"Mas Arkan, tolong aku! Aku sangat takut ...," teriakku sambil berlari menuruni tangga dengan langkah hati-hati, menuju kamar Kakak iparku yang berada di lantai dasar.
Karena keadaan sedang mati lampu, rumah menjadi gelap gulita, tak ada cahaya sama sekali, hanya cahaya dari lampu flash light ponsel yang kupegang.
"Ada apa sih, Tan? Teriak malam-malam begini? Kaya melihat hantu saja," tanya Mas Arkan cemas. Karena kegaduhan yang ditimbulkan oleh ku, hingga membuat dia terbangun dari tidurnya dan keluar kamar seraya berdiri di ambang pintu.
"Mas, aku takut petir, aku gak suka gelap ...," rengekku menghambur padanya, aku menjatuhkan tubuh ke dada Pria berkumis tipis, bertubuh tegap yang dibalut piyama warna coklat lengan pendek itu.
"Sini. Tenang ada Mas!" ucap Mas Arkan lembut seraya merengkuh tubuhku, lalu ia mengusap-usap puncak rambut menenangkanku. Kami berdua masih berdiri di depan kamar, tepatnya di ruang tengah, dengan posisi saling berpelukan.
Di dalam sangatlah gelap sedangkan di luar hujan deras bercampur angin kencang, diiringi gemuruh suara petir menggelegar, mendominasi ketakutanku. Setelah sepersekian menit perlahan suara hujan pun mulai mereda, tak begitu deras seperti tadi.
"Tan ... sebaiknya kamu kembali tidur! ini masih jam dua dini hari. Hujannya juga sudah hampir berhenti," ucap Mas Arkan, mengangkat tubuhku dari dekapannya.
"Iya." Aku mengangguk pelan, dan mundur hendak melangkah pergi. Baru saja kakiku berpijak pada anak tangga paling bawah.
Duarrr ...!! Petir menyambar kembali membuat aku terlonjak kaget. Spontan aku menghambur lagi padanya dan merangkul kembali Mas Arkan, rasa canggung pun tak kupedulikan.
"Tapi, aku nggak mau tidur sendirian! Aku takut." Aku membenamkan wajah di dada bidang Mas Arkan, sambil menggeleng cepat, kupeluk tubuhnya dengan erat.
Mas Arkan menepuk punggungku pelan, "Ya udah, Mas temenin yuk! Biar kamu gak takut lagi!"
"Iya." Aku mengangguk kecil, sembari melepaskan tanganku yang masih melingkar di tubuhnya.
"Yuk!" ajak Mas Arkan sembari mengangguk. Aku pun balas mengangguk dan tersenyum, melangkah maju.
Kakiku mengayun berpijak di setiap anak tangga, aku berjalan di depan Mas Arkan. dia pun mengikutiku dari belakang, mengantarku hingga ke dalam kamar yang berada di lantai dua.
"Sana tidur! Mas akan tungguin kamu di sini, biar kamu gak takut, sampai lampu menyala!" ucap Mas Arkan sambil berjalan ke arah sofa, kemudian ia duduk menjuntai kedua kaki.
Aku berderap menuju ranjang dan merebahkan tubuh. Kutarik selimut hingga ke leher. Namun, mataku tetap terfokus menatap pria bertubuh tegap itu. Kurasa malam ini begitu dingin dan sunyi membuatku menggigil kedinginan, kututup kepalaku menggunakan selimut untuk menghalau rasa dingin.
Entah kenapa hati ini ingin sekali melihat Mas Arkan, karena merasa tidak enak hati. Aku pun menurunkan sedikit penutup tubuh dan mengintipnya dari balik selimut, menatap ke arah di mana kakak iparku berada, dia duduk bersila di sofa tak jauh dari ranjang. Dia terlihat begitu gusar, sesekali merebahkan tubuhnya sesaat, lalu kembali duduk, dan begitu yang ia lakukan hingga beberapa kali.
Di kamar penerangan hanya dari ponselku, yang tergeletak di nakas, setelah beberapa menit, ponselku tiba-tiba mati karena kehabisan baterai. Sialnya, aku lupa mengisi daya tadi sore, hingga ponselku lowbat, tak ada lagi sumber cahaya, hanya cahaya kilat sesekali masuk lewat celah tirai jendela yang tersibak angin.
