“Neil! Kamu yakin tinggal di tempat seperti ini? Apa kamu nggak malu?” Suara Nyonya Helda terdengar lantang, mendominasi suasana tenang di depan rumah kost. Neil baru saja turun dari mobil bersama Tiara ketika ibunya keluar dari mobil mewah dengan raut wajah marah. Neil menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi sang mami. “Mami, tolong jangan begini. Ini sudah malam. Rasanya tidak enak dengan ibu pemilik kost ini." Netra Neil berkeliling mencari sosok ibu kost. Ia merasa bersalah karena ibunya baru saja mengatakan hal yang kurang pantas. "Biar saja. Kamu itu sudah bikin malu keluarga tinggal di tempat seperti ini!” bentak Nyonya Helda sambil menunjuk ke arah kost. “Ingat, Neil, kamu itu anak seorang konglomerat!" Tiara berdiri di belakang Neil, wajahnya pucat. Sejak tadi ia hanya menunduk. Ia tidak mau Nyonya Helda kembali memarahinya. “Ini bukan urusan Mami. Aku nyaman di sini,” balas Neil dengan nada datar, mencoba menahan emosi. “Nyaman? Tinggal di k
Bab 91 “Tiara! Jangan main-main! Kamu di mana?” Neil berteriak sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar kost. Nafasnya mulai tak teratur, dadanya terasa sesak. Ia melangkah cepat membuka pintu kamar mandi. Tapi Tiara tidak ada di mana-mana. "Apa mungkin dia ke supermarket itu lagi? Tapi ini masih pagj. Supermarket itu pasti belum buka," pikir Neil, lalu bergerak keluar setelah mengenakan pakaiannya. "Bu, Ibu !” Neil berteriak memanggil ibu kost dari lorong. Ia sangat panik hingga tak menyadari bahwa teriakannya mengundang perhatian semua panghuni di pagi itu. Tak lama kemudian, ibu kost keluar dari pintu utama dengan wajah bingung. “Ada apa, Pak Neil?” tanya ibu kost sambil merapikan kerudungnya. “Tiara … istri saya. Apa Ibu lihat dia keluar tadi pagi?” Neil langsung bertanya tanpa basa-basi. Matanya menatap penuh harap. Ibu kost menggeleng. “Nggak, Pak. Dari tadi pagi saya nggak lihat Bu Tiara keluar. Ada masalah, Pak? Apa ... Bu Tiara diculik lagi?" Neil hanya m
“Hei, turun aja deh, jangan bikin ribut di sini!” Seorang pria bertubuh kekar di barisan depan bus berteriak dengan nada kesal. Suaranya diikuti beberapa penumpang lain yang mulai protes. “Kita udah telat gara-gara ini, tahu nggak?” Neil tetap duduk di samping Tiara, tidak bergeming. Wajahnya tegas, matanya menatap lurus ke arah sopir yang masih berdiri di luar pintu bus. Sesekali ia melirik Tiara yang masih menunduk. “Tiara, kalau kamu nggak ikut turun, aku juga nggak akan turun,” ucap Neil pelan namun tegas. Tiara melotot menoleh pada Neil. Lalu menghempas napas kasar. Ia semakin cemas mendengar protes yang terus menerus dari para penumpang. Ia melirik Neil yang terlihat tenang, seolah tak terpengaruh oleh situasi di sekitarnya. Namun, dalam hati, ia tahu, Neil tidak main-main. “Pak, mereka semua marah. Jangan bikin masalah lagi. Saya beneran mau pulang kampung,” bisik Tiara, suaranya bergetar. Ia mulai tampak bingung dan bimbang. Apalagi saat ini hampir semua mata memand
“Pergi dari sini! Jangan pernah kembali lagi!” Suara ayah Tiara menggema di halaman rumah. Meski terdengar lantang, pria tua itu tampak gemetar menahan sesak yang menghimpit dadanya. Netranya yang berkaca-kaca tak mampu ia sembunyikan. Rasa malu dan kecewa, atau mungkin juga ada rasa iba yang ia rasakan saat ini. Namun, egonya sebagai seorang ayah lebih besar demi menjaga nama baik keluarganya Tiara hanya bisa menangis tersedu-sedu, hatinya saat ini bercampur aduk. Menyesal, marah dan bingung. Sementara Neil berdiri di sampingnya, mencoba menenangkan. Pria itu pun tak kalah menyesal. Karena dirinya yang tak bisa mengendalikan diri malam itu, hingga akhirnya menodai Tiara. Namun di lubuk hatinya yang terdalam, ia tidak pernah menyesal telah mencintai Tiara. Wanita yang dia anggap luar biasa. Entah kenapa ia bisa terlambat menyadari itu. Diam-diam ia sempat melihat sosok Rohmat melintas diantara para tetangga yang berkerumun. Neil melihat jelas senyum kepuasan dari pria bertampang
