"Siapkan uang untuk saya sebanyak satu milyar dari uang pribadi Neil!" Suara Erika cukup keras memberikan perintah pada Joe. "M-maksud Bu Erika? M-maaf, Bu, s-saya tidak berani mengeluarkan uang tanpa izin pimpinan." Joe menjawab dengan takut-takut. Ia sangat paham dengan karakter Erika yang tidak mau dibantah. "Hei! Kamu pikir saya siapa? Kamu nggak menghargai saya? Uang Neil itu juga uang saya! Ngerti, kamu?" Nada bicara Erika mulai meninggi. Wanita itu juga menggebrak meja Joe secara spontan hingga mengeluarkan suara yang sangat keras. Joe makin gugup dan gemetar. Erika melotot dengan tatapan penuh amarah padanya. "Siapkan uang itu sekarang juga! Cepaat!" Erika yang sudah panik karena kedatangan para penagih hutang ke rumahnya, membuat emosinya tidak dapat terkontrol. Bagaimanapun caranya, ia harus mendapatkan uang itu hari ini juga. Erika makin gelisah, hingga ia tidak menyadari bahwa seseorang sejak tadi berdiri di depan pintu ruangan itu, memandangnya dengan geram. "Untu
"CCTV! Ya, aku belum melihat CCTV itu sampai tuntas," pikir Neil sambil menatap iba pada Tiara. Ada rasa penyesalan yang begitu dalam yang dirasakan Neil saat ini. Tiara banyak berubah. Mantan sekretarisnya yang dulu begitu cekatan, energik dan ceria, kini menjadi lebih pendiam. Bahkan Tiara sangat menderita. "Ini semua karena aku. Aku yang menyebabkan dia seperti ini," sesal Neil dalam hati dengan rasa sesak yang begitu menghimpit. Perlahan ia mendekati Tiara. Namun istrinya itu melangkah mundur. "Tia ... kenapa?" Tiara menggeleng. "Jangan, Pak. Aku nggak pantas lagi jadi istri Bapak." Suara Tiara serak, tubuhnya terduduk di ranjang sambil memeluk kedua kakinya. "Tolong jangan bicara seperti itu!" Dada Neil bergemuruh. Sesaat ia menatap istrinya yang tertunduk dengan pandangan kosong. Setelah menghela napas panjang, ia kembali berbicara. "Ya sudah, kamu istirahat dulu. Setelah aku mandi, kita makan." Dengan langkah berat Neil meninggalkan Tiara dan masuk ke kamar mandi. I
"Saya sudah mendapatkan informasi keberadaan Pak Neil, Bu." Seorang pria muda berbicara setengah berbisik dengan Erika di sebuah cafe. "Bagus, Dipa! Dimana suami saya sekarang?" Erika tampak tak sabar. Rokok di tangannya kembali ia hisap dalam-dalam. "Pak Neil kembali ke NaraShop. Dan mereka sekarang tinggal di salah satu kamar kost di sekitar setia budi." Erika mendengkus kesal. " Nadira! Apa perempuan itu yang membantunya? Kurang ajar!" Erika mematikan rokoknya, lalu bangkit berdiri setelah meletakkan selembar uang berwarna merah di meja. "Mau kemana, Bu?" Pria bernama Dipa itu ikut berdiri lalu menyusul Erika ke area parkir. "Aku mau urus suamiku. Kamu urus sekretaris kampungan itu di rumah kostnya! Kalau perlu bunuh saja!" seru Erika tanpa menyadari bahwa suaranya telah menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. "Bu, hati-hati!" Dipa berbisik mengingatkan Erika yang sedang emosi. Tanpa menunggu lagi Erika masuk ke dalam mobil lalu melaju menuju Narashop. "Maaf, Bu Nad
"Neil!" Akhirnya kamu datang juga. Aku tau kamu pasti akan datang menolongku." Wajah Erika seketika berbinar melihat Neil tiba-tiba muncul. Ia spontan melompat dan bergerak hendak melingkarkan tangannya pada perut Neil. Namun, Neil malah mundur beberapa langkah untuk menghindar. Erika kecewa dan sempat terdiam sesaat. Beberapa detik kemudian ia manyadari bahwa dua pria penagih tadi sudah tidak ada di dekatnya. Pandangannya kembali pada Neil yang sepertinya sedang memberi arahan pada dua pria yang datang bersamanya. Sesaat Erika merasa curiga. Ia menduga dua pria berjaket hitam itu bukan karyawan NaraShop. Ia merasakan ada gelagat yang tidak beres, perlahan ia memutar badannya hendak pergi dari tempat itu. Tetapi, baru saja kakinya bergerak, ia tersentak mendengar panggilan Neil. "Jangan kabur, Erika!" Merasa tambah yakin bahwa ada yang mencurigakan, Erika mempercepat langkahnya.Namun ia spontan berteriak saat seseorang menarik tangannya. "Anda harus ikut dengan kami, Bu Erika!