Mas Arkan duduk bersila, seraya mengusap-usap bahunya mungkin dia kedinginan 'Pikirku' dan menguap, pandangannya mengedar, sepertinya dia sedang menghilangkan rasa jenuh, atau menghalau rasa ngantuknya.
Aku bangkit berjalan ke arahnya, duduk di samping dia, "Mas, ngantuk ya?" tanyaku berdiri di hadapannya seraya menepuk pundaknya.
"Dikit," jawabnya singkat, kedua sikutnya ia tekuk, menangkup wajah dengan kedua telapak tangannya, kemudian kedua kakinya ia turunkan menjuntai ke bawah.
"Tidur aja Mas, besok kita kan harus kerja, nanti kesiangan loh!" ujarku lalu duduk di sofa samping kirinya.
"Kamu berani, tidur sendirian?" tanya Mas Arkan menatapku ragu.
"Ya, tidur aja disini Mas, sama aku!" ucapku cepat, seketika dia bergeming dengan dahi berkerut, sepertinya Mas Arkan sedang berpikir mencerna ucapanku, "Mas, maksudku, kamu tidur di kasur ku, biar aku tidur di sofa!" ralatku, pasti Mas Arkan mengira aku mengajaknya tidur bareng satu tempat tidur. Ah tidak, tidak, dia kakakku.
"Tan ... kita kok senasib ya?" Mas Arkan mengalihkan pembicaraan, sembari menunduk, lalu menoleh padaku sekilas, dengan menyunggingkan senyum canggung, untuk menghalau rasa jengah.
"Senasib, gimana?" Aku mengernyit, dan menoleh kembali menatap wajah Mas Arkan yang nampak gusar.
"Pasangan kita, jarang ada di rumah, Mas sering ...." Dia menghela napas sebari menggaruk tengkuknya gugup. Aku semakin penasaran dengan pasang raut wajah polos.
"Apa Mas?" tanyaku menelaah ucapannya.
"Mas, sering merasa kesepian, apalagi ... di cuaca musim penghujan begini, kadang ... Mas merasa tak punya istri," ujarnya ragu-ragu.
"Hm." Aku tersenyum kaku, "Ya, mau gimana lagi Mas, itu kan tuntutan pekerjaan mereka, sebagai seorang reporter," jawabku. Dia mengangguk sebagai jawaban.
Ya memang kami sering ditinggal oleh pasangan kami, Suamiku Mas Anton satu kantor dengan Kakakku Novi, mereka berdua bekerja di salah satu stasiun TV, sebagai reporter lapangan. Tak jarang mereka ditugaskan di luar kota atau luar provinsi untuk meliput kejadian dan menyampaikan berita ke media massa.
Aku dan Mas Arkan, sering bercerita tentang kehidupan masih-masing, dan meluapkan keluh kesah karena seringnya ditinggal oleh pasangan kami.
Kakak iparku begitu care padaku, dia juga sangat peka terhadapku, dan selalu mendengarkan setiap keluhan ku, aku pun sama halnya seperti dia, kita saling peduli satu sama lain.
"Udah Mas ... sana tidur di kasurku! Biarin aku yang di sofa!" titahku sedikit memaksa.
"Gak usah, Tan. Nanti badan kamu pada pegal semua, udah Mas aja yang tidur di sofa kaya tadi,"
"Serius Mas, gak apa-apa?" tanyaku meyakinkan.
"Iya lah, Mas laki-laki Masa gak mau ngalah sama perempuan!" ujarnya santai.
"Ya udah, kalau gitu," ucapku meski tak enak hati. Mas Arkan mengangguk. Aku pun bangkit dan kembali ke tempat tidur.
Lima belas menit, aku merebahkan tubuh, memaksakan diri untuk kembali tidur. Namun, mataku tak kunjung terpejam, merasa tak nyaman berada di kamar berdua dengan orang lain, ada rasa cemas melanda di hati ini.
Aku menyingkap selimut dan melihat kembali kakak iparku, yang kini terbaring di sofa seberang tempat tidur. Mas Arkan begitu gelisah, miring kanan dan kiri tak nyaman.
