"Sekarang, ikut Mas!" pintanya, memaksaku untuk berangkat kerja bareng dia.
"Mas lepaskan tanganku! Nanti ada kak Novi," sergahku menginginkan. Aku memutar tangan yang ada dalam cekalannya.
"Novi di dalam rumah, dia takkan melihat kita," ujarnya pelan dengan nada menekan.
"Nanti di lihat tetangga Mas! gak enak,"
"Ya sudah, sekarang juga kita masuk ke dalam mobil!"
"Gak! Aku mau naik ojek," jawabku ketus, seraya menyilangkan tangan di dada.
Mas Arkan mendesah kesal, atas penolakanku. Dia menyisirkan jari ke rambutnya yang hitam. Namun, satu tangannya tak mau melepaskanku.
"Mas, itu siapa?" Aku mengalihkan perhatiannya, Mas Arkan lengah menoleh ke arah yang aku tunjuk, padahal tak ada apapun di sana. Gegas aku menarik tanganku dari genggamannya. Aku pun berlari menjauhinya.
"Intan, tunggu!" Mas Arkan mengejarku.
"Bye." Aku melambaikan tangan, sambil tersenyum mengejek.
Dari arah kanan ada seorang pen
"Mas, sadar! Kita sudah sepakat, bahwa kita takkan pernah melakukan, ini lagi!" Tiba-tiba bayangan Mas Anton dan kak Novi berkelebat di benakku, membuatku ingin menggagalkan permintaan gila Mas Arkan. "Mas, sudah kehilangan kesadaran dan akal sehat gara-gara kamu Intan ... Wajah cantikmu selalu membangkitkan gairah Mas, meski Mas berusaha untuk melupakanmu, tapi tetap tidak bisa. Mas menginginkanmu!" "Mas, tolong mengertilah! Kamu tahu kan, kondisi psikis kak Novi sekarang, dia sedang gundah gulana, semalam dia bercerita sama aku, dia terlihat begitu sedih," "Cerita apa dia?" Mas Arkan melepaskan pelukannya kemudian mundur satu langkah. Kutarik napas pelan untuk mengatur debar jantungku, dan menetralkan deru napasku yang masih tersengal. Mas Arkan tadi begitu beringas, seakan tak memberiku kesempatan untuk sekedar bernapas. "Mas, aku kasihan pada kak Novi, dia merasa tertekan dengan tuntutan orang tuamu, yang meminta cucu padanya, dan ka
* Hari ini aku dan Mas Arkan pulang lebih cepat pukul setengah enam sore, karena orang tua Mas Arkan akan berkunjung ke rumah kami. Kak Novi yang kebetulan bekerja dari rumah, dan tidak bertugas di lapangan. Dia sudah berada di dapur sedang mempersiapkan masakan untuk makan malam nanti. "Kak, biar aku bantu," ucapku setelah berganti pakaian kerja dengan baju rumahan, rok semi payung dan kaos lengan pendek. Kuikat panjang rambutku yang panjang, agar tidak terganggu saat sedang memasak. "Iya, silahkan!" jawabnya, menoleh sekilas ke arahku, lalu kembali mengupas kentang untuk digoreng dan dijadikan perkedel. Ibu mertua kak Novi berjalan mendekat dan menghampiriku, dengan senyuman di bibir merahnya, wanita paruh baya. Namun, terlihat masih cantik dan energik. "Bu … apa kabar?" sapaku di barengi anggukkan. Aku mengulurkan tangan lalu mencium punggung tangannya. "Iya, ibu baik-baik saja," jawabnya ramah, "Lalu, bagaimana dengan kabarmu?""A