Suara mesin mobil bergemuruh pelan, melaju di jalan yang semakin sunyi. Tiara duduk di kursi belakang, matanya terpejam. Tubuhnya tampak lemas akibat efek semprotan bius yang diberikan padanya. Dipa, yang duduk di kursi pengemudi, menggenggam setir dengan erat. Wajahnya tegang, seperti memikirkan sesuatu yang berat. Di kursi depan dan belakang, dua pria bertubuh kekar yang ikut bersamanya menjaga agar tidak ada kejadian di luar kendali. “Bos, kita mau bawa dia ke mana?” tanya pria di samping Dipa sambil melirik ke belakang. “Ke tempat biasa, di Bogor,” jawab Dipa singkat, tatapannya lurus ke jalan. “Jauh amat, Bos. Nggak ribet?” keluh pria yang duduk di kursi belakang. “Ribet itu kalau kita ketahuan. Diam saja. Lakukan sesuai perintah,” ujar Dipa tegas. Namun dalam hatinya, ia tak bisa menghilangkan rasa tak nyaman yang perlahan muncul. Mobil terus melaju. Lampu jalan yang temaram membuat suasana semakin sunyi dan mencekam. Tiba-tiba, Tiara mulai bergerak pelan. Matanya membuka s
[Tunggu apa lagi? Cepat selesaikan! Jangan bikin aku marah[ pesan Erika muncul di layar ponsel Dipa, membuat tangan pria itu gemetar. Ia memandang Tiara yang duduk di kursi dengan tangan terikat. Wanita itu terlihat lemah dan pasrah, tetapi matanya menyiratkan ketakutan yang dalam. “Bos, kita serius mau nunda lagi?” salah satu pria di belakangnya mendesak. “Erika nggak main-main kalau dia marah.” “Diam dulu! Gue yang atur semuanya!” bentak Dipa, membuat pria itu mundur dengan kesal. “Kalau gitu cepat putusin, Bos. Jangan bikin kita semua kena getahnya,” desak pria lainnya yang berdiri di dekat pintu. Dipa tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke sudut ruangan, menghela napas panjang, lalu membaca ulang pesan-pesan Erika yang terus masuk, semakin marah dan penuh ancaman. [Kalau kamu nggak nurut, aku bakal kirim orang lain buat beresin ini. Kamu nggak bakal dapat apa-apa dariku. Pikirin itu!] Dipa mengepalkan tangannya. Pikirannya penuh dengan kebingungan. Erika memang menjanjikan
Dipa dan kedua temannya menatap tajam pada mobil yang berhenti di depan halaman. Jantungnya berdebar untuk mengetahui siapa yang datang. "Lo Dipa, kan? Jangan coba-coba bikin masalah sama Erika! Kalau lo gak berani, biar gue yang akan ambil alih kerjaan ini." Teriakan seorang pria berbadan besar terdengar keras, memecah ketegangan di halaman rumah kosong itu. Dua pria bertubuh kekar baru saja keluar dari mobil, berjalan mendekati Dipa dengan sorot mata mengancam. Dipa berdiri menahan nafas mencoba untuk tetap tenang. "Memangnya lo siapa, mau ngatur-ngatur di sini, hah?" balas Dipa dengan nada dingin, meski dalam hatinya mulai merasa cemas. Ia membalas tatapan dua pria itu dengan tak kalah tajam. "Kami dapat perintah dari Erika. Dia suruh kita kesini karena lo kerja nggak becus dan lamban," jawab pria pertama dengan tatapan tajam. "Erika nggak mau nunggu terlalu lama." Mata dua pria itu mengedar seakan sedang mencari sesuatu. "Kalau dia nggak sabaran, suruh aja dia kesini. Gue n
