"Ini, sisa bayaranmu," ucapku pada Rani, sambil menyodorkan sejumlah uang yang terbungkus rapi di dalam amplop, kami bertemu di sebuah cafe sambil makan siang.
Semenjak aku tinggal dengan kak Novi lagi, aku tak bisa keluar malam dan pergi ke klub kembali. Kak Novi selalu mengawasiku, dan menasehati, dia tak mau aku tersesat lagi dalam kehidupan yang penuh noda dan dosa.
"Ok, terima kasih." Rani mengambil dan memasukkan amplop coklat, ke dalam tas kecil miliknya.
"Sama-sama. Ran, ceritakan apa yang terjadi semalam?"
"Hm, aku membuat lelaki tampan itu bangun, dan kami saling menyatu. Dia terus meracau memanggil namamu, Intan. Aksinya begitu kuat, dan aku benar-benar terkagum. Pantas saja kamu tergila-gila padanya, ku akui ya, baru kali ini aku menemukan lelaki seperti dia, tanpa bayaran pun aku mau melayani dia setiap malam, bahkan setiap hari,"
"Hah, kamu, gak usah bicarakan soal itu! Aku yang lebih tahu, dan lebih banyak menghabiskan waktu be
POV Novi. Hatiku kian cemas memikirkan Intan di rumah, aku meninggalkan dia dalam keadaan sakit. Entah kenapa? Sejak beberapa hari ini dia begitu lemas, seperti tak punya tenaga, makan pun ia tidak seperti biasanya tidak berselera. "Mbak Novi, Intan tadi izin gak bisa masuk, emang dia sakit apa?" tanya Kania saat kami baru tiba di butik, menata baju-baju dan merapikan seisi ruangan itu. "Aku gak tahu, Kan, sepertinya Intan, masuk angin, dari gejalanya, yang timbul," jawabku sambil memasang hanger di baju yang akan di pajang. "Sudah dibawa berobat, belum?" "Belum, Kan. Tau sendiri, Intan susah diajak ke dokter! Dia selalu menolak jika diajak untuk berobat," Kania menoleh ke arahku seraya mengangguk, "Dia, orangnya memang keras kepala! Kalau bilang tidak mau, yaudah gak bisa diganggu, lagi," "Iya, Kan. Tapi, aku khawatir loh. Dia benar-benar pucat," "Mbak, coba telpon Intan! Apakah keadaannya
Dengan tubuh yang terasa berat, aku berusaha untuk bangkit, mencoba berdiri dan melangkah, kaki ini seakan terkunci di tempat sulit untukku gerakan. Melangkah dengan gontai menuju ruangan dimana Intan berada, tubuhku terseok-seok saat berjalan memasuki ruangan tersebut. Aku hanya berdiri mematung di ambang pintu menatap adikku yang sudah terbujur kaku, tak kuasa lagi kaki ini untuk melanjutkan langkah. Melihat seluruh tubuh Intan tertutup oleh kain putih, hanya wajahnya saja yang nampak. Wajah dan bibirnya begitu pucat, matanya tertutup rapat. "Intan," lirihku menatap nanar pada tubuh Intan yang sudah tak bergerak. Yang kulihat di depan mata, hanya tinggal raga tak bernyawa, dadaku kian sesak melihat adikku, dan kenyataan pahit ini. Mulai hari ini dan seterusnya, aku takkan pernah melihat lagi senyuman yang terbit dari bibir Intan. Takkan ada lagi yang bisa aku marahi dikala ia sudah berbuat salah, kini jasadnya sudah terpisah dari ruh-Nya.
