Sudah lima hari dirinya menikmati menjadi seorang istri dari Affan Saputra, bagi Nana sungguh bahagia karena setiap membuka matanya di pagi ia akan melihat orang yang dicintainya begitu pun saat ingin tidur ia akan memejam mata dalam pelukan hangat sang suami.
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, hari ini keberangkatan Nana bersama Affan ke Bali untuk honeymoon. Terlihat wajah bahagia wanita itu saat ingin melangkah masuk pesawat yang akan mengantar mereka ke tujuan. Senyumnya bahkan tak luntur dari pagi tadi sampai sekarang, entah apa yang membuat ia begitu antusias?
Sedangkan Affan hanya bisa saja, ia malah terkesan berat hati untuk melangkah ke kota impian istrinya itu.Tapi bagaimana lagi? Acara ini sudah disusun jauh-jauh hari, tidak mungkin dirinya mengecewakan impian sang istri. Bagaimana ia bisa membuka hati wanita yang dicintainya terluka? Lagi pula ia tidak punya alasan yang logis untuk menolak, tidak mungkin ia berkata tak mau pergi karena firasat buruknya.
“Ayo, mas. Pesawatnya sudah mau lepas landas,” ucap Nana sambil menarik kopernya yang tidak begitu berat.
“Iya, sabar. Kita gak akan ketinggalan kok,” balas Affan sambil berjalan santai di belakang Nana.
Setelah banyak pemeriksaan akhirnya mereka sampai di dalam pesawat, gadis itu semakin tersenyum cerah membayangkan kota Bali yang begitu ia impikan dari dulu, akhirnya sekarang ke sapai juga dirinya mengunjungi tempat indah itu. Apalagi momen yang seperti sekarang, sangat tepat rasanya jika ia memadu kasih disana, menciptakan kisah mereka untuk diceritakan anak-anaknya nanti. Ahhh ... Kenapa pikirannya terlalu jauh?
Asyik dengan lamunan sendiri membuat ia tersenyum-senyum sendiri tanpa sadar.
“Bahagia banget, dek?” Affan terkekeh geli.
“Sudah gak sabar aku mas, pasti tempat itu sangat indah. Oh ya, nanti kita disana harus berfoto ya mas, gak boleh nolak!”
“Kamu itu ya ... Kita datang ke sana kan untuk honeymoon, sayang. Kok kamu malah mikirin Selfi sih?” goda Affan seolah tak terima dengan ide istrinya.
“Ya, sekalian. Lagi pula gak mungkin loh kita seminggu Cuma di kamar hotel?”
“Kenapa tidak? Padahal rencana mas seperti itu tadi.” Ucapnya santai. Tapi Nana tidak bisa santai mendengar ucapan suaminya, bahkan wajahnya sudah berubah memerah karena membayangkan Ucapan Affan, memang otaknya mesum sekali.“Terserah! Kalau mas gak mau, aku pergi sendiri!” ucap Nana ketus yang disambut tawa membahana sang suami.
Nana memilih untuk memejamkan matanya untuk tidak melihat wajah ngeselin suaminya yang masih saja tertawa.
“Diam lah! Kamu menyebalkan, mas!” Affan tak ingin mengganggu nya lagi, ia dekap wanita yang sedang dalam mode galak itu ke pelukannya.
Pesawat sudah lepas landas dari tadi. Mungkin karena merasa sepi Nana tertidur nyenyak di bahu sang suami. Begitupun dengan Affan ia juga ikut terlelap dalam mimpinya. Ia mendekap erat tubuh kecil itu agar tidak merasa kedinginan.
Setelah melewati waktu yang cukup lama, akhirnya mereka sampai di kota yang sangat ingin dikunjungi Nana, Bali.
Wanita itu sudah bersorak gembira saat sampai di hotel tempat mereka menginap, karena tempatnya yang dekat dari pantai membuat pemandangan dari balkon itu terlihat sangat indah. Dari baru datang tanpa merasa lelah gadis itu langsung mengeluarkan ponselnya untuk berselfi ria, menimbulkan decak kesal dari mulut suaminya.