“Neil! Kamu yakin tinggal di tempat seperti ini? Apa kamu nggak malu?” Suara Nyonya Helda terdengar lantang, mendominasi suasana tenang di depan rumah kost. Neil baru saja turun dari mobil bersama Tiara ketika ibunya keluar dari mobil mewah dengan raut wajah marah. Neil menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi sang mami. “Mami, tolong jangan begini. Ini sudah malam. Rasanya tidak enak dengan ibu pemilik kost ini." Netra Neil berkeliling mencari sosok ibu kost. Ia merasa bersalah karena ibunya baru saja mengatakan hal yang kurang pantas. "Biar saja. Kamu itu sudah bikin malu keluarga tinggal di tempat seperti ini!” bentak Nyonya Helda sambil menunjuk ke arah kost. “Ingat, Neil, kamu itu anak seorang konglomerat!" Tiara berdiri di belakang Neil, wajahnya pucat. Sejak tadi ia hanya menunduk. Ia tidak mau Nyonya Helda kembali memarahinya. “Ini bukan urusan Mami. Aku nyaman di sini,” balas Neil dengan nada datar, mencoba menahan emosi. “Nyaman? Tinggal di k
"Ini semua untuk kebaikanmu, Erika.”Nyonya Helda menggenggam tangan Erika erat. Wajahnya menunjukkan kepedulian yang dalam, meskipun jauh di lubuk hati, ia masih berharap kehamilan Erika dapat menjadi bukti untuk menyelamatkan nama keluarga. Beberapa jam yang lalu Helda memaksa Erika memeriksakan kandungannya ke dokter spesialis kandungan. Awalnya Erika tidak mau, tapi ibu mertuanya itu memaksa. Hingga mereka tiba di ruang tunggu sebuah kliknik ternama, Erika masih menolaknya. “Mi, aku nggak perlu diperiksa lagi. Dokter sebelumnya sudah bilang kalau aku baik-baik saja,” ucap Erika sambil memalingkan wajah. Nada suaranya terdengar lemah, namun penuh kecemasan. Pikirannya masih dipenuhi oleh penyebab kehamilannya yang ia pikir bukan dari Neil. “Erika, jangan membantah. Kamu harus memastikan kandunganmu sehat. Lagipula, Neil juga harus tahu kalau dia akan punya anak. Kamu ingin dia percaya, kan?” Helda berbicara dengan nada lembut, tetapi ada ketegasan yang tak bisa ditolak. Erika m
"Jangan-jangan kehamilan ini hanya akal-akalanmu saja." Josh mendengkus kasar, pandangannya berpaling dari Erika yang terus memasang wajah memohon. "Tega kamu bicara seperti itu, Josh! Apa kamu nggak pernah mikirin keadaan Erika?” Suara Nyonya Helda melengking di ruang tamu, menghentikan langkah Josh yang hendak pergi. Erika, yang kini duduk bersandar di sofa dengan wajah memucat, mulai menangis histeris. “Kalau Papi terus seperti ini … aku beneran nggak kuat. Aku nggak tahu lagi harus gimana,” Erika menangis terisak, sambil memegang perutnya. “Berhenti menangis, Erika!” bentak Josh, meskipun nadanya mulai melemah. Ia memandang istrinya yang tampak cemas dan bingung. “Josh, apa kamu mau lihat Erika kehilangan anaknya karena stres?” Helda menatap suaminya tajam. “Dia sedang mengandung cucu kita, Josh!” Josh mendesah panjang, lalu mendekati meja di sudut ruangan. “Baiklah, tapi ini tidak akan mengubah apa pun. Aku tetap akan bertindak dan mencari tahu semuanya.” Ia menatap Erika d
“Pergi dari sini! Jangan pernah kembali lagi!” Suara ayah Tiara menggema di halaman rumah. Meski terdengar lantang, pria tua itu tampak gemetar menahan sesak yang menghimpit dadanya. Netranya yang berkaca-kaca tak mampu ia sembunyikan. Rasa malu dan kecewa, atau mungkin juga ada rasa iba yang ia rasakan saat ini. Namun, egonya sebagai seorang ayah lebih besar demi menjaga nama baik keluarganya Tiara hanya bisa menangis tersedu-sedu, hatinya saat ini bercampur aduk. Menyesal, marah dan