"Mas Arkan, tolong aku! Aku sangat takut ...," teriakku sambil berlari menuruni tangga dengan langkah hati-hati, menuju kamar Kakak iparku yang berada di lantai dasar. Karena keadaan sedang mati lampu, rumah menjadi gelap gulita, tak ada cahaya sama sekali, hanya cahaya dari lampu flash light ponsel yang kupegang. "Ada apa sih, Tan? Teriak malam-malam begini? Kaya melihat hantu saja," tanya Mas Arkan cemas. Karena kegaduhan yang ditimbulkan oleh ku, hingga membuat dia terbangun dari tidurnya dan keluar kamar seraya berdiri di ambang pintu. "Mas, aku takut petir, aku gak suka gelap ...," rengekku menghambur padanya, aku menjatuhkan tubuh ke dada Pria berkumis tipis, bertubuh tegap yang dibalut piyama warna coklat lengan pendek itu. "Sini. Tenang ada Mas!" ucap Mas Arkan lembut seraya merengkuh tubuhku, lalu ia mengusap-usap puncak rambut menenangkanku. Kami berdua masih berdiri di depan kamar, tepatnya di ruang tengah, dengan posisi saling berpelukan. Di dalam sangatlah gelap sedan
"Mas, apa yang sudah kita lakukan?" ucapku panik, setelah tersadar dari kekhilafan. Aku terlonjak dan menyambar selimut yang teronggok di lantai dengan segera, dan menariknya untuk menutupi tubuhku yang polos tanpa sehelai pun, tanganku meraba seluruh tubuh yang basah dengan keringat, dan sisa cairan yang ditumpahkan oleh Mas Arkan. Aku memicingkan mata, sambil menggigit bibir, kedua tanganku mencengkram erat selimut yang menutupi seluruh tubuh hingga area dada, duduk menyandar punggung di kepala ranjang. Takut dan gusar berkecamuk di dalam hati, yang kini kurasakan. Bahwa aku telah melakukan hubungan terlarang dengan kakak iparku, dan sudah menghianati dua orang sekaligus. Kakakku Novi dan suamiku Mas Anton. "Ma'af Intan! Mas gak sengaja," balasnya tak kalah panik denganku, dia duduk disampingku menekuk lutut sembari mengusap wajahnya kasar, kepala Mas Arkan tertunduk, dengan raut wajah yang tak bisa kuartikan. "Mas, aku takut, aku tak percaya apa yang sudah kita lakukan malam ini
"Dengan jarak yang dekat, menatap wajahmu seperti ini. Mas begitu bangga dan mengagumi, kecantikan yang kamu miliki," puji Mas Arkan, yang tak lepas memandang wajahku sedetikpun. Kami bisa saling menatap satu sama lain. Karena listrik sudah menyala, ruangan menjadi terang benderang, memenuhi seluruh kamar ini, kini aku bisa memandang wajah Mas Arkan yang tampan dengan jelas. Terbaring berdua di atas ranjang, tempat peraduan beberapa saat lalu, memadu kasih dengan penuh cinta dan kasih sayang. Bahkan tubuh kami masih polos, hanya seutas selimut yang menutupi tubuhku dan Mas Arkan. "Intan, sebaiknya kamu tidur dulu! Ini baru jam setengah lima pagi. Masih ada waktu beberapa jam untuk kita istirahat! Kamu pasti capek, kan?" ucap Mas Arkan, dia berbaring menghadap ke arahku, satu tangannya menopang di bagian kepala, tangan satunya membelai pipiku dengan lembut. "Iya Mas, aku memang sudah lelah, kamu terlalu hebat," pujiku. Kutatap wajahnya yang tampan dan kharismatik, seraya mengusap-n
