Pagi itu, Ara duduk di meja makan sambil menatap secangkir teh yang uapnya mulai menghilang. Hari terasa begitu sunyi meskipun matahari bersinar cerah.
Raka, yang biasanya hanya berbicara sekadarnya sebelum berangkat kerja, kali ini tetap duduk di kursinya, memandang Ara dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Aku akan pulang lebih lambat malam ini," kata Ara, mencoba memecah keheningan yang semakin mencekam.
Raka tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk kopinya dengan gerakan lambat, matanya tidak lepas dari Ara. "Pekerjaan tambahan lagi?" tanyanya, nadanya datar tetapi menusuk.
Ara mengangguk, meskipun ia tahu bahwa jawabannya tidak akan memuaskan Raka. "Ya, aku harus menyelesaikan beberapa laporan sebelum akhir minggu."
Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. "Akhir-akhir ini kau sering pulang terlambat," katanya pelan, tetapi ada nada tajam dalam suaranya. "Kadang aku bertanya-tanya, apakah itu b
Pagi itu dimulai dengan keheningan yang menyesakkan. Cahaya matahari yang biasanya menerangi rumah tampak tidak mampu mengusir hawa dingin yang menggantung di udara. Ara duduk di meja makan, secangkir kopi di tangannya yang gemetar.Ia bahkan tidak berani menatap Raka, yang duduk di seberang meja dengan ekspresi yang keras seperti batu.“Aku sudah memikirkan ini sepanjang malam,” kata Raka akhirnya, suaranya dingin dan tajam seperti pisau. “Dan aku masih tidak mengerti, Ara. Bagaimana kau bisa mencintai pria lain? Setelah semua yang kita lalui bersama?”Ara menutup matanya, merasakan dadanya sesak. Ia tahu bahwa Raka tidak akan menerima penjelasan apa pun, tetapi ia merasa bahwa ia harus mencoba."Raka, aku tidak pernah berniat untuk mencintainya," katanya pelan, suaranya bergetar. "Aku bahkan tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Aku hanya tahu bahwa dia membuatku merasa... hidup."Raka tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kepahitan. "Hidup?" ula
Udara pagi terasa berat, meskipun langit cerah dengan semburat oranye yang indah di cakrawala. Ara duduk di tepi tempat tidurnya, tatapannya terpaku pada cincin kawinnya yang ia letakkan di meja kecil di sebelahnya. Rumah terasa sunyi, tetapi keheningan itu penuh dengan ketegangan yang tidak kasatmata. Setelah malam penuh ketegangan dengan Raka, ia merasa seperti tubuh dan pikirannya terkuras habis.Ponselnya bergetar, memutus lamunannya. Ara mengambilnya dengan ragu, dan hatinya sedikit mencelos ketika ia melihat nama Adrian di layar."Ara, aku di dekat taman kecil di belakang kantormu. Jika kau ingin berbicara atau sekadar duduk bersama, aku di sini."Ara membaca pesan itu berulang kali, mencoba memutuskan apakah ia harus pergi. Tetapi hatinya tahu bahwa ia membutuhkan pelarian—tempat di mana ia b
Langit sore berubah menjadi merah keemasan, memandikan kota dalam cahaya lembut yang terasa hampir ajaib. Adrian menunggu di teras rumah kecilnya, tempat di mana banyak momen dengan Ara terjadi.Ia berdiri dengan tangan di saku, memandangi taman kecil yang perlahan ditutupi bayangan malam. Ketika akhirnya Ara tiba, langkahnya terdengar pelan, nyaris enggan, tetapi tetap penuh tekad.Adrian menoleh dan tersenyum kecil, senyum yang tidak menuntut tetapi mengundang. "Aku tidak yakin kau akan datang," katanya, nadanya rendah tetapi hangat.Ara hanya mengangguk pelan, tidak berkata apa-apa. Hatinya terasa berat, tetapi entah kenapa ia tahu bahwa ia membutuhkan momen ini, bahwa ia membutuhkan Adrian.Mereka duduk di bangku kayu yang menghadap ke taman. Di sekitar mereka, angin sore berbisik melalui daun-daun, menciptakan simfoni alami yang mengisi keheningan di antara mereka. Adrian tidak berbicara, dan Ara merasa berterima kasih untuk itu.Ia tahu bahwa
Adrian berdiri di depan jendela ruang kerjanya, memandangi jalanan kota yang sibuk di bawah. Matanya menerawang, tetapi pikirannya penuh dengan keraguan dan keberanian yang sedang berperang. Ia tahu apa yang harus ia lakukan—apa yang harus ia katakan.Tetapi bahkan seorang pria sekuat Adrian tidak kebal terhadap ketakutan akan kehilangan.Ketika ponselnya bergetar di atas meja, ia tahu siapa yang menghubunginya bahkan sebelum melihat layar. Ara. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengangkat telepon dan mendengar suara lembut tetapi ragu di ujung sana.“Adrian,” kata Ara pelan, suaranya nyaris pecah. “Bisakah kita bertemu?”Adrian menarik napas dalam-dalam. “Tentu,” jawabnya tanpa ragu. “Aku akan menjemputmu.”Mereka bertemu di tempat yang biasa, sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota. Ara tiba lebih dulu, duduk di meja pojok dengan tatapan kosong yang mengarah ke cangkir teh di depannya.Ketika Adrian masuk, ia langsung melihat