"Jangan-jangan kehamilan ini hanya akal-akalanmu saja." Josh mendengkus kasar, pandangannya berpaling dari Erika yang terus memasang wajah memohon. "Tega kamu bicara seperti itu, Josh! Apa kamu nggak pernah mikirin keadaan Erika?” Suara Nyonya Helda melengking di ruang tamu, menghentikan langkah Josh yang hendak pergi. Erika, yang kini duduk bersandar di sofa dengan wajah memucat, mulai menangis histeris. “Kalau Papi terus seperti ini … aku beneran nggak kuat. Aku nggak tahu lagi harus gimana,” Erika menangis terisak, sambil memegang perutnya. “Berhenti menangis, Erika!” bentak Josh, meskipun nadanya mulai melemah. Ia memandang istrinya yang tampak cemas dan bingung. “Josh, apa kamu mau lihat Erika kehilangan anaknya karena stres?” Helda menatap suaminya tajam. “Dia sedang mengandung cucu kita, Josh!” Josh mendesah panjang, lalu mendekati meja di sudut ruangan. “Baiklah, tapi ini tidak akan mengubah apa pun. Aku tetap akan bertindak dan mencari tahu semuanya.” Ia menatap Erika d
"Ini semua untuk kebaikanmu, Erika.”Nyonya Helda menggenggam tangan Erika erat. Wajahnya menunjukkan kepedulian yang dalam, meskipun jauh di lubuk hati, ia masih berharap kehamilan Erika dapat menjadi bukti untuk menyelamatkan nama keluarga. Beberapa jam yang lalu Helda memaksa Erika memeriksakan kandungannya ke dokter spesialis kandungan. Awalnya Erika tidak mau, tapi ibu mertuanya itu memaksa. Hingga mereka tiba di ruang tunggu sebuah kliknik ternama, Erika masih menolaknya. “Mi, aku nggak perlu diperiksa lagi. Dokter sebelumnya sudah bilang kalau aku baik-baik saja,” ucap Erika sambil memalingkan wajah. Nada suaranya terdengar lemah, namun penuh kecemasan. Pikirannya masih dipenuhi oleh penyebab kehamilannya yang ia pikir bukan dari Neil. “Erika, jangan membantah. Kamu harus memastikan kandunganmu sehat. Lagipula, Neil juga harus tahu kalau dia akan punya anak. Kamu ingin dia percaya, kan?” Helda berbicara dengan nada lembut, tetapi ada ketegasan yang tak bisa ditolak. Erika m
"Kamu bicara apa, Tia?" Setelah menghela napas panjang, Neil kembali bicara. Namun kali ini wajahnya tampak kecewa. Beberapa kali ia mendengkus kasar sambil memalingkan wajahnya. "Aku serius, Pak. Anak itu tentunya lebih penting dari aku. Dia darah daging Bapak." Tiara berusaha tenang, tapi suaranya terdengar bergetar. Berusaha mengabaikan gemuruh yang menghantam dadanya. "Aku bisa merasakan apa yang dirasakan Bu Erika saat ini, Pak. Dia pasti ingin anak itu memiliki orang tua yang lengkap." Tiara melanjutkan kalimatnya masih dengan suara bergetar. Ia menahan diri agar air matanya tidak tumpah. Lagi-lagi Neil menghempas napas kasar. Seakan tidak suka mendengar kata-kata yang diucapkan Tiara. Ia gelengkan kepala dengan wajah kesal. "Tidak! Aku tidak akan pernah meninggalkanmu demi Erika. Aku mencintaimu, Tia! Jangan buat aku hampir gila karena takut kehilanganmu." Seketika Neil memeluk Tiara dengan erat. Sesaat mereka terdiam. Menikmati keintiman yang begitu hangat dan penuh cinta.
