Mas Anton pun berlalu menuju kamar mandi. Kutatap ia sampai masuk dan hilang di balik pintu.
"Ya Tuhan ... aku harus bagaimana ini?" gumamku menengadahkan wajah, duduk di tepian ranjang menjuntai kaki, dengan kedua tangan menumpu di sisi tubuh, lalu kuusap wajah seraya menarik nafas dalam-dalam, untuk menetralkan perasaan yang kian gusar.
Tapi, apa aku masih pantas menyebut nama Tuhan, sedangkan tubuhku ini begitu kotor dan berlumuran dosa. Aku sadar bahwa aku ini wanita pendosa, penghianat, tapi kali ini aku benar-benar cemas, karena Mas Anton mengajakku melakukan hubungan suami istri.
Kuacak rambutku dengan kasar. Aku takut dia merasakan ada sesuatu yang berbeda, di sana ketika menyatukan tubuhnya dengan tubuhku, karena aksi Mas Arkan begitu beringas saat tadi. Hingga meninggalkan bekas luka dan rasa perih.
Ya. Aku baru ingat ponselku masih ada di meja depan sofa ruang tengah, lebih baik aku turun dan mengambil ponsel, sekalian pergi men
Beberapa pernyata'an kak Novi membuat ku jengah, duduk di sofa yang sangat empuk tak membuat ku merasa nyaman sedikit pun, ku menggeser bokong mencari posisi duduk yang enak. Kenapa kak Novi sampai membahas tentang sprei segala. Hah ... Apa dia sengaja memancingku, dan ingin tau bagaimana reaksiku, setelah mendengar ucapan kak Novi, tentang rencananya mencarikan wanita untuk jadi istri kedua Mas Arkan, agar mereka memiliki keturunan, jelas dada ku begitu nyeri. Namun, aku tak boleh terpancing, dan menunjukkan ekspresi wajah ku, meski saat ini sedang di landa kegusaran, ku remas jemari tangan untuk menghilangkan kegelisahan hati ku. Seraya menarik nafas pelan dan berusaha menetralkan perasa'an. "Mungkin saja, sprei nya di ganti sama Mas Arkan, dia ingin merasa lebih nyaman kali, makanya dia mengganti dengan yang baru," ujarku. Meski bohong tapi aku harus tetap tenang agar kak Novi percaya, dan tak menaruh curiga. "Iya k
"Gak apa-apa, sayang. Mas cuma." Mas Anton merangkulku merapatkan tubuhnya yang polos padaku. "Eum, anu Mas." Aku memalingkan wajah darinya yang hendak menciumku, dan mengambil jarak. Kugigit bibir menahan kegusaran hati. "Kenapa sayang, kok kelihatannya, gelisah gitu?" tanya Mas Anton menyunggingkan senyuman manis. "Gak, gak apa-apa Mas, aku cuma, cuma ingin ke kamar mandi," ujarku mencari alasan."Nanti saja ke kamar mandinya! Mas kangen kamu." Tangan jahilnya mencolek hidung, menggodaku. Aku tersipu balas melempar senyuman, pada Mas Anton, lalu menundukkan wajah. "Tapi, aku pengennya sekarang, gak tahan," jawabku lirih, sambil menjepit kedua telapak tangan merapatkan kaki. "Gak tahan, pengen Mas belai, kan?" ujarnya sembari menaikan alis. Mas Anton menarik tubuhku ke dalam pelukannya, dan mendekapku kembali. "Bukan, itu Mas," "Tak usah sungkan sayang, kalau pengen tinggal ngomong aja!" balasnya
Mas Anton terdengar begitu gelisah, dari gerak tubuhnya, yang grasak-grusuk tak mau diam, membuat kenyamananku sedikit terganggu. Dia tidur membelakangiku, dan kembali menghadap ke arahku. Meskipun mata terpejam. Namun, aku bisa merasakannya, dari kasur yang melesak, dan suara krasak-krusuk, kubuka mataku sedikit mengintip dia, wajahnya memberengut saat menatapku, gegas aku memejamkan mata kembali pura-pura tidur. Ia melipat tangannya di bawah kepala, satu tangan kanannya menggapai bahuku, dan menarik tubuhku ke dalam dekapannya. "Mas, Mau," bisiknya pelan. Kubuka mata dan sedikit dengan terpaksa, seraya menggerakkan tubuh, wajahnya terlihat melas membuat aku tak tega. Detak jantungnya tak beraturan, yang kurasakan karena dadaku dan dada bidangnya menempel, deru nafas Mas Anton pun memburu, tatkala sedang dilanda hasrat liarnya. "Ini, sudah malam Mas, kita tidur yuk! Aku gak kuat, lelah," ujarku pada Mas Anton dengan lembut.
