"Saya sudah mendapatkan informasi keberadaan Pak Neil, Bu." Seorang pria muda berbicara setengah berbisik dengan Erika di sebuah cafe. "Bagus, Dipa! Dimana suami saya sekarang?" Erika tampak tak sabar. Rokok di tangannya kembali ia hisap dalam-dalam. "Pak Neil kembali ke NaraShop. Dan mereka sekarang tinggal di salah satu kamar kost di sekitar setia budi." Erika mendengkus kesal. " Nadira! Apa perempuan itu yang membantunya? Kurang ajar!" Erika mematikan rokoknya, lalu bangkit berdiri setelah meletakkan selembar uang berwarna merah di meja. "Mau kemana, Bu?" Pria bernama Dipa itu ikut berdiri lalu menyusul Erika ke area parkir. "Aku mau urus suamiku. Kamu urus sekretaris kampungan itu di rumah kostnya! Kalau perlu bunuh saja!" seru Erika tanpa menyadari bahwa suaranya telah menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. "Bu, hati-hati!" Dipa berbisik mengingatkan Erika yang sedang emosi. Tanpa menunggu lagi Erika masuk ke dalam mobil lalu melaju menuju Narashop. "Maaf, Bu Nad
"Neil!" Akhirnya kamu datang juga. Aku tau kamu pasti akan datang menolongku." Wajah Erika seketika berbinar melihat Neil tiba-tiba muncul. Ia spontan melompat dan bergerak hendak melingkarkan tangannya pada perut Neil. Namun, Neil malah mundur beberapa langkah untuk menghindar. Erika kecewa dan sempat terdiam sesaat. Beberapa detik kemudian ia manyadari bahwa dua pria penagih tadi sudah tidak ada di dekatnya. Pandangannya kembali pada Neil yang sepertinya sedang memberi arahan pada dua pria yang datang bersamanya. Sesaat Erika merasa curiga. Ia menduga dua pria berjaket hitam itu bukan karyawan NaraShop. Ia merasakan ada gelagat yang tidak beres, perlahan ia memutar badannya hendak pergi dari tempat itu. Tetapi, baru saja kakinya bergerak, ia tersentak mendengar panggilan Neil. "Jangan kabur, Erika!" Merasa tambah yakin bahwa ada yang mencurigakan, Erika mempercepat langkahnya.Namun ia spontan berteriak saat seseorang menarik tangannya. "Anda harus ikut dengan kami, Bu Erika!
Suara mesin mobil bergemuruh pelan, melaju di jalan yang semakin sunyi. Tiara duduk di kursi belakang, matanya terpejam. Tubuhnya tampak lemas akibat efek semprotan bius yang diberikan padanya. Dipa, yang duduk di kursi pengemudi, menggenggam setir dengan erat. Wajahnya tegang, seperti memikirkan sesuatu yang berat. Di kursi depan dan belakang, dua pria bertubuh kekar yang ikut bersamanya menjaga agar tidak ada kejadian di luar kendali. “Bos, kita mau bawa dia ke mana?” tanya pria di samping Dipa sambil melirik ke belakang. “Ke tempat biasa, di Bogor,” jawab Dipa singkat, tatapannya lurus ke jalan. “Jauh amat, Bos. Nggak ribet?” keluh pria yang duduk di kursi belakang. “Ribet itu kalau kita ketahuan. Diam saja. Lakukan sesuai perintah,” ujar Dipa tegas. Namun dalam hatinya, ia tak bisa menghilangkan rasa tak nyaman yang perlahan muncul. Mobil terus melaju. Lampu jalan yang temaram membuat suasana semakin sunyi dan mencekam. Tiba-tiba, Tiara mulai bergerak pelan. Matanya membuka s
[Tunggu apa lagi? Cepat selesaikan! Jangan bikin aku marah[ pesan Erika muncul di layar ponsel Dipa, membuat tangan pria itu gemetar. Ia memandang Tiara yang duduk di kursi dengan tangan terikat. Wanita itu terlihat lemah dan pasrah, tetapi matanya menyiratkan ketakutan yang dalam. “Bos, kita serius mau nunda lagi?” salah satu pria di belakangnya mendesak. “Erika nggak main-main kalau dia marah.” “Diam dulu! Gue yang atur semuanya!” bentak Dipa, membuat pria itu mundur dengan kesal. “Kalau gitu cepat putusin, Bos. Jangan bikin kita semua kena getahnya,” desak pria lainnya yang berdiri di dekat pintu. Dipa tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke sudut ruangan, menghela napas panjang, lalu membaca ulang pesan-pesan Erika yang terus masuk, semakin marah dan penuh ancaman. [Kalau kamu nggak nurut, aku bakal kirim orang lain buat beresin ini. Kamu nggak bakal dapat apa-apa dariku. Pikirin itu!] Dipa mengepalkan tangannya. Pikirannya penuh dengan kebingungan. Erika memang menjanjikan
