"Jadi, dia punya saudara kembar?"Khadijah mengangguk tanda meyakinkan."Serius. Mereka kembar. Ya, kamu kurang percaya apa lagi sama aku? Kita kan sudah lama sahabatan.""Bukan tidak percaya, tapi kamu tahu dari mana, kalau dia itu sebenarnya punya saudara kembar?" tanyaku memastikan."Iya aku tahu lah. Aku kan punya tempat informasi yang bisa dipercaya."Aku terdiam sejenak dengan penuturan Khadijah. Apa benar? tapi kenapa aku begitu tidak yakin.Selama ini aku tidak pernah melihat saudara kembarnya, yang aku lihat hanya Rayhan saja. Lalu saudara kembarnya di mana?"Kenapa?" Aku terhenyak dari lamunan."Kamu belum yakin sama aku?""Ya, kalau mau jujur, sebenarnya aku belum yakin sih. Cuma aku akan tanya Rayhan dulu rumor itu benar atau tidak.""Ya terserah kamu saja sih, yang jelas aku sudah nyari-nyari informasi tentang dia, dan satu hal yang kamu harus tahu bahwa Rayhan itu punya
Hari-hari kulalui begitu sepi. Biasanya aku akan melihat wajah Sofia dari kejauhan. Namun, kali ini berbeda, sudah tidak ada lagi Sofia di sini.Tepat hari ini adalah hari ketiga. Aku di sini melanjutkan pendidikan serta melakukan pelatihan sebelum diberangkatkan ke Mesir. Peraturan di sini begitu ketat untuk dalam waktu beberapa lama kita tidak diperkenankan menggunakan ponsel kecuali hal-hal darurat. Apalagi hanya untuk sekedar mengirim surat.Surat yang sedang kugenggam ini sudah kubuat sejak hari pertama kali aku menginjakkan kaki di pondok pesantren ini. Namun, aku tidak tahu harus mengirimnya lewat siapa.Berbeda dengan dulu, aku begitu mudah untuk memberikannya pada Rayyan selalu kurir cinta kami."Kenapa melamun, Rayhan?" tanha Farhan salah satu Santri yang juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan."Aku bingung bagaimana cara mengirim surat ini.""Untuk siapa? Kekasihmu?" tanyanya sambil berdiri.
"Akhir-akhir ini aku perhatikan, kamu rajin menulis surat, Han. Buat siapa?" tanya Farhan.Aku yang sedang serius menuliskan bait demi bait puisi untuk Sofia, berhenti seketika. Segera kuselipkan kertas itu di belakangku. "Buat umi tentunya," jawabku seraya berusaha menetralisir jantung yang semakin kuat berpacu. Mata Farhan memincing. Sepertinya dia tidak mudah dikelabui. "Han, ada telpon loh. Kenapa harus surat? Aku jadi curiga, itu bukan untuk umi."Aku menggeleng tegas. "Kamu salah. Memang ini untuk umi."Farhan mengendikkan bahu. "Baiklah kalau kamu belum mau mengaku."Aku memilih diam. Farhan sepertinya mulai curiga. Bagaimana tidak, dalam satu minggu, aku terus mengirimkan surat meskipun balasan tak kunjung kuterima. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Sofia. Tidak mungkin Rayyan menahan surat itu. Aku sangat yakin, surat itu sampai padanya. "Kalau memang untuk pujaan hati, aku tidak akan membocorkan itu pada ustaz. Tenang saja. Rahasiamu pasti aman. Kamu sudah kenal aku
"Ray, bantu aku untuk mencari tahu semuanya ...."Hening. Tak ada jawaban dari Rayyan. Lama obrolan kami terjeda hingga kembali kupanggil namanya. "Ray ....""Eh, iya. Nanti aku cari tahu. Kamu tenang saja dan fokuslah pada ujian akhir."Setelah Rayyan meyakinkanku, aku kini bisa bernapas lega. Kututup sambungan telpon, pandanganku beralih pada Farhan. "Bagaimana?" tanya Farhan. "Rayyan juga tidak tahu. Tapi, dia berjanji akan mencari tahu semua ini."Farhan mengembuskan napas. Aku tahu, dia berusaha menyadarkanku untuk lebih baik berhenti saja. Namun, entah mengapa hati ini yakin bahwa Sofia adalah wanita yang telah ditakdirkan untukku. Kami kembali ke kelas. Di tengah jalan kami bertemu dengan Ustaz Hadid. "Bagaimana, sudah ketemu jawabannya?" tanya Ustaz Hadid yang sukses membuatku dan Farhan tercengang. "M-maksud Ustaz?" Ustaz Hadid tersenyum. Dia mengisyaratkan kami berdua untuk mengikuti langkahnya. Aku dan Farhan sama-sama terus saling bertanya dan berbisik tentang mak