“Kamu mau bulan madu sama mas atau ponselnya? Kok dari tadi Cuma benda itu yang kamu pegang!” Kekesalan Affan hanya dijawab dengan dengusan sang istri.
“Sama ponsel aja cemburu ... Namanya juga wanita, mana bisa kalau gak berfoto melihat pemandangan indah begini?”
“Terserah!” ucap Affan sambil berlalu ke kamar mandi. Tidak mau membuat honeymoon mereka malah berubah menjadi perang dingin nanti, bisa gawat dengan masa depannya yang tidak bisa berbuka puasa.
****
Ternyata acara berbuka puasa Afgan lagi-lagi terganggu dengan rengek Nana, sekarang wanita itu malah meminta untuk berkeliling dulu sebelum mangrip, biar bisa lihat mata hati terbenam. Dan disini lah sekarang, dipinggir pantai yang agak jauh dari hotel. Nana yang sibuk berselfi ria, sedangkan sang suami yang dari tadinya hanya berdecak kesal sambil menjadi fotografer dadakan.
“Sudah mau malam, kita makan dulu yuk mas?” ajak Nana sambil menarik tangan Affan menuju penjual jajanan dipinggir jalan.
“Kamu bungkus saja, Dek. Kita makan di kamar hotel nanti.” Nana mengangguk setuju.
Setelah semua makanan yang mereka pesan datang, mereka langsung menuju mobil sewaan mereka terparkir. Affan mulai melaju mobilnya meninggalkan tempat indah itu. Asik saling menggoda sang istri dan begitu pula dengan Nana, membuat dua sejoli itu tidak begitu fokus dengan laju mobil mereka.
Mungkin karena masih pengantin baru dimana-mana ingin selalu bermesraan, membuat Affan dari tadi tak melepaskan tangan sang istri dari genggaman.
“Kamu harus selalu bahagia ya, seperti ini ... Meskipun tanpa aku nanti,”
Deg
Nana mengerjap tak mengerti, kenapa suaminya berkata seperti itu?
Alih-alih bertanya, wanita itu memilih mengangguk saja, mungkin dirinya tidak ingin terlalu memikirkannya, ia memilih menepiskan semua pikiran buruk itu.“Jika kamu bahagia Pasti aku juga akan bahagia, nanti. Meskipun aku tak disisi mu tapi aku akan selalu menjagamu dengan caraku sendiri,” ucapan Affan semakin mengawur membuat Nana tidak bisa Tinggal diam lagi.
“Maksud kamu gimana sih, Mas? Kok jadi aneh,” ucap Nana tak suka. Wanita itu mencoba melepaskan tautan tangan mereka, tapi Affan malah semakin mengeratkannya.
“Aku tidak tahu, tapi perasaan ku mengatakan aku akan membuatmu sedih suatu saat nanti. Entah lah, jangan bertanya kenapa? Karena aku sendiri tidak tahu.” Kembali ia mengecup tangan istrinya dengan mesra.
Tidak ada lagi yang bersuara, larut dengan pikiran sendiri membuat Affan kehilangan fokus pada kumudinya membuat ia hampir saja menabrak sebuah sepeda motor.
“Mas! Awas!”
Terlambat, sangat terlambat. Niat hati untuk menghindari motor dirinya malah bertabrakan dengan sebuah bus wisata yang datang dari persimpangan. Setelahnya hanya kesunyian, dan pandangan gelap, itu yang dirasakan Nana saat merasa mobil sudah berhenti merengsek tertarik bus besar itu. Setelah itu kesadaran wanita itu hilang bersamaan dengan suara orang yang beberapa datang dengan berteriak, terdengar seperti meminta untuk menolong dirinya.