Dipa dan kedua temannya menatap tajam pada mobil yang berhenti di depan halaman. Jantungnya berdebar untuk mengetahui siapa yang datang. "Lo Dipa, kan? Jangan coba-coba bikin masalah sama Erika! Kalau lo gak berani, biar gue yang akan ambil alih kerjaan ini." Teriakan seorang pria berbadan besar terdengar keras, memecah ketegangan di halaman rumah kosong itu. Dua pria bertubuh kekar baru saja keluar dari mobil, berjalan mendekati Dipa dengan sorot mata mengancam. Dipa berdiri menahan nafas mencoba untuk tetap tenang. "Memangnya lo siapa, mau ngatur-ngatur di sini, hah?" balas Dipa dengan nada dingin, meski dalam hatinya mulai merasa cemas. Ia membalas tatapan dua pria itu dengan tak kalah tajam. "Kami dapat perintah dari Erika. Dia suruh kita kesini karena lo kerja nggak becus dan lamban," jawab pria pertama dengan tatapan tajam. "Erika nggak mau nunggu terlalu lama." Mata dua pria itu mengedar seakan sedang mencari sesuatu. "Kalau dia nggak sabaran, suruh aja dia kesini. Gue n
“Neil! Kamu yakin tinggal di tempat seperti ini? Apa kamu nggak malu?” Suara Nyonya Helda terdengar lantang, mendominasi suasana tenang di depan rumah kost. Neil baru saja turun dari mobil bersama Tiara ketika ibunya keluar dari mobil mewah dengan raut wajah marah. Neil menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi sang mami. “Mami, tolong jangan begini. Ini sudah malam. Rasanya tidak enak dengan ibu pemilik kost ini." Netra Neil berkeliling mencari sosok ibu kost. Ia merasa bersalah karena ibunya baru saja mengatakan hal yang kurang pantas. "Biar saja. Kamu itu sudah bikin malu keluarga tinggal di tempat seperti ini!” bentak Nyonya Helda sambil menunjuk ke arah kost. “Ingat, Neil, kamu itu anak seorang konglomerat!" Tiara berdiri di belakang Neil, wajahnya pucat. Sejak tadi ia hanya menunduk. Ia tidak mau Nyonya Helda kembali memarahinya. “Ini bukan urusan Mami. Aku nyaman di sini,” balas Neil dengan nada datar, mencoba menahan emosi. “Nyaman? Tinggal di k
Bab 91 “Tiara! Jangan main-main! Kamu di mana?” Neil berteriak sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar kost. Nafasnya mulai tak teratur, dadanya terasa sesak. Ia melangkah cepat membuka pintu kamar mandi. Tapi Tiara tidak ada di mana-mana. "Apa mungkin dia ke supermarket itu lagi? Tapi ini masih pagj. Supermarket itu pasti belum buka," pikir Neil, lalu bergerak keluar setelah mengenakan pakaiannya. "Bu, Ibu !” Neil berteriak memanggil ibu kost dari lorong. Ia sangat panik hingga tak menyadari bahwa teriakannya mengundang perhatian semua panghuni di pagi itu. Tak lama kemudian, ibu kost keluar dari pintu utama dengan wajah bingung. “Ada apa, Pak Neil?” tanya ibu kost sambil merapikan kerudungnya. “Tiara … istri saya. Apa Ibu lihat dia keluar tadi pagi?” Neil langsung bertanya tanpa basa-basi. Matanya menatap penuh harap. Ibu kost menggeleng. “Nggak, Pak. Dari tadi pagi saya nggak lihat Bu Tiara keluar. Ada masalah, Pak? Apa ... Bu Tiara diculik lagi?" Neil hanya m
