat ini," balas Fidella untuk yang pertama kalinya sejak Sagara hadir di sana."Kenapa tidak? Sejatinya kau punya beribu kesempatan untuk bahagia setiap hari. Tergantung kemampuanmu menciptakan kebahagiaan it
Fidella meraih tangan Sagara yang sedang sibuk menyeka air matanya. Lalu ia menggenggam tangan kekar itu erat."Kumohon bantu aku, Sagara.""Shit, wanita gila ini benar-benar keras kepala!" Sagara mengempaskan tangan Fidella lalu berdiri sambil berkacak pinggang penuh emosi.Pupus sudah harapan terakhir Fidella, mungkin ia memang harus menerima kenyataan pahit ini. Ditinggal pria yang sangat ia cinta di hari pernikahannya dan mendapat cibiran karena pembatalan pernikahan ini. Oh, takdir memang kejam."Bangunlah!"Fidella mendongak saat mendapati uluran tangan Sagara. Ia menatap lekat pria itu penuh tanya."Cepat bangkit, bukankah kau bilang kita harus menikah?""Kau setuju?""Apa ungkapanku barusan t
"Lakukanlah," ujar Fidella yang entah serius atau tidak."Hm, kau yakin?" Sagara menatap Fidella datar dan penuh keheranan."Hanya untuk menyempurnakan acara ini. Lakukanlah sebelum aku berubah pikiran," ketus Fidella menjawab.Sagara terkekeh sangat manis. Gadis ini memang selalu membawa hiburan tersendiri baginya."Bilang saja kau memang ingin mendapat ciuman sensualku," kelakar Sagara menggoda, Fidella membulatkan matanya."Itu tidak benar! Jangan pernah berpikir jika aku menginginkan hal itu. Semuanya hanya demi kesem, eumph."Sagara membungkam bibir Fidella membuat gadis itu terkejut dengan gerakan cepat Sagara. Fidella tak sempat mengambil ancang-ancang.Ia b
"Kenapa hanya berdiri di situ? Kemarilah!" titah Ayah Fidella pada Sagara yang sedang berdiri di ambang pintu masuk ruang makan.Mereka berkumpul di ruang makan, terlihat Daniel yang sudah memulai sarapannya tanpa menunggu kehadiran sang kakak ipar. Sedangkan Fidella dan kedua orang tuanya masih menunggu Sagara bergabung.Ini adalah hari pertamanya menjadi seorang suami, sekaligus menjadi bagian dari keluarga besar Reno Vinandra Mathewson, ayah mertuanya. Fidella menoleh ke arah sang suami sambil menampilkan wajah malas. Kontras dengan ekspresi sendu yang kemarin mendominasi wajah cantik gadis itu."Nikmati saja kegilaannya, Sagara," batin pemuda itu menyunggingkan senyum tulusnya pada kedua mertua juga adik iparnya. Namun, tidak untuk istrinya."Kau pasti lelah, 'kan? Itu sebabnya kau bangun se
Fidella dan Sagara sedang dalam perjalanan menuju penthouse Central Park West, kediaman Sagara. Sudah sejak lima tahun lalu Sagara menjadi salah satu pemilik hunian yang digadang-gadang sebagai apartemen atau penthouse termewah di Amerika itu.Karir cemerlangnya sebagai salah seorang ahli bedah di departemen HPB rumah sakit Downtown, berhasil memberikan pundi-pundi yang terbilang fantastis. Tidak heran hunian dengan luas 626,5 meter persegi, yang dibandrol dengan harga sekitar US$ 88 juta itu bisa dengan mudah Sagara dapatkan dari hasil kerja kerasnya selama ini.Pria berusia dua puluh delapan tahun itu memang terbilang anak yang mandiri dan hebat. Di usia muda sekitar dua puluh satu tahun, ia sudah berhasil menyelesaikan pendidikan kedokterannya di Tokyo University dengan nilai IPK Cum Laude yang mampu membuat semua mahasiswa di muka bumi ini menjerit iri.
