Suara memercik air mulai terdengar disambut dengan Suara senandung kecil dari sang pemilik tubuh yang sedang berada didalam kamar mandi kecil itu. Tak berapa lama Nana keluar dengan wajah yang terlihat lebih segar. Rasa lelahnya bekerja seharian rasanya sudah hilang saat melihat kasur yang begitu empuk dimatanya sekarang.
“Capeknya ... Mending aku tidur lebih awal sekarang,” ucap gadis itu pada dirinya sendiri.
Saat dirinya baru saja merebahkan tubuhnya, suara ketukan pintu terdengar membuat ia kembali mengumpat kesal. Ia melangkah dengan malas membukakan pintu, rasa ingin marah-marah saja dirinya hari ini, mungkin efek dari datang bulan, Pikirnya.
“Ada apa lagi?” tanya Nana dengan tampang malasnya. Sedangkan intan sudah berdiri diluar kamar dengan wajah tak bersalah.
“Cari makan yuk, Na? Bosan di rumah terus,” ajaknya.
“lagi malas, Tan. Besok aja ya, kan libur.”
Intan menggeleng cepat, “laparnya sekarang, Na. Mana bisa tunggu besok!” Nana memutar mata malas, gadis didepannya ini suka sekali mendramatiskan keadaan.
“Ya udah, tapi kamu yang bayar.”
Intan yang sudah bahagia langsung kembali lesu. Mana mau dia, sedangkan uangnya saja tidak seberapa, seharusnya Nana yang traktir makan, kan uang sewa rumah cukup banyak untuk menambah keuangan perempuan itu.
“Mana bisa! Kan besok waktu bayar sewa rumah, kamu mau aku gak bayar?” tanya intan penuh harap, tapi Nana malah menatap tajam balik.
“Enak aja! Kalo gak bayar aku usir,” ucap Nana tanpa perasaan. “Udah, ayo pergi. Udah terlanjur lapar juga aku bicara sama kamu, Tan.”
Intan bersorak gembira, akhirnya ia tidak jadi mentraktir Nana. Bukanya dia pelit, tapi memang hidup dirantau itu tidak enak, harus pandai-pandai membagi pengeluaran jika tidak ingin menjadi gelandangan. Tinggal di rumah Nana yang cukup bagus membuat ia bersyukur, apalagi bayarannya tak terlalu mahal seperti kontrakan yang lain, jadi dirinya tidak akan pernah mau diusir. Hidup nyaman dengan uang sewa yang murah, suatu keberuntungan baginya yang tidak boleh dilewatkan.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju penjual makanan pinggir jalan yang tidak jauh dari kompleks mereka, hanya butuh beberapa menit untuk berjalan kaki akhirnya mereka sampai. Intan langsung berteriak menyebut pesanan mereka berdua. Tempat ini sudah menjadi langganan mereka berdua karena itu ia tidak terlalu sungkan.
“Bang, pesan satenya satu ya.” Si Abang tukang sate mengangguk siap. Untung tempatnya tidak terlalu ramai, membuat mereka mudah mencari tempat duduk yang lebih nyaman.
“Ini Mbak, satenya,” ucap sang tukang sate yang langsung disambut kedua perempuan itu dengan semangat.
Rasa sate yang lezat, ditambah dengan perut yang lapar membuat mereka makan dengan lahap. Hampir setengah jam mereka habiskan untuk nongkrong disana, setelah membayar sate yang mereka makan, mereka memilih untuk kembali ke rumah.
“Eh, bukankah itu tetangga baru kita?” Intan berucap sambil menunjuk-nunjuk seorang pria yang berjalan santai didepan mereka.
“Sepertinya,” balas Nana. “Apa kau berniat untuk menyapanya?” tanya Nana tak yakin.
“Ide yang bagus. Kita bisa berjalan bersama menuju rumah.” Nana berdecak kesal, seharusnya ia tidak mengucapkan itu tadi, dan sekarang apa? Ia bahkan belum berani bertatap muka langsung, bahkan kejadian pagi tadi saja sudah membuatnya sangat terhina. Dan sekarang bertemu lagi, dirinya yakin sekali pasti ujung-ujungnya dirinya akan di permalukan lagi.
