Share

Cinta yang Kau Bawa Pergi
Cinta yang Kau Bawa Pergi
Author: Lis Susanawati

Part 1 Pernikahan

last update Last Updated: 2022-12-27 02:24:08

"Aku nggak mungkin nikah sama perempuan kurang waras, Pa. Batalin ajalah acara lamaran besok." Ibarra bicara dengan nada kesal pada kedua orang tuanya ketika mereka sedang makan malam bersama. Setelah beberapa kali menolak, inilah kesempatan terakhirnya untuk berkompromi dengan sang papa, supaya membatalkan perjodohannya.

"Nggak mungkin kita batalin, Barra. Lamaranmu tinggal besok. Dua belas jam lagi dari sekarang," bantah Pak Adibrata sambil menyudahi makannya. "Sudah ada pembicaraan matang tentang pertunanganmu dengan Delia. Jadi jangan membuat ulah yang akan mengacaukan bisnis dan karir politik papa. Ingat juga kesalahanmu yang membuat perusahaan kita rugi milyaran rupiah."

Pria muda itu bungkam seketika. Ia ingat akan kesalahan fatalnya beberapa tahun lalu yang membuat perusahaan hampir gulung tikar. Namun jika ingat kalau ia harus menghabiskan sepanjang hidupnya dengan seorang perempuan yang depresi membuat selera makan Ibarra mendadak musnah. Rica-rica ayam kesukaannya terasa hambar di lidah, padahal pedasnya level paling gila.

"Barra, sebenarnya Delia itu nggak gila. Dia seperti itu karena depresi setelah menyaksikan perampokan di rumahnya. Melihat kakaknya di perkosa hingga meninggal, lalu dua pembantunya di hajar habis-habisan dan salah satunya meninggal dunia. Percayalah dia sebenarnya sudah sembuh. Hanya saja menjadi lebih pendiam sekarang ini." Bu Ratih memberi penjelasan pada putranya.

Ibarra yang biasa dipanggil Barra itu mendengkus kesal. Satu gelas air putih di tenggak habis tak bersisa. Bunyi gelas yang diletakkan di atas meja menimbulkan suara gemeletak sangat keras. Kaca beradu dengan kaca. Membuat adik perempuan Barra tersedak karena kaget.

"Kita banyak berhutang budi pada Pak Irawan. Tentu kamu masih ingat, berapa ratus juta dia gelontorkan untuk menyelamatkan kita dari kebangkrutan. Delia nggak gila, kamu harus ingat itu. Seperti yang mamamu bilang, dia sebenarnya sudah sembuh. Tapi masih perlu minum obat dan terapi."

Pria muda itu bangkit dari duduknya dan menaiki tangga lalu masuk ke dalam kamarnya. Berdiri di balkon kamar. Tidak bisa dibayangkan bagaimana berita pernikahan Ibarra dan Delia akan menjadi trending topik di antara teman-teman mereka. Pria terkeren di kampus dulu, sekarang menikahi perempuan kurang waras. Eksekutif muda yang karirnya mulai meroket memiliki istri yang depresi. Dan Cintiara? Ah, dia akan kehilangan pujaan hatinya itu. Padahal mereka telah banyak membuat perencanaan untuk pernikahan. Cintiara gadis yang baik, sangat baik malah. Itu bagi Ibarra yang memang tergila-gila padanya, tapi tidak dengan penilaian orang tuanya. Dia tak lebih hanya gadis pemburu kejayaan keluarga Ibarra.

Hendak lari dari rumah? Terus pergi ke mana? Banyak yang ia pertaruhkan jika kabur. Reputasinya, karirnya yang merangkak cemerlang, dan orang tua bisa mendepaknya dari anggota keluarga karena telah mempermalukan mereka.

Namun, apa bedanya jika ia tetap menikahi Delia. Tentu orang-orang juga bakalan tahu kalau istrinya perempuan setengah waras. Memang sekarang ini tidak banyak yang tahu kondisi Delia. Karena semuanya di tutup rapat oleh keluarga. Tapi apa selamanya bisa dirahasiakan? Tidak mungkin, bukan?