Mangkinkah ini yang kamu maksud, mas? Apa secepat ini kita berpisah? Jika Allah tidak mengizinkan kita bersama, aku rela. Tapi aku mohon jangan secepat ini.... Kisah kami belum dimulai, tapi kenapa malah berakhir secepat ini?
Dihari ini mungkin kisahnya bersama sang suami akan berakhir, tapi mungkin dengan begini pula Kisah baru akan terlukis. Karena rencana Allah itu tidak ada yang bisa menentukan, takdir akan ditentukan olehnya, maka dia pula yang bisa mengakhirinya.
Ingin rasanya ia menjerit keras atas takdir yang tidak perpihak ini, kenapa kebahagiaannya begitu cepat terenggut?
Semarang, 12 Januari, 2020 Kenangan dua tahun lalu kembali berputar di kepala wanita cantik yang berpakaian rapi itu, senyum kecut terlihat di bibir tipisnya dikala ia melihat dua pasang pasturi sedang bermanja-manja di sebuah taman kota. Jika kejadian naas itu tidak terjadi mungkin sekarang ia juga seperti wanita itu, berbahagia, bercanda tawa dengan kekasih halalnya. Melihat mereka rasanya ia kembali mengingat saat-saat terakhir bersama ... Dia. Tak perlu membuat nama mengenang saja hatinya sudah bagai ditikam sembilu. Ada rasa menyesal dalam hatinya, jika saja dulu ia tau akan berakhir seperti itu ia tidak akan membuang waktu, ia akan dengan suka rela menghabiskan waktu bersama suaminya saat baru sampai di Bali. Tapi apa? Dia malah sibuk dengan ponselnya, malah mengajak Dia melihat pemandangan, padahal ia tau mereka baru saja sampai di hotel. Kenangan itu menjadi buah penyesalan baginya. .... “Kau tidak ingin pulang? Ini sudah senja Nana.” Wanita itu tersentak saat mendengar te
Pagi-pagi sekali Nana sudah siap dengan pakaian kerjanya. Sepertinya dia memang pantas dibilang cantik jika berpenampilan rapi meskipun memakai pakaian kantor, tapi karisma yang dipancarkan sangat menarik perhatian kaum Adam. Meskipun bajunya tidak terlalu sempit, tidak juga terlalu longgar, tapi ia semakin terlihat seksi dengan penampilannya.“Sepertinya kau lebih pantas menjadi model,” ucap intan tiba-tiba.“Terima kasih pujiannya pagi ini, nona.” Nana tersenyum mendengar pujian itu.Intan mengerutkan keningnya, sepertinya ada yang berbeda dari wanita di depannya ini.“Sepertinya pagi ini lebih baik, karena sudah diawali dengan senyum manis seorang Nana.” Goda intan yang membuat Nana tersipu malu.“Bukankah kamu yang bilang tadi malam? Mari kita mulai kehidupan ini dengan yang baru,” ucap Nana tersenyum lembut.“Kau benar!”Setelah itu mobil yang mereka pesan akhirnya d
Kesal, itulah yang dirasakan dua wanita dalam satu ruangan itu, mungkin? Mungkin yang satu masih marah dengan masalah kemarin, karena insiden intan yang meninggalkan Nana di kantor, benar-benar membuat mood Nana memburuk, ditambah lagi sesi perkenalan yang berujung memalukan kemarin, astaga!! Ingin rasanya Nana mengurungkan diri dikamar agar tak bertemu lagi dengan tetangga barunya itu.Pertemuan pertama yang seharusnya terlihat baik tapi kenapa malah berubah sangat memalukan? Saat pertama kali pria itu memanggilnya ia sudah dengan percaya diri untuk beramah-tamah, tapi siapa sangka ... Memalukan!Flashback....Nana berpamitan dengan ibu Nurmala untuk kembali kerumahnya, karena baru saja kembali dari kantor ia merasa tubuhnya sakit sekali, sepertinya dirinya butuh istirahat yang cukup untuk menghadapi hari esok.Baru juga berjalan beberapa langkah, suara seseorang memanggil dirinya membuat ia berhenti lalu berbalik dengan senyum terbaik.