Ara duduk di tepi tempat tidurnya, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuannya. Udara di kamar itu terasa berat, setiap detak jarum jam seperti gema di dalam pikirannya. Ia tahu bahwa Raka sedang berjalan di lorong menuju kamar mereka—langkahnya terdengar berat, penuh amarah yang ditahan.Ketika pintu kamar terbuka, Raka berdiri di ambang pintu. Wajahnya kaku, matanya menyiratkan kekecewaan yang mendalam, tetapi juga kemarahan yang tidak lagi bisa disembunyikan.“Kita perlu bicara,” katanya, suaranya rendah tetapi tegas.Ara mengangkat wajahnya, menatap Raka dengan mata yang penuh rasa bersalah tetapi juga kebingungan. “Raka, aku tidak tahu apa lagi yang harus aku katakan,” jawabnya pelan. “Aku sudah mencoba menjelaskan.”
Pagi itu, matahari baru saja mulai menyelinap masuk melalui tirai, memberikan bayangan hangat ke seluruh ruangan. Namun, suasana di dalam rumah tetap dingin, bahkan beku. Ara duduk di meja makan, pandangannya kosong menatap secangkir teh yang sudah dingin di depannya.Ia tahu bahwa Raka masih berada di kamar, tetapi suasana di antara mereka semakin renggang sejak malam sebelumnya.Ketika suara langkah Raka terdengar, Ara merasa tubuhnya menegang. Ia memandang ke arah pintu dapur, dan di sanalah ia berdiri—suaminya, dengan wajah yang terlihat lelah tetapi penuh determinasi.Mata mereka bertemu sesaat, sebelum Raka memutuskan kontak mata dan berjalan ke arah lemari untuk mengambil secangkir kopi.“Aku akan pulang lebih larut malam ini,” kata Raka akhirnya, nadanya datar, tanpa ekspresi.Ara menatapnya, mencoba membaca sesuatu dari wajahnya, tetapi sulit. Ia tahu ada banyak yang ingin ia tanyakan, tetapi bibirnya terasa terkunci.“Ada rapat di
Suara jam dinding terdengar lebih keras dari biasanya, memantul di ruangan yang sunyi. Ara duduk di ruang tamu dengan tubuh lelah, tangan memeluk lututnya. Semalaman ia tidak bisa tidur. Pikirannya penuh dengan kata-kata Raka dan bayangan Adrian yang terus menghantuinya.Ia merasa hatinya perlahan-lahan hancur, seperti retakan di kaca yang semakin membesar.Dari arah dapur, terdengar suara langkah berat Raka. Ia muncul dengan wajah kusut, matanya merah karena kurang tidur atau mungkin karena malam yang dihabiskan dengan botol bir. Tanpa sepatah kata pun, ia berjalan melewati Ara, seolah-olah ia tidak ada di sana.“Raka,” panggil Ara, suaranya pelan tetapi penuh harapan. Ia tahu bahwa mereka perlu bicara, bahwa keheningan ini hanya akan membuat jarak di antara mereka semakin besar. “Kita harus bicara.”Raka berhenti sejenak, lalu berbalik dengan ekspresi dingin. “Tentang apa lagi?” tanyanya, nadanya datar tetapi menusuk. “Tentang bagaimana kau ingin mening
Hujan turun deras malam itu, memukul jendela dengan irama yang tidak teratur. Ara duduk di kamarnya, memandangi ponselnya yang tergeletak di meja. Pikirannya penuh dengan keraguan, rasa sakit, dan cinta yang bercampur menjadi satu.Di luar kamar, ia mendengar langkah Raka mondar-mandir, suara berat yang menambah tekanan dalam pikirannya.Ketika ponselnya akhirnya bergetar, Ara meraih benda itu dengan tangan gemetar. Nama Adrian muncul di layar, dan ia merasa hatinya melompat sejenak sebelum tenggelam lagi dalam rasa bersalah. Ia membuka pesan itu dengan perlahan, takut akan apa yang mungkin ia baca.“Ara, aku tahu kau sedang berjuang dengan banyak hal. Tapi aku ingin kau tahu sesuatu yang penting.”Ia berhenti sejenak, napasnya tertahan. Pesan itu tidak selesai di layar pertama, dan ia harus menggulir untuk melanjutkan.“Aku mencintaimu, bukan hanya untuk siapa dirimu sekarang, tapi juga untuk siapa kau bisa menjadi. Aku melihat seoran