Ibarra mengambil ponsel dari saku celananya. Kemudian menyentuh nama yang di sematkan paling atas dalam daftar kontaknya. Cintiara, My Beloved Girl.

Tanpa menunggu lama, panggilannya di jawab. Ada suara isak tangis gadisnya di seberang.

"Kamu nangis?" tanya Ibarra dengan suara bergetar, tak kalah pedih.

"Besok kamu tunangan," jawab Cintiara terbata.

"Ya. Tapi percayalah itu hanya tunangan. Belum tentu aku akan menikah dengannya. Karena semua sudah terlanjur dibicarakan, hutang budi, dan demi bisnis kami. Yang penting kamu harus yakin, aku hanya mencintai kamu dan kita pasti akan menikah." Ibarra meyakinkan gadisnya.

Terdengar Cintiara menyusut hidungnya yang berair. "Aku tunggu janjimu."

"Ya, aku pasti akan menepatinya. Sudah malam, kamu tidur ya. Besok sore kita ketemu."

Setelah dijawab oleh Cintiara, Ibarra menyudahi panggilannya. Lantas kembali menerawang menatap kelamnya malam. Tak ada rembulan, bahkan satu bintang pun tak menampakkan diri.

Laki-laki itu duduk di kursi balkon kamar. Menyalakan rokok sambil mengenang kisah cintanya dengan Cintiara yang berjalan hampir empat tahun ini. Gadis yang dikenalnya semenjak duduk di bangku kuliah. Namun dulunya mereka hanya sebatas teman dekat. Kemudian saling menyadari telah jatuh cinta dan akhirnya berikrar menjadi sepasang kekasih.

Entah berapa batang rokok yang habis ia hisap hingga tengah malam dan putungnya menjadi menghuni asbak di meja sebelahnya.

* * *

Begitu cepatnya pagi datang, rasanya Ibarra baru terlelap sebentar saja. Sekarang sang mama sudah menggedor pintu kamarnya berkali-kali. Pria itu menggeliat sambil melihat ke arah jam dinding. Pukul enam pagi. Kenapa masih jam segitu ia dibangunkan? Bukankah acaranya masih dua jam lagi.

"Barra, bangun. Ayo, bersiap!" teriak sang mama dari luar.

"Ya," jawab Barra masih tengkurap.

"Mama tunggu di bawah!"

Sepuluh menit setelah kepergian mamanya, Ibarra baru bangkit dari pembaringan dan melangkah ke arah kamar mandi. Kemudian memakai kemeja warna maroon yang disiapkan sang mama sejak semalam.

Ini hari yang amat meresahkan baginya. Babak baru dalam hidupnya di mulai. Tapi ini hanya pertunangan, masih banyak kesempatan untuk mencari alasan membatalkan pernikahan. Yang penting hari ini lolos dulu. Besok dipikirkan lagi.

Ibarra meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Banyak pesan masuk yang dikirimkan oleh Cintiara. Tentu gadis itu tidak bisa tidur semalaman. Hampir tiap jam mengirimkan beberapa pesan.

Baru saja hendak menelepon, teriakan mamanya sudah terdengar dari arah tangga. Ibarra memasukkan ponsel ke dalam saku celananya, kemudian menyambar jam tangan dan memakainya sambil keluar kamar.

* * *

Di ruang tamu mewah rumah Pak Irawan telah berkumpul dua keluarga yang mengadakan pertemuan, untuk melangsungkan pertunangan dan membicarakan pernikahan antara Ibarra dan Delia.

Keceriaan terpancar dari wajah para orang tua. Tapi tidak dengan Ibarra yang tak banyak bicara. Dia tidak peduli sama sekali apa yang dibahas keluarga.

