Tangan Mas Arkan menggapai kemana-mana, jemarinya yang lincah terus menyusuri setiap lekuk. Suhu tubuhku kini naik drastis begitu panas, itulah yang aku rasakan saat permukaan kulitku dan Mas Arkan saling bersentuhan, dan saling menyatukan.
"Mas." Aku menahan nafas, seraya melengkungkan badan ke belakang. Mas Arkan mengecup leherku yang mungkin akan meninggalkan jejak merah di sana.
"Mas, jangan sampai berbekas! Nanti Mas Anton akan bertanya padaku," lanjutku, kedua tanganku mencengkram rambutnya, mengangkat kepala Mas Arkan agar melepaskan leherku.
Mas Arkan melepas kecupannya, "Biarkan saja!" jawabnya dengan suara rendah.
"Jangan Mas! Nanti malah berbahaya untuk hubungan kita, aku gak mau sampai ada yang tahu," tolakku mendorong tubuhnya.
"Sudah selesai belum?" tanya Mas Arkan padaku yang masih bersolek di depan cermin. "Sebentar lagi, Mas," jawabku sambil mengoles lipstik warna nude. "Kamu sudah cantik, malah lebih cantik dari biasanya," puji Mas Arkan yang terus memandangku seakan tak berkedip. "Ni, dah beres," ujarku bangkit, dan duduk di atas tempat tidur. "Cantik," gumamnya dengan senyuman termanis. "Terima kasih, Mas. Kamu selalu memujiku," ucapku balas tersenyum, "Yuk, Mas!" ajakku pada Mas Arkan, yang sedang melipat lengan bajunya, dia berdiri di dekat ranjang yang aku duduki. Malam ini kukenakan chif
"Intan ... gimana kabarmu?" tanya Kania ramah, perempuan bertubuh mungil dengan balutan dress tunik, dia temanku sejak SMP. Kami saling berjabat tangan dengan senyuman yang mengembang, di masing-masing bibir kami, lalu disusul cipika-cipiki. "Baik," jawabku singkat, "Lalu, kamu sendiri bagaimana?" Aku balik bertanya. "Baik dong, Tan, kamu gak nyuruh aku duduk gitu?!" ucap Kania. "Iya, silahkan duduk! aku sampai lupa, hehe, Maaf ya! Saking senengnya, aku ketemu kamu di sini," ucapku. Masih dengan sikap agak kaku karena canggung. Canggung karena khawatir, takutnya, dia sempat melihat kejadian tadi sewaktu aku dengan Mas Arkan seperti halnya sepasang kekasih yang sedang dinner.
"Aku, sebenarnya." Tanganku meremas tissue yang ada di dalam genggaman, untuk menetralkan perasaanku, yang masih dengan keadaan gelisah, saat Kania mendesak. "Apa ...?" Dia malah lebih penasaran lagi, dan menekanku, hingga aku terpaksa buka mulut. "Tapi, jangan bilang siapa-siapa ya! Kamu harus janji!" pintaku dengan wajah memelas. Kania memang tak bisa di bohongi. "Ok!" Dia menjentikkan jari kelingkingnya. "Ya udah, aku jujur." Aku menyambut jari kelingking dia, dan saling mengaitkan, mengisyaratkan bahwa dia sungguh-sungguh berjanji padaku. Kami saling melepas jari, dan meletakan kedua tangan di meja. "Ayo, ngomong!" desaknya seraya menatapku dalam. "Aku, me
Untung saja aku tak menyebut nama Mas Arkan, jika saja aku menyebut nama itu, Mas Anton pasti akan curiga padaku. "Mas, kamu kok pulang gak bilang-bilang sih? Katanya besok malam Mas baru kembali. Emang pekerjaanmu sudah selesai?" tanyaku dengan perasaan gugup karena bibir ini nyaris, menyebut nama Mas Arkan saat tadi aku memeluknya. Ku kira yang menungguku di dalam kamar ini adalah orang yang sedang kudambakan, sengaja dia pulang duluan untuk membuat kejutan ulang tahunku. Menurut spekulasiku. Namun ternyata yang berada di dalam kamar, adalah Mas Anton suamiku. Lelaki bertubuh tinggi. Namun, tubuhnya tak se-kekar tubuh kekasihku. Dia melepaskan tanganku yang melingkar di pinggangnya, dan memutar tubuh, menghadap ke arahku.