Aku benar-benar gak tega dan merasa kasihan melihat dia yang tidak nyaman sama sekali, gegas aku pun bangkit, ku turunkan kaki melangkah ke arah Mas Arkan, untuk membangunkannya dan menyuruh dia pindah ke kamarnya sendiri meninggalkan aku disini.
Meskipun ada sedikit rasa takut menggelayut di hati ini, tidur sendiri dalam kegelapan, di tengah hujan dan petir terus menggelegar tanpa henti.
"Mas, bangun!" ucapku memegang bahunya, lalu kuguncang pelan. Aku tahu dia pasti belum tidur, hanya memaksakan diri untuk memejamkan mata.
"Hmm ... ada apa?" Mas Arkan menggeliat, merentangkan kedua tangannya, lalu dia meraih bahuku dan menarik tubuhku dengan kuat, hingga aku terhempas dan jatuh ke dalam pelukannya, seketika matanya terbuka, pandangan kami saling beradu, sontak kedua pasang mata kami membelalak.
"Hak." Aku terhenyak, kejadian ini membuat jantungku berdegup begitu kencang, sama halnya dengan debar jantung Mas Arkan yang berada di bawahku. Aku merasakannya, karena tubuh kami begitu rapat.
"Maaf Intan, Mas kira ... kamu Novi," ucapnya gugup.
Entah perasaan apa ini, dadaku berdebar dengan cepat tak beraturan, tubuhku membeku. Ada rasa panas menggelenyar, seiring darah mengalir dengan deras menjalari seluruh nadiku.
"Tak apa, Mas," jawabku sama gugupnya, lalu aku mendorong tubuh Pria yang rapat dengan tubuhku. Dia menatap manik mata ku begitu dalam.
"Mas, gak sengaja Intan," ujar Mas Arkan, melepaskan pelukannya, ia mengangkat tubuhku membantuku bangkit.
Aku benar-benar gugup, dan canggung, pada Mas Arkan. Namun, aku berusaha setenang mungkin dan duduk di sampingnya.
"Mas, kamu pindah aja ke kamarmu! Aku berani kok tidur sendiri," seruku, sambil menahan gejolak dalam dada, ada apa ini kenapa perasaanku tidak karuan.
"Gak! Mas gak tega ninggalin kamu sendiri," ucapnya menatapku sambil mengelus dan mengacak rambutku dengan lembut.
"Maksud Mas?" Aku mengernyit polos.
"Kita tidur di sini aja! Mas temenin, pasti kamu kesepian, kan?" bisik Mas Arkan, membuat dadaku berdebar lebih kencang, tubuhku pun bergetar seperti ada sengatan listrik beribu volt menyengat kulitku, saat kumis Mas Arkan menyentuh daun telinga.
Aku menahan napas seraya menggigit bibir menetralkan perasaan hati yang tak wajar ini.
"Tapi_." Aku menggantung ucapanku. Mas Arkan tersenyum manis, membuat dadaku berdebar begitu hebat.
"Mas gak yakin, kamu berani tidur sendiri! Sana yuk!" ajak nya dengan tatapan menggoda.
Netranya mengerling tertuju ke arah ranjang. Dengan hati ragu, aku mengangguk pelan seakan mengiyakan ajakannya, kenapa jiwaku mendorong keinginan hasrat ini.
"I-ya," jawabku lirih.
Mas Arkan bangkit dan membopongku berjalan menuju ranjang, lalu tubuhku direbahkannya ke atas tempat tidur dengan perlahan. Kami saling berhadapan dan saling bersitatap, mendalami perasaan yang tak sengaja tumbuh di hati ini.
Meski gelap, tapi kami masih bisa melihat satu sama lain, dari cahaya kilat di luar. Senyum Mas Arkan begitu mempesona, wajahnya yang karismatik, membuat hatiku terpanah, dan tak bisa menahan gejolak yang ada di dalam diri ini.
"Intan, kamu cantik," ucap Mas Arkan, menyibak rambut yang menutupi sebagian wajahku. Aku hanya senyum tersipu malu, wajahku mungkin merah saat ini menahan rasa.
Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, lalu menepikan bibir basahnya ke bibirku. "Ah ...." Aku mendesah menikmati, ciuman Mas Arkan yang begitu panas dan menggairahkan, kemudian tangan Mas Arkan menelusup ke dalam baju tidurku yang tipis.
*
Tanpa sadar kami melakukan hubungan terlarang itu sampai mencapai puncak bersama, kami berdua memang sangat kesepian dan butuh hasrat untuk saling menyalurkan.
Aku terkapar dengan aksi Mas Arkan yang begitu jantan dua kali lebih jantan dari Mas Anton suamiku, baru kali ini aku merasakan kenikmatan yang luar biasa, yang diberikan oleh kakak iparku.
Kami tahu ini salah, tapi entahlah? Kami juga sama-sama saling menikmati. Malam ini terasa amat singkat, dan rasanya tak ingin berlalu begitu saja.
Malam yang sunyi dan gelap menjadi saksi bisu, bahwa aku dan Mas Arkan kini saling menyatu.
"Mas, peluk aku!" pintaku sambil mendekap tubuhnya erat.
"Kamu kenapa?"
"Aku ingin dipeluk olehmu, Mas!"
"Aku kedinginan," ucapku seraya memejamkan mata, gigi gemeletuk angin malam yang dingin menerpa menusuk tulang.
"Sini!" Mas Arkan menutupi seluruh tubuhku dengan selimut, kedua tangannya memelukku begitu hangat.
"Iya, Mas." Aku mengangguk dan tertidur di dalam dekapannya, beberapa menit, hingga rasa dingin itu hilang dari tubuhku.
Mas Arkan melepas pelukannya, kemudian meminta sesuatu lagi dariku. Aku mengiyakan ajakannya, karena akupun sama halnya seperti dia.
"Mas, apa yang sudah kita lakukan?" ucapku panik, setelah tersadar dari kekhilafan. Aku terlonjak dan menyambar selimut yang teronggok di lantai dengan segera, dan menariknya untuk menutupi tubuhku yang polos tanpa sehelai pun, tanganku meraba seluruh tubuh yang basah dengan keringat, dan sisa cairan yang ditumpahkan oleh Mas Arkan. Aku memicingkan mata, sambil menggigit bibir, kedua tanganku mencengkram erat selimut yang menutupi seluruh tubuh hingga area dada, duduk menyandar punggung di kepala ranjang. Takut dan gusar berkecamuk di dalam hati, yang kini kurasakan. Bahwa aku telah melakukan hubungan terlarang dengan kakak iparku, dan sudah menghianati dua orang sekaligus. Kakakku Novi dan suamiku Mas Anton. "Ma'af Intan! Mas gak sengaja," balasnya tak kalah panik denganku, dia duduk disampingku menekuk lutut sembari mengusap wajahnya kasar, kepala Mas Arkan tertunduk, dengan raut wajah yang tak bisa kuartikan. "Mas, aku takut, aku tak percaya apa yang sudah kita lakukan malam ini
"Dengan jarak yang dekat, menatap wajahmu seperti ini. Mas begitu bangga dan mengagumi, kecantikan yang kamu miliki," puji Mas Arkan, yang tak lepas memandang wajahku sedetikpun. Kami bisa saling menatap satu sama lain. Karena listrik sudah menyala, ruangan menjadi terang benderang, memenuhi seluruh kamar ini, kini aku bisa memandang wajah Mas Arkan yang tampan dengan jelas. Terbaring berdua di atas ranjang, tempat peraduan beberapa saat lalu, memadu kasih dengan penuh cinta dan kasih sayang. Bahkan tubuh kami masih polos, hanya seutas selimut yang menutupi tubuhku dan Mas Arkan. "Intan, sebaiknya kamu tidur dulu! Ini baru jam setengah lima pagi. Masih ada waktu beberapa jam untuk kita istirahat! Kamu pasti capek, kan?" ucap Mas Arkan, dia berbaring menghadap ke arahku, satu tangannya menopang di bagian kepala, tangan satunya membelai pipiku dengan lembut. "Iya Mas, aku memang sudah lelah, kamu terlalu hebat," pujiku. Kutatap wajahnya yang tampan dan kharismatik, seraya mengusap-n