Tepat di depannya, duduk seorang gadis cantik umur dua puluh tujuh tahun memakai kebaya warna tosca dan rambut di sanggul rapi. Delia diam tanpa ekspresi. Entah apa yang ada dalam benaknya, bahagia atau sebaliknya. Atau sebenarnya dia tidak paham sama sekali tentang acara pagi itu. Mungkinkah depresinya tengah kambuh?

Ibarra ingin memaki, kenapa dia harus menyanggupi perjodohan konyol ini. Orang tuanya begitu tega menjodohkannya dengan gadis depresi yang mungkin dia tak akan paham kalau telah bersuami. Hanya demi balas budi dan kemajuan perusahaan, mereka sanggup menggadaikan kebahagiaannya.

Ibarra yang menunduk diam sangat kaget ketika orang tua mereka sepakat kalau pagi itu juga dirinya akan menikah siri dengan Delia. Dikarenakan tidak mungkin mereka akan mengadakan pesta pernikahan secara besar-besaran sementara mengingat kondisi Delia yang belum pulih sepenuhnya.

"Bagaimana Delia, kamu akan menikah siri dulu dengan Barra? Setelah itu kalian bisa mengurus pernikahan di KUA. Nanti jika kondisi kamu membaik, kita adakan pesta pernikahan?" Pak Irawan bertanya pada putrinya dengan penuh perhatian.

Delia menatap Ibarra cukup lama. Laki-laki itu pun menatapnya dengan pandangan dingin. Meski psikisnya belum benar-benar pulih, dia bisa tahu kalau tatapan pria di depannya menunjukkan rasa tak suka.

"Bagaimana, Delia?" tanya Pak Irawan lagi. Dan dijawab anggukan kepala oleh putrinya.

Bagai hipnotis, Ibarra sama sekali tidak bisa berkata tidak. Keinginan orang tua dituruti. Dia akhirnya sah menikahi Delia meski masih siri.

Pagi ini seperti mimpi bagi pria berahang kokoh itu. Dia seperti terjebak dalam labirin yang diciptakan kedua orang tuanya sendiri. Kenapa mereka begitu tega dengan anak kandungnya sendiri?

Lantas bagaimana dengan Cintiara? Ibarra tidak bisa membayangkan hancurnya perasaan sang kekasih.

Dalam hati Ibarra terbayang remuknya perasaan Cintiara. Namun mereka yang ada di ruangan itu juga tidak menyadari bahwa ada hati lain yang tak kalah hancur melihat gadis pujaannya menikah dengan pria lain.

Dokter muda itu hanya bisa menunduk dalam-dalam. Samudra, kesempatan untuk memiliki perempuan yang dicintai menguap seperti pudarnya kabut pagi.

Sebenarnya dia bisa melihat kalau Ibarra hanya terpaksa menikahi Delia, karena perencanaan keluarga. Samudra tahu semuanya. Sebab setelah kedua orang tuanya tiada dalam sebuah kecelakaan pesawat, Samudra yang saat itu baru berusia sepuluh tahun akhirnya diasuh oleh Pak Irawan. Menjadi kakak angkat untuk Melia, Delia, dan Nira. Melia meninggal dunia di rumah sakit setelah menjadi korban perampokan di rumahnya.

Samudra akan menjadi pria tak tahu diri jika nekat berterus terang ingin menikahi Delia. Sementara Pak Irawan sudah menganggapnya seperti anak sendiri.

"Usiamu sudah tiga puluh tiga, Sam. Menikahlah. Sampai kapan mau ngejomblo. Kamu sudah mapan untuk membangun rumah tangga," kata Pak Irawan ketika mereka makan malam bersama suatu hari.

Setelah Samudra mulai bekerja di sebuah rumah sakit swasta di kota Surabaya, laki-laki itu memilih tinggal di sebuah rumah kontrakan dekat rumah sakit. Kadang seminggu sekali di waktu luangnya, dia berkunjung ke rumah Pak Irawan. Atau pas ada acara tertentu, ia selalu menyempatkan untuk datang. Inilah bentuk balas budinya pada orang yang telah membuatnya seperti sekarang ini. Jasa Pak Irawan tidak akan pernah ia lupakan.