Lima belas menit berlalu, akhirnya pasangan suami istri itu tiba di penthouse mewah yang selama ini menjadi hunian seorang Sagara Affandra Ramirez. Penthouse condominium ini berada di lantai paling atas gedung apartemen tersebut.Sejak pertama kali menginjakkan kaki di kediaman suaminya, Fidella tak jemu-jemu berdecak kagum. Matanya berbinar menyaksikan hunian yang lebih terlihat seperti taman surga ini.Ruang tengah yang menjadi lobi utama rumah itu sangat luas. Sepanjang mata memandang ruangan itu hanya menyuguhkan keindahan yang tidak bisa Fidella sanggah kenyataannya. Ia tidak peduli dengan cibiran Sagara yang mengatakan jika dirinya terlihat seperti orang bodoh dan kampungan.Marmer crem dengan corak garis seperti akar pohon menjadi pijakannya. Gaya arsitektur bangunan ini klasik dan sangat elegan. Cocok dengan kepribadian
Sagara meringis kesakitan, tangisnya semakin kencang dan cukup untuk mengundang perhatian banyak orang. Mereka yang melihat hanya sekedar menjadi penonton tanpa niat turut campur. Tidak ada prihatin bagi si kecil, tidak ada uluran tangan yang bersedia menepuk punggungnya, menenangkan, juga menyeka air matanya."Ya ampun, Sagara!" teriak ayah Sagara terkejut saat mendapati sang putra menangis sembari bersimpuh di bawah aspal.Pria itu membuang beberapa container—tempat yang sebelumnya digunakan untuk menyimpan ikan ke sembarang arah. Ia berlari menghampiri Sagara dan meraih bocah itu, Tuan Andra Ramirez memeluk putranya erat."Ayah, hiks, hiks." Sagara terisak. Sungguh miris sekali keadaan bocah tampan itu."Tenang, ayah di sini, Sayang. Kau baik-baik saja?" Ayah Sagara meraih wajah
"Siapa bintang tamunya?" tanya Fidella penasaran. Jenny menggulum senyum, sepertinya rencananya mengajak Fidella akan berjalan lancar."Michael Bubble," sebut Jenny sambil menjentikkan jarinya."Really?" pekik Fidella senang."Yups, benar sekali," jawab Jenny yakin.Michael Bubble adalah salah satu penyanyi jazz yang sangat diidolakan Fidella. Beberapa album dari penyanyi berbakat yang sekarang sudah berusia sekitar empat puluh tahunan itu sudah Fidella koleksi sejak lama.Salah satu album yang paling gadis itu suka adalah "It's Time" dan "Call Me Irresponsible". Dengan kedua album itu karir Michael Bubble semakin melejit hingga lagu-lagunya di album itu sukses merajai tangga lagu di Kanada, Us Billboard 200, dan Australia Album Chart.Bisa kalian bayangkan bagaimana perasaan Fidella sekarang ini? Bertemu dengan sang idola, sungguh hal yang
"Jika seperti itu yang terjadi, maka lanjutkan saja. Jangan biarkan kebencian itu luntur sedikit pun hatimu. Jika dengan membenciku hatimu akan lebih tenang, maka benci aku selamanya. Lupakan kata-kataku yang pernah memintamu untuk tidak melepasku. Buang aku sejauh yang kau mau!" balas Sagara yang meneriaki Fidella.Merasa hatinya kian panas memikirkan hal tersebut, Sagara mencoba menarik napas dalam. Sagara berdiri, ia tidak kuat berlama-lama berseteru dengan Fidella."Apa ada yang bisa menghentikan laju angin untuk tidak berembus? Apa ada yang mampu menahan dentang waktu barang sedetik saja?" ketus Fidella menyoal sambil menyeka air matanya kasar.Gadis itu ikut berdiri. Menatap Sagara tajam dan menumpahkan kekecewaannya tanpa ragu dan malu. "Tidak satu pun insan yang mampu menghentikan tumbuh kembang perasaan seseorang. Tidak satu pun orang bisa menghentikan hati untuk men
"Berterima kasihlah padaku!" sungut Fidella kesal."Hah?" pekik Sagara merasa aneh."Aku yang membuatnya bukan ibu!" sentak Fidella sekali lagi. Ia menjelaskan dengan nada tinggi.Sagara terpaku. "Benarkah itu istrinya?" pikir Sagara konyol.Menyadari ini memalukan, Sagara menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Ia dibuat tak menyangka oleh tindakan Fidella, istri keras kepalanya."Maaf, kupikir itu—""Oke, aku paham," potong Fidella memaklumi.Gadis itu ikut berjongkok di sebelah suaminya. Dia meletakan nampan dan gelas jus tadi di atas tanah berlapis rumput."Setiap pagi kerjaanmu memberi makan ikan. Apa kau tidak bosan?" tanya Fidella membuka pembicaraan atau kalau tidak, kecanggungan ini akan mencekiknya lagi."Tidak sama sekali. Jika aku bosan, mungkin ikan-ikan cantik ini
"Hoamm ...."Fidella menguap lepas saat terbangun dari lelapnya. Ia mengerjapkan mata dan merasakan sesuatu yang aneh di daerah kening.Gadis itu mengambil handuk yang ternyata masih menyampir di sana. Fidella mengangkat sebelah alisnya, merasa heran."Siapa yang mengompresku? Apa itu ibu atau Lolly?" Fidella mencoba menerka-nerka."Wajahku terasa ringan dan tidak lengket. Apa ibu juga yang membersihkannya?" Kembali Fidella menerka dan menduga kalau itu adalah perbuatan ibunya, tanpa tahu hal tersebut adalah hasil kerja keras Sagara.Gadis itu menoleh ke arah meja. Matanya berbinar saat melihat sebuah mangkuk yang tertutup lengkap d