Intan sudah melesat cepat mengejar sang tetangga, meninggalkan Nana yang bersungut-sungut ditinggalkan di jalan yang remang-remang cahaya ini, membuat ia merinding saja.
“Intan! Tunggu!” teriak Nana tapi tidak digubris oleh si empunya. Sekarang ia harus memilih, antara malu bertemu dengan tetangganya atau jalan sendiri dengan membayangkan wajah setan yang selalu berhasil menakuti nya.
'nasib punya teman ganjen, ya beginilah.’ Nana mengumpat pelan.
Pada akhirnya ia tetap mengejar intan, meskipun ia tetap memilih untuk tidak terlalu dekat dengan tetangganya, tapi cukup dekat untuk mendengar obrolan mereka berdua.
“Hay, mas Adri,” sapa intan saat berhasil menyusul.
Pria itu sempat terlonjak kaget, setelah itu ia dengan cepat menguasai dirinya agar tidak terlihat memalukan. Sedangkan si pelaku malah menyengir tak bersalah, benar-benar membuat Nana merasa malu melihat kelakuan intan.
“Hay juga,” balasnya terkesan cuek.
“Dari mana, Mas?” tanya intan Mencoba memulai obrolan saat merasa tetangganya itu tidak peka.
“Ada urusan,” lagi-lagi hanya jawaban singkat.
“Oh, ya. Kita belum berkenalan dengan baik kemarin, sekali lagi salam kenal ya, mas.” Nana memutar matanya malas, jelas sekali ia tahu temannya sedang mencoba akrab dengan si pria.
“Ya,”
Nana yang berada di belakang mereka berdua, sekuat tenaga menahan tawanya. Kasihan sekali nasib sahabatku, sudah capek-capek, eh malah diacuhkan.
“Kamu kalau mau ketawa, ya ketawa aja. Gak usah ditahan-tahan,”
Ehh ... Nana tergagap tak percaya. Bagaimana pria didepannya ini bisa tahu? Ais, jadi malu kan. Nana memanyunkan bibirnya kesal, kenapa harus selalu memalukan untuk pertemuan mereka.
Sekarang giliran Intan yang tertawa, gadis itu tertawa kencang melihat Nana menjadi malu setelah terpergok curi-curi dengar obrolan mereka.
“Kalian ngeselin!” Bentak Nana kesal, ia berlalu lebih dulu meninggalkan dua sejoli itu dengan penuh kekesalan. Untung rumah sudah dekat, jadi dirinya sudah tak perlu takut lagi.
Intan menatap kepergian Nana dengan geli, terlihat sekali jika sahabatnya itu sedang salah tingkah saat terpergok Adri. Apa Nana mulai menyukai pria lain? Intan tersenyum lebar mendapati kabar gembira ini.
“Ada apa?” tanya Adri, bingung saat melihat gadis disampingnya tersenyum.
“Apa aku boleh bertanya sesuatu?”
“Apa?” balas Adri yang terkesan dingin.
“Bagaimana menurutmu teman ku tadi? Sebagai seorang pria,” tanya Intan langsung tanpa sungkan.
Adrian mengakta alisnya, seolah berkata 'mengapa bertanya seperti itu?'
“Kau jangan salah paham, mas. Aku hanya iseng,” jelasnya buru-buru agar tak membuat kesalahpahaman.
“Biasa saja!”
Adrian berlalu pergi menuju rumahnya, meninggalkan intan yang terdiam mendengar perkataannya. Harapannya untuk comblang mereka tak jadi, karena ternyata si pria tak menyukai sahabatnya.
Intan melangkahkan kakinya menuju rumah. Entah kenapa ia malah merasa nyaman saat berbincang dengan Adri? Apa iya dirimu mulai menyukai tetangganya sendiri? Intan menggeleng cepat dengan pikiran bodohnya, tidak mungkin ia begitu cepat menyukai seseorang.