Kupandangi langit yang tak berbintang malam ini. Entah sudah hari yang ke berapa, balasan suratku tak kunjung ada. Aku tidak tahu, apa yang terhadi sebenarnya.Pandanganku menunduk seketika. Sesak dan nyeri menjalar dari dalam dada. Baru mendengar kabar miring tentang perjodohannya saja sudah sesakit ini. Bagaimana nanti jika itu benar terjadi?Aku tidak tahu. Membayangkannya saja aku sudah tidak sanggup. Aku sangat mencintai Sofia. Komitmen yang pernah kuucapkan dulu tetap kupegang teguh. Meskipun aku tidak tahu, apa aku bisa mempertahankannya. "Han ...."Suara seseorang membuyarkan lamunanku. Saat kepala mendongak, senyum tipis tertangkap jelas mata ini. Segera aku berdiri saat tahu siapa yang tengah berdiri di hadapanku. "Ustaz.""Sedang apa kamu di sini?" tanyanya sambil mempersilahkanku untuk kembali duduk. Kini kamu duduk berdampingan memandang lurus ke depan. "Aku .... Aku hanya ingin mencari udara segar, Ustaz," jawabku berusaha menyembunyikan kegundahan hati ini.Ustaz
Tiga tahun berlalu. Tidak terasa waktu terus berputar. Selama berada di Negeri para Nabi ini, aku sengaja menyibukkan diri pada tugas-tugas kuliah. Tentang Sofia, bahkan aku audah terbiasa tanpa kabar darinya. Mungkin dia sudah menikah. "Sendiri aja?" tanya seseorang dengan suara lembut. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Sosok itu mendekat, berdiri tepat di sampingku. "Aku suka berdiri di sini. Pemandangannya begitu indah."Kuembuskan napas pelan. Kehadirannya begitu mengusik. "Rayhan ...."Aku menoleh bertepatan saat dia juga melakukan hal yang sama. Pandangan kami bertemu. Matanya begitu indah dengan senyum manis di wajahnya. Segera kuputus kontak kami. Sambil terus berucap kalimat istighfar berkali-kali di dalam hati."Aku masih menunggumu, Han."Kupejamkan mata kuat-kuat. Cobaan ini terus terjadi semenjak kedatanganku di negara ini. Dua tahun yang lalu, wanita yang sedang berdiri di sampingku mengungkapkan rasanya. Sesuatu yang tidak kusangka akan terjadi. Humairah-gad
'Aku akan tetap memperjuangkan Sofia.'Ucapan Rayhan terus berputar di dalam ingatanku. Begitu menyakitkan berada di posisi ini. Aku tahu bahwa akulah yang paling bersalah di sini. Menjadi pengkhianat untuk saudara kembarku sendiri dan pembohong besar di hadapan Sofia. Aku hanyalah seorang pengecut yang tidak mempunyai keberanian mencintai dia tanpa harus menjadi orang lain. Kini, aku sadar. Suatu saat nanti kebohongan ini akan terungkap. "Rayyan ...."Aku menoleh. Wanita itu kini ada di depanku."Iya, Sofia?""Kapan kamu datang menghadap sama Ayah?"Pertanyaan itu seperti petir di siang hari. Bagaimana aku bisa melakukannya sedangkan Rayhan sudah sepakat untuk memperjuangkan cintanya. Aku dilanda dilema yang luar biasa. Aku seolah sedang dihadapkan pada pilihan yang cukup sulit. Bak kata pepatah lama, 'Bagai buah simalakama.'"Rayyan, bagaimana?" tanyanya kembali yang sukses mengembalikan lamunanku. "Ah, iya. Insya Allah.""Kapan?" tanyanya lagi. Kali ini wajahnya sedikit ditek