“Hei, turun aja deh, jangan bikin ribut di sini!” Seorang pria bertubuh kekar di barisan depan bus berteriak dengan nada kesal. Suaranya diikuti beberapa penumpang lain yang mulai protes. “Kita udah telat gara-gara ini, tahu nggak?” Neil tetap duduk di samping Tiara, tidak bergeming. Wajahnya tegas, matanya menatap lurus ke arah sopir yang masih berdiri di luar pintu bus. Sesekali ia melirik Tiara yang masih menunduk. “Tiara, kalau kamu nggak ikut turun, aku juga nggak akan turun,” ucap Neil pelan namun tegas. Tiara melotot menoleh pada Neil. Lalu menghempas napas kasar. Ia semakin cemas mendengar protes yang terus menerus dari para penumpang. Ia melirik Neil yang terlihat tenang, seolah tak terpengaruh oleh situasi di sekitarnya. Namun, dalam hati, ia tahu, Neil tidak main-main. “Pak, mereka semua marah. Jangan bikin masalah lagi. Saya beneran mau pulang kampung,” bisik Tiara, suaranya bergetar. Ia mulai tampak bingung dan bimbang. Apalagi saat ini hampir semua mata memand
"Aku ingin kita menikah." Erika yang sedang duduk santai di sofa terkejut saat Boyka tiba-tiba datang menghampirinya. Ia menatap pria itu dengan mata membesar."A-apa?"Boyka duduk di hadapan Erika dengan raut wajah tenang. Menghela napas panjang. Memandang wajah Erika sesaat, lalu kembali bicara."Aku ingin kita menikah setelah anak kita lahir." Ia mencondongkan tubuhnya, lalu menyentuh wajah Erika dengan lembut. Rasa hangat mengalir pada keduanya saat mereka bersentuhan.Erika berdebar, ia menggigit bibirnya, pikirannya masih penuh dengan keraguan. " Tapi, aku nggak yakin ...""Kenapa?" Boyka menatapnya serius. Ia meraih jemari Erika dan menggenggamnya erat. "Aku sudah membuktikan bahwa aku selalu ada di sini untukmu. Aku sudah menyelamatkanmu dari penjara. Aku sudah berjanji akan menjagamu dan anak kita." Perlahan satu tangan kekar Boyka mengelus perut Erika.Erika menunduk. Dalam beberapa minggu terakhir, ia melihat sisi lain dari Boyka. Pria itu memang kasar dan keras kepala,
"Erika?" Suara Tiara bergetar. Tubuhnya sedikit mundur ketika melihat Erika berdiri di hadapannya dengan senyum penuh arti. Ia ingin berteriak, tapi tenggorokannya seakan tercekat. Padahal saat ini ia hanya dipisahkan oleh layar yang berada di belakang pelaminan. Erika berjalan mendekat dengan santai, tangannya menggenggam clutch bag kecil berwarna perak. "Kamu tampak cantik sekali, Tiara," katanya dengan nada lembut yang mencurigakan. Tiara menelan ludah. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Erika tertawa kecil. "Kenapa? Aku hanya ingin mengucapkan selamat. Bagaimanapun juga, aku pernah menjadi bagian dari hidup Neil, kan?" Tiara mengamati wanita di hadapannya dengan hati-hati. Ada sesuatu yang tidak beres. Erika tidak mungkin datang hanya untuk memberikan ucapan selamat. "Erika, kalau kamu datang hanya untuk membuat masalah, lebih baik kamu pergi." Erika mengangkat bahu. "Aku? Membuat masalah? Tentu saja tidak." Ia merogoh clutch bag-nya dan sesuatu berkilat keluar dari dalamny
"Semuanya sudah siap, Pak. Hotel sudah mengatur dekorasi sesuai permintaan, tamu undangan juga sudah konfirmasi kehadiran." Asisten Neil melaporkan persiapan pernikahan dengan detail. Sambil berjalan memasuki kantornya, Neil mengangguk puas. "Bagus. Pastikan semuanya berjalan lancar. Aku tidak mau ada kendala sedikit pun." Asistennya mengangguk, lalu keluar dari ruangan. Neil menghela napas dan bersandar di kursinya. Besok adalah hari yang sangat penting dalam hidupnya. Pernikahan resminya dengan Tiara, sesuatu yang sudah lama ia inginkan. Meski ini resepsi pernikahan keduanya, tapi rasanya seperti yang pertama baginya Namun, ada perasaan tidak nyaman yang mengganjal di hatinya. Entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mungkin karena banyak kejadian menegangkan belakangan ini, hingga Neil merasa khawatir.Di rumah mewah keluarga Neil, Helda duduk di ruang tamu sambil menyesap teh hangatnya. Josh baru saja masuk setelah berbicara dengan panitia pernikahan di hotel.