"Bu ... Jangan ngomong seperti itu dong! Kasihan Novi, kalau menantu kita tidak bisa memberikan keturunan, mau gimana lagi ... Toh, bukan kemauan dia, juga bukan kehendak dia," ucap Pak Broto membela kak Novi. "Iya Bu, jangan bicara seperti itu!" Mas Arkan menimpali. Aku menatap kak Novi yang terlihat gusar, tak nyaman mendengar perkataan ibu mertuanya. "Kak, yang sabar ya!" ucapku lagi pelan setengah berbisik, pada kak Novi, seraya mengusap bahunya lembut. Dia menanggapi ucapanku dengan anggukan, beberapa detik kak Novi bergeming, manarik napas dalam-dalam, melonggarkan dadanya yang mungkin sesak, karena perkataan sang mertua. Kutatap dia dengan rasa simpatik, gurat kesedihan terlihat jelas dari raut wajahnya. Namun, dia masih tetap fokus dengan acaranya sendiri masak memasak. Kemudian aku mendekatinya mencondogkan tubuhku ke arahnya, setelah melihat kode dari dia, mengerdipkan sebelah matanya. "Tan. Kakak tuh selalu sabar, ini memang k
"Kak, maafkan aku, gara-gara aku teledor, tenaga kita jadi sia-sia, deh," ucapku menunduk penuh penyesalan. "Yaudah, gak apa-apa kok, jangan sedih gitu, dong!" Kak Novi tersenyum menghiburku, dan memaklumiku yang tak bisa melakukan pekerjaan rumah, hingga menggoreng ayam pun gosong. "Iya kak, ini salahku," "Gak usah, dibahas lagi!" ujarnya pelan, "Kamu kan baru belajar, kakak sangat mengerti, lain kali, kalau lagi masak, jangan di tinggal! Kalau kamu pintar masak, Anton pasti makin cinta, sama kamu," "Ah Kakak, bisa aja," jawabku singkat, di barengi dengan senyuman. 'Kalau aku tadi tak di ajak ngobrol oleh ibunya Mas Arkan, gak mungkin aku masak sampai gosong' Batinku menggerutu. "Ada apa ini?" Bu Aini tiba-tiba berdiri di samping kami. Aku dan kak Novi menoleh kompak. "Ini Bu, aku masak ayam, eh ... malah gosong," sesalku. Bu Aini tersenyum manis padaku. "Gak apa-apa, jam makan malam masih setengah jam lebih, masih ada
"Mas, apa tindakan kita ini tidak akan menimbulkan masalah?" tanyaku berdiri berhadapan dengannya. Ia menggeleng, kemudian merangkulku, dengan penuh nafsu, seperti seekor hewan kelaparan yang tidak menemukan makanan hingga berhari-hari, dia menciumi leherku hingga kebagian dada, dengan penuh hasrat. "Eum ... Mas ...." Aku mendesah menikmati setiap ciumannya. Lidahnya yang panas bergeliar di setiap inci kulitku. "Kamu, juga menginginkannya bukan?" bisik Mas Arkan. Aku tak menjawab hanya desahan dan napasku yang terengah. Mas Arkan membuka kancing bajuku satu persatu dan menurunkan piyamaku, lalu ia melempar ke sembarang arah, kemudian dia melepas kaos putih dan celana cargo pendek yang ia gunakan tadi. Aku menggigit bibir sambil duduk di tepi ranjang, memperhatikan setiap gerakannya, kedua kaki, kurapatkan. Napasku terasa sesak, saat Mas Arkan mendekatkan tubuh polosnya ke arahku. Dadaku bergemuruh jantung pun berpacu dengan cepat
Dengan hati ragu dan takut akan kehadiran orang yang mengetuk pintu di depan kamarku, entah siapakah itu? Aku bertanya-tanya sendiri, kuikat rambut asal dengan karet, yang kutemukan di atas meja, yang penting tak terlalu berantakan. "Tuh kan Mas, kamu gak bisa dibilangin, sih! Ada orang kan, gimana ini? Kalau itu Mas Anton, habislah kita!" ucapku panik. Mas Arkan tak kalah panik dariku, dia hanya balas menggeleng, sambil membetulkan letak celananya yang tadi ia kenakan terbalik. "Ish ...." Aku mendelik kesal pada Mas Arkan, yang tak bisa melihat situasi. Main serobot aja, meskipun aku sudah memperingatkan dia. "Coba, tadi kamu mendengar perkataanku, mungkin kita tak terjebak dalam situasi seperti ini," "Intan, terus. Mas harus gimana ini? Dan harus sembunyi di mana? Mas juga gak nyangka akan seperti ini," ujar Mas Arkan cemas, menggaruk pelipisnya sambil celingukan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Tadi dia begitu percaya diri, m