-Sagara Affandra Ramirez-Aku masuk sedikit mengendap-endap. Gadis itu sudah tertidur tanpa mengganti baju dan menghapus riasan natural di wajahnya. Mungkin karena kelelahan, hingga Fidella tak sempat membersihkan wajahnya.Kuletakan tas kerjaku di bawah ranjang, tepatnya di samping. Aku duduk di tepian tempat tidur Fidella.Walau terpejam, aku tahu mata Fidella sedikit membengkak. Apa dia banyak menangis diam-diam lagi hari ini?Gadis ini pasti tertekan dengan berita yang tersebar. Aku juga heran mengapa dia bisa serapuh ini saat menghadapi masalah yang menurutku tidak terlalu berat, dibandingkan dengan permasalahan tiga tahun lalu.Saat dia baru ke luar dari penjara, banyak orang-orang yang menggunjin
-Sagara Affandra Ramirez-Kulihat Fidella begitu tergesa ke luar dari mobil, berjalan lurus menuju rumah tanpa mengucap satu patah kata pun. Sepertinya dia masih marah padaku, terlihat jelas dari ekspresi juga caranya mendiamiku selama perjalanan pulang tadi.Bahkan, sejak kami berdua keluar dari rumah sakit dia sudah mendiamiku. Hah, wanita memang benar-benar rumit dan memusingkan.Selalu marah tanpa alasan yang jelas. Meminta suatu penjelasan dan ketika aku memberinya, dia malah tersinggung hingga menimbulkan permasalahan baru.Aku membuka seatbelt lebih dulu sebelum menyusul Fidella. Sebuah pesan masuk menghentikan niatku yang semula ingin segera membuka pintu.[Min Woo Hyung]-⟨ Hyena sakit. ⟩-Cobaan apa lagi ini? Tidak cukupkah hanya dengan kemarahan Fidella saja?Kenapa mesti ada hal lain yang membuat kepalaku pusing?
"Sejak kapan kau mendengarkan kata orang?""Tolong jawablah aku sedang tidak ingin membentakmu hari ini, Sagara," pinta Fidella sekali lagi. Ia benar-benar menantikan jawaban itu.Dia ingin memastikan, apakah memang benar ucapan para penggosip itu. Jujur saja, jika ia sakit mengingat ialah penyebab sakitnya Sagara, seperti yang mereka bilang."Aku lebih senang dibentak daripada menjawab pertanyaan tidak penting," balas Sagara penuh ketegasan. Raut wajahnya tak bisa diterka, seperti biasa raut tenang itulah yang ditampilkannya. Meski ada sedikit guratan amarah terlihat, hal tersebut bukan masalah besar, karena mimik tenanglah yang lebih dominan.Sagara langsung beranjak meninggalkan Fidella. Pria itu hampir memasuki ruangannya dan tiba-tiba saja ada sesuatu yang menahannya untuk masuk.Memaksa
Dr. Harold tahu Sagara bukan tipikal orang yang bisa mengungkapkan kegelisahannya. Pria muda itu pandai menyembunyikan perasaan dalam ketenangan yang selalu ia perlihatkan setiap hari.Bahkan, meski Dr. Harold sudah mengenal Sagara hampir enam tahun lamanya. Ia masih belum bisa memahami diri Sagara sepenuhnya. Menurutnya, Sagara itu terlalu misterius.Bukan karena ia tidak ingin memahami bocah itu lebih dalam, hanya saja Sagaralah yang tidak mengizinkan siapa pun memahami dirinya. Sagara tercenung, topik pembicaraan ini mulai terasa tidak nyaman untuknya."Terima kasih atas perhatian Anda, Ketua, tapi untuk urusan ini, biar aku dan Fidella saja yang menyelesaikannya," jelas Sagara dengan tenang dan sopan. Ia ingin menuntas perbincangannya dengan Dr. Harold, tetapi sepertinya itu tidak akan mudah."Alasan apa yang membuatmu bersedia menikahi Fidella, Sagara? Apa kau mencintainya?" tanya Dr. Ha
Yang membuat kubangan emosi Fidella terkuras bukan karena mereka memanggilnya dengan sebutan jalang. Meski itu terdengar menyakitkan juga, tetapi bukan itu yang membuat emosionalnya memuncak, melainkan karena kata demi kata yang menjelaskan bahwa Sagara sangat menderita karenanya.Kata yang seakan menegaskan jika Fidella memang gadis murahan, yang mengemis belas kasih pada musuhnya sendiri. Tiap kata yang mengikrarkan jika Fidella adalah gadis terkejam di muka bumi, dengan menjadikan Sagara sebagai budak pelampiasannya.Benar, Fidella membenarkan hal itu. Semula ia meminta Sagara menikahinya hanya untuk menghindari aib yang akan melukai harga diri keluarganya.Fidella sama sekali tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Sagara mengenai kejadian ini. Karena sejak awal nalar gadis itu memiliki keyakinan tinggi, jika hatinya tidak akan terusik atau melemah untuk sekadar memikirkan perasaan pria yang menjadi su