Dia melangkah mendekat dan memelukku erat. “Dia sudah tua, sudah habiskan gitu banyak waktumu. Kenapa kamu masih nggak mau menerimaku?” “Aku masih muda, dan yang terpenting, aku mencintaimu! Aku pertaruhkan segalanya untuk mencintaimu selama sepuluh tahun. Di mataku, di hatiku, hanya ada kau. Aku jauh lebih ‘bersih’ darinya.”‘Bersih?’ Aku mendorongnya dengan kasar, tapi entah kenapa, mataku terasa perih. Sudah lama aku tidak tidur nyenyak. Begitu mataku terpejam, hanya bayangan Diana yang muncul. Kupikir, setelah membalasnya, aku bakal merasa puas. Tapi tidak… yang ada hanya rasa sakit yang begitu dalam, hingga sesak napas. Dari usia 12 hingga 28 tahun, 16 tahun berlalu begitu saja.Tapi aku malah kehilangannya. Aku menyesal... Benar-benar menyesal. Tanpa peringatan, aku menutup wajah dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Reni mencoba mendekat, tapi aku mendongak dan menatapnya dingin. “Kalau kamu nggak mau menghilang dari Kota Jama, cepat pergi.” “Dan satu hal lagi,
Sebulan sebelum pernikahan kami, Adrian Wisak menghilang. Aku cari dia ke seluruh kota, tapi nggak ketemu. Pada hari ke-7 setelah kepergiannya, aku dapat kabar—dia terlihat di Kota Salia. Tanpa ragu, aku terbang ke sana malam itu juga. Akhirnya aku menemukannya di atas sebuah kapal. Saat hendak mengetuk pintu, suara tawanya yang sinis terdengar dari dalam. "Aku sengaja dekati Diana Karin cuma untuk buat Kevin Sentosa jijik." "Tapi setelah berhasil dapatkan dia, dia malah jadi membosankan."Langkahku terhenti sejenak. Nada suaranya terdengar begitu jernih. Dia nggak mabuk. Lalu, kata-kata berikutnya meluncur dari bibirnya, menghujam dadaku seperti belati. "Setelah merasakannya, aku jadi merasa… nggak ada yang istimewa." Tawa menggema di sekelilingnya. "Hebat sekali, Tuan Adrian! Bisa taklukkan cewek secantik dia." Adrian tampak menikmati pujian itu. Dengan santai, ia mengisap rokoknya sebelum kembali bersuara. "Padahal dulu dia rela mati-matian kejar Kevin, ternyata aslinya di
Dia berkata, "Diana, aku nggak berharap kamu menerimaku. Aku hanya berharap kamu bisa hidup bebas sesuai keinginanmu." ‘Konyol sekali.’Aku telah menyapu bersih hatiku, mengusir semua bayangan masa lalu, dan membuka hati untuk Adrian. Aku jatuh, sedikit demi sedikit, ke dalam kelembutannya. Aku mulai membayangkan masa depan penuh kebahagiaan bersamanya. Tapi nggak kusangka, semua itu hanya memberinya kesempatan untuk mencabik-cabik hatiku perlahan. Satu luka, satu sayatan. Sampai aku berlumuran darah. Hidungku terasa perih, mataku penuh dengan penderitaan tak tertahan.Setetes air mata jatuh, tapi segera kusapu hingga tak berbekas. Sementara itu, di balik pintu, suara mereka masih lanjut memberi saran, "Membalas dendam pada seorang cewek? Tentu saja dengan menjatuhkannya dari puncak kebahagiaan ke jurang kehancuran. Bukannya itu jauh lebih menarik?" "Benar, jadi Tuan Adrian, kamu harus kembali padanya. Temani dia pilih gaun pengantin, kirim undangan pernikahan, buat segalanya