"Bagaimana?" tanya Farhan saat aku sedang duduk di pinggiran ranjang. Hari ini kami libur dan memilih bersantai di rumah. Beda dengan yang lain, mereka memilih keluar sekedar untuk jalan-jalan. "Aku sudah sampaikan sama Rayyan kalau aku akan memperjuangkan Sofia." Farhan terdengar mengembuskan napas berat. Dia lalu mengukir senyum meskipun itu terpaksa. "Baiklah, kalau itu adalah keputusanmu. Meskipun nantinya kamu akan kecewa, sebagai sahabat yang baik, aku tidak akan meninggalkan kamu." Aku tersenyum lebar begitu mendengar apa yang dikatakan oleh Farhan. Dia memamg sahabat terbaikku. Suka ataupun duka dia tetap ada. "Tapi, ada satu hal yang ingin kusampaikan," ucap Farhan dengan ekspresi serius. "Apa?" "Ada rumor yang kudengar bahwa saat ini Sofia dekat dengan seseorang." "Lalu?" "Kamu tahu itu siapa?" tanyanya." Dia menepuk pundakku tiga kali. Hal ini membuatku sedikit bingung. "Dia Rayyan. Adikmu." Tubuhku mendadak kaku mendengar apa yang dikatakan oleh Farhan. Te
"Alhamdulillah ya, Allah," pekik Azizah saat dua garis merah tampak di depan matanya. Tubuhnya langsung bersujud dan terus menyebut asma' Allah. Air matanya luruh. Azizah terisak di dalam sujudnya. Penantiannya selama ini terjawab. Allah masih memberinya kepercayaan untuk dititipkan amanah. "Mas Rayyan harus tahu."Azizah bergegas keluar dari kamar. Langkahnya dipercepat. Air mata tak berhenti mengalir dari mata indahnya. Beberapa santriwati yang kebetulan lewat di sana sedikit heran dengan sikap Ustazahnya kali ini. "Mas, lihat Mas Rayyan?"Rayhan yang baru saja selesai mengajar di kelas berhenti sejenak."Sepertinya masih di kantor. Kenapa, Zah?""Aku harus bertemu dengan dia, Mas.""Ada yang mencoba menyakitimu? Bilang sama Mas."Azizah menggeleng. Rayhan tak mengerti karena melihat mata Azizah yang terus mengkristal. "Aku ingin memberi dia kejutan.""Ya sudah, kamu tunggu dia di rumah, biar Mas yang panggilkan dia ya?" bujuk Rayhan.Azizah mengangguk antusias. Dia kemudian b
"Menghadiri undangan itu wajib selama tidak ada halangan syar'i, Dek.""Tapi, Mas ....""Kamu tenang saja. Atau kamu juga mau ikut?"Sofia terdiam. Dia merasa ragu. Namun, atas penjelasan Rayhan akhirnya dia memilih ikut. Sepanjang jalan Sofia memilih diam. Farhan terus berusaha mencairkan suasana dengan bermain bersama Fatih. Perjalanan tiga puluh menit mereka tempuh hingga tampak terlihat janur kuning melengkung. Farhan turun, menyusul Rayhan dan keluarga kecilnya. Mereka memasuki ruangan. Rupanya keluarga calon mempelai pria belum tiba. "Belum tiba, Han.""Biar saja. Kita di sini menunggu."Tiba-tiba datang sosok yang mereka kenal. Ustaz Afwan."Assalamu'alaikum, Rayhan, Farhan."Keduanya mendekat dan mencium punggung tangan gurunya yang sangat mereka hormati. Ustaz Afwan tersenyum lebar dan memeluk satu per satu muridnya. Rasa rindu bertahun-tahun akhirnya terobati. "Apa kabar, Ustaz?""Alhamdulillah, baik. Kalian bagaimana?""Alhamdulillah, Ustaz."Matanya beralih pada dua