"Sayang, bangun!" Suara Mas Arkan samar terdengar. Dia berbisik sambil menepuk-nepuk pipiku pelan, disusul satu ciuman yang mendarat di bibirku. "Eum ...." Aku bergumam, dengan mata terpejam, "Masih, ngantuk Mas," ucapku, lalu membalikan badan, dan membelakanginya. "Udah pagi, kita bangun yuk! Kita mandi bareng," ajak Mas Arkan. Dia memelukku dari belakang, mencium bahuku kemudian menggesekkan pipinya yang ditumbuhi jambang. "Jangan gini Mas, geli!" sergahku, sembari menggerakkan tubuh agar tak terlalu rapat dengannya. Mas Arkan malah merapatkan tubuhnya ke punggungku. Dia meletakkan dagunya di ceruk leherku, satu kecupan mesra dari bibirnya yang hangat, membuat bulu roma meremang, dan seluruh tubuhku terasa panas kembali, napasku terasa sesak meski ruangan ini begitu luas, dan darah pun mengalir begitu deras seketika. "Intan, lagi yuk!" ucap Mas Arkan. Satu tangannya menggapai pipiku, dan menarik tubuhku hingga kami saling berhadapan. "Katanya sudah pagi, kenapa minta lagi?" san
"Mas, aku pakai baju dulu ya! Tar aku bikin sarapan untuk kita," ucapku, seraya melepaskan tangannya, dari pinggangku. "Iya sayang. Mas tunggu di bawah ya!" jawab Mas Arkan diakhiri kecupan kilas di keningku. Aku mengangguk, dia pun berderap menuju pintu kamar dan membuka pintu, lalu keluar dari kamarku, aku menatap punggungnya saat dia melangkah meninggalkan ruangan ini. Masih terbayang di benakku saat ia memperlakukan aku dengan penuh cinta. Kubuka lemari pakaian, dan kuambil salah satu setelan formal, yang menurutku sangat cocok untuk tubuh body goals yang kumiliki, kemeja hitam dan blazer warna abu-abu juga celana bahan warna senada. Wajahku cantik menurut semua orang, kupoles dengan make-up natural, tak berlebihan. Rambutku yang lurus dan
"Intan, kita duduk dulu yuk, sebentar! kita nonton TV, sambil ngobrol!" ajak Mas Arkan, sore itu di akhir pekan, sementara Kak Novi dan Mas Anton sudah berangkat untuk menjalankan tugas ke Surabaya senggang waktu tiga hari. Sehingga aku dan Mas Arkan hanya berdua, di dalam rumah besar dua lantai peninggalan orang tua kami, aku tinggal satu atap dengan Kak Novi dan suaminya. Karena permintaan dari almarhum Papa, tiga bulan lalu, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, tak lama setelah aku di pinang oleh Mas Anton, dan menjadi istrinya. Mas Anton adalah rekan kerja kak Novi sejak empat tahun lalu. Pesan Papa! Kami tak boleh meninggalkan rumah ini, meskipun sudah berumah tangga, dan harus saling menjaga satu sama lain, karena kami tak punya sanak saudara lagi. Ta
"Selamat pagi, Bu Intan?" sapa salah seorang staff. Wanita cantik bertubuh mungil dengan setelan formal bernama Kirana. Dia berdiri hormat saat aku melewati dia. Hendak masuk ke dalam ruanganku. "Pagi juga, Kiran," balasku di barengi dengan anggukan, dan senyuman manis untuknya, aku memang terkenal ramah tamah kepada semua orang dan karyawan. Dengan santai aku melenggang masuk ke dalam ruangan. Kududuk di kursi empuk ruang kerjaku, lalu kubuka lembar demi lembar dokumen, dan mulai menginput data-data penting. Entah berapa lama aku berkutat dengan keyboard komputer. Dan rasanya lumayan capek, mataku pedas menatap layar komputer, tubuhku pun mulai lelah, karena semalam aku kurang tidur, menghabiskan waktu bersama Mas Arkan. Aku menyandarkan punggun
"Mas Anton ingin punya anak, tentu saja aku ingin. Tapi, bukan dari dia, Mas Arkan yang akan memberiku anak," gumamku sambil membayangkan kejadian indah tadi malam bersama Mas Arkan. Tubuhku selalu bergetar hebat, dan hatiku berdebar kencang, kala teringat, saat lelaki itu menyentuhku, jantungku berdetak hebat kala teringat saat dia menyatukan tubuhnya dengan tubuhku. Darahku bergejolak kala teringat, saat dia menyusuri seluruh permukaan kulitku dengan bibirnya yang panas dan basah, bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahangnya yang tegas, menempel di indera peraba, menggugah hasratku yang kian menggelora. Jiwaku meronta kala teringat gigitan-gigitan lembut dan manja di setiap inci tubuhku, dia begitu kuat dan perkasa, tubuhnya yang six pack, lengannya yang keras dan kulitnya yang eksotik.