bingung. Sementara Neil berdiri di sampingnya, mencoba menenangkan. Pria itu pun tak kalah menyesal. Karena dirinya yang tak bisa mengendalikan diri malam itu, hingga akhirnya menodai Tiara. Namun di lubuk hatinya yang terdalam, ia tidak pernah menyesal telah mencintai Tiara. Wanita yang dia anggap luar biasa. Entah kenapa ia bisa terlambat menyadari itu. Diam-diam ia sempat melihat sosok Rohmat melintas diantara para tetangga yang berkerumun. Neil melihat jelas senyum kepuasan dari pria bertampang
“Hei, turun aja deh, jangan bikin ribut di sini!” Seorang pria bertubuh kekar di barisan depan bus berteriak dengan nada kesal. Suaranya diikuti beberapa penumpang lain yang mulai protes. “Kita udah telat gara-gara ini, tahu nggak?” Neil tetap duduk di samping Tiara, tidak bergeming. Wajahnya tegas, matanya menatap lurus ke arah sopir yang masih berdiri di luar pintu bus. Sesekali ia melirik Tiara yang masih menunduk. “Tiara, kalau kamu nggak ikut turun, aku juga nggak akan turun,” ucap Neil pelan namun tegas. Tiara melotot menoleh pada Neil. Lalu menghempas napas kasar. Ia semakin cemas mendengar protes yang terus menerus dari para penumpang. Ia melirik Neil yang terlihat tenang, seolah tak terpengaruh oleh situasi di sekitarnya. Namun, dalam hati, ia tahu, Neil tidak main-main. “Pak, mereka semua marah. Jangan bikin masalah lagi. Saya beneran mau pulang kampung,” bisik Tiara, suaranya bergetar. Ia mulai tampak bingung dan bimbang. Apalagi saat ini hampir semua mata memand
Bab 91 “Tiara! Jangan main-main! Kamu di mana?” Neil berteriak sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar kost. Nafasnya mulai tak teratur, dadanya terasa sesak. Ia melangkah cepat membuka pintu kamar mandi. Tapi Tiara tidak ada di mana-mana. "Apa mungkin dia ke supermarket itu lagi? Tapi ini masih pagj. Supermarket itu pasti belum buka," pikir Neil, lalu bergerak keluar setelah mengenakan pakaiannya. "Bu, Ibu !” Neil berteriak memanggil ibu kost dari lorong. Ia sangat panik hingga tak menyadari bahwa teriakannya mengundang perhatian semua panghuni di pagi itu. Tak lama kemudian, ibu kost keluar dari pintu utama dengan wajah bingung. “Ada apa, Pak Neil?” tanya ibu kost sambil merapikan kerudungnya. “Tiara … istri saya. Apa Ibu lihat dia keluar tadi pagi?” Neil langsung bertanya tanpa basa-basi. Matanya menatap penuh harap. Ibu kost menggeleng. “Nggak, Pak. Dari tadi pagi saya nggak lihat Bu Tiara keluar. Ada masalah, Pak? Apa ... Bu Tiara diculik lagi?" Neil hanya m
“Neil! Kamu yakin tinggal di tempat seperti ini? Apa kamu nggak malu?” Suara Nyonya Helda terdengar lantang, mendominasi suasana tenang di depan rumah kost. Neil baru saja turun dari mobil bersama Tiara ketika ibunya keluar dari mobil mewah dengan raut wajah marah. Neil menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi sang mami. “Mami, tolong jangan begini. Ini sudah malam. Rasanya tidak enak dengan ibu pemilik kost ini." Netra Neil berkeliling mencari sosok ibu kost. Ia merasa bersalah karena ibunya baru saja mengatakan hal yang kurang pantas. "Biar saja. Kamu itu sudah bikin malu keluarga tinggal di tempat seperti ini!” bentak Nyonya Helda sambil menunjuk ke arah kost. “Ingat, Neil, kamu itu anak seorang konglomerat!" Tiara berdiri di belakang Neil, wajahnya pucat. Sejak tadi ia hanya menunduk. Ia tidak mau Nyonya Helda kembali memarahinya. “Ini bukan urusan Mami. Aku nyaman di sini,” balas Neil dengan nada datar, mencoba menahan emosi. “Nyaman? Tinggal di k