Humairah menutup pintu kamarnya. Pertemuan hari ini begitu mengejutkan. Bagaimana tidak, orang yang tak sengaja dia temui di mesjid setelah dipatahkan oleh keadaan adalah sosok laki-laki yang sudah lama dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Dia tidak memungkiri bahwa sikapnya persis dengan sikap Rayhan. Dia mampu memberikan kesejukan saat hatinya rapuh. Bahkan patah. "Ya, Allah, apakah dia jodohku?"Humairah berjalan ke sisian ranjang kemudian mendudukkan dirinya. Disentuhnya dada kiri yang sejak tadi tiba bisa ditahan untuk tidak mengeluarkan detaknya yang tak berirama. Humairah tersenyum tipis. Melihat tatapan teduh dari Hadid membuatnya merasa nyaman. "Astaghfirullah."Humairah buru-buru berdoa agar dijaga hatinya. Suara pintu diketuk. Rupanya ada Umi Hilda. "Sibuk, Nak?""Tidak, Umi."Umi Hilda tersenyum dan duduk di sebelah putrinya. "Bagaimana pendapatmu tentang Hadid?"Humairah menunduk dalam. Kedua jari telunjuknya memilin ujung jilbabnya. "Apa kamu setuju?""Insya Allah,
"Kamu di mana, Nak? Abi ingin bicara penting.""Lagi di mesjid, Bi. Humairah segera ke sana."Humairah menyeka air matanya setelah panggilan terputus. Baru saja ingin mengucapkan terima kasih, sosok laki-laki yang berdiri di sampingnya menghilang. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sosok tadi untuk mengembalikan sisa tisu yang dipakainya, namun orangnya tak kunjung ada. Jarum jam menunjukkan jam dua siang. Humairah memutuskan untuk meninggalkan area mesjid untuk menemui orang tuanya. "Ya Allah, kuatkan hamba."***"Kamu dari mana saja, Mai? Keluarga Ustaz Hilal datang bertamu.""Aku .... Berkunjung ke rumah Rayhan, Bi."Ustaz Hasan mengembuskan napas berat. Usianya sudah kepala tiga namun sampai saat ini putrinya masih menutup diri. Alasannya tetap sama. Masih belum bisa melupakan sosok Rayhan. "Sampai kapan kamu akan terus berharap pada dia, Nak? Ingat, umi sama abi sudah tua. Kami juga ingin melihat kamu bahagia dan hidup bersama dengan orang yang tepat.""Tapi, ti
"Ya, aku sudah menemukan jawabannya tanpa perlu mencari tahu. Mba lupa? wanita baik-baik tidak akan menyakiti sesama wanita. Wanita baik-baik itu berkelas, bukan merendahkan dirinya untuk merebut lelaki yang sudah beristri!"Sebuah tamparan keras dilontarkan Sofia pada Humairah yang sontak membuat mereka tercengang. Bagaimana tidak, mereka tidak menyangka Sofia akan mengatakan hal itu.Azizah tersenyum sumringah. Di dalam hatinya dia bersorak dan memuji keberanian Sofia."Justru aku wanita baik-baik, makanya aku pun memintanya baik-baik," sanggah Humairah. "Aku tidak akan memintamu untuk merasakan posisiku saat ini. Tapi, sebagai wanita cerdas lulusan universitas ternama dunia, tentu Mbak Humairah sudah tahu jawabannya tanpa harus berada di posisiku."Lagi dan lagi Sofia menekan posisi Humairah saat ini. "Lagi pula, aku tidak yakin, Mbak Humairah bisa ada di posisiku. Jadi, pintu ada sebelah sana. Silahkan, Mbak!"Humairah geram dengan sikap Sofia. Secara tidak langsung dia telah m
"Eum, itu bagi Rayhan tapi bagiku, kami lebih dari teman," jawabnya seraya mengukir senyum."Jangan memancing keadaan, Humairah. Nyatanya kita hanya teman biasa," tegur Farhan yang tiba-tiba muncul dari aeah belakang."Ada perlu apa ke sini?" tanya Rayhan."Aku ingin ketemu kamu," jawab Humairah santai. Rayhan mendengus kesal. Sofia dan Azizah sama-sama menyimak pembicaraan mereka. Keduanya sama-sama tidak suka dengan kehadiran Humairah. Farhan yang mengerti suasana hati Sofia merasa tidak enak dengan situasi yang terjadi saat ini. "Humairah, memang dulu kita berteman, tapi kamu harus tahu batasan.""Batasan?"Farhan menyenggol lengan Rayhan. Dia memberi kode untuk peka dengan raut wajah istrinya. Rayhan menangkap maksud dari Farhan. Dia kemudian merangkul Sofia dengan hangat. "Oh iya, aku sampai lupa. Ini istriku, namanya Sofia."Humairah terpaku sejenak melihat sosok wanita cantik yang ada di depannya. Di dalam hatinya dia merasa kalah. Pantas saja Rayhan dulu menolak mentah-m