Suara memercik air mulai terdengar disambut dengan Suara senandung kecil dari sang pemilik tubuh yang sedang berada didalam kamar mandi kecil itu. Tak berapa lama Nana keluar dengan wajah yang terlihat lebih segar. Rasa lelahnya bekerja seharian rasanya sudah hilang saat melihat kasur yang begitu empuk dimatanya sekarang.“Capeknya ... Mending aku tidur lebih awal sekarang,” ucap gadis itu pada dirinya sendiri.Saat dirinya baru saja merebahkan tubuhnya, suara ketukan pintu terdengar membuat ia kembali mengumpat kesal. Ia melangkah dengan malas membukakan pintu, rasa ingin marah-marah saja dirinya hari ini, mungkin efek dari datang bulan, Pikirnya.“Ada apa lagi?” tanya Nana dengan tampang malasnya. Sedangkan intan sudah berdiri diluar kamar dengan wajah tak bersalah.“Cari makan yuk, Na? Bosan di rumah terus,” ajaknya.“lagi malas, Tan. Besok aja ya, kan libur.”Intan menggeleng cepat, &
Matahari sudah menampakkan dirinya begitu tinggi, tapi sama sekali tak mengusik tidur nyenyak seorang wanita yang masih meringkuk manja didalam selimut tebal yang membukus tubuh mungilnya. Sepertinya tidurnya sangat nyenyak sampai ia tak menyadari jika ini sudah lewat dari kebiasaannya.Nana mulai menggeliat saat merasa tubuhnya terguncang oleh seseorang. Intan menggeleng-geleng melihat Nana yang menguap dengan lebar, seolah mengatakan wanita itu masih mengantuk, tapi matanya malah tidak terbuka sedikit pun.“Nana, bangun!” Panggil intan sedikit keras.“Ehmm ... Apa, Tan?” Ucapnya serak, khas seorang baru bangun tidur.“Ih ... Ini sudah jam sembilan, Na. Kamu gak mau serapan?” Emang masih bisa dikatakan serapan ya? Pikir Intan, ya sudahlah, terserah dirinya mau ngucapin apa.“Nanti aja,” balasnya malas.“Kebo banget sih, kalo tidur.” Sekali lagi intan Mencoba menarik tangan Nana sup
Melihat dengan jeli setiap angka dilayar komentar benar-benar membuat ia kelelahan. Menjadi staf administrasi benar-benar menyiksa bagi Nana, meskipun bakatnya disana tapi suatu hari juga bisa buat dirinya jenuh.Ingin rasanya berhenti, tapi setelah itu ia mau kerja apa? Dapat bekerja dengan posisi seperti ini dirinya sudah sangat bersyukur. Jangan sampai karena tak bisa hidup sendiri lagi, keluarganya datang memaksanya pulang ke Jakarta, ia tidak mau itu terjadi.Mungkin ia hanya berhenti bekerja saat dirinya menikah nanti, setelah itu ia hanya perlu bersantai di rumah, tak perlu bekerja lagi. Dirinya hanya perlu menyambut dengan senyum manis suaminya saat pulang dari bekerja.Nana menggeleng geli dengan pikiran gilanya, bagaimana ia bisa berpikir begitu jauh. Untuk membuka hatinya rasanya sangat sulit, lalu bagaimana ia bisa mendapatkan suami?Kejadian dua hari lalu membuat dirinya menyadari, sikapnya mulai berubah.. Tapi ia pikir itu tidaklah benar! Na