.......
Malam semakin larut, rasa dingin sudah mulai menusuk tulangnya yang membuat ia merasa kedinginan. Intan memilih masuk ke dalam kamar. Ia baru saja dari teras, seperti biasanya ia melihat bintang-bintang yang bersinar terang disana dengan harapan yang sama.
'Jika suatu hari nanti aku melupakan mu, maafkan aku. Tapi percayalah namamu dan cinta mu sudah ku simpan disudut hati yang terdalam. Kau akan selalu menjadi kenangan yang indah.’ rasanya perih saat ia menyadari bahwa dirinya mulai lupa dengan, dia. Batin Nana berteriak untuk melarang mencari pengganti dirinya, tapi hati? Tak ada yang tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Ia merebahkan diri di atas tempat tidur. Ingin memejamkan mata tapi entah kenapa rasanya begitu sulit. Sekarang ia harus istirahat yang cukup, agar bisa menghadapi hari-hari yang melelahkan.
Matahari sudah menampakkan dirinya begitu tinggi, tapi sama sekali tak mengusik tidur nyenyak seorang wanita yang masih meringkuk manja didalam selimut tebal yang membukus tubuh mungilnya. Sepertinya tidurnya sangat nyenyak sampai ia tak menyadari jika ini sudah lewat dari kebiasaannya.Nana mulai menggeliat saat merasa tubuhnya terguncang oleh seseorang. Intan menggeleng-geleng melihat Nana yang menguap dengan lebar, seolah mengatakan wanita itu masih mengantuk, tapi matanya malah tidak terbuka sedikit pun.“Nana, bangun!” Panggil intan sedikit keras.“Ehmm ... Apa, Tan?” Ucapnya serak, khas seorang baru bangun tidur.“Ih ... Ini sudah jam sembilan, Na. Kamu gak mau serapan?” Emang masih bisa dikatakan serapan ya? Pikir Intan, ya sudahlah, terserah dirinya mau ngucapin apa.“Nanti aja,” balasnya malas.“Kebo banget sih, kalo tidur.” Sekali lagi intan Mencoba menarik tangan Nana sup
Melihat dengan jeli setiap angka dilayar komentar benar-benar membuat ia kelelahan. Menjadi staf administrasi benar-benar menyiksa bagi Nana, meskipun bakatnya disana tapi suatu hari juga bisa buat dirinya jenuh.Ingin rasanya berhenti, tapi setelah itu ia mau kerja apa? Dapat bekerja dengan posisi seperti ini dirinya sudah sangat bersyukur. Jangan sampai karena tak bisa hidup sendiri lagi, keluarganya datang memaksanya pulang ke Jakarta, ia tidak mau itu terjadi.Mungkin ia hanya berhenti bekerja saat dirinya menikah nanti, setelah itu ia hanya perlu bersantai di rumah, tak perlu bekerja lagi. Dirinya hanya perlu menyambut dengan senyum manis suaminya saat pulang dari bekerja.Nana menggeleng geli dengan pikiran gilanya, bagaimana ia bisa berpikir begitu jauh. Untuk membuka hatinya rasanya sangat sulit, lalu bagaimana ia bisa mendapatkan suami?Kejadian dua hari lalu membuat dirinya menyadari, sikapnya mulai berubah.. Tapi ia pikir itu tidaklah benar! Na