Pagi di desa itu selalu dimulai dengan keheningan yang damai, diselingi oleh kicauan burung yang terdengar dari pepohonan di belakang rumah mereka. Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara.Ara berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa buah stroberi yang baru dipetik dari kebun kecil mereka. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela, membungkus tubuhnya dengan sinar hangat yang lembut.Dari ruang tamu, terdengar langkah kaki kecil yang mendekat. Ara menoleh dan tersenyum lebar saat melihat seorang anak kecil dengan rambut ikal berwarna cokelat berlari ke arahnya. Anak itu mengenakan piyama dengan motif dinosaurus, dan tawa kecilnya memenuhi ruangan."Ibu! Lihat apa yang aku temukan!" seru anak itu dengan suara ceria, memperlihatkan sebuah daun kecil yang ia bawa dengan hati-hati.Ara membungkuk, mengambil daun itu dari tangan anaknya. "Oh, ini indah sekali, sayang. Kau menemukannya di mana?""Di bawah pohon besar!" jawab anak itu, m
Cahaya senja menyelimuti desa kecil itu, membawa kehangatan pada rumah-rumah kecil yang berbaris rapi di sepanjang jalan berbatu. Langit dihiasi semburat warna oranye, merah muda, dan ungu, seolah-olah semesta sengaja melukis kanvasnya untuk merayakan hari yang damai.Di halaman belakang rumah, Ara duduk di bangku kayu dengan secangkir teh di tangannya, tubuhnya terbalut sweater rajut yang melindunginya dari udara sore yang mulai dingin.Ia memandangi bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu. Tanaman itu tumbuh dengan gagah, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar. Kepala bunga yang cerah menghadap ke arah matahari yang mulai tenggelam.Ara tersenyum kecil, merasa bahwa bunga itu melambangkan kehidupannya sendiri—perlahan-lahan tumbuh dari tanah yang dulu terasa tandus, mencari cahaya yang akhirnya ia temukan dalam hidupnya bersama Adrian.Pintu belakang berderit pelan, dan suara langkah Adrian di atas lantai kayu terdengar sebelum ia m
Pagi itu, sinar matahari menyapu pelan rumah kecil mereka, membawa kehangatan ke dalam setiap sudut ruangan. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Aroma rumput basah dan bunga-bunga liar dari taman belakang melayang lembut di udara.Ia berdiri sejenak, memandang ke luar dengan senyum kecil di wajahnya. Di halaman belakang, bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu mulai tumbuh, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar."Duduklah dulu," kata Adrian dari dapur, suaranya terdengar ringan tetapi sedikit menggoda. "Kau tidak bisa terus sibuk sejak pagi. Sarapan sudah siap."Ara menoleh, tertawa kecil. "Aku hanya menikmati pemandangan. Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan bisa bangun dengan perasaan selega ini."Adrian muncul dari balik pintu dapur dengan dua piring di tangannya. Sepiring telur dadar lembut dengan irisan alpukat dan roti panggang di satu piring lainnya. Ia meletakkan semuanya di meja keci
Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar rumah baru mereka, memantulkan sinarnya di lantai kayu yang mengilap. Rumah itu sederhana tetapi terasa hangat, dengan dinding bercat krem dan perabotan kayu yang dipilih dengan penuh cinta.Di luar, angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon maple, dan suara burung-burung terdengar lembut, menjadi latar belakang kehidupan baru yang mereka mulai bersama.Ara berdiri di dapur kecil mereka, aroma kopi menguar dari mesin yang baru saja Adrian belikan. Ia mengenakan kaus longgar berwarna putih dan celana katun, kakinya telanjang di atas lantai dingin.Ia memandangi jendela yang menghadap ke taman belakang, di mana Adrian sedang menggali tanah untuk menanam bunga matahari yang dibawanya dari pasar minggu lalu.Ara tersenyum kecil, menyandarkan pinggulnya di meja dapur sambil memegang secangkir kopi. Setiap gerakan Adrian di luar terlihat penuh semangat—wajahnya yang serius saat ia mencangkul tanah, seseka
Pagi itu, langit cerah tanpa awan. Cahaya matahari lembut membasuh taman kecil di belakang rumah keluarga Adrian, tempat acara sederhana mereka akan diadakan.Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga mawar dan lavender yang menghiasi setiap sudut taman, menciptakan suasana hangat yang sempurna.Ara berdiri di depan cermin di kamar tamu rumah Adrian. Gaun putih sederhana melekat di tubuhnya, terbuat dari bahan satin yang jatuh dengan indah, memeluk tubuhnya dengan cara yang anggun.Tidak ada renda berlebihan atau kilauan mencolok, hanya detail kecil di sekitar leher yang membuatnya terlihat elegan dan alami.Lila berdiri di belakangnya, membantu menyematkan peniti kecil di ujung kerudung Ara. "Kau terlihat... luar biasa," kata Lila dengan mata berbinar, senyumnya lebar.Ara tersenyum melalui pantulan cermin, mencoba menahan perasaan gugup yang merayap di dadanya. "Terima kasih, Lila. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasa benar-benar seperti pengantin