Aku duduk tegak, menaikkan nada suaraku, "Kevin, kamu sengaja, kan?" "Lima tahun sudah lewat dan kamu masih suka mengadu domba aku dan dia." "Tapi kuberi tahu ya, apa pun yang terjadi, ini adalah pilihanku. Aku terima konsekuensinya, nggak akan pernah kembali bersamamu." Kevin terdiam sejenak sebelum menjawab dengan sesuatu yang sama sekali di luar dugaan, "Aku kirimkan sesuatu padamu. Aku yakin kamu bakal tertarik." Setelah telepon terputus, sebuah video masuk ke HP-ku. Dalam cahaya redup, seorang gadis berdiri berhadapan dengan Adrian. Dia mengembuskan asap rokok dengan ekspresi santai seperti biasa. Di tengah sorak-sorai orang-orang di sekitar, gadis itu berjinjit, lalu mencium bibirnya. Dan dia... tidak menghindar. Video itu berakhir di sana. Aku membuka akun instagram gadis itu. Sebuah unggahan baru telah diperbarui: [Ini artinya berhasil, kan?]Gambar yang menyertainya adalah foto mereka saat berciuman. Rasa mual menyerangku begitu kuat. Aku berlari ke kamar mandi, be
Bohong. "Dua puluh hari lagi, kita bakal nikah. Selama 20 hari ini, aku bakal tetap di rumah temani kamu, menjadikanmu pengantin paling cantik, oke?" Tapi, Adrian, kita tidak akan punya masa depan lagi. Ia mengusap air mata di pipiku dengan ujung jarinya. Mata indahnya yang selalu terlihat penuh kasih sayang itu menatapku, seolah perasaannya begitu dalam. "Aku keluar sebentar untuk merokok, nanti kita keluar rumah sakit ya." Mungkin Adrian terlalu percaya padaku.Atau mungkin dia memang tidak takut aku akan berpikir macam-macam. Lagipula, dia hanya sedang memainkan peran sebagai cowok yang penuh kasih sayang, seperti yang disarankan teman-temannya. Karena itu, aku ambil HP-nya, yang terus-menerus berbunyi menerima pesan. Kata sandinya adalah tanggal lahirku.Aku selalu tahu itu, tapi selama ini aku nggak pernah membukanya. Begitu ponsel terbuka, aku melihat sederet pesan dari seorang gadis dengan nama [Reni Kirana]. Mereka baru mulai ngobrol kemarin.[Kak Adrian, malam bange
Gaun pengantin itu dibuat khusus selama enam bulan—dirancang oleh desainer favoritku, satu-satunya di dunia. Seminggu yang lalu baru dikirim. Saat kucoba, hasilnya luar biasa. Sayangnya, saat itu, Adrian sedang menghilang, jadi dia belum pernah lihat aku mengenakannya. Sekarang, aku sudah nggak ingin lagi.Menyesal? Nggak, nggak sama sekali.‘Adrian, kau mau main, kan? Ini baru permulaan.’Keesokan harinya, kami pergi memilih gaun pengantin baru. Gaun jadi tentu saja tidak ada yang benar-benar pas. Aku sengaja minta Adrian temani aku seharian, berpura-pura cari gaun yang tepat, tapi tetap saja tidak ada yang cocok. Dalam perjalanan pulang, aku menghela napas, "Sayang sekali... Semua ini gara-gara aku nggak hati-hati." Adrian tersenyum ringan. "Nggak apa-apa, nanti kita bisa cari lagi." Aku menatap matanya lekat-lekat. "Adrian, gaun pengantinku rusak. Gimana kalau kita batal nikah saja?" Tiba-tiba, mobil berhenti mendadak. Tubuhku terdorong ke depan, hampir membentur dasbor, t
...Semua ini bakal jadi hadiah paling menyakitkan yang bisa kuberi padanya. Akhirnya Adrian yang pesan gaun pengantinnya. Katanya, untuk saat ini pakai yang ada dulu, karena ia sudah keluar banyak uang untuk memesan gaun baru dari seorang desainer ternama. Nanti, saat kami nikah di pulau itu, aku bisa pakai gaun yang benar-benar dibuat khusus untukku. Oh, pulau itu? Itu adalah pulau yang dibelinya saat melamarku. Ia menamainya dengan namaku. Sungguh ironis. Saat itu, ketika melamarku, dialah yang berkata akhirnya ia dapat apa yang selalu ia inginkan.Sekarang, menjelang hari pernikahan, dia juga yang ingin kabur dan permalukan aku. ‘Adrian, katakan padaku, apa sesulit itu dapatkan hati yang tulus di dunia ini?’Aku kembali melihat unggahan terbaru dari gadis itu: [Pekerjaan sudah beres! Kak Adrian izinkan aku tetap di sisinya. Aku makin dekat dengan cowok idolaku! Hehe.]Disertai dengan foto candid Adrian saat rapat. Aku menyimpan semuanya melalui screenshot. Lalu menuliskan
