Barra tidak menjawab ucapan sang papa. Ia paham bagaimana jika laki-laki itu sudah berkehendak tidak akan bisa di bantah. Terlebih jika beliau tahu kalau Barra sekarang sedang bermasalah dengan Delia, pasti papanya akan mengamuk karena tahu putranya yang bersalah. Masih berlanjutnya hubungan dengan Cintiara sudah jadi bukti kalau Barra yang berulah."Jauhi Cintiara sebelum papa yang ngasih peringatan sama dia. Sampai kapanpun papa dan mamamu nggak akan merestui kalian. Dia hanya ingin hartamu saja. Jangan kamu pikir, papa nggak tahu kamu telah membelikannya banyak barang-barang branded, termasuk mobil. Mutasi rekeningmu terdeteksi semua, Barra."Mendengar ucapan sang papa membuat Barra makin bungkam. Dulu ia sudah memprediksi kalau lambat laun papanya bakalan tahu juga. Makanya dia bilang pada Cintiara supaya tidak terlalu sering memakai kendaraannya. Alhasil, gadis itu malah sering memintanya untuk menjemput di kantor dan mengantarnya pulang.Bunyi intercom di meja kerja Pak Adibrata
Delia tersenyum miring sambil membuang muka saat melihat pemandangan tak tahu malu di dekatnya. Cintiara memeluk erat Barra sambil menangis. Sedangkan laki-laki itu berusaha melepaskan diri.Hati Delia tidak hanya hancur, tapi seluruh persendiannya ikut remuk redam dan nyaris membuatnya kalap. Jika tidak ingat harga diri, sudah ditampar dan diamuknya perempuan yang tidak mengenal sopan santun itu. Delia menarik napas dalam-dalam, kemudian menoleh pada Barra yang telah berhasil melepaskan pelukan kekasihnya."Apa Mbak nggak punya etika? Yang kamu peluk itu memang kekasihmu, tapi dia masih menjadi suamiku dan ini di rumah kami. Mas Barra memang mencintaimu dan nggak pernah mencintaiku. Kamu menang, aku akui itu. Tapi tolong, jagalah maruahmu sebagai perempuan. Jangan membuat malu sesama perempuan. Terserah kamu ingin melakukan apa denganya, tapi jangan di hadapanku. Hargai aku di sini. Jika kelak kamu menjadi istri. Apa mau kamu diperlakukan seperti ini? Enggak kan?" Delia berhenti s
Delia langsung masuk kamar di lantai bawah. Tidak menempati kamarnya sendiri karena berada di lantai dua. Wanita itu langsung mandi dan berganti pakaian yang diambilkan Mak Ni dari kamarnya. Dari kusutnya sang majikan ia tahu, pasti ada masalah serius. Kalau tidak, untuk apa malam-malam begini Delia pulang. Terus Barra berulang kali meneleponnya dengan nada panik."Mak Ni, kembali saja ke kamar dan istirahat," suruh Delia pada ART yang tampak mencemaskan dirinya."Mbak, nggak apa-apa sendirian?""Nggak apa-apa.""Mbak, sudah makan apa belum?""Saya nggak lapar, Mak.""Saya ambilkan makan ya?"Delia menggeleng. "Mak Ni istirahat saja."Wanita itu mengangguk kemudian meninggalkan Delia. Baru saja masuk kamar, ponselnya berdering lagi. "Ya, Pak Barra.""Delia pulang ke rumah nggak, Mak?""I-iya, Pak. Barusan sampai.""Saya ada di depan pagar sekarang.""Sebentar, Pak." Mak Ni meninggalkan teleponnya di kamar, gegas ke kamar Delia dan mengetuknya perlahan. Tak lama sang majikan membuka pi
Barra turun dari mobilnya dan melangkah tergesa menghampiri mertua yang masih berdiri di teras. Pria berkaus hitam dan celana jeans warna biru itu mencium tangan mertuanya."Ayo, masuk!" ajak Pak Irawan. Bu Hesti telah mendahului dan sudah tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan dari menantunya."Rini, buatkan minum untuk Mas Barra," teriak Bu Hesti pada asisten rumah tangganya yang baru berumur delapan belas tahun."Njih, Bu." Terdengar jawaban dari arah dapur."Ada apa sebenarnya, kenapa Delia pulang sendirian malam tadi?" Pak Irawan bertanya dengan sikap masih tenang.Barra mengatur napas. Netranya memerah dan lelah karena menahan sebak dalam dada, juga karena tidak bisa tidur hampir semalaman. Dengan pertanyaan mereka, Barra bisa tahu kalau Delia tak menceritakan permasalahannya. "Maafkan saya, Pa, Ma. Maafkan. Saya yang salah!" ucap Barra sambil memandang kedua orang tua di hadapannya secara bergantian."Memangnya ada apa dengan kalian?" tanya Bu Hesti tidak sabar sambil menat