Aku ingin sekali mendengar percakapan Kak Novi dan Mas Anton dengan jelas, hanya terdengar samar-samar karena suara mereka begitu pelan, ku menggeser kan tubuh lebih mendekat ke arah mereka, berjalan maju dengan cara berjongkok.Dan berhenti di bawah kolong meja makan, lalu duduk menekuk lutut meleseh di lantai, untuk menguping, meski ini perbuatan tak terpuji. Namun, jiwa ingin tahuku, yang terus mendorong ku, hingga aku tak tahan ingin mendengarnya.Ku pincingkan mata untuk melihat kak Novi dan Mas Anton mereka nampak serius, dari ucapannya, walaupun tak terlihat jelas. Tapi, dari gestur tubuh mereka yang nampak tenang, berdiri berdampingan menyenderkan pinggangnya di meja kabinet dapur, ku benahi posisi duduk agar merasa nyaman dan tak menimbulkan suara, meski seribu tanya berputar di dalam benakku. Bertanya-tanya apa yang kak Novi lakukan dan Mas Anton, di jam pertengahan malam seperti ini."Iya Nov, aku juga merasakan hal yang sama?" uca
"Eum … ini kak, aku gak sengaja tersandung meja," jawabku canggung,sembari menyelipkan anak rambut di balik telinga. "Kok bisa? Ini meja gede, loh, masa maen tabrak aja." Kak Novi mengingatkan. "Aku haus kak, saking pingin minum, jadi berlari terburu-buru," sangkal ku, masih berdiri terpaku di depan kak Novi, meskipun aku mendengar semua rencana kak Novi dan Mas Anton, juga tentang kecurigaan dia, terhadap hubunganku dan Mas Arkan. Tapi, aku harus bersikap tak tahu menahu tentang percakapan mereka. "Terus. Kakak juga lagi pada ngapain di sini, sama suamiku?" tanyaku seraya menoleh ke arah Mas Anton yang berjalan ke arahku. "Membicarakan soal pekerjaan, tak lebih," kilahnya. "Iya kan, Ton." Kak Novi melirik sekilas pada Mas Anton. "Iya, sayang, yang dikatakan kakakmu itu benar. Tapi, kaki kamu gak kenapa-kenapa kan?" ucap Mas Anton mendekatiku. Tangannya terulur merengkuh pundakku. Aku pun menoleh menatap wajahnya yang tampan. Namun,
"Mas, berangkat ya sayang," ucap Mas Arkan seraya mencium lalu mengusap puncak kepala kak Novi. "Iya Mas, hati-hati." Kak Novi mendongak menatap wajahnya, "Mau, berangkat duluan Mas, kok, gak bareng Intan, sih," lanjut perempuan berkemeja biru navy lengan pendek, dipadukan dengan celana jeans. "Mas, tunggu Intan di mobil, sekalian manasin mesin," jawabnya datar. Pria tampan berpenampilan formal, berwajah kharismatik. Wajah yang selalu memenuhi ruang kepalaku, senyumnya yang manis selalu menghiasi wajah tampannya yang sempurna. Namun, hari ini aku tak melihat senyum itu. Kugigit bibir seraya menarik nafas pelan, untuk menahan rasa perih di batin ini, dinginnya sikap Mas Arkan bagaikan sebongkah es, membekukan hatiku. Mulai hari ini aku takkan pernah mengingatnya kembali, aku akan melupakan dan menghapus semua ingatan saat bersamanya. Memang, terlalu sulit untuk dilupakan, terlalu indah kenangan itu, dan terasa amat sulit untuk menyingkirkan semua tenta