"Mak Ni, obatnya Delia masih ada, kan?" tanya Samudra pada wanita setengah baya yang bekerja di rumah papa angkatnya. Wanita itu yang mengurusi segala keperluan Delia.

"Alhamdulillah, masih ada, Mas."

"Oke. Kalau dia ikut suaminya, tolong obatnya jangan sampai ketinggalan."

"Njih, Pak Dokter. Nanti saya ingatkan Mbak Delia."

Samudra yang hendak pulang, berhenti di dekat tangga ketika melihat Delia turun. "Hai, selamat pengantin baru adikku yang cantik dan sholehah," ujar pria itu sambil tersenyum pada Delia. Meski perasaannya telah lebur, dia akan berusaha tetap menjadi kakak yang baik untuk Delia dan Nira.

"Makasih, Mas."

"Aku belum nyiapin kado buatmu. Kamu mau kado apa?"

Delia diam sambil menunduk. "Doakan saja aku bahagia, Mas. Itu akan jadi kado terindah buatku."

Perasaan Samudra tersentuh. Dadanya terasa penuh dan sesak. "Tentu. Mas akan doain kamu. Telepon Mas jika kamu butuh sesuatu atau ada apa-apa."

"Hu um."

Samudra menatap gadis yang kini sudah bergelar istri orang itu cukup lama. Selama ini kepadanya saja Delia mau banyak bicara. Berhadapan dengan orang baru hanya menimbulkan ketakutan baginya. Jika Ibarra tidak memahami hal ini, akan memperburuk psikis adik angkatnya. Entah apa tujuan papa angkatnya menjodohkan Delia dengan Ibarra yang tampaknya tidak memiliki perasaan terhadap gadis yang diam-diam ia cintai. Samudra menarik napas sejenak. "Mas pulang dulu ya!"

"Iya."

Delia menatap punggung pria itu hingga hilang di balik pintu. Kemudian kembali naik ke lantai dua. Berada satu kamar dengan Ibarra membuat Delia kebingungan, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Lelaki itu pun sangat dingin dan enggan memandangnya.

* * *

"Mbak Delia nggak mau minum obat, Pak." Asisten rumah tangganya memberitahu Ibarra yang ada di ruang kerjanya. Sudah hampir sebulan ini dia mengajak Delia tinggal di salah satu apartemen milik keluarganya. Supaya teman-temannya tidak tahu bahwa ia menikahi perempuan yang terganggu psikisnya.

Pria umur tiga puluh dua tahun itu mendengkus kesal. Meletakkan bolpoinnya di meja lantas ke kamar mereka.

Ibarra mengambil obat dan air minum di nampan yang disediakan oleh ART-nya. Kemudian meletakkan obat itu di telapak tangan Delia. "Kamu minum obatnya. Jangan menambah masalahku dengan hal sepele begini," ucap Ibarra sambil mengangsurkan segelas air putih.

Delia tidak ingin berdebat, meskipun sebenarnya sudah bosan minum obat. Tidak ada perhatian layaknya seorang suami pada istrinya. Sebulan ini mereka tetap menjadi orang asing yang terjebak hidup dalam satu atap.

Namun Delia juga tahu, ia sering mendengar Ibarra bicara dengan seseorang. Berkata mesra dan membujuknya. Dia memang depresi tapi tidak gila. Jadi masih bisa menyimpulkan apa yang dilakukan suaminya. Orang yang sering di teleponnya itu pasti kekasihnya. Lalu untuk apa setuju menikahinya jika ada perempuan lain yang Ibarra cintai.

Setelah pria itu keluar kamar, Delia menatap hampa pada lantai marmer di kamarnya. Terus hubungan mereka ini sebagai apa? Terikat pernikahan tapi tidak saling bercanda. Bicara pun hanya seperlunya saja. Delia rubuh di pembaringan, peristiwa kejam itu kembali terbayang dan membuatnya menggigil ketakutan.