Malam belum begitu larut, jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Merasa bosan sendirian, Nana keluar dari rumahnya. Seperti biasa ia duduk di teras sendirian untuk melihat bintang-bintang dengan ditemani secangkir kopi. Merasa ada sesuatu yang memperhatikan, ia menoleh ke samping rumah tangganya. Ahh ... Ternyata ia tidak sendiri, ada Adrian yang juga di teras rumahnya. Nana yakin pasti pria itu melihatnya tadi, tapi saat dirinya menoleh Adri langsung membuang pandangannya. “Malam,” sapa Nana . Hanya untuk basa-basi saja. Adri tak menjawab, ia hanya menoleh sebentar setelah itu kembali memalingkan wajahnya. “Sombong!” batin Nana. Ia tidak peduli lagi, baginya bintang-bintang yang bersifat itu lebih menarik untuk dilihat dari pada mengurus sang tetangga sombongnya. Namanya mengotak-atik ponselnya sebentar. Lagu rindu serindu rindunya mengalun indah dari ponselnya. Dengan begini ia berasa benar-benar menghayati hidupnya,
Nana memasuki kantor dengan senyum semangat yang luar biasa, berbeda dari hari sebelumnya yang selalu terlihat jutek dengan tampang keras kepalanya khas seorang Aisyah Syafina.“Pagi Nana,” sapa Arif seperti biasa. Dia teman satu ruangan dengannya.“Pagi juga, Rif.” Jawab Nana tak kalah manis.Arif hampir saja diabetes melihat senyuman manis itu, untung saja ia langsung ingat jika dirumah ada Ibu negaranya, kalau tidak bisa khilaf dirinya.“Ada apa nih? Pagi-pagi udah bahagia aja.”“Emang gak boleh? Bagus dong, kalau aku selalu bahagia.”Inilah sifat Nana yang sebenarnya, yang selama ini seakan ia kubur hanya untuk menghukum dirinya sendiri atas kesalahannya yang bukan ia lakukan. Tapi tidak apa-apa, bukan kah kehidupan butuh perubahan agar tak bosan?Arif hanya tersenyum saja mendengar jawaban Nana. Pria itu seakan tak ingin semakin larut dalam obrolan yang pada akhirnya malah nan
“Kamu tak ingin bertanya?” Tanyanya penasaran.“Tidak, aku tahu itu privasi. Tapi jika butuh teman bercerita, kamu bisa meminta ku.”Intan sungguh terharu mendengar ucapan ini, selalu peduli padanya tanpa mencoba memaksa. “Kau teman terbaikku, Na.” Nana tersenyum manis mendengar ucapan pujian itu.“Aku tahu,”Nana lanjut mengompres luka intan dengan hati-hati, tak ingin membuat Gadi itu Demak kesaksian nantinya. Meskipun dalam hati ada sedikit kesal, melihat tingkah Intan yang akhir-akhir ini membuat Nana sedikit curiga.“Aku baru saja ditampar seorang wanita,” Sepertinya Gadis itu mulai menceritakannya. Nana dengan baik akan mendengar tanpa membantah seperti biasa. “Maaf belum memberi tahunya padamu, Na. Beberapa hari ini aku dekat dengan seorang pria, tapi aku tidak tahu kalau ...,”Nana semakin penasaran, “kalau apa?”“Dia sudah punya istri,&rdq
Bumi ini berputar dua puluh empat jam, begitu juga dengan kehidupan yang tiada henti hari ke hari. Nana tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, yang ia tahu hannyalah menjalani hidup ini tanpa mengeluh pada takdir. Meskipun terkadang ia sendiri sering lupa untuk selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan.Memang begitulah kehidupan jika tak ada cobaan maka kita rasakan tahu rasanya kebahagiaan, karena kebahagiaan itu tidak akan datang tanpa di undang. Karena itulah selalu bersyukur dalam situasi apapun, karena setiap kejadian ada hikmahnya.Pagi ini Nana sendiri untuk berangkat, Intan sudah pergi dari kemarin sore Membuat rumah begitu terasa sepi dari biasanya. Gadis itu harus kembalikan Dengan cepat karena ayahnya yang tak henti selalu menghubungi, jika keadaan orang tua intan semakin memburuk..Nana melangkah keluar dari rumah, tapi entah kenapa taksi yang dipesannya sampai sekarang belum datang juga. Meliha