"Sayang, bangun!" Suara Mas Arkan samar terdengar. Dia berbisik sambil menepuk-nepuk pipiku pelan, disusul satu ciuman yang mendarat di bibirku. "Eum ...." Aku bergumam, dengan mata terpejam, "Masih, ngantuk Mas," ucapku, lalu membalikan badan, dan membelakanginya. "Udah pagi, kita bangun yuk! Kita mandi bareng," ajak Mas Arkan. Dia memelukku dari belakang, mencium bahuku kemudian menggesekkan pipinya yang ditumbuhi jambang. "Jangan gini Mas, geli!" sergahku, sembari menggerakkan tubuh agar tak terlalu rapat dengannya. Mas Arkan malah merapatkan tubuhnya ke punggungku. Dia meletakkan dagunya di ceruk leherku, satu kecupan mesra dari bibirnya yang hangat, membuat bulu roma meremang, dan seluruh tubuhku terasa panas kembali, napasku terasa sesak meski ruangan ini begitu luas, dan darah pun mengalir begitu deras seketika. "Intan, lagi yuk!" ucap Mas Arkan. Satu tangannya menggapai pipiku, dan menarik tubuhku hingga kami saling berhadapan. "Katanya sudah pagi, kenapa minta lagi?" san
"Mas, aku pakai baju dulu ya! Tar aku bikin sarapan untuk kita," ucapku, seraya melepaskan tangannya, dari pinggangku. "Iya sayang. Mas tunggu di bawah ya!" jawab Mas Arkan diakhiri kecupan kilas di keningku. Aku mengangguk, dia pun berderap menuju pintu kamar dan membuka pintu, lalu keluar dari kamarku, aku menatap punggungnya saat dia melangkah meninggalkan ruangan ini. Masih terbayang di benakku saat ia memperlakukan aku dengan penuh cinta. Kubuka lemari pakaian, dan kuambil salah satu setelan formal, yang menurutku sangat cocok untuk tubuh body goals yang kumiliki, kemeja hitam dan blazer warna abu-abu juga celana bahan warna senada. Wajahku cantik menurut semua orang, kupoles dengan make-up natural, tak berlebihan. Rambutku yang lurus dan
"Intan, kita duduk dulu yuk, sebentar! kita nonton TV, sambil ngobrol!" ajak Mas Arkan, sore itu di akhir pekan, sementara Kak Novi dan Mas Anton sudah berangkat untuk menjalankan tugas ke Surabaya senggang waktu tiga hari. Sehingga aku dan Mas Arkan hanya berdua, di dalam rumah besar dua lantai peninggalan orang tua kami, aku tinggal satu atap dengan Kak Novi dan suaminya. Karena permintaan dari almarhum Papa, tiga bulan lalu, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, tak lama setelah aku di pinang oleh Mas Anton, dan menjadi istrinya. Mas Anton adalah rekan kerja kak Novi sejak empat tahun lalu. Pesan Papa! Kami tak boleh meninggalkan rumah ini, meskipun sudah berumah tangga, dan harus saling menjaga satu sama lain, karena kami tak punya sanak saudara lagi. Ta
Dengan tubuh yang terasa berat, aku berusaha untuk bangkit, mencoba berdiri dan melangkah, kaki ini seakan terkunci di tempat sulit untukku gerakan. Melangkah dengan gontai menuju ruangan dimana Intan berada, tubuhku terseok-seok saat berjalan memasuki ruangan tersebut. Aku hanya berdiri mematung di ambang pintu menatap adikku yang sudah terbujur kaku, tak kuasa lagi kaki ini untuk melanjutkan langkah. Melihat seluruh tubuh Intan tertutup oleh kain putih, hanya wajahnya saja yang nampak. Wajah dan bibirnya begitu pucat, matanya tertutup rapat. "Intan," lirihku menatap nanar pada tubuh Intan yang sudah tak bergerak. Yang kulihat di depan mata, hanya tinggal raga tak bernyawa, dadaku kian sesak melihat adikku, dan kenyataan pahit ini. Mulai hari ini dan seterusnya, aku takkan pernah melihat lagi senyuman yang terbit dari bibir Intan. Takkan ada lagi yang bisa aku marahi dikala ia sudah berbuat salah, kini jasadnya sudah terpisah dari ruh-Nya.