Pagi itu dimulai dengan keheningan yang damai. Sinar matahari pagi menerobos melalui tirai jendela, menyelimuti ruang tamu rumah kecil mereka dengan cahaya hangat keemasan. Ara berdiri di dapur, mengenakan sweater tipis berwarna krem yang sedikit kebesaran.Ia sedang memotong beberapa buah untuk sarapan, menikmati aroma segar jeruk yang menguar.Adrian muncul dari belakang, rambutnya masih sedikit berantakan, namun senyum lembut yang biasa menghiasi wajahnya tetap ada. "Kau bangun lebih pagi dari biasanya," katanya sambil mengambil cangkir dari rak dan menuangkan kopi.Ara menoleh dan tersenyum kecil. "Aku suka pagi-pagi seperti ini. Tenang dan terasa ringan."Adrian mengangguk, berjalan ke meja dan duduk di kursi, memperhatikan Ara yang sibuk di dapur. "Ada sesuatu yang berbeda pada dirimu akhir-akhir ini," ujarnya pelan, tetapi dengan nada penuh perhatian.Ara berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk menatap Adrian. "Apa maksudmu?"Adrian
Pagi itu, rumah kecil mereka diselimuti keheningan yang damai. Matahari pagi menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan bayangan hangat di lantai kayu. Ara duduk di meja dekat jendela, secangkir teh hijau mengepul di sebelahnya. Di depan Ara, ada selembar kertas kosong dan sebuah pena sederhana.Adrian berjalan masuk dari dapur, membawa piring berisi irisan roti panggang dan buah-buahan. Ia berhenti di ambang pintu ketika melihat Ara yang tampak termenung di depan kertas itu."Apa yang kau pikirkan?" tanyanya pelan, meletakkan piring di meja kecil di dekat Ara.Ara menoleh ke arahnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman kecil yang hampir tidak terlihat. "Aku berpikir untuk menulis sesuatu. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana."Adrian menarik kursi di depannya dan duduk. "Sesuatu seperti apa?"Ara mengambil pena itu, menggenggamnya dengan kedua tangan. "Aku ingin menulis surat untuk Raka."Adrian menatapnya, tetapi tidak langsung men
Angin sejuk pegunungan membelai wajah Ara, membawa aroma pinus dan bunga liar yang mekar di sepanjang jalan menuju rumah keluarga Adrian.Mobil Adrian meluncur mulus di jalanan kecil yang berkelok-kelok, dikelilingi oleh hutan hijau yang terasa seperti melindungi mereka dari hiruk pikuk dunia luar. Ara memandang keluar jendela, matanya menangkap pemandangan pegunungan yang menjulang megah di kejauhan.Namun, di tengah keindahan itu, dadanya terasa sesak oleh kegugupan. Jemarinya memainkan ujung sweater yang ia kenakan, menggulungnya dengan canggung."Berhenti menggulung sweatermu," suara Adrian terdengar ringan, tetapi penuh kehangatan, memecah keheningan. Matanya melirik ke arah Ara sambil tetap memperhatikan jalan.Ara meliriknya, setengah tersipu. "Aku tidak bisa menahannya. Aku... aku gugup."Adrian tertawa kecil, nada suaranya santai seperti biasanya. Ia mengulurkan satu tangan dari kemudi, menggenggam jemari Ara dengan lembut. "Kau tidak perl
Matahari pagi menyelimuti rumah kecil mereka dengan sinar keemasan. Udara di kota kecil itu sejuk dan segar, membawa aroma embun dan dedaunan basah. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan angin pagi masuk, meniup lembut rambutnya yang tergerai.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sungai kecil di kejauhan, mengalir tenang di bawah bayang-bayang pohon yang rimbun.Di dapur, suara denting piring terdengar pelan. Adrian tengah mengaduk adonan pancake, lengan bajunya digulung hingga siku. Ia sesekali menoleh ke arah Ara, memastikan dia baik-baik saja."Apa kau lapar?" tanya Adrian, suaranya terdengar ringan dan santai, seperti pagi itu.Ara menoleh, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Aku selalu lapar untuk pancake," balasnya sambil berjalan mendekat.Adrian tertawa pelan, mengangkat wajan untuk menuangkan adonan ke panci panas. "Pancake spesial pagi ini. Dengan ekstra cinta."Ara duduk di bangku dapur, menopang dagunya dengan tang