"Mas, gak ada apa-apa kok, kita tidur saja yuk! Ini sudah malam loh." Aku menghadang Mas Anton dengan menyentak kedua tangannya, lalu aku berdiri dihadapan pria berkulit sawo matang ini, kupeluk tubuh serta kedua tangannya erat seraya membenamkan wajah di dada bidangnya. "Nanti. Mas ingin membuktikan dan ingin tahu, siapa di balik tirai itu. Mas melihat ada bayangan," ucapnya bersikeras. "Mana, Mas? Tak ada siapapun di kamar ini, selain aku." Aku pura-pura tak tahu, sembari memiringkan kepala, dan memincingkan mata. "Percaya Mas sama aku! Tak ada siapa-siapa juga, dari tadi aku sendirian, disini," sergahku padahal hati benar-benar cemas. "Kamu, bawa siapa ke dalam kamar kita, Intan? Siapa yang sudah meniduri kamu?" tanya Mas Anton dengan nada rendah. Namun, penuh tekanan. Kupeluk tubuh suamiku lebih erat lagi, agar dia bisa tenang. "Mas, apa-apaan sih kamu ini? Aku gak pernah selingkuh, percaya sama aku! Aku bersumpah Mas, tidak mungkin, aku men
"Ada apa ini? Malam-malam pada ribut?" tanya Bu Aini, seraya berjalan ke arahku dan Mas Anton, yang masih berdiri tak jauh dari tangga penghubung. Napas Mas Anton memburu seiring amarahnya yang membuncah, ekspresi wajahnya terlihat begitu marah, dia menoleh sekilas padaku dengan tatapan nyalang. Kemudian tatapannya beralih pada Bu Aini. "Bu, anak ibu sudah mengganggu istri saya, dia sudah meniduri Intan! Mana laki-laki brengsek itu!" tuduh Mas Anton dengan menyeringai wajah dan matanya memerah diliputi amarah, aku hanya bisa menunduk, dalam karena takut, dari mana dia tahu soal ini? "Apa benar, yang dikatakan suamimu itu Intan? Jawab?!" tanya Bu Aini menatapku, hatiku begitu gusar takut pada kak Novi juga malu pada semuanya, jika kelakuan kami tadi sampai ada buktinya. Bibir pun terasa kaku, lidah terasa kelu, tak sanggup untuk berucap, seakan mulutku ini ada yang membungkam. Kak Novi pun ikut mendekat ke arahku, dia menatapku dengan tatapan tak
Dengan tubuh yang terasa berat, aku berusaha untuk bangkit, mencoba berdiri dan melangkah, kaki ini seakan terkunci di tempat sulit untukku gerakan. Melangkah dengan gontai menuju ruangan dimana Intan berada, tubuhku terseok-seok saat berjalan memasuki ruangan tersebut. Aku hanya berdiri mematung di ambang pintu menatap adikku yang sudah terbujur kaku, tak kuasa lagi kaki ini untuk melanjutkan langkah. Melihat seluruh tubuh Intan tertutup oleh kain putih, hanya wajahnya saja yang nampak. Wajah dan bibirnya begitu pucat, matanya tertutup rapat. "Intan," lirihku menatap nanar pada tubuh Intan yang sudah tak bergerak. Yang kulihat di depan mata, hanya tinggal raga tak bernyawa, dadaku kian sesak melihat adikku, dan kenyataan pahit ini. Mulai hari ini dan seterusnya, aku takkan pernah melihat lagi senyuman yang terbit dari bibir Intan. Takkan ada lagi yang bisa aku marahi dikala ia sudah berbuat salah, kini jasadnya sudah terpisah dari ruh-Nya.