Hujan begitu deras turun tanpa henti, membuat semua orang memilih untuk bergelung di bawah selimut tebal untuk menghangatkan tubuh mereka. Tapi berbeda dengan seorang wanita cantik itu, ia berlari di bawah hujan yang sangat lebat tanpa pelindung apapun. Bahkan ia sudah terlihat sangat kedinginan, wajahnya mulai terlihat membiru karena terlalu lama kehujanan.Dari kantor tadi sebenarnya hujan tidak selebat ini, karena itu Nana memutuskan pulang. Tapi nasibnya sangat sial, ditegah jalan taksi yang ditumpanginya malah mogok, tak punya pilihan lain ia terpaksa menerobos hujan yang semakin lebat sampai rumah, untungnya jaraknya tak terlalu jauh dari rumahnya lagi.“Jam berapa sekarang?” perempuan itu melihat jam di pergelangan tangannya. Ternyata sudah menunjukkan jam delapan malam. Untung batang itu tidak rusak, karena terlindungi dari baju panjang yang ia gunakan.Nana mengerutkan hidupnya yang terasa perih, mungkin terlalu lama terkena air hujan membua
Angin malam menghembus hingga ketulang, membelai wajah pucat yang terbaring lemah ditempat tidur itu, semakin membuat tubuh rapuh itu bergetar kedinginan. Hampir seharian wanita itu tak bangun-bangun membuat seseorang yang menjaganya dari siang tadi menjadi sangat cemas.Nana mulai membuka matanya yang masih terasa perih, ia mengerjap pelan menghindari sinar lampu yang menyilaukan matanya. Ia seakan menjadi linglung, mungkin karena terlalu lama menutup mata, apalagi kepalanya masih berdenyut sakit, meskipun tak separah tadi pagi.“Ohh, aku kenapa?” Wanita itu melihat tangannya yang terasa sakit, Ahh ternyata ada jarum infus terpasang disana.Nana melihat tempat ia berada, ternyata masih didalam kamarnya, tadi ia sempat berpikir jika dirinya dibawa ke rumah sakit.Tapi ... Bukankah tadi siang ia pingsan sendiri? Lalu siapa yang membawanya ke kamar dan juga memasang infus ini? Kapan benda ini ada?“Kamu sudah bangun?”D
Sore hari ternyata Adri benar-benar membawa Nana keliling dengan sepeda motor. Tak tahu kemana tujuan mereka akan pergi, tapi bagi mereka lebih memilih menikmati perjalanan ini dengan berkeliling saja.Nana awalnya ingin protes, karena dari tadi motor Adri tak kunjung berhenti, tapi saat pria itu berkata 'kita nikmati saja senja dengan begini, akan terasa indah' Dan wanita itu malas membantah, toh begini lebih baik.“Mau makan apa?” tanya Adri saat mereka mulai bosan.“Terserah kamu aja,”Adri terkekeh geli mendengar jawaban Nana, “cewek memang gitu ya, setiap aja jalan pasti bilang terserah. Tapi kalau gak sesuai dengan keinginannya pasti pas pulang mengambek.”“Gak kok. Aku serius, terserah kamu pilih aja.” Jawab Nana meyakinkan.Adri membawa Nana ke sebuah restoran yang cukup terkenal, untuk hari ini ia ingin membuat perempuan ini terkesan padanya. Setelah sampai mereka langsung masuk.