"Neil!" Helda berteriak marah melihat putranya masuk ke mobil. Neil tidak peduli dengan ancamannya. Rahangnya mengatup keras, dan tangannya mengepal. Josh yang sejak tadi memperhatikan dari tangga depan akhirnya melangkah mendekat. Ia melihat emosi Helda makin memuncak. "Cukup, Helda," ujar Josh tenang. Helda menoleh tajam. "Kamu lihat sendiri kan? Anakmu membantahku demi keluarga perempuan itu!" Josh menghela napas. "Kamu yang memaksanya untuk memilih." "Aku hanya ingin yang terbaik untuknya, Josh!" Helda membalas cepat. Josh menatap istrinya dalam. "Helda, aku tahu kamu keras kepala. Tapi sejujurnya, aku memang tidak setuju dengan acara besar ini sejak awal. Aku khawatir hal seperti ini akan terjadi." Helda melipat tangan di dada. "Jadi, kamu pikir aku yang salah?" Josh mengangguk pelan. "Bukan hanya kamu. Aku juga sempat meragukan keluarga Tiara. Tapi, aku sudah menyelidiki mereka sejak awal." Helda mengernyit. "Apa maksudmu?" Josh menarik napas dalam sebelum menjelaska
"Tidak perlu!" Suara Helda terdengar ketus, membuat Tiara yang berdiri di balik pintu ruang tengah menahan napas. Hatinya mencelos seketika. "Mami, mereka adalah keluarganya. Mereka harus ada di acara ini." Neil mencoba berbicara lebih pelan, tapi nada suaranya tetap tegas. Tiara tahu suaminya tidak suka berdebat soal hal seperti ini. "Mami tidak mau tamu-tamu kita nanti tahu kalau istrimu itu berasal dari kampung." Tiara membekap mulutnya. Kata-kata Helda terasa seperti pukulan keras di dadanya. "Mami! Tolong jangan bicara begitu. Apa hubungannya dengan tamu-tamu kita?" "Neil, dengarkan Mami!" suara Helda terdengar lebih tegas. "Kamu adalah pengusaha besar, CEO perusahaan besar. Bagaimana jika orang-orang tahu kalau istrimu hanyalah anak dari keluarga biasa yang tinggal di desa? Itu bisa merusak reputasimu!" "Astaga! Mami masih memikirkan gengsi? Ini pernikahan, bukan acara bisnis!" Neil terdengar semakin kesal. "Mami tidak mau tahu! Pokoknya mereka tidak perlu datang!" Held
"Selamat siang Bu Erika, saya ingin bertemu. Apa ibu bisa siang ini?" Suara pengacara Neil yang ia kenali terdengar di ujung telepon. Erika mengernyit. Kira-kira ada apa tiba-tiba pengacara Neil menghubunginya dan meminta bertemu. "Untuk apa?" tanyanya dengan nada waspada. "Ada sesuatu yang harus saya serahkan pada Ibu. Apa kita bisa bertemu di kafe dekat kantor?" Erika berpikir sejenak. Ada rasa penasaran dalam hatinya. "Baiklah, aku akan datang," sahutnya singkat. Setelah menutup telepon, ia menoleh ke arah Boyka yang duduk di sofa yang sedang memainkan ponselnya dengan santai. "Aku mau pergi sebentar," ujar Erika sambil mengambil tasnya. Boyka meliriknya sekilas. "Mau ke mana?" "Bukan urusanmu." Boyka terkekeh. "Oke, oke, tapi jangan lama-lama, nanti aku rindu." Erika tidak menanggapi dan segera pergi. Namun, tanpa ia sadari, Boyka menatap punggungnya penuh curiga, lalu dengan santai memasukkan ponselnya ke dalam saku dan lantas berdiri. Dengan naik taksi online Erika m