"Apa yang kamu janjikan sama dia? Bukankah dulu kamu bilang sudah putus dengannya?""Maafkan aku, Pa." Jelas Barra menutupi kenyataan yang sebenarnya. Bilang putus tapi dirinya tidak pernah putus dengan Cintiara. Bahkan setelah menikah pun mereka masih tetap berhubungan. Mereka juga telah merencanakan untuk menikah."Maaf? Kamu pikir semuanya bisa diselesaikan hanya dengan kata maaf. Kalau kata maaf saja sudah cukup, penjara nggak akan ada narapidana. Sekarang jujur, apa yang telah kalian perbuat hingga membuat wanita itu masih juga mengejarmu? Kamu telah menidurinya?"Barra mengangkat wajah. Kaget dengan ucapan sang papa. "Nggak, Pa. Sumpah aku nggak pernah melakukan itu.""Berciuman?"Barra diam.Pak Adibrata menghela nafas panjang. "Barra, Barra. Papa jodohin kamu dengan Delia karena papa dan mamamu tahu, dia gadis baik-baik dan sudah hampir pulih dari traumanya. Nggak ada orang tua yang menjerumuskan anaknya, apalagi soal pasangan hidup. Soal hutang budi pun nggak akan menggelapka
Hawa dingin kian menusuk kulit bersamaan dengan turunnya gerimis sore itu. Gerimis pertama di bulan Oktober. Barra gelisah berdiri di balkon lantai dua. Di kamar yang pernah ditempatinya bersama Delia ketika liburan waktu itu.Pemandangan di kejauhan tak kelihatan karena tebalnya kabut yang menyelimuti. Sepi, hanya bunyi gerimis yang terdengar bak harmoni mengiringi sore kelabu. Sudah empat jam lamanya Barra menunggu, tapi Delia belum juga muncul. Pria itu masih berpikir, mungkin istrinya masih jalan-jalan dan baru ke villa saat menjelang malam.Barra ke luar kamar dan menuruni tangga. Di dapur tampak Pak Marwan sedang membuatkan minum untuknya. Pria yang sebenarnya heran dengan sikap Barra itu hanya tersenyum, tidak berani bertanya banyak hal. Tugasnya hanya menjaga vila, bukan ikut campur urusan keluarga majikannya. "Mas Barra, saya bikinkan jahe panas biar anget di badan," ucap Pak Marwan sambil mengaduk air panas yang sudah dikasih jahe geprek di gelas."Saya jadi ngrepotin, Bapa
Begitu mudahnya kata sabar diucapkan karena luka tidak pernah mengeluarkan suara. Tapi itulah kata penenang yang familiar diucapkan banyak orang.Mak Ni menyelipkan rambut di belakang telinga Delia. "Mbak Delia nggak hanya cantik, tapi juga cerdas. Suatu hari nanti, Allah akan membayar kesakitan ini dengan nikmat yang indah.""Saya yang salah, Mak. Harusnya saya mengakhiri pernikahan ini lebih awal lagi setelah tahu ada perempuan lain di antara kami. Saya salah karena masih berusaha merebut hatinya yang sama sekali nggak ada saya di dalamnya. Sikap saya memalukan karena mempertahankan lelaki yang sebenarnya nggak mau hidup bersama saya.""Berusaha mempertahankan pernikahan itu nggak salah, Mbak. Jangan sesali itu. Setidaknya Mbak sudah berusaha memperjuangkan janji pernikahan yang disaksikan oleh Tuhan."Hening. Delia menoleh ke arah gorden kamar saat mendengar bunyi sesuatu. "Sepertinya turun hujan, Mak." "Iya, hawanya udah beda. Alhamdulillah, musim berganti, Mbak.""Hu um."Delia
Dahi Delia mengernyit untuk mengingat siapa lelaki yang menyapanya. Jaket itu, rambut panjangnya, oh Delia ingat. Dia cowok pemilik mobil yang ditumpanginya saat pergi dari apartemen.Cowok itu pindah duduk di bangku dekat Delia, sambil membawa minumannya. Dia tersenyum. Tampaknya memang masih mengingat siapa Delia. "Kamu masih ingat saya?"Delia masih diam."Kamu lupa ya? Tapi saya masih ingat kamu." "Ya, saya ingat," jawab Delia. "Makasih sudah mengantar malam itu."Lelaki itu mengangguk. Kemudian mengulurkan tangan untuk menyalami Delia. "Kenalan dulu, nama saya Xavier.""Delia."Xavier juga menyalami Mak Ni. Dia mengira wanita itu ibunya Delia. "Saya Xavier, Bu.""Hmm, saya Mak Ni. Saya pembantunya Mbak Delia, Mas." Pria modis berambut panjang yang dicepol dengan aksen undercut di sisi samping dan belakang rambut itu tersenyum ramah.Mereka tidak banyak bicara, hanya sesekali cowok itu menoleh pada Delia. Dilihat dari penampilannya, dia bisa menduga kalau Delia bukan berasal dar
Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu
"Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya
Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau
Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki
Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia
Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun
Di dalam mobil, Barra menunggu Delia yang masih diam. Mereka sekarang sudah berada di parkiran rumah sakit. Parcel buah dan kado telah siap di bangku tengah. Tapi seandainya Delia berubah pikiran, Barra langsung mengajaknya pergi. "Ayo, kita turun, Mas!" ajak Delia pada akhirnya. Barra mengangguk dan langsung membuka pintu. Kemudian mengambilkan parcel dan kado yang tadi mereka beli dalam perjalanan. Pria itu tersenyum pada wanita cantik yang mengaitkan tangan di lengannya. Dengan senyuman, ia ingin menguatkan wanita hebat yang amat dicintainya.Mereka menaiki lift untuk ke lantai dua, di mana Mahika di rawat. Sayangnya tadi Delia tidak sempat mengabari Samudra kalau mau menjenguk Mahika. Kalau hari aktif kerja, pasti kakaknya itu ada di rumah sakit. Tapi hari Minggu begini, biasanya dia mengajak istri dan anaknya ke rumah mertua atau ke rumah orang tua mereka sendiri.Sekarang Barra dan Delia berdiri di depan kamar perawatan Mahika. Tampak di depan pintu ada beberapa pasang sandal.
Kebahagiaan menyelimuti Mahika dan Johan. Pria itu tidak sedetikpun beralih beralih dari anak dan istrinya. Baik keluarga Johan maupun Mahika memberikan ruang untuk pasangan suami istri itu menikmati kebersamaan yang tak lebih dari sehari semalam.Mereka juga tidak peduli dengan kasak kusuk di luar kamar karena status Johan yang masih menjadi narapidana. Tentu saja perbincangan itu bermula dari beberapa orang yang melihat Johan di antar oleh petugas rutan, kemudian diceritakan kepada pengunjung lainnya. Namun pihak rumah sakit juga sudah diberitahu sebelumnya. Samudra termasuk mengambil peran, memberikan masukan bahwa Johan tidaklah berbahaya.Johan sendiri hanya ingin memanfaatkan waktu bersama putranya tanpa peduli telah menjadi bahan pergunjingan."Mas, masih ingat dokter Samudra 'kan?" tanya Mahika saat keduanya makan buah apel. Mahika sudah bisa berjalan dan kini mereka duduk berhadapan. Johan duduk di kursi menghadap Mahika yang duduk di tempat tidurnya.Sementara Bu Hanum dan m
Matahari pagi terbit dari balik gunung di sebelah timur sana. Cuaca lumayan cerah setelah kemarin sore hujan deras mengguyur mayapada. Mahika berdiri di balkon apartemen sambil mencari sinar mentari pagi. Pertemuannya dengan Delia, Barra, dan Samudra beberapa minggu yang lalu masih ia pikirkan hingga sepagi ini. Sebenarnya apapun penerimaan dan pendapat mereka tentang dirinya dan Johan, tak menjadi masalah baginya. Mahika juga paham bagaimana perasaan keluarga Delia setelah terjadi kasus itu. Dirinya tidak bisa memaksa mereka untuk benar-benar tulus memaafkan. Namun Mahika berdoa supaya kelak, pintu maaf dengan keikhlasan dari keluarga besar Pak Irawan akan diberikan untuk Johan. Semoga mereka juga mengerti dan percaya bahwa kejadian itu ada andil besar teman-teman Johan.Mahika juga tidak bisa mengontrol pemikiran orang sesuai keinginannya. Tidak bisa. Apalagi untuk menyetir pemahaman orang lain tentang semua penjelasannya. Namun ia bisa mengontrol diri supaya menerima apapun pandan