"Di mana yang sakit?" Adrian menyentuh wajahku dengan lembut. Aku menunjuk ke dadaku. "Di sini."Dia tertawa nakal, lalu mengecup keningku. "Dasar pembohong kecil, jangan bercanda. Aku pergi sebentar. Malam ini aku pulang lebih cepat untuk temenin kamu." Jadi, tetap pergi, ya? Sudah berminggu-minggu aku menolak disentuh olehnya. Dia pasti sudah sangat nggak sabar. Begitu dia keluar pintu, aku diam-diam mengikutinya dari belakang. Biasanya dia sangat berhati-hati. Tapi malam ini, dia begitu tergesa-gesa hingga tidak sadar aku terus berada di belakangnya.Bahkan saat parkir, dia asal-asalan. Mobil pun lupa dia kunci. Aku menunggu di luar. Terus menunggu... hingga pukul dua belas malam, dia masih belum keluar. Ketika Adrian pulang, aku pura-pura tidur. Dari kamar mandi terdengar suara gemercik air, suara yang membuatku makin gelisah. Dada ini terasa sesak, seperti ada batu besar yang menindih. Beberapa saat kemudian, ranjang di sebelahku melesak ke bawah, dan dia memelukku. Ak
Dia melangkah mendekat dan memelukku erat. “Dia sudah tua, sudah habiskan gitu banyak waktumu. Kenapa kamu masih nggak mau menerimaku?” “Aku masih muda, dan yang terpenting, aku mencintaimu! Aku pertaruhkan segalanya untuk mencintaimu selama sepuluh tahun. Di mataku, di hatiku, hanya ada kau. Aku jauh lebih ‘bersih’ darinya.”‘Bersih?’ Aku mendorongnya dengan kasar, tapi entah kenapa, mataku terasa perih. Sudah lama aku tidak tidur nyenyak. Begitu mataku terpejam, hanya bayangan Diana yang muncul. Kupikir, setelah membalasnya, aku bakal merasa puas. Tapi tidak… yang ada hanya rasa sakit yang begitu dalam, hingga sesak napas. Dari usia 12 hingga 28 tahun, 16 tahun berlalu begitu saja.Tapi aku malah kehilangannya. Aku menyesal... Benar-benar menyesal. Tanpa peringatan, aku menutup wajah dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Reni mencoba mendekat, tapi aku mendongak dan menatapnya dingin. “Kalau kamu nggak mau menghilang dari Kota Jama, cepat pergi.” “Dan satu hal lagi,
Apa Adrian yang berusia dua puluh tiga tahun sangat ingin membunuh dirinya sendiri yang berusia dua puluh delapan tahun? Aku telah jadi bahan hinaan di seluruh kota. Mereka berkata, pengantinku kabur di tengah pernikahan. Yang tersisa di lokasi pernikahan, hanyalah dua orang pria yang berkelahi demi sang pengantin wanita. Kedua pria itu bahkan bukan orang baik. Mereka bilang, bajingan sepertiku seharusnya tidak pernah mendekati Diana. Aku tidak mau dengar apa pun. Aku hanya ingin menemukannya.Aku mencarinya di setiap sudut kota, namun tak berhasil menemukan jejaknya.Saat itulah aku sadar—dulu, ketika aku yang menghilang, betapa putus asanya ia saat mencari keberadaanku. Sekarang, seolah ia sengaja menghapus semua jejaknya. Tidak ada seorang pun yang tahu ke mana ia pergi. Aku minta orang untuk selidiki, tapi yang kudapat hanyalah jawaban, "Tuan Adrian, tolong jangan persulit aku lagi." ‘Ya, tentu saja. Saat dia dengar kata-kataku, dia pasti sudah bersiap untuk pergi.’ ‘Gima