Malam belum begitu larut, jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Merasa bosan sendirian, Nana keluar dari rumahnya. Seperti biasa ia duduk di teras sendirian untuk melihat bintang-bintang dengan ditemani secangkir kopi. Merasa ada sesuatu yang memperhatikan, ia menoleh ke samping rumah tangganya. Ahh ... Ternyata ia tidak sendiri, ada Adrian yang juga di teras rumahnya. Nana yakin pasti pria itu melihatnya tadi, tapi saat dirinya menoleh Adri langsung membuang pandangannya. “Malam,” sapa Nana . Hanya untuk basa-basi saja. Adri tak menjawab, ia hanya menoleh sebentar setelah itu kembali memalingkan wajahnya. “Sombong!” batin Nana. Ia tidak peduli lagi, baginya bintang-bintang yang bersifat itu lebih menarik untuk dilihat dari pada mengurus sang tetangga sombongnya. Namanya mengotak-atik ponselnya sebentar. Lagu rindu serindu rindunya mengalun indah dari ponselnya. Dengan begini ia berasa benar-benar menghayati hidupnya,
Nana memasuki kantor dengan senyum semangat yang luar biasa, berbeda dari hari sebelumnya yang selalu terlihat jutek dengan tampang keras kepalanya khas seorang Aisyah Syafina.“Pagi Nana,” sapa Arif seperti biasa. Dia teman satu ruangan dengannya.“Pagi juga, Rif.” Jawab Nana tak kalah manis.Arif hampir saja diabetes melihat senyuman manis itu, untung saja ia langsung ingat jika dirumah ada Ibu negaranya, kalau tidak bisa khilaf dirinya.“Ada apa nih? Pagi-pagi udah bahagia aja.”“Emang gak boleh? Bagus dong, kalau aku selalu bahagia.”Inilah sifat Nana yang sebenarnya, yang selama ini seakan ia kubur hanya untuk menghukum dirinya sendiri atas kesalahannya yang bukan ia lakukan. Tapi tidak apa-apa, bukan kah kehidupan butuh perubahan agar tak bosan?Arif hanya tersenyum saja mendengar jawaban Nana. Pria itu seakan tak ingin semakin larut dalam obrolan yang pada akhirnya malah nan
Sore hari ternyata Adri benar-benar membawa Nana keliling dengan sepeda motor. Tak tahu kemana tujuan mereka akan pergi, tapi bagi mereka lebih memilih menikmati perjalanan ini dengan berkeliling saja.Nana awalnya ingin protes, karena dari tadi motor Adri tak kunjung berhenti, tapi saat pria itu berkata 'kita nikmati saja senja dengan begini, akan terasa indah' Dan wanita itu malas membantah, toh begini lebih baik.“Mau makan apa?” tanya Adri saat mereka mulai bosan.“Terserah kamu aja,”Adri terkekeh geli mendengar jawaban Nana, “cewek memang gitu ya, setiap aja jalan pasti bilang terserah. Tapi kalau gak sesuai dengan keinginannya pasti pas pulang mengambek.”“Gak kok. Aku serius, terserah kamu pilih aja.” Jawab Nana meyakinkan.Adri membawa Nana ke sebuah restoran yang cukup terkenal, untuk hari ini ia ingin membuat perempuan ini terkesan padanya. Setelah sampai mereka langsung masuk.