"Azizah, bangun, Nak. Hari sudah sore.""Maaf, Nek, aku ketiduran.""Tidak apa-apa. Adzan Ashar sudah dikumandangkan. Segeralah shalat!""Baik, Nek."Azizah kemudian pamit untuk melaksanakan empat rakaat sebentar. Dia kemudian berjalan menuju ke ruang belakang. Sofia yang sedang membersihkan dapur bersama beberapa santri menghampiri Azizah. "Baru bangun, Za?""Iya, Mbak. Dibangunkan sama nenek.""Oh iya, Mbak, aku ingin shalat di sini. Rasanya aneh kalau meninggalkan nenek begitu saja."Sofia tersenyum kemudian menunjukkan di mana dia harus mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajibannya. Setelah selesai berwudhu, Sofia menyerahkan mukenah dan sajadah miliknya kemudian menyusul Nyai Zikra."Nek, sudah shalat?" tanya Sofia sembari merapikan selimut Nyai Zikra. "Sudah."Entah kenapa Sofia merasa suara Nyai Zikra semakin melemah. Tatapan matanya juga semakin redup. Hatinya mulai gelisah. "Sofia, tolong panggilkan Mertua dan suamimu, Nak."Tanpa berpikir panjang lagi, Sofia segera
"Alhamdulillah, Allah kembali mempercayakan kalian untuk menjaga amanah-Nya.""Iya, Nek. Insya Allah, Sofia akan menjaga titipan-Nya dengan baik."Nyai Zikra dan Sofia sedang duduk bersama. Saat ini kondisi Nyai Zikra juga semakin menurun. Semenjak kematian Kiyai Jalal, Sofia dan Rayhan memilih tinggal bersama Nyai Zikra. Mereka tidak ingin Nyai Zikra merasa sendiri. "Bagaimana kondisi kamu hari ini?""Hanya sering mual dan muntah, Nek.""Masya Allah, kamu tidak boleh mengeluh ya. Di balik senua itu pahala terus mengalir.""Insya Allah, Nek."Sofia terus memijit kaki Nyai Zikra-neneknya-. Sofia memang sangat menyayanginya dan begitu pun sebaliknya. Terlebih Sofia lebih dekat dengannya dibanding Azizah.Sofia sejak dulu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nyai Zikra. Tentu saja itu membuat Nyai Zikra merasa senang karena kehadiran Sofia menghilangkan sepi. "Bagiamana dengan Azizah?"Sofia terdiam. Tentu saja dia merasa bingung harus menjawab seperti apa. "Apa dia sudah hamil?"
Satu tahun berlalu ....."Mas, aku ada kejutan," bisik Sofia di telinga Rayhan.Rayhan yang mempersiapkan diri menuju kelas untuk mengajar berhenti sejenak dari aktivitasnya. Sofia tersenyum melihat kebingungan Rayhan."Apa, Sayang?""Coba Mas tebak!" ucapnya dengan senyum merekah."Eum, Ayah dan Bunda mau datang?" tebak Rayhan. Sofia menggeleng. "Fatih sebentar lagi masuk sekolah TK?" Lagi lagi Sofia menggeleng."Mas nyerah, Dek."Sofia menyerahkan benda yang sejak tadi sengaja disembunyikan di belakangnya. Alis Rayhan mengerut. Namun, saat dia mengetahui alat itu, jantungnya berdetak dengan cepat. Dua garis merah tampak nyata di depan matanya. Tangannya gemetar."Ini .... Serius?" Sofia mengangguk. "Alhamdulillah ...."Tubuhnya melutuh ke lantai dan sujud syukur atas apa yang telah dihadiahkan Tuhan padanya. Bahunya bergetar. Isak tangis mulai terdengar. Lisannya tak berhenti mengucapkan rasa syukur yang tidak terkira.Sofia ikut duduk di samping Rayhan sembari mengelus punggu