Jika rasa sudah sudah tumbuh, tak ada yang bisa melarang lagi. Adri sadar ia sudah dewasa, tak ada gunanya lagi berlagak seperti ABG yang sedang jatuh cinta. Tapi ia sendiri juga merasa bingung bagaimana cara menyampaikan isi hatinya, karena kesalahannya sekarang menyukai sang tetangga sendiri. Ia tak ingin merusak hubungan yang sudah beberapa lama ini terjalin baik dengan dia.Adri bertanya-tanya, apa gadis itu juga menyukainya?Itulah kegelisahan yang dirasakannya, ia bahkan tak tahu apapun tentang Nana, tapi ia bisa memastikan jika benih-benih cinta sudah tumbuh dihatinya untuk sang tetangga cantik.“Dokter Adri, kenapa melamun?”Dokter Farah mengguncang pelan bahu pria yang asyik melamun itu. Adri gelagapan sendiri. Iss, kenapa ia bisa melamun saat bertugas seperti ini.“Ada apa dokter Farah?”“Dari tadi saya memanggil anda, dokter. Kita harus memeriksa pasien sekarang.”Adri mengang
Nana tersenyum manis melihat pria didepannya, sedangkan yang dipandang hanya berwajah datar saja, tak peduli dengan yang dilakukan Nana.“Kenapa kamu memandang ku seperti itu?” Tanya dokter tampan itu jutek. Ia mulai merasa risih saat ditatap begitu intens.“Gak ada ... Hanya melihat ciptaan Allah yang sempurna,” Ucapnya tanpa malu.Wajah Adri langsung memerah. Jangan salah, meskipun dia seorang pria tapi tidak dilarang untuk baper kan? Toh, dirinya punya perasaan.“Kamu gombal saya?”“Gak kok, dokter. Hanya berkata jujur.” Entah apa yang merasuki Nana hari ini, tapi ia suka saat mengganggu Adri.Setelah membaca novel romantis tadi ia menjadi ingin menjadi gadis di novel itu, yang selalu mengejar cinta. Ah betapa anehnya wanita ini.“Kamu sehat kan? Atau jangan-jangan setelah kecelakaan itu otak kamu geser.”Nana mendengus kesal mendengarnya, mana mun
Nana mengusap wajahnya pelan, ia merasa lelah setelah seharian bekerja. Karena terlalu lama libur bekerja membuat pekerjaan menumpuk, dan sekarang ia harus menyelesaikannya.Seminggu sudah berlalu. Nana maupun Intan sudah kembali bekerja seperti biasa. Tapi belakangan ini Nana sedikit terganggu dengan gosip tentang dirinya, permasalahan waktu pak Panji membawanya ke rumah sakit menyebar luas, bahkan banyak pula dari mereka yang menambah-nambahkan membuat gosip itu semakin menarik, padahal kenyataannya tak seperti itu.Tapi Nana tidak ambil pusing, selagi hidupnya tidak diganggu dan tidak berlebihan ia akan memilih untuk diam saja.“Na, makan siang yuk?”Nana melihat Lisa sudah berdiri menunggu dirinya, “Iya ... Aku simpan dokumen ini dulu.” Lisa mengangguk setuju.Setelah itu mereka menuju kantin kantor yang sudah mulai terlihat penuh, semua karyawan sepertinya sudah siap untuk menyantap makan siang mereka.
Nana mengerang saat merasakan cahaya matahari menerpa wajahnya. Dia mengerjap matanya beberapa kali untuk mengembalikan kesadarannya, seketika matanya melebar saat melihat jam yang ada didinding.“Astagfirullah! Aku telat bangun lagi!” pekik wanita itu penuh kesal.Nana segera menghambur masuk kedalam kamar mandi. Setelah lima belas menit berlalu Nana sudah keluar dari kamar dengan pakaian rapinya. Ia segera menuju taksi yang sudah dipesannya, seperti biasa.Saat diruang tamu ia melihat Intan yang sedang bersantai menikmati sarapan bersama jus buahnya, Nana mendengus kesal. “Dasar teman durhaka! Bukannya membangunkan ku, kamu malah bersenang-senang,” ucap Nan kesal. Sedangkan gadis itu malah tertawa bahagia.Intan masih menikmati masa liburannya yang masih tersisa empat hari lagi, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh gadis itu, katanya waktu dirumah orang tuanya ia tak bisa bersenang-senang. Jadi sekarang gadis itu sungguh