Aku dan Mas Arkan masih ada di dalam ruangannya, dengan posisiku yang masih duduk di pangkuannya, kedua tanganku melingkar di pundaknya, menggelayut manja. Kutatap wajahnya yang tampan, aku ingin mengatakan sesuatu meskipun agak sedikit ragu, "Mas. tadi, suamiku nelpon," ucapku sambil merengut. Kemudian kedua tangan kuturunkan. "Memangnya kenapa? Kalau Anton nelpon, kok kayak gak suka gitu? Emang dia bilang apa, tadi sama kamu?" tanya Mas Arkan mengernyit tak mengerti. "Dia, ingin segera pulang," "Hm." Mas Arkan tersenyum tipis, "Ya … gak apa-apa. Mas kan sudah tahu, kakak dan suamimu mau pulang nanti malam. Terus apa masalahnya?" Mas Arkan mengapit hidungku gemas. "Mas Anton, pengen punya anak katanya,
Dengan tubuh yang terasa berat, aku berusaha untuk bangkit, mencoba berdiri dan melangkah, kaki ini seakan terkunci di tempat sulit untukku gerakan. Melangkah dengan gontai menuju ruangan dimana Intan berada, tubuhku terseok-seok saat berjalan memasuki ruangan tersebut. Aku hanya berdiri mematung di ambang pintu menatap adikku yang sudah terbujur kaku, tak kuasa lagi kaki ini untuk melanjutkan langkah. Melihat seluruh tubuh Intan tertutup oleh kain putih, hanya wajahnya saja yang nampak. Wajah dan bibirnya begitu pucat, matanya tertutup rapat. "Intan," lirihku menatap nanar pada tubuh Intan yang sudah tak bergerak. Yang kulihat di depan mata, hanya tinggal raga tak bernyawa, dadaku kian sesak melihat adikku, dan kenyataan pahit ini. Mulai hari ini dan seterusnya, aku takkan pernah melihat lagi senyuman yang terbit dari bibir Intan. Takkan ada lagi yang bisa aku marahi dikala ia sudah berbuat salah, kini jasadnya sudah terpisah dari ruh-Nya.