"Kamu kenapa?" tanya Ibarra saat kembali masuk kamar dan melihat Delia meringkuk dengan tubuh dibasahi keringat.

Delia menggeleng.

Ibarra menyentuh kening istrinya yang basah berpeluh.

"Aku nggak apa-apa," ucap Delia lirih.

"Harusnya kamu rutin minum obat. Siang tadi kata Mak Ni obatnya juga nggak kamu minum." Ibarra geram juga. Jika terjadi apa-apa, dialah orang yang sekarang paling bertanggungjawab.

"Maaf, aku hanya menyusahkanmu saja," ucap Delia lirih. Namun jelas di dengar oleh Ibarra.

"Jika nggak ingin menyusahkan aku. Sebaiknya kamu harus baik-baik ngurusi dirimu sendiri."

Delia ketakutan saat memandang wajah tampan Barra yang sama sekali tidak menunjukkan keramahan sebagai seorang suami.

* * *

Selamat datang di kisahnya Delia, guys. Selamat membaca dan selamat mengikuti.

Comments (12)
goodnovel comment avatar
Shelia Attalia
karna namanya nya sama kya nama aku jadi lebih menjiwai...
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
habis baca si Alan Livia bre mampir kesini kak thorr
goodnovel comment avatar
Nurmila Karyadi
miriiss..sama samudra ajaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 2 Rindu

    Samudra meraih ponselnya yang tergeletak di meja kamar. Ada panggilan tak terjawab dari Delia. Dokter itu langsung melakukan panggilan balik. Namun berulang kali di telepon tak ada jawaban. Kenapa Delia meneleponnya malam-malam begini?Lelaki yang masih memakai handuk sebatas pinggang itu gelisah duduk di pinggir pembaringan. Delia meneleponnya waktu dia masih mandi tadi. Samudra memandang jam dinding di kamarnya. Jam sepuluh malam. Perasaannya tak tenang. Semenjak menikah dan ikut Barra pindah, Delia hampir tidak pernah menghubunginya. Gadis yang dulunya periang itu kini jadi pendiam setelah kejadian perampokan setahun yang lalu.Mak Ni, Samudra mencari nomer asisten rumah tangga yang menemani Delia. Namun ia hanya memandang sederetan angka itu tanpa melakukan tindakan. Sudah malam, Samudra tidak enak kalau nanti akan mengganggu wanita itu. Kasihan, dia juga butuh istirahat.Samudra bangkit dari duduknya dan mengambil baju ganti di lemari. Kemudian menunaikan shalat isya. Kekhawati

    Last Updated : 2022-12-27
  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 3 Pertemuan Dua Lelaki

    Delia memandang di seberang jalan. Dalam mobil Barra ada perempuan yang tadi dilihatnya.Cukup lama keduanya terdiam. Delia tidak ingin bicara lebih dulu karena bukan dia yang harus menjelaskan. Sedangkan Barra masih memandangnya. Kemudian berdiri menegakkan tubuh. "Yang kamu lihat bersamaku tadi namanya Cintiara," kata Barra mulai bicara. "Kekasihmu?" tanya Delia menatap manik hitam suaminya.Barra diam. "Nggak usah merasa canggung atau apa. Orang nggak waras tak kenal cemburu, Mas. Nggak kenal sakit hati juga. Susah senang dia akan terus tersenyum," Delia bicara dengan tenang. Di puncak rasa sakit, kecewa, trauma, dan bayangan buruk yang sekejab tadi menjelma, Delia bisa setegar itu. Biasanya dia histeris jika ada sesuatu yang membuatnya teringat lagi oleh tragedi setahun yang lalu. Tapi kali ini dia bisa tenang. Meski sebenarnya dalam hati merasakan luka. Dia tidak gila, jadi perih tetap ia rasakan.Cak Rohmat yang baru kembali dari membeli rokok, menyapa ramah pada Barra. Kemudi