POV Novi. Hatiku kian cemas memikirkan Intan di rumah, aku meninggalkan dia dalam keadaan sakit. Entah kenapa? Sejak beberapa hari ini dia begitu lemas, seperti tak punya tenaga, makan pun ia tidak seperti biasanya tidak berselera. "Mbak Novi, Intan tadi izin gak bisa masuk, emang dia sakit apa?" tanya Kania saat kami baru tiba di butik, menata baju-baju dan merapikan seisi ruangan itu. "Aku gak tahu, Kan, sepertinya Intan, masuk angin, dari gejalanya, yang timbul," jawabku sambil memasang hanger di baju yang akan di pajang. "Sudah dibawa berobat, belum?" "Belum, Kan. Tau sendiri, Intan susah diajak ke dokter! Dia selalu menolak jika diajak untuk berobat," Kania menoleh ke arahku seraya mengangguk, "Dia, orangnya memang keras kepala! Kalau bilang tidak mau, yaudah gak bisa diganggu, lagi," "Iya, Kan. Tapi, aku khawatir loh. Dia benar-benar pucat," "Mbak, coba telpon Intan! Apakah keadaannya
"Ini, sisa bayaranmu," ucapku pada Rani, sambil menyodorkan sejumlah uang yang terbungkus rapi di dalam amplop, kami bertemu di sebuah cafe sambil makan siang.Semenjak aku tinggal dengan kak Novi lagi, aku tak bisa keluar malam dan pergi ke klub kembali. Kak Novi selalu mengawasiku, dan menasehati, dia tak mau aku tersesat lagi dalam kehidupan yang penuh noda dan dosa."Ok, terima kasih." Rani mengambil dan memasukkan amplop coklat, ke dalam tas kecil miliknya."Sama-sama. Ran, ceritakan apa yang terjadi semalam?""Hm, aku membuat lelaki tampan itu bangun, dan kami saling menyatu. Dia terus meracau memanggil namamu, Intan. Aksinya begitu kuat, dan aku benar-benar terkagum. Pantas saja kamu tergila-gila padanya, ku akui ya, baru kali ini aku menemukan lelaki seperti dia, tanpa bayaran pun aku mau melayani dia setiap malam, bahkan setiap hari,""Hah, kamu, gak usah bicarakan soal itu! Aku yang lebih tahu, dan lebih banyak menghabiskan waktu be
"Baiklah, Intan. Aku akan datang sekarang, mungkin sebentar lagi, ini masih dalam perjalanan. Ok," jawabnya dari seberang telepon.Aku menyetujui ucapannya sambil menunggu dia datang. Duduk di tepi ranjang setelah memakai pakaian kembali dengan lengkap, Korean dress super seksi warna pink pastel, kutatap dan kuperhatikan wajah tampan Mas Arkan yang kini sedang terlelap karena pengaruh obat tidur yang dicampur dalam minumannya."Mas, maaf ya, jika perbuatanku ini sudah keterlaluan, tapi, kamu lebih keterlaluan lagi, dari aku." Ku usap pipi Mas Arkan, yang di tumbuhi bulu jambang dengan punggung ruas jemariku, "Setelah kamu bosan denganku, dan puas dengan tubuhku, kau campakkan aku, kau hianati aku, dan kau buat aku terluka, bukan hanya batinku yang tersiksa, tapi, aku nyaris gila karenamu," ucapku membungkukkan badan kemudian mencium bibirnya dengan lembut."Aku rela berbuat seperti ini, menjadi jalang untukmu, melayani dirimu di atas ranjang hingga kau ter
"Intan, Mas sangat rindu," ucapnya, saat aku masuk ke kamar hotel. Sepertinya dia sudah menungguku sejak beberapa saat yang lalu, Mas Arkan menyambut kedatanganku dengan senyuman yang merekah. "Aku juga rindu sama kamu, Mas," balasku sambil mendekat ke arahnya. Mas Arkan merangkulku dengan beringas dan menciumi bibir serta wajahku penuh nafsu. "Sabar, Mas!" ucapku menahan tubuhnya yang begitu rapat, seakan sudah tak sabar ingin menyatu dengan tubuhku. "Mas menunggumu dari setengah jam yang lalu, sayang. Rasanya waktu begitu lama, tiga puluh menit menunggu kedatanganmu, seperti tiga tahun lamanya," ucapnya lagi seraya menempelkan bibirnya di daun telingaku. "Oh, Mas. Maafkan aku, tadi sedikit ada kendala, taksi yang aku tumpangi mogok," balasku berbohong, aku sengaja mengulur waktu untuk menguji dia, apakah Mas Arkan bersedia menungguku, menunggu permainanku. Mas Arkan semakin merapatkan tubuhnya dengan tubuhku. Kakiku berjinjit, satu tanganku