Dipa dan kedua temannya menatap tajam pada mobil yang berhenti di depan halaman. Jantungnya berdebar untuk mengetahui siapa yang datang. "Lo Dipa, kan? Jangan coba-coba bikin masalah sama Erika! Kalau lo gak berani, biar gue yang akan ambil alih kerjaan ini." Teriakan seorang pria berbadan besar terdengar keras, memecah ketegangan di halaman rumah kosong itu. Dua pria bertubuh kekar baru saja keluar dari mobil, berjalan mendekati Dipa dengan sorot mata mengancam. Dipa berdiri menahan nafas mencoba untuk tetap tenang. "Memangnya lo siapa, mau ngatur-ngatur di sini, hah?" balas Dipa dengan nada dingin, meski dalam hatinya mulai merasa cemas. Ia membalas tatapan dua pria itu dengan tak kalah tajam. "Kami dapat perintah dari Erika. Dia suruh kita kesini karena lo kerja nggak becus dan lamban," jawab pria pertama dengan tatapan tajam. "Erika nggak mau nunggu terlalu lama." Mata dua pria itu mengedar seakan sedang mencari sesuatu. "Kalau dia nggak sabaran, suruh aja dia kesini. Gue n
[Tunggu apa lagi? Cepat selesaikan! Jangan bikin aku marah[ pesan Erika muncul di layar ponsel Dipa, membuat tangan pria itu gemetar. Ia memandang Tiara yang duduk di kursi dengan tangan terikat. Wanita itu terlihat lemah dan pasrah, tetapi matanya menyiratkan ketakutan yang dalam. “Bos, kita serius mau nunda lagi?” salah satu pria di belakangnya mendesak. “Erika nggak main-main kalau dia marah.” “Diam dulu! Gue yang atur semuanya!” bentak Dipa, membuat pria itu mundur dengan kesal. “Kalau gitu cepat putusin, Bos. Jangan bikin kita semua kena getahnya,” desak pria lainnya yang berdiri di dekat pintu. Dipa tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke sudut ruangan, menghela napas panjang, lalu membaca ulang pesan-pesan Erika yang terus masuk, semakin marah dan penuh ancaman. [Kalau kamu nggak nurut, aku bakal kirim orang lain buat beresin ini. Kamu nggak bakal dapat apa-apa dariku. Pikirin itu!] Dipa mengepalkan tangannya. Pikirannya penuh dengan kebingungan. Erika memang menjanjikan
Suara mesin mobil bergemuruh pelan, melaju di jalan yang semakin sunyi. Tiara duduk di kursi belakang, matanya terpejam. Tubuhnya tampak lemas akibat efek semprotan bius yang diberikan padanya. Dipa, yang duduk di kursi pengemudi, menggenggam setir dengan erat. Wajahnya tegang, seperti memikirkan sesuatu yang berat. Di kursi depan dan belakang, dua pria bertubuh kekar yang ikut bersamanya menjaga agar tidak ada kejadian di luar kendali. “Bos, kita mau bawa dia ke mana?” tanya pria di samping Dipa sambil melirik ke belakang. “Ke tempat biasa, di Bogor,” jawab Dipa singkat, tatapannya lurus ke jalan. “Jauh amat, Bos. Nggak ribet?” keluh pria yang duduk di kursi belakang. “Ribet itu kalau kita ketahuan. Diam saja. Lakukan sesuai perintah,” ujar Dipa tegas. Namun dalam hatinya, ia tak bisa menghilangkan rasa tak nyaman yang perlahan muncul. Mobil terus melaju. Lampu jalan yang temaram membuat suasana semakin sunyi dan mencekam. Tiba-tiba, Tiara mulai bergerak pelan. Matanya membuka s