"Eh, gak apa-apa, Mas. Aku cuma terkejut, kukira Mas gak akan pulang malam ini, di hari ulang tahunku, makanya aku pergi sama Kania, sambil merayakan hari kelahiranku," "Mas sengaja memberi kejutan untukmu, sayang." Mas Anton tersenyum genit menggodaku, aku tak tergoda dan terpesona sama sekali. Ia mengapit daguku, dan menengadahkan wajah ke arahnya, hingga wajah kami tak berjarak. "Bentar Mas!" Aku menepiskan wajah, ketika bibirnya hampir mendarat di bibirku. "Kenapa?" tanya Mas Anton dengan tatapan penuh tanya. "Lampunya, mati-kan dulu!" pintaku tanpa menatapnya. Wajah. Kutundukkan, dengan hati agak sedikit gusar, takut Mas Anton melihat tanda merah di
Pikiranku menerawang kemana-mana untuk mencari alasan yang tepat. "Ini, gatal Mas, cuma alergi," sanggahku, sembari mengusap bagian dadaku yang merah. Semoga saja Mas Anton percaya, dan tak banyak bertanya. "Eum, kayaknya sih iya. Emang kamu tadi makan apa, pas makan malam bareng temanmu itu?" tanya Mas Anton menatap bercak merah di dadaku. Di leher masih tersamarkan karena efek olesan krim. "Seafood, Mas, aku gak sengaja makan itu," jawabku berbohong. "Oh, makanya kalau punya alergi seafood, jangan di makan dong! Udah tahu alergi, masih aja di makan, jadi kaya gini kan, gatal-gatal," "Yang namanya disuguhi orang Mas, gak enak hati kalau gak di makan, n
POV Arkan. Sengaja aku meninggalkan Intan bersama temannya, dengan beralasan ada keperluan lain, padahal aku tak nyaman sama sekali dengan kedatangan perempuan bernama Kania itu. Aku tak suka dengan cara dia memandang kami, dia seperti menaruh curiga padaku, dan Intan. Meski kenyataannya aku dan Intan memiliki hubungan, tapi tak seharusnya dia, menatapku dengan tatapan mengintimidasi, seakan-akan aku ini Pria tukang selingkuh. Aku memang selingkuh dengan Intan, tapi baru kali ini aku melakukannya, karena desakan dari dalam hatiku yang sangat mencintai dan menginginkan Intan. Aku tak pernah melakukan hal ini sebelumnya dengan wanita lain. Tiga tahun aku berumah tangga bersama Novi, aku selalu setia padanya, Namun, jiwa liarku yang meronta saat berada di
POV Intan. "Matikan, lampunya Mas!" bisikku, mendongak menatap wajah Mas Arkan, yang juga tegang. "Iya," lirihnya, seraya mematikan lampu yang tak jauh dari pintu kamar ini. Suara derap langkah kaki semakin mendekat ke arah pintu kamar pembantu tempat di mana aku dan Mas Arkan berada, dia mendekap erat tubuhku yang gemetar, perasaanku kian kacau, saat handle diputar. Dadaku bergemuruh karena khawatir, jika perbuatan kami ketahuan oleh kak Novi, ataupun Mas Anton. "Mas ...," ucapku, aku benar-benar gusar kali ini, kuremas genggaman Mas Arkan. "Tenang sayang! Gak apa-apa," bisiknya. Dia mencoba menenangkanku, agar aku tidak ketakutan. Ketukan pintu dari lu
Dengan tubuh yang terasa berat, aku berusaha untuk bangkit, mencoba berdiri dan melangkah, kaki ini seakan terkunci di tempat sulit untukku gerakan. Melangkah dengan gontai menuju ruangan dimana Intan berada, tubuhku terseok-seok saat berjalan memasuki ruangan tersebut. Aku hanya berdiri mematung di ambang pintu menatap adikku yang sudah terbujur kaku, tak kuasa lagi kaki ini untuk melanjutkan langkah. Melihat seluruh tubuh Intan tertutup oleh kain putih, hanya wajahnya saja yang nampak. Wajah dan bibirnya begitu pucat, matanya tertutup rapat. "Intan," lirihku menatap nanar pada tubuh Intan yang sudah tak bergerak. Yang kulihat di depan mata, hanya tinggal raga tak bernyawa, dadaku kian sesak melihat adikku, dan kenyataan pahit ini. Mulai hari ini dan seterusnya, aku takkan pernah melihat lagi senyuman yang terbit dari bibir Intan. Takkan ada lagi yang bisa aku marahi dikala ia sudah berbuat salah, kini jasadnya sudah terpisah dari ruh-Nya.