Mobil hitam milik Neil melaju mulus menyusuri jalanan Jakarta yang mulai lengang menjelang malam. Di dalamnya, Tiara duduk diam, menatap jendela dengan perasaan campur aduk. Sesekali ia melirik ke arah Neil yang fokus mengemudi, tapi tetap dengan ekspresi dingin dan serius. Pikiran Tiara berkecamuk. Bagaimana jika Nyonya Helda mengusirnya nanti? Bagaimana jika ada Erika di sana? Apa yang harus dia lakukan? “Pak,” Tiara mencoba membuka percakapan, suaranya pelan. “Hm?” Neil hanya menoleh sekilas tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. “Kenapa tiba-tiba Bapak mau saya ikut ke rumah?” Neil menghela napas, matanya tetap lurus ke depan. “Sudah kubilang, Tia. Aku nggak mau ninggalin kamu sendirian lagi. Apapun yang terjadi, kamu adalah prioritasku sekarang.” “Tapi …” Tiara menggigit bibir bawahnya, ragu melanjutkan. Neil meliriknya. “Tapi apa? Kamu takut sama Mami?” Tiara diam, namun anggukannya kecil sudah cukup menjawab pertanyaan itu. Neil terkekeh pelan, walau suaranya terdenga
"Neil!" Helda berteriak marah melihat putranya masuk ke mobil. Neil tidak peduli dengan ancamannya. Rahangnya mengatup keras, dan tangannya mengepal. Josh yang sejak tadi memperhatikan dari tangga depan akhirnya melangkah mendekat. Ia melihat emosi Helda makin memuncak. "Cukup, Helda," ujar Josh tenang. Helda menoleh tajam. "Kamu lihat sendiri kan? Anakmu membantahku demi keluarga perempuan itu!" Josh menghela napas. "Kamu yang memaksanya untuk memilih." "Aku hanya ingin yang terbaik untuknya, Josh!" Helda membalas cepat. Josh menatap istrinya dalam. "Helda, aku tahu kamu keras kepala. Tapi sejujurnya, aku memang tidak setuju dengan acara besar ini sejak awal. Aku khawatir hal seperti ini akan terjadi." Helda melipat tangan di dada. "Jadi, kamu pikir aku yang salah?" Josh mengangguk pelan. "Bukan hanya kamu. Aku juga sempat meragukan keluarga Tiara. Tapi, aku sudah menyelidiki mereka sejak awal." Helda mengernyit. "Apa maksudmu?" Josh menarik napas dalam sebelum menjelaska
"Tidak perlu!" Suara Helda terdengar ketus, membuat Tiara yang berdiri di balik pintu ruang tengah menahan napas. Hatinya mencelos seketika. "Mami, mereka adalah keluarganya. Mereka harus ada di acara ini." Neil mencoba berbicara lebih pelan, tapi nada suaranya tetap tegas. Tiara tahu suaminya tidak suka berdebat soal hal seperti ini. "Mami tidak mau tamu-tamu kita nanti tahu kalau istrimu itu berasal dari kampung." Tiara membekap mulutnya. Kata-kata Helda terasa seperti pukulan keras di dadanya. "Mami! Tolong jangan bicara begitu. Apa hubungannya dengan tamu-tamu kita?" "Neil, dengarkan Mami!" suara Helda terdengar lebih tegas. "Kamu adalah pengusaha besar, CEO perusahaan besar. Bagaimana jika orang-orang tahu kalau istrimu hanyalah anak dari keluarga biasa yang tinggal di desa? Itu bisa merusak reputasimu!" "Astaga! Mami masih memikirkan gengsi? Ini pernikahan, bukan acara bisnis!" Neil terdengar semakin kesal. "Mami tidak mau tahu! Pokoknya mereka tidak perlu datang!" Held