POV Novi. Hatiku kian cemas memikirkan Intan di rumah, aku meninggalkan dia dalam keadaan sakit. Entah kenapa? Sejak beberapa hari ini dia begitu lemas, seperti tak punya tenaga, makan pun ia tidak seperti biasanya tidak berselera. "Mbak Novi, Intan tadi izin gak bisa masuk, emang dia sakit apa?" tanya Kania saat kami baru tiba di butik, menata baju-baju dan merapikan seisi ruangan itu. "Aku gak tahu, Kan, sepertinya Intan, masuk angin, dari gejalanya, yang timbul," jawabku sambil memasang hanger di baju yang akan di pajang. "Sudah dibawa berobat, belum?" "Belum, Kan. Tau sendiri, Intan susah diajak ke dokter! Dia selalu menolak jika diajak untuk berobat," Kania menoleh ke arahku seraya mengangguk, "Dia, orangnya memang keras kepala! Kalau bilang tidak mau, yaudah gak bisa diganggu, lagi," "Iya, Kan. Tapi, aku khawatir loh. Dia benar-benar pucat," "Mbak, coba telpon Intan! Apakah keadaannya
"Ini, sisa bayaranmu," ucapku pada Rani, sambil menyodorkan sejumlah uang yang terbungkus rapi di dalam amplop, kami bertemu di sebuah cafe sambil makan siang.Semenjak aku tinggal dengan kak Novi lagi, aku tak bisa keluar malam dan pergi ke klub kembali. Kak Novi selalu mengawasiku, dan menasehati, dia tak mau aku tersesat lagi dalam kehidupan yang penuh noda dan dosa."Ok, terima kasih." Rani mengambil dan memasukkan amplop coklat, ke dalam tas kecil miliknya."Sama-sama. Ran, ceritakan apa yang terjadi semalam?""Hm, aku membuat lelaki tampan itu bangun, dan kami saling menyatu. Dia terus meracau memanggil namamu, Intan. Aksinya begitu kuat, dan aku benar-benar terkagum. Pantas saja kamu tergila-gila padanya, ku akui ya, baru kali ini aku menemukan lelaki seperti dia, tanpa bayaran pun aku mau melayani dia setiap malam, bahkan setiap hari,""Hah, kamu, gak usah bicarakan soal itu! Aku yang lebih tahu, dan lebih banyak menghabiskan waktu be
"Baiklah, Intan. Aku akan datang sekarang, mungkin sebentar lagi, ini masih dalam perjalanan. Ok," jawabnya dari seberang telepon.Aku menyetujui ucapannya sambil menunggu dia datang. Duduk di tepi ranjang setelah memakai pakaian kembali dengan lengkap, Korean dress super seksi warna pink pastel, kutatap dan kuperhatikan wajah tampan Mas Arkan yang kini sedang terlelap karena pengaruh obat tidur yang dicampur dalam minumannya."Mas, maaf ya, jika perbuatanku ini sudah keterlaluan, tapi, kamu lebih keterlaluan lagi, dari aku." Ku usap pipi Mas Arkan, yang di tumbuhi bulu jambang dengan punggung ruas jemariku, "Setelah kamu bosan denganku, dan puas dengan tubuhku, kau campakkan aku, kau hianati aku, dan kau buat aku terluka, bukan hanya batinku yang tersiksa, tapi, aku nyaris gila karenamu," ucapku membungkukkan badan kemudian mencium bibirnya dengan lembut."Aku rela berbuat seperti ini, menjadi jalang untukmu, melayani dirimu di atas ranjang hingga kau ter
"Intan, Mas sangat rindu," ucapnya, saat aku masuk ke kamar hotel. Sepertinya dia sudah menungguku sejak beberapa saat yang lalu, Mas Arkan menyambut kedatanganku dengan senyuman yang merekah. "Aku juga rindu sama kamu, Mas," balasku sambil mendekat ke arahnya. Mas Arkan merangkulku dengan beringas dan menciumi bibir serta wajahku penuh nafsu. "Sabar, Mas!" ucapku menahan tubuhnya yang begitu rapat, seakan sudah tak sabar ingin menyatu dengan tubuhku. "Mas menunggumu dari setengah jam yang lalu, sayang. Rasanya waktu begitu lama, tiga puluh menit menunggu kedatanganmu, seperti tiga tahun lamanya," ucapnya lagi seraya menempelkan bibirnya di daun telingaku. "Oh, Mas. Maafkan aku, tadi sedikit ada kendala, taksi yang aku tumpangi mogok," balasku berbohong, aku sengaja mengulur waktu untuk menguji dia, apakah Mas Arkan bersedia menungguku, menunggu permainanku. Mas Arkan semakin merapatkan tubuhnya dengan tubuhku. Kakiku berjinjit, satu tanganku