Jika rasa sudah sudah tumbuh, tak ada yang bisa melarang lagi. Adri sadar ia sudah dewasa, tak ada gunanya lagi berlagak seperti ABG yang sedang jatuh cinta. Tapi ia sendiri juga merasa bingung bagaimana cara menyampaikan isi hatinya, karena kesalahannya sekarang menyukai sang tetangga sendiri. Ia tak ingin merusak hubungan yang sudah beberapa lama ini terjalin baik dengan dia.Adri bertanya-tanya, apa gadis itu juga menyukainya?Itulah kegelisahan yang dirasakannya, ia bahkan tak tahu apapun tentang Nana, tapi ia bisa memastikan jika benih-benih cinta sudah tumbuh dihatinya untuk sang tetangga cantik.“Dokter Adri, kenapa melamun?”Dokter Farah mengguncang pelan bahu pria yang asyik melamun itu. Adri gelagapan sendiri. Iss, kenapa ia bisa melamun saat bertugas seperti ini.“Ada apa dokter Farah?”“Dari tadi saya memanggil anda, dokter. Kita harus memeriksa pasien sekarang.”Adri mengang
Nana tersenyum manis melihat pria didepannya, sedangkan yang dipandang hanya berwajah datar saja, tak peduli dengan yang dilakukan Nana.“Kenapa kamu memandang ku seperti itu?” Tanya dokter tampan itu jutek. Ia mulai merasa risih saat ditatap begitu intens.“Gak ada ... Hanya melihat ciptaan Allah yang sempurna,” Ucapnya tanpa malu.Wajah Adri langsung memerah. Jangan salah, meskipun dia seorang pria tapi tidak dilarang untuk baper kan? Toh, dirinya punya perasaan.“Kamu gombal saya?”“Gak kok, dokter. Hanya berkata jujur.” Entah apa yang merasuki Nana hari ini, tapi ia suka saat mengganggu Adri.Setelah membaca novel romantis tadi ia menjadi ingin menjadi gadis di novel itu, yang selalu mengejar cinta. Ah betapa anehnya wanita ini.“Kamu sehat kan? Atau jangan-jangan setelah kecelakaan itu otak kamu geser.”Nana mendengus kesal mendengarnya, mana mun
Nana mengusap wajahnya pelan, ia merasa lelah setelah seharian bekerja. Karena terlalu lama libur bekerja membuat pekerjaan menumpuk, dan sekarang ia harus menyelesaikannya.Seminggu sudah berlalu. Nana maupun Intan sudah kembali bekerja seperti biasa. Tapi belakangan ini Nana sedikit terganggu dengan gosip tentang dirinya, permasalahan waktu pak Panji membawanya ke rumah sakit menyebar luas, bahkan banyak pula dari mereka yang menambah-nambahkan membuat gosip itu semakin menarik, padahal kenyataannya tak seperti itu.Tapi Nana tidak ambil pusing, selagi hidupnya tidak diganggu dan tidak berlebihan ia akan memilih untuk diam saja.“Na, makan siang yuk?”Nana melihat Lisa sudah berdiri menunggu dirinya, “Iya ... Aku simpan dokumen ini dulu.” Lisa mengangguk setuju.Setelah itu mereka menuju kantin kantor yang sudah mulai terlihat penuh, semua karyawan sepertinya sudah siap untuk menyantap makan siang mereka.
Nana mengerang saat merasakan cahaya matahari menerpa wajahnya. Dia mengerjap matanya beberapa kali untuk mengembalikan kesadarannya, seketika matanya melebar saat melihat jam yang ada didinding.“Astagfirullah! Aku telat bangun lagi!” pekik wanita itu penuh kesal.Nana segera menghambur masuk kedalam kamar mandi. Setelah lima belas menit berlalu Nana sudah keluar dari kamar dengan pakaian rapinya. Ia segera menuju taksi yang sudah dipesannya, seperti biasa.Saat diruang tamu ia melihat Intan yang sedang bersantai menikmati sarapan bersama jus buahnya, Nana mendengus kesal. “Dasar teman durhaka! Bukannya membangunkan ku, kamu malah bersenang-senang,” ucap Nan kesal. Sedangkan gadis itu malah tertawa bahagia.Intan masih menikmati masa liburannya yang masih tersisa empat hari lagi, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh gadis itu, katanya waktu dirumah orang tuanya ia tak bisa bersenang-senang. Jadi sekarang gadis itu sungguh