POV Novi. Hatiku kian cemas memikirkan Intan di rumah, aku meninggalkan dia dalam keadaan sakit. Entah kenapa? Sejak beberapa hari ini dia begitu lemas, seperti tak punya tenaga, makan pun ia tidak seperti biasanya tidak berselera. "Mbak Novi, Intan tadi izin gak bisa masuk, emang dia sakit apa?" tanya Kania saat kami baru tiba di butik, menata baju-baju dan merapikan seisi ruangan itu. "Aku gak tahu, Kan, sepertinya Intan, masuk angin, dari gejalanya, yang timbul," jawabku sambil memasang hanger di baju yang akan di pajang. "Sudah dibawa berobat, belum?" "Belum, Kan. Tau sendiri, Intan susah diajak ke dokter! Dia selalu menolak jika diajak untuk berobat," Kania menoleh ke arahku seraya mengangguk, "Dia, orangnya memang keras kepala! Kalau bilang tidak mau, yaudah gak bisa diganggu, lagi," "Iya, Kan. Tapi, aku khawatir loh. Dia benar-benar pucat," "Mbak, coba telpon Intan! Apakah keadaannya
"Ini, sisa bayaranmu," ucapku pada Rani, sambil menyodorkan sejumlah uang yang terbungkus rapi di dalam amplop, kami bertemu di sebuah cafe sambil makan siang.Semenjak aku tinggal dengan kak Novi lagi, aku tak bisa keluar malam dan pergi ke klub kembali. Kak Novi selalu mengawasiku, dan menasehati, dia tak mau aku tersesat lagi dalam kehidupan yang penuh noda dan dosa."Ok, terima kasih." Rani mengambil dan memasukkan amplop coklat, ke dalam tas kecil miliknya."Sama-sama. Ran, ceritakan apa yang terjadi semalam?""Hm, aku membuat lelaki tampan itu bangun, dan kami saling menyatu. Dia terus meracau memanggil namamu, Intan. Aksinya begitu kuat, dan aku benar-benar terkagum. Pantas saja kamu tergila-gila padanya, ku akui ya, baru kali ini aku menemukan lelaki seperti dia, tanpa bayaran pun aku mau melayani dia setiap malam, bahkan setiap hari,""Hah, kamu, gak usah bicarakan soal itu! Aku yang lebih tahu, dan lebih banyak menghabiskan waktu be
"Baiklah, Intan. Aku akan datang sekarang, mungkin sebentar lagi, ini masih dalam perjalanan. Ok," jawabnya dari seberang telepon.Aku menyetujui ucapannya sambil menunggu dia datang. Duduk di tepi ranjang setelah memakai pakaian kembali dengan lengkap, Korean dress super seksi warna pink pastel, kutatap dan kuperhatikan wajah tampan Mas Arkan yang kini sedang terlelap karena pengaruh obat tidur yang dicampur dalam minumannya."Mas, maaf ya, jika perbuatanku ini sudah keterlaluan, tapi, kamu lebih keterlaluan lagi, dari aku." Ku usap pipi Mas Arkan, yang di tumbuhi bulu jambang dengan punggung ruas jemariku, "Setelah kamu bosan denganku, dan puas dengan tubuhku, kau campakkan aku, kau hianati aku, dan kau buat aku terluka, bukan hanya batinku yang tersiksa, tapi, aku nyaris gila karenamu," ucapku membungkukkan badan kemudian mencium bibirnya dengan lembut."Aku rela berbuat seperti ini, menjadi jalang untukmu, melayani dirimu di atas ranjang hingga kau ter
"Intan, Mas sangat rindu," ucapnya, saat aku masuk ke kamar hotel. Sepertinya dia sudah menungguku sejak beberapa saat yang lalu, Mas Arkan menyambut kedatanganku dengan senyuman yang merekah. "Aku juga rindu sama kamu, Mas," balasku sambil mendekat ke arahnya. Mas Arkan merangkulku dengan beringas dan menciumi bibir serta wajahku penuh nafsu. "Sabar, Mas!" ucapku menahan tubuhnya yang begitu rapat, seakan sudah tak sabar ingin menyatu dengan tubuhku. "Mas menunggumu dari setengah jam yang lalu, sayang. Rasanya waktu begitu lama, tiga puluh menit menunggu kedatanganmu, seperti tiga tahun lamanya," ucapnya lagi seraya menempelkan bibirnya di daun telingaku. "Oh, Mas. Maafkan aku, tadi sedikit ada kendala, taksi yang aku tumpangi mogok," balasku berbohong, aku sengaja mengulur waktu untuk menguji dia, apakah Mas Arkan bersedia menungguku, menunggu permainanku. Mas Arkan semakin merapatkan tubuhnya dengan tubuhku. Kakiku berjinjit, satu tanganku