POV Novi. Hatiku kian cemas memikirkan Intan di rumah, aku meninggalkan dia dalam keadaan sakit. Entah kenapa? Sejak beberapa hari ini dia begitu lemas, seperti tak punya tenaga, makan pun ia tidak seperti biasanya tidak berselera. "Mbak Novi, Intan tadi izin gak bisa masuk, emang dia sakit apa?" tanya Kania saat kami baru tiba di butik, menata baju-baju dan merapikan seisi ruangan itu. "Aku gak tahu, Kan, sepertinya Intan, masuk angin, dari gejalanya, yang timbul," jawabku sambil memasang hanger di baju yang akan di pajang. "Sudah dibawa berobat, belum?" "Belum, Kan. Tau sendiri, Intan susah diajak ke dokter! Dia selalu menolak jika diajak untuk berobat," Kania menoleh ke arahku seraya mengangguk, "Dia, orangnya memang keras kepala! Kalau bilang tidak mau, yaudah gak bisa diganggu, lagi," "Iya, Kan. Tapi, aku khawatir loh. Dia benar-benar pucat," "Mbak, coba telpon Intan! Apakah keadaannya
"Ini, sisa bayaranmu," ucapku pada Rani, sambil menyodorkan sejumlah uang yang terbungkus rapi di dalam amplop, kami bertemu di sebuah cafe sambil makan siang.Semenjak aku tinggal dengan kak Novi lagi, aku tak bisa keluar malam dan pergi ke klub kembali. Kak Novi selalu mengawasiku, dan menasehati, dia tak mau aku tersesat lagi dalam kehidupan yang penuh noda dan dosa."Ok, terima kasih." Rani mengambil dan memasukkan amplop coklat, ke dalam tas kecil miliknya."Sama-sama. Ran, ceritakan apa yang terjadi semalam?""Hm, aku membuat lelaki tampan itu bangun, dan kami saling menyatu. Dia terus meracau memanggil namamu, Intan. Aksinya begitu kuat, dan aku benar-benar terkagum. Pantas saja kamu tergila-gila padanya, ku akui ya, baru kali ini aku menemukan lelaki seperti dia, tanpa bayaran pun aku mau melayani dia setiap malam, bahkan setiap hari,""Hah, kamu, gak usah bicarakan soal itu! Aku yang lebih tahu, dan lebih banyak menghabiskan waktu be
"Baiklah, Intan. Aku akan datang sekarang, mungkin sebentar lagi, ini masih dalam perjalanan. Ok," jawabnya dari seberang telepon.Aku menyetujui ucapannya sambil menunggu dia datang. Duduk di tepi ranjang setelah memakai pakaian kembali dengan lengkap, Korean dress super seksi warna pink pastel, kutatap dan kuperhatikan wajah tampan Mas Arkan yang kini sedang terlelap karena pengaruh obat tidur yang dicampur dalam minumannya."Mas, maaf ya, jika perbuatanku ini sudah keterlaluan, tapi, kamu lebih keterlaluan lagi, dari aku." Ku usap pipi Mas Arkan, yang di tumbuhi bulu jambang dengan punggung ruas jemariku, "Setelah kamu bosan denganku, dan puas dengan tubuhku, kau campakkan aku, kau hianati aku, dan kau buat aku terluka, bukan hanya batinku yang tersiksa, tapi, aku nyaris gila karenamu," ucapku membungkukkan badan kemudian mencium bibirnya dengan lembut."Aku rela berbuat seperti ini, menjadi jalang untukmu, melayani dirimu di atas ranjang hingga kau ter
"Intan, Mas sangat rindu," ucapnya, saat aku masuk ke kamar hotel. Sepertinya dia sudah menungguku sejak beberapa saat yang lalu, Mas Arkan menyambut kedatanganku dengan senyuman yang merekah. "Aku juga rindu sama kamu, Mas," balasku sambil mendekat ke arahnya. Mas Arkan merangkulku dengan beringas dan menciumi bibir serta wajahku penuh nafsu. "Sabar, Mas!" ucapku menahan tubuhnya yang begitu rapat, seakan sudah tak sabar ingin menyatu dengan tubuhku. "Mas menunggumu dari setengah jam yang lalu, sayang. Rasanya waktu begitu lama, tiga puluh menit menunggu kedatanganmu, seperti tiga tahun lamanya," ucapnya lagi seraya menempelkan bibirnya di daun telingaku. "Oh, Mas. Maafkan aku, tadi sedikit ada kendala, taksi yang aku tumpangi mogok," balasku berbohong, aku sengaja mengulur waktu untuk menguji dia, apakah Mas Arkan bersedia menungguku, menunggu permainanku. Mas Arkan semakin merapatkan tubuhnya dengan tubuhku. Kakiku berjinjit, satu tanganku