Nana dan Adri sampai di bandara setelah lima belas menit berlalu. Mereka segera mencari keberadaan Intan yang katanya menunggu di lobi bandara. Wanita itu dengan gesit melihat setiap orang-orang yang ada Disana, tapi ia tak kunjung menemukan keberadaan Intan. Merasa sedih putus asa wanita itu kembali mencari di tempat tunggu penumpang, akhirnya yang dicarinya ketemu juga.Tepat di sebuah kursi panjang tempat penumpang menunggu, terlihat seorang perempuan yang tertunduk diam disana, Nana yakin itu pasti intan yang masih menangis. Dengan cepat aku segera mendekati gadis itu agar bisa lekas pulang.“Itu dia!” Nana segera menghampirinya. Sedangkan Adri tak ikut karena ia malas ikut campur urusan para wanita. Iya yakin sekali pasti ada drama yang terjadi jika suasana sudah seperti ini.“Intan?” Panggil Nana dengan pelan.Perempuan yang dipanggil itu segera menonggak melihat siapa yang memanggilkannya, ternyata dia memang intan yang terl
Intan tiba di bandara setelah berjuang lepas dari cengkaman kedua orang tuanya. Ya, setelah pertengkaran itu Intan memutuskan untuk langsung pulang ke Jakarta. Bagaimana bisa ia tinggal lebih lama disana, sedangkan Pandu selalu datang mengganggu hari-harinya. Butuh waktu dua jam agar lolos dari ayahnya, mereka kembali berdebat setelah itu, karena ayah intan yang mencoba menahannya.Intan hanya bisa membawa tas kecil yang berisi beberapa pakaian, dompet, ponsel dan kartu identitasnya saja. Tentu saja tidak bisa bawa barang banyak-banyak, namanya juga orang mau kabur, kalau bawa perlengkapan lengkap itu namanya mau kamping.Intan masuk kedalam pesawat, menuju kursi ekonomi yang sudah ditentukan. Sebentar lagi pesawat akan lepas landas, Intan berharap setelah ini semuanya akan baik-baik saja. Meninggalkan orang tua dalam keadaan marah, sebenarnya Intan sedikit takut, tapi bagaimana lagi dirinya tidak mau menikah dengan mantan makanya pemberontakan ini ia lakukan.S
Jika gelap tidak selalu diartikan malam, bagaimana bisa semua cerita akan bisa berakhir bahagia. Karena perjuangan saja masih bisa menghianati hasil, apalagi jika hati hanya mengandalkan takdir.Matahari sudah mulai menampakkan dirinya, membangunkan orang-orang yang masih masih betah dengan bergelung Manja ditempat tidur. Nana membuka matanya yang masih terasa sangat mengantuk, wanita itu tidak bisa tidur sepanjang malam karena tubuhnya yang terasa sakit. Ia bahkan hanya tidur dua jam telah Subuh, dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.Adri masuk setelah mengetuk pintu sebelumnya, ia membawa semangkuk sup dan obat untuk tetangganya itu. Sungguh perhatian!“Kamu sudah bangun?”“Ya,” jawab Nana.Nana bersandar pada kepala ranjangnya. Penglihatannya masih terasa kabur, kepalanya juga masih berdenyut-denyut, meskipun tidak seberapa sakitnya lagi. Ia bersyukur mendapat bantuan dari Adri, jika tidak ia bisa men
Angin malam menghembus hingga ketulang, membelai wajah pucat yang terbaring lemah ditempat tidur itu, semakin membuat tubuh rapuh itu bergetar kedinginan. Hampir seharian wanita itu tak bangun-bangun membuat seseorang yang menjaganya dari siang tadi menjadi sangat cemas.Nana mulai membuka matanya yang masih terasa perih, ia mengerjap pelan menghindari sinar lampu yang menyilaukan matanya. Ia seakan menjadi linglung, mungkin karena terlalu lama menutup mata, apalagi kepalanya masih berdenyut sakit, meskipun tak separah tadi pagi.“Ohh, aku kenapa?” Wanita itu melihat tangannya yang terasa sakit, Ahh ternyata ada jarum infus terpasang disana.Nana melihat tempat ia berada, ternyata masih didalam kamarnya, tadi ia sempat berpikir jika dirinya dibawa ke rumah sakit.Tapi ... Bukankah tadi siang ia pingsan sendiri? Lalu siapa yang membawanya ke kamar dan juga memasang infus ini? Kapan benda ini ada?“Kamu sudah bangun?”D