Sepulang dari restoran, setelah makan siang bersama kak Novi, Kania juga mamanya. Aku merebahkan tubuh melintang di atas kasur kamarku, berbaring menghadap dinding, sambil menatap bingkai foto pernikahanku dengan Mas Anton, yang terletak di atas headboard ranjang, usia pernikahan kami baru seumur jagung. Namun, sudah kandas karena dusta dan pengkhianatan yang aku lakukan.Ada rasa penyesalan menelusup ke dalam relung hatiku, karena telah menyia-nyiakan orang yang sangat mencintaiku dengan setulus hati. Tapi, aku malah mengkhianatinya habis-habisan."Mas, aku baru menyadarinya, bahwa kamu lah lelaki yang terbaik dalam hidupku, yang pernah aku kenal, bukan Mas Arkan, lelaki yang tak bisa puas dengan satu wanita," gumamku, merenungi nasib yang sekarang ini, hidup menjanda dengan cara tidak terhormat. Ditalak karena perbuatanku, yang sudah menghancurkan rumah tanggaku sendiri, hanya karena ego dan nafsu."Jika ada kesempatan kedua, aku ingin kembali padamu, da
POV Intan.Hidupku kini merasa lebih baik, hubunganku dengan kak Novi juga sudah kembali seperti semula, tapi, aku merasa hampa. Sekarang Mas Arkan sudah menikah dengan orang lain, orang yang selama ini ku percaya dan sangat aku cintai, dia tega mencampakkanku begitu saja.Seperti janjiku pada Kania dan kak Novi, aku harus melupakan Mas Arkan, dan bangkit, memulai hidup yang baru, tapi aku ingin membalaskan rasa sakit hatiku pada Mas Arkan, entah bagaimana caranya? Nanti aku pikirkan, aku benar-benar merasa sakit hati dan tak terima dengan keputusan lelaki itu yang meninggalkan aku tanpa perasaan."Tan, kok melamun?" tanya kak Novi saat kami sedang makan siang di restoran, bersama Kania juga mamanya."Iya, Tan, dari tadi kami perhatikan kamu bengong, ada apa sih?" timpal Tante Rika mamanya Kania. Sekarang sikapnya lebih ramah padaku tak seperti waktu itu, mungkin karena kak Novi menanamkan modal di usahanya, dan dia mer
"Arkan, apa-apaan sih, kamu? Bisa-bisanya kau berbuat kasar, pada Novi!" hardik pak Broto seraya melepaskan cengkraman tangan Mas Arkan dari leherku. Aku terbatuk-batuk sambil mengusap leher yang terasa nyeri bekas cengkraman tangan mantan suamiku. "Yah, Novi benar-benar membuatku kesal! Dia menyalahkan aku, atas semua yang terjadi dalam hidupnya juga Intan," ucap Mas Arkan membela diri. Aku hanya terdiam di dekat tembok kamar Mas Arkan, seraya mengatur nafas yang masih terasa sesak. "Arkan, sadar! Apa yang sudah Novi katakan tentang kamu itu memang iya. Kelakukan kamu semakin kesini semakin tidak benar. Apa kamu sudah lupa dengan semua kesalahanmu? dulu kamu menggauli Intan di saat Novi sedang bertugas ke luar kota bersama Anton, kamu rusak rumah tangga adik iparmu, kamu runtuhkan rumah tanggamu sendiri. Dan sekarang kau buat jiwa Intan terguncang!" ucap pak Broto lugas, ia memang sangat tidak suka dengan kelakuan anak sulungnya.
"Jangan serakah, Arkan! Milik orang lain, ya, harus dikembalikan kepada yang berhak!" ucap pak Broto seraya bangkit dan berdiri di hadapan putranya."Ayah, selama ini aku yang kerja keras. Seenaknya saja kita harus memberikan setengah saham kepada Novi, berikut dengan laba. Yah, sudah cukup banyak, harta gono-gini yang aku berikan pada Novi juga," protes Mas Arkan tak terima dengan keputusan ayahnya, yang tak bisa di bantah."Terserah kamu, yang penting ayah kembalikan semua milik pak Bram, karena kamu sudah bukan suami Novi lagi. Jadi, kita hanya mengelola yang kita miliki saja," terang pak Broto tegas, kemudian ia kembali duduk. Mas Arkan mendengus kesal lalu ia pun duduk di sofa dengan gerakan kasar, tak jauh dari ibunya. Bu Aini hanya menggeleng melihat sikap Mas Arkan yang kekanak-kanakan."Tapi, Yah. Aku yang capek, aku juga yang kerja, kenapa harus Novi yang menikmati hasilnya?" sergah Mas Arkan bersikeras menunjuk jarinya ke arah dada.