"Sekarang, ikut Mas!" pintanya, memaksaku untuk berangkat kerja bareng dia. "Mas lepaskan tanganku! Nanti ada kak Novi," sergahku menginginkan. Aku memutar tangan yang ada dalam cekalannya. "Novi di dalam rumah, dia takkan melihat kita," ujarnya pelan dengan nada menekan. "Nanti di lihat tetangga Mas! gak enak," "Ya sudah, sekarang juga kita masuk ke dalam mobil!" "Gak! Aku mau naik ojek," jawabku ketus, seraya menyilangkan tangan di dada. Mas Arkan mendesah kesal, atas penolakanku. Dia menyisirkan jari ke rambutnya yang hitam. Namun, satu tangannya tak mau melepaskanku. "Mas, itu siapa?" Aku mengalihkan perhatiannya, Mas Arkan lengah menoleh ke arah yang aku tunjuk, padahal tak ada apapun di sana. Gegas aku menarik tanganku dari genggamannya. Aku pun berlari menjauhinya. "Intan, tunggu!" Mas Arkan mengejarku. "Bye." Aku melambaikan tangan, sambil tersenyum mengejek. Dari arah kanan ada seorang pen
"Mas, sadar! Kita sudah sepakat, bahwa kita takkan pernah melakukan, ini lagi!" Tiba-tiba bayangan Mas Anton dan kak Novi berkelebat di benakku, membuatku ingin menggagalkan permintaan gila Mas Arkan. "Mas, sudah kehilangan kesadaran dan akal sehat gara-gara kamu Intan ... Wajah cantikmu selalu membangkitkan gairah Mas, meski Mas berusaha untuk melupakanmu, tapi tetap tidak bisa. Mas menginginkanmu!" "Mas, tolong mengertilah! Kamu tahu kan, kondisi psikis kak Novi sekarang, dia sedang gundah gulana, semalam dia bercerita sama aku, dia terlihat begitu sedih," "Cerita apa dia?" Mas Arkan melepaskan pelukannya kemudian mundur satu langkah. Kutarik napas pelan untuk mengatur debar jantungku, dan menetralkan deru napasku yang masih tersengal. Mas Arkan tadi begitu beringas, seakan tak memberiku kesempatan untuk sekedar bernapas. "Mas, aku kasihan pada kak Novi, dia merasa tertekan dengan tuntutan orang tuamu, yang meminta cucu padanya, dan ka
Dengan tubuh yang terasa berat, aku berusaha untuk bangkit, mencoba berdiri dan melangkah, kaki ini seakan terkunci di tempat sulit untukku gerakan. Melangkah dengan gontai menuju ruangan dimana Intan berada, tubuhku terseok-seok saat berjalan memasuki ruangan tersebut. Aku hanya berdiri mematung di ambang pintu menatap adikku yang sudah terbujur kaku, tak kuasa lagi kaki ini untuk melanjutkan langkah. Melihat seluruh tubuh Intan tertutup oleh kain putih, hanya wajahnya saja yang nampak. Wajah dan bibirnya begitu pucat, matanya tertutup rapat. "Intan," lirihku menatap nanar pada tubuh Intan yang sudah tak bergerak. Yang kulihat di depan mata, hanya tinggal raga tak bernyawa, dadaku kian sesak melihat adikku, dan kenyataan pahit ini. Mulai hari ini dan seterusnya, aku takkan pernah melihat lagi senyuman yang terbit dari bibir Intan. Takkan ada lagi yang bisa aku marahi dikala ia sudah berbuat salah, kini jasadnya sudah terpisah dari ruh-Nya.