    Last Updated : 2022-12-27
  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 4 Dinner I

    "Apa perkataanku salah?" tanya Barra penuh selidik."Seorang kakak pasti mencintai dan akan melindungi adiknya," jawab Samudra. Dia harus mengendalikan emosi. Jika sampai mengaku, keadaan bisa runyam. Barra bisa menimbulkan masalah baru dengan memanfaatkan pengakuannya. Bisa saja Barra menuduhnya menjadi penyebab kehancuran rumah tangganya dengan Delia. Padahal sejak awal Samudra sudah bisa merasakan kalau hubungan mereka tidak sebaik yang dikira keluarganya. Jika suatu hari nanti dia harus bicara jujur, mesti dipastikan waktunya tepat saat itu."Aku titip adikku.""Seorang suami juga tahu apa yang harus dilakukan pada istrinya," jawab Barra cepat.Samudra menarik napas berat. "Oke, kamu lebih berhak. Tapi jangan buat dia lebih sakit dari sebelumnya. Kamu tidak tahu bagaimana dia berjuang mengatasi trauma."Hening. "Aku mengenalmu sudah lama, dokter. Semenjak remaja kita sering bertemu. Sebagai sesama lelaki, aku bisa merasakan bagaimana perasaanmu pada Delia. Bukan perasaan seorang

    Last Updated : 2022-12-28
  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 5 Dinner II

    Tangan Delia mulai gemetar saat ingat bagaimana lelaki jahanam itu menggagahi dan menyiksa kakaknya. Gadis itu menunduk dan memejamkan mata. Kedua tangannya diapit di antara paha untuk menyembunyikan getarnya. Kemudian menarik napas berulang kali hingga dadanya tak sesak lagi.Barra yang mulai paham dengan kebiasaan Delia mengambil air minum di pintu mobilnya. "Minumlah!""Terima kasih."Dua puluh menit kemudian mereka memasuki gerbang pemukiman elite kediaman Pak Adibrata. Mobil masuk ke halaman sebuah rumah mewah berlantai dua. Barra meraih tangan Delia ketika mereka melangkah menuju teras rumah. Tangan wanita itu terasa dingin dan gemetar dalam genggaman suaminya. Baru kali ini Barra bisa merasakan kecemasan Delia. "Yang berada di dalam sana kerabat semua. Kamu nggak usah takut."Delia mengangguk pelan. Di depan keluarga mereka harus terlihat mesra.Kehadiran mereka jadi pusat perhatian karena datang paling telat. Dengan senyum ramah, Barra membalas sapaan para kerabat dan membawa

    Last Updated : 2022-12-28
  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 6 Twilight 1

    Delia kaget saat tangannya diraih oleh seseorang dari belakang. Ketika menoleh, Barra sudah berdiri di sebelahnya dan mengajaknya masuk ke kamar. "Maaf, maaf karena tadi malam aku lupa membuka lagi kuncinya," ucap Delia setelah Barra merebahkan diri di ranjang. Dan dia berdiri di samping pembaringan."Nggak apa-apa," jawab Barra dengan mata terpejam, masih mengantuk. Dia baru bisa tidur kira-kira jam tiga pagi. Setelah tahu kamarnya masih dikunci, Barra tidur di salah satu kamar kosong di lantai dua itu. Sang papa mengajaknya bicara hingga jam satu malam. Bukan bicara tentang pekerjaan saja, tapi bagaimana dia harus memperlakukan Delia yang sebenarnya belum benar-benar pulih. Rupanya selama ini papanya mengawasi, bisa jadi bertanya juga pada Mak Ni. "Barra, papa nggak ingin mendengar kamu menyia-nyiakan Delia. Awas saja kalau kamu jadi lelaki yang nggak tahu tanggungjawab."Baru saja Delia duduk di sisi ranjang sebelah Barra, ia dikagetkan oleh sang suami yang kembali bangun dari ti