Sepulang dari restoran, setelah makan siang bersama kak Novi, Kania juga mamanya. Aku merebahkan tubuh melintang di atas kasur kamarku, berbaring menghadap dinding, sambil menatap bingkai foto pernikahanku dengan Mas Anton, yang terletak di atas headboard ranjang, usia pernikahan kami baru seumur jagung. Namun, sudah kandas karena dusta dan pengkhianatan yang aku lakukan.Ada rasa penyesalan menelusup ke dalam relung hatiku, karena telah menyia-nyiakan orang yang sangat mencintaiku dengan setulus hati. Tapi, aku malah mengkhianatinya habis-habisan."Mas, aku baru menyadarinya, bahwa kamu lah lelaki yang terbaik dalam hidupku, yang pernah aku kenal, bukan Mas Arkan, lelaki yang tak bisa puas dengan satu wanita," gumamku, merenungi nasib yang sekarang ini, hidup menjanda dengan cara tidak terhormat. Ditalak karena perbuatanku, yang sudah menghancurkan rumah tanggaku sendiri, hanya karena ego dan nafsu."Jika ada kesempatan kedua, aku ingin kembali padamu, da
POV Intan.Hidupku kini merasa lebih baik, hubunganku dengan kak Novi juga sudah kembali seperti semula, tapi, aku merasa hampa. Sekarang Mas Arkan sudah menikah dengan orang lain, orang yang selama ini ku percaya dan sangat aku cintai, dia tega mencampakkanku begitu saja.Seperti janjiku pada Kania dan kak Novi, aku harus melupakan Mas Arkan, dan bangkit, memulai hidup yang baru, tapi aku ingin membalaskan rasa sakit hatiku pada Mas Arkan, entah bagaimana caranya? Nanti aku pikirkan, aku benar-benar merasa sakit hati dan tak terima dengan keputusan lelaki itu yang meninggalkan aku tanpa perasaan."Tan, kok melamun?" tanya kak Novi saat kami sedang makan siang di restoran, bersama Kania juga mamanya."Iya, Tan, dari tadi kami perhatikan kamu bengong, ada apa sih?" timpal Tante Rika mamanya Kania. Sekarang sikapnya lebih ramah padaku tak seperti waktu itu, mungkin karena kak Novi menanamkan modal di usahanya, dan dia mer
"Arkan, apa-apaan sih, kamu? Bisa-bisanya kau berbuat kasar, pada Novi!" hardik pak Broto seraya melepaskan cengkraman tangan Mas Arkan dari leherku. Aku terbatuk-batuk sambil mengusap leher yang terasa nyeri bekas cengkraman tangan mantan suamiku. "Yah, Novi benar-benar membuatku kesal! Dia menyalahkan aku, atas semua yang terjadi dalam hidupnya juga Intan," ucap Mas Arkan membela diri. Aku hanya terdiam di dekat tembok kamar Mas Arkan, seraya mengatur nafas yang masih terasa sesak. "Arkan, sadar! Apa yang sudah Novi katakan tentang kamu itu memang iya. Kelakukan kamu semakin kesini semakin tidak benar. Apa kamu sudah lupa dengan semua kesalahanmu? dulu kamu menggauli Intan di saat Novi sedang bertugas ke luar kota bersama Anton, kamu rusak rumah tangga adik iparmu, kamu runtuhkan rumah tanggamu sendiri. Dan sekarang kau buat jiwa Intan terguncang!" ucap pak Broto lugas, ia memang sangat tidak suka dengan kelakuan anak sulungnya.
"Jangan serakah, Arkan! Milik orang lain, ya, harus dikembalikan kepada yang berhak!" ucap pak Broto seraya bangkit dan berdiri di hadapan putranya."Ayah, selama ini aku yang kerja keras. Seenaknya saja kita harus memberikan setengah saham kepada Novi, berikut dengan laba. Yah, sudah cukup banyak, harta gono-gini yang aku berikan pada Novi juga," protes Mas Arkan tak terima dengan keputusan ayahnya, yang tak bisa di bantah."Terserah kamu, yang penting ayah kembalikan semua milik pak Bram, karena kamu sudah bukan suami Novi lagi. Jadi, kita hanya mengelola yang kita miliki saja," terang pak Broto tegas, kemudian ia kembali duduk. Mas Arkan mendengus kesal lalu ia pun duduk di sofa dengan gerakan kasar, tak jauh dari ibunya. Bu Aini hanya menggeleng melihat sikap Mas Arkan yang kekanak-kanakan."Tapi, Yah. Aku yang capek, aku juga yang kerja, kenapa harus Novi yang menikmati hasilnya?" sergah Mas Arkan bersikeras menunjuk jarinya ke arah dada.