POV Novi. Hatiku kian cemas memikirkan Intan di rumah, aku meninggalkan dia dalam keadaan sakit. Entah kenapa? Sejak beberapa hari ini dia begitu lemas, seperti tak punya tenaga, makan pun ia tidak seperti biasanya tidak berselera. "Mbak Novi, Intan tadi izin gak bisa masuk, emang dia sakit apa?" tanya Kania saat kami baru tiba di butik, menata baju-baju dan merapikan seisi ruangan itu. "Aku gak tahu, Kan, sepertinya Intan, masuk angin, dari gejalanya, yang timbul," jawabku sambil memasang hanger di baju yang akan di pajang. "Sudah dibawa berobat, belum?" "Belum, Kan. Tau sendiri, Intan susah diajak ke dokter! Dia selalu menolak jika diajak untuk berobat," Kania menoleh ke arahku seraya mengangguk, "Dia, orangnya memang keras kepala! Kalau bilang tidak mau, yaudah gak bisa diganggu, lagi," "Iya, Kan. Tapi, aku khawatir loh. Dia benar-benar pucat," "Mbak, coba telpon Intan! Apakah keadaannya
"Ini, sisa bayaranmu," ucapku pada Rani, sambil menyodorkan sejumlah uang yang terbungkus rapi di dalam amplop, kami bertemu di sebuah cafe sambil makan siang.Semenjak aku tinggal dengan kak Novi lagi, aku tak bisa keluar malam dan pergi ke klub kembali. Kak Novi selalu mengawasiku, dan menasehati, dia tak mau aku tersesat lagi dalam kehidupan yang penuh noda dan dosa."Ok, terima kasih." Rani mengambil dan memasukkan amplop coklat, ke dalam tas kecil miliknya."Sama-sama. Ran, ceritakan apa yang terjadi semalam?""Hm, aku membuat lelaki tampan itu bangun, dan kami saling menyatu. Dia terus meracau memanggil namamu, Intan. Aksinya begitu kuat, dan aku benar-benar terkagum. Pantas saja kamu tergila-gila padanya, ku akui ya, baru kali ini aku menemukan lelaki seperti dia, tanpa bayaran pun aku mau melayani dia setiap malam, bahkan setiap hari,""Hah, kamu, gak usah bicarakan soal itu! Aku yang lebih tahu, dan lebih banyak menghabiskan waktu be
"Baiklah, Intan. Aku akan datang sekarang, mungkin sebentar lagi, ini masih dalam perjalanan. Ok," jawabnya dari seberang telepon.Aku menyetujui ucapannya sambil menunggu dia datang. Duduk di tepi ranjang setelah memakai pakaian kembali dengan lengkap, Korean dress super seksi warna pink pastel, kutatap dan kuperhatikan wajah tampan Mas Arkan yang kini sedang terlelap karena pengaruh obat tidur yang dicampur dalam minumannya."Mas, maaf ya, jika perbuatanku ini sudah keterlaluan, tapi, kamu lebih keterlaluan lagi, dari aku." Ku usap pipi Mas Arkan, yang di tumbuhi bulu jambang dengan punggung ruas jemariku, "Setelah kamu bosan denganku, dan puas dengan tubuhku, kau campakkan aku, kau hianati aku, dan kau buat aku terluka, bukan hanya batinku yang tersiksa, tapi, aku nyaris gila karenamu," ucapku membungkukkan badan kemudian mencium bibirnya dengan lembut."Aku rela berbuat seperti ini, menjadi jalang untukmu, melayani dirimu di atas ranjang hingga kau ter
"Intan, Mas sangat rindu," ucapnya, saat aku masuk ke kamar hotel. Sepertinya dia sudah menungguku sejak beberapa saat yang lalu, Mas Arkan menyambut kedatanganku dengan senyuman yang merekah. "Aku juga rindu sama kamu, Mas," balasku sambil mendekat ke arahnya. Mas Arkan merangkulku dengan beringas dan menciumi bibir serta wajahku penuh nafsu. "Sabar, Mas!" ucapku menahan tubuhnya yang begitu rapat, seakan sudah tak sabar ingin menyatu dengan tubuhku. "Mas menunggumu dari setengah jam yang lalu, sayang. Rasanya waktu begitu lama, tiga puluh menit menunggu kedatanganmu, seperti tiga tahun lamanya," ucapnya lagi seraya menempelkan bibirnya di daun telingaku. "Oh, Mas. Maafkan aku, tadi sedikit ada kendala, taksi yang aku tumpangi mogok," balasku berbohong, aku sengaja mengulur waktu untuk menguji dia, apakah Mas Arkan bersedia menungguku, menunggu permainanku. Mas Arkan semakin merapatkan tubuhnya dengan tubuhku. Kakiku berjinjit, satu tanganku