Sepulang dari restoran, setelah makan siang bersama kak Novi, Kania juga mamanya. Aku merebahkan tubuh melintang di atas kasur kamarku, berbaring menghadap dinding, sambil menatap bingkai foto pernikahanku dengan Mas Anton, yang terletak di atas headboard ranjang, usia pernikahan kami baru seumur jagung. Namun, sudah kandas karena dusta dan pengkhianatan yang aku lakukan.Ada rasa penyesalan menelusup ke dalam relung hatiku, karena telah menyia-nyiakan orang yang sangat mencintaiku dengan setulus hati. Tapi, aku malah mengkhianatinya habis-habisan."Mas, aku baru menyadarinya, bahwa kamu lah lelaki yang terbaik dalam hidupku, yang pernah aku kenal, bukan Mas Arkan, lelaki yang tak bisa puas dengan satu wanita," gumamku, merenungi nasib yang sekarang ini, hidup menjanda dengan cara tidak terhormat. Ditalak karena perbuatanku, yang sudah menghancurkan rumah tanggaku sendiri, hanya karena ego dan nafsu."Jika ada kesempatan kedua, aku ingin kembali padamu, da
POV Intan.Hidupku kini merasa lebih baik, hubunganku dengan kak Novi juga sudah kembali seperti semula, tapi, aku merasa hampa. Sekarang Mas Arkan sudah menikah dengan orang lain, orang yang selama ini ku percaya dan sangat aku cintai, dia tega mencampakkanku begitu saja.Seperti janjiku pada Kania dan kak Novi, aku harus melupakan Mas Arkan, dan bangkit, memulai hidup yang baru, tapi aku ingin membalaskan rasa sakit hatiku pada Mas Arkan, entah bagaimana caranya? Nanti aku pikirkan, aku benar-benar merasa sakit hati dan tak terima dengan keputusan lelaki itu yang meninggalkan aku tanpa perasaan."Tan, kok melamun?" tanya kak Novi saat kami sedang makan siang di restoran, bersama Kania juga mamanya."Iya, Tan, dari tadi kami perhatikan kamu bengong, ada apa sih?" timpal Tante Rika mamanya Kania. Sekarang sikapnya lebih ramah padaku tak seperti waktu itu, mungkin karena kak Novi menanamkan modal di usahanya, dan dia mer
"Arkan, apa-apaan sih, kamu? Bisa-bisanya kau berbuat kasar, pada Novi!" hardik pak Broto seraya melepaskan cengkraman tangan Mas Arkan dari leherku. Aku terbatuk-batuk sambil mengusap leher yang terasa nyeri bekas cengkraman tangan mantan suamiku. "Yah, Novi benar-benar membuatku kesal! Dia menyalahkan aku, atas semua yang terjadi dalam hidupnya juga Intan," ucap Mas Arkan membela diri. Aku hanya terdiam di dekat tembok kamar Mas Arkan, seraya mengatur nafas yang masih terasa sesak. "Arkan, sadar! Apa yang sudah Novi katakan tentang kamu itu memang iya. Kelakukan kamu semakin kesini semakin tidak benar. Apa kamu sudah lupa dengan semua kesalahanmu? dulu kamu menggauli Intan di saat Novi sedang bertugas ke luar kota bersama Anton, kamu rusak rumah tangga adik iparmu, kamu runtuhkan rumah tanggamu sendiri. Dan sekarang kau buat jiwa Intan terguncang!" ucap pak Broto lugas, ia memang sangat tidak suka dengan kelakuan anak sulungnya.
"Jangan serakah, Arkan! Milik orang lain, ya, harus dikembalikan kepada yang berhak!" ucap pak Broto seraya bangkit dan berdiri di hadapan putranya."Ayah, selama ini aku yang kerja keras. Seenaknya saja kita harus memberikan setengah saham kepada Novi, berikut dengan laba. Yah, sudah cukup banyak, harta gono-gini yang aku berikan pada Novi juga," protes Mas Arkan tak terima dengan keputusan ayahnya, yang tak bisa di bantah."Terserah kamu, yang penting ayah kembalikan semua milik pak Bram, karena kamu sudah bukan suami Novi lagi. Jadi, kita hanya mengelola yang kita miliki saja," terang pak Broto tegas, kemudian ia kembali duduk. Mas Arkan mendengus kesal lalu ia pun duduk di sofa dengan gerakan kasar, tak jauh dari ibunya. Bu Aini hanya menggeleng melihat sikap Mas Arkan yang kekanak-kanakan."Tapi, Yah. Aku yang capek, aku juga yang kerja, kenapa harus Novi yang menikmati hasilnya?" sergah Mas Arkan bersikeras menunjuk jarinya ke arah dada.