"Apa-apaan ini?" Suara Neil terdengar berat dan penuh amarah. Tatapannya tajam menusuk ke arah Joe yang masih berdiri terlalu dekat dengan Tiara. Rahangnya mengeras, dadanya naik turun menahan emosi. Tiara langsung menepis tangan Joe yang menghalanginya, lalu melangkah maju mendekati Neil. Kini ia berdiri di antara Neil dan Joe, khawatir jika terjadi keributan diantara dua lelaki itu. "Pak, jangan ..." bisik Tiara pelan, tangannya menggenggam lengan Neil agar pria itu tidak mendekat. Joe menelan ludah, tubuhnya sedikit mundur saat melihat ekspresi Neil yang sangat marah. Wajah atasannya itu menggelap dengan tatapan berkilat-kilat ke arah dirinya. " M-maaf, Pak Neil," ujar Joe akhirnya. "S-saya hanya ... mengajak Tiara bicara." Suara Joe terdengar gemetar. Neil menyipitkan mata. "Bicara? Dengan mendesaknya ke dinding seperti tadi?" Kali ini suara Neil terdengar menggelegar, hingga terdengar keluar ruangan. Joe hendak membuka mulut untuk membela diri, tapi tidak ada kata-kat
"Mami mau acara resepsi pernikahan kalian nanti adalah acara yang besar." Helda bicara dengan wajah berbinar di meja makan. Neil dan Tiara yang duduk di sisi kiri tersenyum saling pandang. "Kalau perlu undang semua orang yang kita kenal, agar siapapun tau siapa istri Neil sebenarnya." Suasana sarapan pagi ini terasa lebih hangat. Helda terus bicara tentang semua rencananya. Sementara Tiara hanya diam dengan senyum tipis yang terus tersungging di wajahnya. "Josh, kenapa diam saja? Kamu nggak mau kasih pendapat?" tanya Helda masih antusias. Josh meraih segelas air putih dan meneguknya sesaat. Setelah menghela napas panjang ia bicara serius. "Ini hanya pernikahan kedua. Cukup undang kerabat dekat dan keluarga saja," tegasnya dengan pelan. "Tidak! Mami nggak setuju." Helda menyahut tak kalah tegas. "Setelah acara resepsi nanti, Mami nggak mau dengar lagi gosip-gosip miring tentang kalian berdua." "Iya, Mi. Aku akan persiapkan semuanya," sahut Neil. "Terserah kalian sajalah!" Jo
[Kau pikir bisa lari dariku, Erika? Aku akan menemukanmu.] Siapa yang mengirim pesan ini? Tangan Erika gemetar saat memegang ponselnya. Ia ingin sekali menceritakan hal ini pada Boyka, tapi gengsinya terlalu tinggi. Lagipula, ia masih membenci pria itu. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa menepis rasa takutnya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Boyka berdiri di ambang pintu dengan ekspresi santai. "Kau belum tidur?" Erika mendongak cepat, menyembunyikan ponselnya di balik punggung. "Bukan urusanmu." Boyka menyeringai. "Aku cuma tanya." Pria itu berjalan mendekat, menyandarkan satu tangan pada pintu. "Kamu tampak gelisah." "Aku baik-baik saja," potong Erika cepat. Boyka mengangkat alis. "Benar? Yakin? Tapi perasaanku bilang tidak." Erika mengalihkan pandangan, menghindari tatapan pria itu. "Aku bilang aku baik-baik saja!" suaranya meninggi. Boyka terkekeh pelan. "Terserah kalau kamu tidak mau cerita. Tapi kalau ada sesuatu yang mengganggumu, kamu bisa bicara padaku." Erika mend