    Last Updated : 2022-12-30
  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 7 Twilight 2

    "Assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaikumsalam. Lagi ngapain?""Lagi santai. Mas Sam, di rumah sakit ya?""Ya, habis Shalat Zhuhur. Kamu sudah shalat?""Belum.""Loh, udah jam berapa ini? Bentar lagi udah masuk waktu Asar. Mas saja hampir telat tadi. Delia, jangan tinggalkan shalat selagi kamu tidak uzur. Shalat dulu, ya!""Iya, Mas.""Shalat dulu, nanti baru telepon mas lagi.""Hu um." Delia mematikan panggilannya dan segera bangkit untuk menemui Mak Ni yang tengah menyetrika. Ingin sembahyang di kamar wanita itu saja.Delia menatap ujung sajadah cukup lama setelah selesai berdoa. Ada tenteram yang menyusup perlahan ke sanubarinya. Ada ketenangan menghuni jiwanya. Gadis itu menunduk dan menangis. Ia memang harus kembali pulih dan bangkit. Biar pengorbanan yang dilakukan Samudra yang setia mendampinginya tidak sia-sia. Supaya orang tuanya juga bahagia melihatnya pulih seperti sedia kala.* * *"Mak Ni, mana kunci pintu balkon? Aku ingin mencari udara segar di luar." Delia mendekati pembant

    Last Updated : 2022-12-30
  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 8 Penunggang Tangguh 1

    Barra termenung di kursi ruang kerjanya sambil memperhatikan map warna kuning yang ada di atas meja. Di situ sudah lengkap surat-surat persyaratan untuk pengajuan nikah secara hukum negara. Namun perkataan Delia tadi malam masih tergiang di telinga. "Nggak usah, Mas. Nggak perlu ngurus surat nikah ke KUA. Mas, layak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dariku. Aku ini ... perempuan nggak waras. Kekasihmu pasti jauh lebih baik untuk menjadi istrimu."Tidak waras. Dirinya pernah mengatakan hal itu juga, tapi sekarang kenapa ikut merasakan sakit ketika Delia mengatai dirinya sendiri. Sekejam itukah Barra?Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan laki-laki berkemeja warna biru itu. "Masuk!" perintahnya.Muncul office boy yang tadi dimintanya untuk membelikan makan siang karena ia malas keluar. "Makasih," ucapnya pada pemuda yang mengangguk hormat padanya.Baru saja membuka kotak nasi, ponselnya di atas meja berdenting. [Aku sedang makan siang. Kamu sudah makan apa belum?] Cintiara

    Last Updated : 2022-12-30
  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 9 Penunggang Tangguh 2

    Pak Irawan kemudian mengalihkan percakapan dengan membahas bisnisnya. Samudra anak yang paling bisa mengerti kalau diajak cerita, meski bisnis bukan dunianya. Dia tidak perlu lagi membahas tentang jodoh untuk Samudra. Sejak awal dia dan istrinya sudah sepakat memberikan kebebasan pada sang putra. Padahal banyak rekan bisnis mereka yang memiliki putri berprestasi, ada yang dokter juga, bahkan sudah ada rekan Pak Irawan yang berniat menjodohkan putrinya dengan Samudra. Namun Pak Irawan tidak ingin memaksakan kehendaknya. Dia menghargai keputusan anak lelakinya. Nanti saja kalau sudah kelewat usia dan Samudra belum segera menikah, baru mereka akan mengambil sikap.* * *Sabtu pagi keluarga Pak Irawan bersiap-siap hendak bepergian. Tadi malam telah disepakati kalau mereka akan traveling hari itu. Kulineran, pergi ke pacuan kuda, dan akan menginap di Malang. Kebetulan Samudra tidak ada jadwal piket untuk hari Sabtu ini.Dua mobil dipersiapkan. Satu mobil milik Pak Irawan, satunya lagi mobi