Aku mematikan HP, membayangkan sosoknya dalam balutan gaun pengantin. Pasti sangat indah. Sayang sekali, gaun pengantin yang dipesan khusus itu sudah rusak. Tapi nggak masalah. Apa pun yang ia pakai, bagiku, ia tetap pengantin tercantik. Aku harap, mulai hari ini, aku, Adrian, bisa menyingkirkan segala keraguan dan penyesalan, lalu menjalani hidup yang baik bersamanya. Saat di lokasi pernikahan, aku merasa sangat aneh. Tapi aku tidak mengerti kenapa begitu. Semua prosesi berjalan sesuai rencana. MC sudah berdiri di atas panggung, tamu undangan memenuhi ruangan, tetapi pikiranku melayang entah ke mana. Aku belum melihat Diana. Jantungku berdegup kencang, ada firasat buruk yang merayapi dadaku.Ketika MC berkata, "Mari kita dengarkan apa yang ingin disampaikan oleh sang pengantin pria," aku tersentak. Tidak ada sesi seperti ini dalam susunan acara. Lalu, suara menggema dari speaker muncul di seluruh ruangan. Aku hampir tak bisa berdiri tegak. Tubuhku bergetar.Itu kata-kataku
”Tapi, hidup memang tak bisa ditebak. Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi di detik berikutnya. Aku mendengar setiap kata itu. Aku temani kamu bersandiwara. Aku juga pakai semua taktik balas dendammu—dan dengan kejam, membalasmu dengan cara yang sama.”"Hentikan, jangan katakan lagi... Diana." "Sudah delapan belas tahun... Gimana aku bisa lepasin semua?”Suara Adrian tercekat. Air mata mengalir di pipinya. "Aku harus gimana supaya kamu mau maafin aku? Tolong kasih tahu aku." Aku menghela napas panjang. "Kita bertiga sudah terjebak dalam lingkaran ini terlalu lama. Nggak akan ada kebahagiaan di ujung jalan ini." "Sama seperti gaun pengantin itu—sekali sobek, nggak bisa diperbaiki. Kalau pun dijahit ulang, hasilnya nggak akan sama. Dan kalau dipesan baru, tetap saja ukurannya nggak akan pas." "Itulah akhir dari aku dan kamu." Aku berdiri, menatapnya dengan tenang. "Jadi, jangan cari aku lagi. Aku nggak sanggup terima cinta kalian." "Dan aku nggak akan menoleh ke belakang."
"Hubungan kita sudah berakhir sejak tiga tahun lalu. Pergilah." Namun, Adrian nggak mau pergi. Dia justru beli apartemen tepat di seberang tempat tinggalku dan mulai tinggal di sana. Bahkan, hampir setiap hari dia datang ke kampusku. Dengan muka nggak tahu malu dan sikap pantang menyerah yang menyebalkan, dia bertahan selama setengah tahun, seolah sudah bertekad habiskan sisa hidupnya menggangguku.Kadang, aku benar-benar kesal hingga nggak bisa tahan dan memakinya. "Adrian, tolong hentikan drama cinta basi ini. Sudah nggak ada gunanya, oke?" Matanya langsung memerah, suaranya bergetar saat dia memohon, "Diana, tolong… jangan gini padaku, yah?" "Aku salah bicara, aku nggak harusnya menyakitimu dengan kata-kataku. Aku nggak harusnya berpikir untuk kabur dari pernikahan kita hanya demi buat kamu malu." "Aku benar-benar mencintaimu, hanya saja harga diriku yang terlalu tinggi membuatku nggak bisa terima kenyataan. Aku sudah tahu salah." "Tolong, jangan tinggalkan aku." Aku menatap
Di dalamnya, setiap halaman penuh dengan foto-foto kami—dari awal baru kenal hingga perlahan kita pacaran. Setiap lembar adalah rekaman perjalanan cinta kami. Saat aku membalik ke halaman terakhir, mataku terpaku pada tulisan tangan yang kukenal baik. Huruf-hurufnya tegas, kuat, seolah tidak tergoyahkan: [Diana, aku mencintaimu.]Kak Jilian yang berdiri di sampingku ikut membaca. Matanya beralih kepadaku dengan sedikit panik. "Hei, jangan-jangan kamu bakal tersentuh?" tanyanya hati-hati. Aku menutup album itu perlahan, lalu tanpa ragu melemparkannya ke dalam tempat sampah. "Mana mungkin?" Aku tersenyum dingin. "Kalau aku sampai terharu, berarti semua usahaku sia-sia." Kak Jilian mengembuskan napas lega. "Baguslah! Tapi ada satu hal yang mungkin kamu bakal tertarik." Dari mulutnya, aku mendengar cerita tentang Reni. Rupanya, namanya sempat jadi skandal besar di berita dalam negeri. Ia ketahuan jadi selingkuhan dan tertangkap basah oleh istri sah. Bukan hanya itu, ia bahkan dipukul