"Selamat siang Bu Erika, saya ingin bertemu. Apa ibu bisa siang ini?" Suara pengacara Neil yang ia kenali terdengar di ujung telepon. Erika mengernyit. Kira-kira ada apa tiba-tiba pengacara Neil menghubunginya dan meminta bertemu. "Untuk apa?" tanyanya dengan nada waspada. "Ada sesuatu yang harus saya serahkan pada Ibu. Apa kita bisa bertemu di kafe dekat kantor?" Erika berpikir sejenak. Ada rasa penasaran dalam hatinya. "Baiklah, aku akan datang," sahutnya singkat. Setelah menutup telepon, ia menoleh ke arah Boyka yang duduk di sofa yang sedang memainkan ponselnya dengan santai. "Aku mau pergi sebentar," ujar Erika sambil mengambil tasnya. Boyka meliriknya sekilas. "Mau ke mana?" "Bukan urusanmu." Boyka terkekeh. "Oke, oke, tapi jangan lama-lama, nanti aku rindu." Erika tidak menanggapi dan segera pergi. Namun, tanpa ia sadari, Boyka menatap punggungnya penuh curiga, lalu dengan santai memasukkan ponselnya ke dalam saku dan lantas berdiri. Dengan naik taksi online Erika m
"Apa-apaan ini?" Suara Neil terdengar berat dan penuh amarah. Tatapannya tajam menusuk ke arah Joe yang masih berdiri terlalu dekat dengan Tiara. Rahangnya mengeras, dadanya naik turun menahan emosi. Tiara langsung menepis tangan Joe yang menghalanginya, lalu melangkah maju mendekati Neil. Kini ia berdiri di antara Neil dan Joe, khawatir jika terjadi keributan diantara dua lelaki itu. "Pak, jangan ..." bisik Tiara pelan, tangannya menggenggam lengan Neil agar pria itu tidak mendekat. Joe menelan ludah, tubuhnya sedikit mundur saat melihat ekspresi Neil yang sangat marah. Wajah atasannya itu menggelap dengan tatapan berkilat-kilat ke arah dirinya. " M-maaf, Pak Neil," ujar Joe akhirnya. "S-saya hanya ... mengajak Tiara bicara." Suara Joe terdengar gemetar. Neil menyipitkan mata. "Bicara? Dengan mendesaknya ke dinding seperti tadi?" Kali ini suara Neil terdengar menggelegar, hingga terdengar keluar ruangan. Joe hendak membuka mulut untuk membela diri, tapi tidak ada kata-kat
"Mami mau acara resepsi pernikahan kalian nanti adalah acara yang besar." Helda bicara dengan wajah berbinar di meja makan. Neil dan Tiara yang duduk di sisi kiri tersenyum saling pandang. "Kalau perlu undang semua orang yang kita kenal, agar siapapun tau siapa istri Neil sebenarnya." Suasana sarapan pagi ini terasa lebih hangat. Helda terus bicara tentang semua rencananya. Sementara Tiara hanya diam dengan senyum tipis yang terus tersungging di wajahnya. "Josh, kenapa diam saja? Kamu nggak mau kasih pendapat?" tanya Helda masih antusias. Josh meraih segelas air putih dan meneguknya sesaat. Setelah menghela napas panjang ia bicara serius. "Ini hanya pernikahan kedua. Cukup undang kerabat dekat dan keluarga saja," tegasnya dengan pelan. "Tidak! Mami nggak setuju." Helda menyahut tak kalah tegas. "Setelah acara resepsi nanti, Mami nggak mau dengar lagi gosip-gosip miring tentang kalian berdua." "Iya, Mi. Aku akan persiapkan semuanya," sahut Neil. "Terserah kalian sajalah!" Jo
[Kau pikir bisa lari dariku, Erika? Aku akan menemukanmu.] Siapa yang mengirim pesan ini? Tangan Erika gemetar saat memegang ponselnya. Ia ingin sekali menceritakan hal ini pada Boyka, tapi gengsinya terlalu tinggi. Lagipula, ia masih membenci pria itu. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa menepis rasa takutnya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Boyka berdiri di ambang pintu dengan ekspresi santai. "Kau belum tidur?" Erika mendongak cepat, menyembunyikan ponselnya di balik punggung. "Bukan urusanmu." Boyka menyeringai. "Aku cuma tanya." Pria itu berjalan mendekat, menyandarkan satu tangan pada pintu. "Kamu tampak gelisah." "Aku baik-baik saja," potong Erika cepat. Boyka mengangkat alis. "Benar? Yakin? Tapi perasaanku bilang tidak." Erika mengalihkan pandangan, menghindari tatapan pria itu. "Aku bilang aku baik-baik saja!" suaranya meninggi. Boyka terkekeh pelan. "Terserah kalau kamu tidak mau cerita. Tapi kalau ada sesuatu yang mengganggumu, kamu bisa bicara padaku." Erika mend