Nana dan Adri sampai di bandara setelah lima belas menit berlalu. Mereka segera mencari keberadaan Intan yang katanya menunggu di lobi bandara. Wanita itu dengan gesit melihat setiap orang-orang yang ada Disana, tapi ia tak kunjung menemukan keberadaan Intan. Merasa sedih putus asa wanita itu kembali mencari di tempat tunggu penumpang, akhirnya yang dicarinya ketemu juga.Tepat di sebuah kursi panjang tempat penumpang menunggu, terlihat seorang perempuan yang tertunduk diam disana, Nana yakin itu pasti intan yang masih menangis. Dengan cepat aku segera mendekati gadis itu agar bisa lekas pulang.“Itu dia!” Nana segera menghampirinya. Sedangkan Adri tak ikut karena ia malas ikut campur urusan para wanita. Iya yakin sekali pasti ada drama yang terjadi jika suasana sudah seperti ini.“Intan?” Panggil Nana dengan pelan.Perempuan yang dipanggil itu segera menonggak melihat siapa yang memanggilkannya, ternyata dia memang intan yang terl
Intan tiba di bandara setelah berjuang lepas dari cengkaman kedua orang tuanya. Ya, setelah pertengkaran itu Intan memutuskan untuk langsung pulang ke Jakarta. Bagaimana bisa ia tinggal lebih lama disana, sedangkan Pandu selalu datang mengganggu hari-harinya. Butuh waktu dua jam agar lolos dari ayahnya, mereka kembali berdebat setelah itu, karena ayah intan yang mencoba menahannya.Intan hanya bisa membawa tas kecil yang berisi beberapa pakaian, dompet, ponsel dan kartu identitasnya saja. Tentu saja tidak bisa bawa barang banyak-banyak, namanya juga orang mau kabur, kalau bawa perlengkapan lengkap itu namanya mau kamping.Intan masuk kedalam pesawat, menuju kursi ekonomi yang sudah ditentukan. Sebentar lagi pesawat akan lepas landas, Intan berharap setelah ini semuanya akan baik-baik saja. Meninggalkan orang tua dalam keadaan marah, sebenarnya Intan sedikit takut, tapi bagaimana lagi dirinya tidak mau menikah dengan mantan makanya pemberontakan ini ia lakukan.S
Jika gelap tidak selalu diartikan malam, bagaimana bisa semua cerita akan bisa berakhir bahagia. Karena perjuangan saja masih bisa menghianati hasil, apalagi jika hati hanya mengandalkan takdir.Matahari sudah mulai menampakkan dirinya, membangunkan orang-orang yang masih masih betah dengan bergelung Manja ditempat tidur. Nana membuka matanya yang masih terasa sangat mengantuk, wanita itu tidak bisa tidur sepanjang malam karena tubuhnya yang terasa sakit. Ia bahkan hanya tidur dua jam telah Subuh, dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.Adri masuk setelah mengetuk pintu sebelumnya, ia membawa semangkuk sup dan obat untuk tetangganya itu. Sungguh perhatian!“Kamu sudah bangun?”“Ya,” jawab Nana.Nana bersandar pada kepala ranjangnya. Penglihatannya masih terasa kabur, kepalanya juga masih berdenyut-denyut, meskipun tidak seberapa sakitnya lagi. Ia bersyukur mendapat bantuan dari Adri, jika tidak ia bisa men
Angin malam menghembus hingga ketulang, membelai wajah pucat yang terbaring lemah ditempat tidur itu, semakin membuat tubuh rapuh itu bergetar kedinginan. Hampir seharian wanita itu tak bangun-bangun membuat seseorang yang menjaganya dari siang tadi menjadi sangat cemas.Nana mulai membuka matanya yang masih terasa perih, ia mengerjap pelan menghindari sinar lampu yang menyilaukan matanya. Ia seakan menjadi linglung, mungkin karena terlalu lama menutup mata, apalagi kepalanya masih berdenyut sakit, meskipun tak separah tadi pagi.“Ohh, aku kenapa?” Wanita itu melihat tangannya yang terasa sakit, Ahh ternyata ada jarum infus terpasang disana.Nana melihat tempat ia berada, ternyata masih didalam kamarnya, tadi ia sempat berpikir jika dirinya dibawa ke rumah sakit.Tapi ... Bukankah tadi siang ia pingsan sendiri? Lalu siapa yang membawanya ke kamar dan juga memasang infus ini? Kapan benda ini ada?“Kamu sudah bangun?”D