Sepulang dari restoran, setelah makan siang bersama kak Novi, Kania juga mamanya. Aku merebahkan tubuh melintang di atas kasur kamarku, berbaring menghadap dinding, sambil menatap bingkai foto pernikahanku dengan Mas Anton, yang terletak di atas headboard ranjang, usia pernikahan kami baru seumur jagung. Namun, sudah kandas karena dusta dan pengkhianatan yang aku lakukan.Ada rasa penyesalan menelusup ke dalam relung hatiku, karena telah menyia-nyiakan orang yang sangat mencintaiku dengan setulus hati. Tapi, aku malah mengkhianatinya habis-habisan."Mas, aku baru menyadarinya, bahwa kamu lah lelaki yang terbaik dalam hidupku, yang pernah aku kenal, bukan Mas Arkan, lelaki yang tak bisa puas dengan satu wanita," gumamku, merenungi nasib yang sekarang ini, hidup menjanda dengan cara tidak terhormat. Ditalak karena perbuatanku, yang sudah menghancurkan rumah tanggaku sendiri, hanya karena ego dan nafsu."Jika ada kesempatan kedua, aku ingin kembali padamu, da
POV Intan.Hidupku kini merasa lebih baik, hubunganku dengan kak Novi juga sudah kembali seperti semula, tapi, aku merasa hampa. Sekarang Mas Arkan sudah menikah dengan orang lain, orang yang selama ini ku percaya dan sangat aku cintai, dia tega mencampakkanku begitu saja.Seperti janjiku pada Kania dan kak Novi, aku harus melupakan Mas Arkan, dan bangkit, memulai hidup yang baru, tapi aku ingin membalaskan rasa sakit hatiku pada Mas Arkan, entah bagaimana caranya? Nanti aku pikirkan, aku benar-benar merasa sakit hati dan tak terima dengan keputusan lelaki itu yang meninggalkan aku tanpa perasaan."Tan, kok melamun?" tanya kak Novi saat kami sedang makan siang di restoran, bersama Kania juga mamanya."Iya, Tan, dari tadi kami perhatikan kamu bengong, ada apa sih?" timpal Tante Rika mamanya Kania. Sekarang sikapnya lebih ramah padaku tak seperti waktu itu, mungkin karena kak Novi menanamkan modal di usahanya, dan dia mer
"Arkan, apa-apaan sih, kamu? Bisa-bisanya kau berbuat kasar, pada Novi!" hardik pak Broto seraya melepaskan cengkraman tangan Mas Arkan dari leherku. Aku terbatuk-batuk sambil mengusap leher yang terasa nyeri bekas cengkraman tangan mantan suamiku. "Yah, Novi benar-benar membuatku kesal! Dia menyalahkan aku, atas semua yang terjadi dalam hidupnya juga Intan," ucap Mas Arkan membela diri. Aku hanya terdiam di dekat tembok kamar Mas Arkan, seraya mengatur nafas yang masih terasa sesak. "Arkan, sadar! Apa yang sudah Novi katakan tentang kamu itu memang iya. Kelakukan kamu semakin kesini semakin tidak benar. Apa kamu sudah lupa dengan semua kesalahanmu? dulu kamu menggauli Intan di saat Novi sedang bertugas ke luar kota bersama Anton, kamu rusak rumah tangga adik iparmu, kamu runtuhkan rumah tanggamu sendiri. Dan sekarang kau buat jiwa Intan terguncang!" ucap pak Broto lugas, ia memang sangat tidak suka dengan kelakuan anak sulungnya.
"Jangan serakah, Arkan! Milik orang lain, ya, harus dikembalikan kepada yang berhak!" ucap pak Broto seraya bangkit dan berdiri di hadapan putranya."Ayah, selama ini aku yang kerja keras. Seenaknya saja kita harus memberikan setengah saham kepada Novi, berikut dengan laba. Yah, sudah cukup banyak, harta gono-gini yang aku berikan pada Novi juga," protes Mas Arkan tak terima dengan keputusan ayahnya, yang tak bisa di bantah."Terserah kamu, yang penting ayah kembalikan semua milik pak Bram, karena kamu sudah bukan suami Novi lagi. Jadi, kita hanya mengelola yang kita miliki saja," terang pak Broto tegas, kemudian ia kembali duduk. Mas Arkan mendengus kesal lalu ia pun duduk di sofa dengan gerakan kasar, tak jauh dari ibunya. Bu Aini hanya menggeleng melihat sikap Mas Arkan yang kekanak-kanakan."Tapi, Yah. Aku yang capek, aku juga yang kerja, kenapa harus Novi yang menikmati hasilnya?" sergah Mas Arkan bersikeras menunjuk jarinya ke arah dada.