Aku segera melihat Adrian muncul. Reni tiba-tiba berlari dan menerjang ke dalam pelukannya. Adrian berdiri di sana, tidak membalas pelukan itu, tapi juga tidak mendorongnya pergi.Aku berdiri cukup jauh, jadi tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Kepala Reni bersandar di dadanya, dan terus menangis tanpa henti. Anehnya, kali ini aku tidak merasakan apa pun di dalam hatiku. Tiba-tiba aku teringat tahun kedua aku pacaran dengan Adrian. Jauh dari lubuk hatiku, aku pernah bertanya kepadanya, "Di masa depan, apa kamu bakal selingkuh? Suka gadis yang lebih muda dan lebih cantik dariku?" Dia menggesekkan wajahnya ke pipiku dengan lembut. "Apa yang kamu bicarakan? Siapa yang lebih cantik dari kamu? Lagian kalau aku sampai selingkuh, maka di dunia ini nggak akan ada pria baik yang tersisa. Aku kenal kamu sejak usia 12 tahun, bersama denganmu sejak usia 25. Setengah dari hidupku, aku sudah bersamamu, mana mungkin aku bisa mencintai orang lain?" Semua itu bohong. Di layar HP-ku,
"Bukan itu maksudku..." Dia mencoba ulurkan tangan untuk menarikku, tapi aku dengan cepat menghindar. Namun, sebelum dia sempat berkata lebih banyak, suara yang begitu familier terdengar dari belakang. "Kalian sedang apa?" Aku berbalik. Di bawah sinar matahari yang menyilaukan, wajah Adrian tersembunyi dalam bayangan, sorot matanya kelam dan dingin menusuk. Auranya begitu menekan, penuh ketegasan. Dalam sekejap, tinjunya menghantam wajah Kevin. Kevin hanya terdiam sesaat sebelum membalas pukulan itu dengan keras. "Kevin, beraninya kamu goda Diana! Kamu mau kubunuh ya?" Mata Adrian memerah, amarahnya membara. Kevin mengusap darah di sudut bibirnya, matanya penuh dengan ejekan, dia pun balas dengan tidak rela. "Adrian, kamu pikir dirimu baik? Berani bersumpah kalau dulu kamu dekati Diana bukan karena mau buat aku muak?" "Kamu berani bilang perasaanmu padanya tulus?" "Ya, aku memang menginginkan Diana, tapi dia nggak pernah balas perasaanku. Sementara kamu? Apa dia tahu kalau di
"Bukankah aku dan Kak Adrian lebih serasi?" Kalimat itu jatuh begitu saja, ringan tapi tajam, menghantam dadaku hingga aku sesak napas. Reni menatapku dengan penuh provokasi. "Seorang cewek biasanya lebih pilih nikah dengan cowok yang lebih mencintainya dibanding ia mencintai cowok itu." "Kamu kira, dia bakal percaya pada orang yang telah mencintai orang lain selama sepuluh tahun, tapi tiba-tiba jatuh cinta padanya dengan mudah? Bukannya hubungan kalian baru lima tahun?" Ternyata Adrian telah ceritakan semua ini padanya. ‘Ya, setelah aku berhenti kejar Kevin, aku berteman dengan Adrian selama dua tahun. Kami baru resmi bersama setelah aku pastikan perasaanku padanya, dan hubungan itu telah berlangsung tiga tahun.’Aku menundukkan kepala, tersenyum tipis. "Kalau kamu gitu yakin dia bakal pilih kamu, kamu nggak bakal datang menemuiku, kan?" Wajah Reni menjadi pucat dan dia langsung dengan cepat menjawab, "Ini hanya masalah waktu, kan? Seperti kamu, yang memilih kejar pria yang kam