Sepulang dari restoran, setelah makan siang bersama kak Novi, Kania juga mamanya. Aku merebahkan tubuh melintang di atas kasur kamarku, berbaring menghadap dinding, sambil menatap bingkai foto pernikahanku dengan Mas Anton, yang terletak di atas headboard ranjang, usia pernikahan kami baru seumur jagung. Namun, sudah kandas karena dusta dan pengkhianatan yang aku lakukan.Ada rasa penyesalan menelusup ke dalam relung hatiku, karena telah menyia-nyiakan orang yang sangat mencintaiku dengan setulus hati. Tapi, aku malah mengkhianatinya habis-habisan."Mas, aku baru menyadarinya, bahwa kamu lah lelaki yang terbaik dalam hidupku, yang pernah aku kenal, bukan Mas Arkan, lelaki yang tak bisa puas dengan satu wanita," gumamku, merenungi nasib yang sekarang ini, hidup menjanda dengan cara tidak terhormat. Ditalak karena perbuatanku, yang sudah menghancurkan rumah tanggaku sendiri, hanya karena ego dan nafsu."Jika ada kesempatan kedua, aku ingin kembali padamu, da
POV Intan.Hidupku kini merasa lebih baik, hubunganku dengan kak Novi juga sudah kembali seperti semula, tapi, aku merasa hampa. Sekarang Mas Arkan sudah menikah dengan orang lain, orang yang selama ini ku percaya dan sangat aku cintai, dia tega mencampakkanku begitu saja.Seperti janjiku pada Kania dan kak Novi, aku harus melupakan Mas Arkan, dan bangkit, memulai hidup yang baru, tapi aku ingin membalaskan rasa sakit hatiku pada Mas Arkan, entah bagaimana caranya? Nanti aku pikirkan, aku benar-benar merasa sakit hati dan tak terima dengan keputusan lelaki itu yang meninggalkan aku tanpa perasaan."Tan, kok melamun?" tanya kak Novi saat kami sedang makan siang di restoran, bersama Kania juga mamanya."Iya, Tan, dari tadi kami perhatikan kamu bengong, ada apa sih?" timpal Tante Rika mamanya Kania. Sekarang sikapnya lebih ramah padaku tak seperti waktu itu, mungkin karena kak Novi menanamkan modal di usahanya, dan dia mer
"Arkan, apa-apaan sih, kamu? Bisa-bisanya kau berbuat kasar, pada Novi!" hardik pak Broto seraya melepaskan cengkraman tangan Mas Arkan dari leherku. Aku terbatuk-batuk sambil mengusap leher yang terasa nyeri bekas cengkraman tangan mantan suamiku. "Yah, Novi benar-benar membuatku kesal! Dia menyalahkan aku, atas semua yang terjadi dalam hidupnya juga Intan," ucap Mas Arkan membela diri. Aku hanya terdiam di dekat tembok kamar Mas Arkan, seraya mengatur nafas yang masih terasa sesak. "Arkan, sadar! Apa yang sudah Novi katakan tentang kamu itu memang iya. Kelakukan kamu semakin kesini semakin tidak benar. Apa kamu sudah lupa dengan semua kesalahanmu? dulu kamu menggauli Intan di saat Novi sedang bertugas ke luar kota bersama Anton, kamu rusak rumah tangga adik iparmu, kamu runtuhkan rumah tanggamu sendiri. Dan sekarang kau buat jiwa Intan terguncang!" ucap pak Broto lugas, ia memang sangat tidak suka dengan kelakuan anak sulungnya.
"Jangan serakah, Arkan! Milik orang lain, ya, harus dikembalikan kepada yang berhak!" ucap pak Broto seraya bangkit dan berdiri di hadapan putranya."Ayah, selama ini aku yang kerja keras. Seenaknya saja kita harus memberikan setengah saham kepada Novi, berikut dengan laba. Yah, sudah cukup banyak, harta gono-gini yang aku berikan pada Novi juga," protes Mas Arkan tak terima dengan keputusan ayahnya, yang tak bisa di bantah."Terserah kamu, yang penting ayah kembalikan semua milik pak Bram, karena kamu sudah bukan suami Novi lagi. Jadi, kita hanya mengelola yang kita miliki saja," terang pak Broto tegas, kemudian ia kembali duduk. Mas Arkan mendengus kesal lalu ia pun duduk di sofa dengan gerakan kasar, tak jauh dari ibunya. Bu Aini hanya menggeleng melihat sikap Mas Arkan yang kekanak-kanakan."Tapi, Yah. Aku yang capek, aku juga yang kerja, kenapa harus Novi yang menikmati hasilnya?" sergah Mas Arkan bersikeras menunjuk jarinya ke arah dada.