"Ngapain kamu di sini?" Suara Erika sangat ketus begitu melihat siapa yang berada di balik kaca mobil hitam itu. Wajahnya yang semula sangat emosi kini berubah menjadi tegang. Pria itu ternyata Boyka. Ia tersenyum miring, menatap Erika dengan intens. “Kenapa? Kecewa aku yang datang menjemputmu?” Erika mendengus kesal. “Aku nggak butuh dijemput siapa pun.” Boyka menaikkan sebelah alisnya. “Oh ya? Kamu yakin? Memangnya kamu mau ke mana malam-malam begini? Hotel? Atau kamu mau tidur di pinggir jalan?” Erika menggigit bibir, matanya melirik ke arah jalanan yang mulai sepi. Tidak ada taksi, tidak ada kendaraan lain yang bisa ia andalkan. Pikirannya berkecamuk. Ia tidak mungkin kembali ke rumah Neil. Tidak mungkin juga ia menginap di hotel dengan keadaan seperti ini. Boyka masih menatapnya dengan sabar, seolah menikmati kebingungan Erika. “Ayo, masuklah. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam,” ucapnya dengan senyum menggoda. Erika mendengus. “Aku nggak percaya!” “Tapi .... kam
"Tiara, aku butuh kamu sekarang." Neil berdiri di depan pintu kamar Tiara, mengetuk pelan namun tak berhenti. Suaranya terdengar berat, nyaris bergetar, menahan emosi yang nyaris meledak Tiara, yang baru saja akan merebahkan tubuhnya ke kasur, terdiam sesaat sebelum akhirnya membuka pintu. “Pak?” Matanya menatap Neil penuh tanya. Neil tidak menjawab, hanya melangkah masuk dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa panjang di kamar Tiara. Satu lengannya menutupi wajah, sementara tangan lainnya mengepal di atas dadanya. Tiara menutup pintu perlahan. “Bapak kenapa?” Neil menghembuskan napas panjang. “Aku lelah, Tia.” Tiara berjalan mendekat, menatap Neil yang kini tampak lebih tenang dibandingkan tadi. “Bapak habis bertengkar lagi dengan Bu Erika?” tebaknya. Neil membuka sedikit lengannya, menatap Tiara yang kini duduk di ujung sofa. “Kamu tahu semuanya?” Tiara mengangguk. “Saya dengar sedikit tadi. Apa benar Bapak akan menceraikan Bu Erika?” Neil mengusap wajahnya dengan kasar
“Siapa Boyka?!” Suara Neil terdengar tegas dan penuh kecurigaan. Matanya menatap tajam ke arah Erika yang kini berdiri mematung dengan wajah pucat. Erika menelan ludah. Ponselnya masih terus bergetar di tangannya. Ia tahu kalau ia tidak segera mematikan panggilan itu, situasi akan semakin buruk. Dengan tangan gemetar, Erika buru-buru menekan tombol merah dan memasukkan ponselnya ke dalam saku. “Neil …” Erika mencoba tersenyum, tapi jelas terlihat kalau itu dipaksakan. “Itu ... hanya teman lama. Aku nggak tahu kenapa dia tiba-tiba menelepon.” Neil menyipitkan matanya. “Teman lama? Lalu kenapa kamu terlihat ketakutan?” “Aku …” Erika mengalihkan pandangannya. “Aku cuma kaget aja. Aku nggak menyangka dia masih punya nomorku.” Erika mencoba tersenyum. Neil mendengus pelan. “Jangan bohong! Aku lihat sendiri bagaimana ekspresimu tadi.” Erika mulai panik. Ia harus mencari cara untuk mengalihkan perhatian Neil. “Neil, aku benar-benar merasa nggak enak badan …” Erika kembali mengelus p