    Last Updated : 2022-12-30

Latest chapter

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 157 Hari yang Indah 2

    Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 156 Hari yang Indah 1

    "Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 155 Lamaran 2

    Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 154 Lamaran 1

    Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 153 Damai 2

    Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 152 Damai 1

    Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 151 Ketulusan Hati 2

    Di dalam mobil, Barra menunggu Delia yang masih diam. Mereka sekarang sudah berada di parkiran rumah sakit. Parcel buah dan kado telah siap di bangku tengah. Tapi seandainya Delia berubah pikiran, Barra langsung mengajaknya pergi. "Ayo, kita turun, Mas!" ajak Delia pada akhirnya. Barra mengangguk dan langsung membuka pintu. Kemudian mengambilkan parcel dan kado yang tadi mereka beli dalam perjalanan. Pria itu tersenyum pada wanita cantik yang mengaitkan tangan di lengannya. Dengan senyuman, ia ingin menguatkan wanita hebat yang amat dicintainya.Mereka menaiki lift untuk ke lantai dua, di mana Mahika di rawat. Sayangnya tadi Delia tidak sempat mengabari Samudra kalau mau menjenguk Mahika. Kalau hari aktif kerja, pasti kakaknya itu ada di rumah sakit. Tapi hari Minggu begini, biasanya dia mengajak istri dan anaknya ke rumah mertua atau ke rumah orang tua mereka sendiri.Sekarang Barra dan Delia berdiri di depan kamar perawatan Mahika. Tampak di depan pintu ada beberapa pasang sandal.

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 150 Ketulusan Hati 1

    Kebahagiaan menyelimuti Mahika dan Johan. Pria itu tidak sedetikpun beralih beralih dari anak dan istrinya. Baik keluarga Johan maupun Mahika memberikan ruang untuk pasangan suami istri itu menikmati kebersamaan yang tak lebih dari sehari semalam.Mereka juga tidak peduli dengan kasak kusuk di luar kamar karena status Johan yang masih menjadi narapidana. Tentu saja perbincangan itu bermula dari beberapa orang yang melihat Johan di antar oleh petugas rutan, kemudian diceritakan kepada pengunjung lainnya. Namun pihak rumah sakit juga sudah diberitahu sebelumnya. Samudra termasuk mengambil peran, memberikan masukan bahwa Johan tidaklah berbahaya.Johan sendiri hanya ingin memanfaatkan waktu bersama putranya tanpa peduli telah menjadi bahan pergunjingan."Mas, masih ingat dokter Samudra 'kan?" tanya Mahika saat keduanya makan buah apel. Mahika sudah bisa berjalan dan kini mereka duduk berhadapan. Johan duduk di kursi menghadap Mahika yang duduk di tempat tidurnya.Sementara Bu Hanum dan m

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 149 Buka Puasa 2

    Matahari pagi terbit dari balik gunung di sebelah timur sana. Cuaca lumayan cerah setelah kemarin sore hujan deras mengguyur mayapada. Mahika berdiri di balkon apartemen sambil mencari sinar mentari pagi. Pertemuannya dengan Delia, Barra, dan Samudra beberapa minggu yang lalu masih ia pikirkan hingga sepagi ini. Sebenarnya apapun penerimaan dan pendapat mereka tentang dirinya dan Johan, tak menjadi masalah baginya. Mahika juga paham bagaimana perasaan keluarga Delia setelah terjadi kasus itu. Dirinya tidak bisa memaksa mereka untuk benar-benar tulus memaafkan. Namun Mahika berdoa supaya kelak, pintu maaf dengan keikhlasan dari keluarga besar Pak Irawan akan diberikan untuk Johan. Semoga mereka juga mengerti dan percaya bahwa kejadian itu ada andil besar teman-teman Johan.Mahika juga tidak bisa mengontrol pemikiran orang sesuai keinginannya. Tidak bisa. Apalagi untuk menyetir pemahaman orang lain tentang semua penjelasannya. Namun ia bisa mengontrol diri supaya menerima apapun pandan

DMCA.com Protection Status