"Kamu kenapa, Nak?" tanya Bunda Halimah saat melihatku sedang duduk termenung di dekat jendela. Sofia mengukir senyum terpaksa. Dia tidak ingin bunda Halimah khawatir melihatnya seperti ini. "Sofia baik-baik saja, Bunda."Tangan halusnya membelai kepala putrinya yang terbalut kain panjang dengan lembut. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?""Ah, tidak ada, Bunda," jawab Sofia berusaha menyembunyikan raut penuh kekhawatiran. "Baiklah kalau kamu tidak ingin berbagi cerota dengan bunda. Semoga kamu bisa dewasa menghadapinya."Sofia mengangguk seraya memeluk tubuh ibunya. Hal yang paling sering ia lakukan. Selepas perginya bunda Halimah, kembali Sofia merenungi kisah cintanya. Sudah beberapa hari ini Rayyan terlihat menjauh darinya. Dia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tangannya bergerak cepat kemudian memutuskan untuk menghubungi Rayyan. "Assalamualaikum, Sofia.""Waalaikumussalam.""Ada apa?"Matanya mulai berembun kala mendengar suara dari Rayyan. Dia sangat merindukan lelak
"Kamu di mana, Nak?" tanya Ustaz Afwan melalui sambungan telpon. "Lagi di kampus, Ustaz. Baru saja selesai."Ustaz Afwan tersenyum. Sejak dulu dia bwgitu mengangi kepribadian Rayhan. Sosok anak laki-laki yang bertanggungjawab, rajin, sholeh dan tentu saja dia idaman para santri dulu. "Hari ini kamu sibuk?""Tidak, Ustaz. Hari ini Syekh Ahmad sedang perjalanan ke Tarim menemui sahabatnya.""Baiklah. Kalau begitu saya tunggu kamu di rumah ya, Nak. Nanti saya kirim alamatnya."Rayhan menoleh ke sahabatnya. Dia hendak meminta pendapat. Farhan yang tidak tahu apa yang sedang terjadi mengangguk begitu saja."Baik, Ustaz.""Terimakasih, Nak. Saya tunggu di rumah."Rayhan menutup sambungan telpon dengan perasaan gundah. Dia sangat mengenal Ustaz Afwan. Tidak sembarang orang yang bisa bertemu dengannya. Jika ada sesuatu yang serius untuk dibahas, Ustaz Afwan akan mengundang orang tersebut ke rumahnya. Farhan yang tidak mengerti apa-apa terus berjalan tanpa sadar bahwa Rayhan tertinggal jau
"Bagaimana, Nak?"Selepas kepulangan Rayhan dan Farhan, Ustaz Afwan mendatangi keponakannya yang sejak tadi bersembunyi di balik tirai.Wajahnya berubah menjadi merah merona. Jantungnya berdetak lebih kencang dan desiran halus mulai terasa memenuhi rongga dadanya. "Dia murid paman yang kuceritakan kemarin. Kalau menurut laman pribadi, dia cocok sebagai pendampingmu kelak."Wanita itu tersenyum malu. Dia sengaja menunduk agar pamannya tidak melihat perubahan wajahnya saat ini. "Seperti yang paman katakan, dia memang pemuda yang baik.""Alhamdulillah.""Dia .... memang cocok menjadi pendamping hidup. Wanita siapapun tidak akan menolaknya, Paman.""Paman, Mas Rayhan itu adalah cinta pertama Mbak Humairah."Mata Humairah melebar sempurna. Adiknya Zoya justru membocorkan rahasia itu pada pamannya. Ustaz Afwan mengernyitkan keningnya. Humairah menunduk dalam. Dia saat ini sangat ketakutan. "Apa itu benar, Humairah?"Humairah menggigit bibirnya. Kedua jari telunjuknya saling bertaut. Tub
"Kamu saja yang mengetuk pintu, Zoya!" bisik Humairah. Saat ini dia begitu gugup."Baiklah. Mbak terlalu penakut," cibir Zoya."Assalamu'alaikum."Tiga kali ketukan namun tidak ada jawaban. Kembali Zoya mengetuk pintu lebih keras lagi. "Wa'alaikumussalam."Ustaz Hanan membuka pintu. Dia tampak baru bangun. Zoya dan Humairah dipersilahkan masuk. Mereka kemudian duduk di ruang tamu. "Paman ke mana, Ustaz?" tanya Zoya."Mas Afwan masih di luar.""Apa masih lama, Ustaz?" tanya Humairah. "Saya tidak bisa memastikan. Kalian tunggu saja di sini."Zoya dan Humairah memilih menunggu. Perjalanan dari kampus ke flat Pamannya memang tidak begitu jauh, hanya saja cuaca hari ini begitu terik. Zoya sibuk membuka lembaran koran yang sedang tergeletak di meja sedangkan Humairah sibuk dengan pikirannya. Waktu terus berputar hingga pintu diketuk dari luar. Ustaz Hanan yang sejak tadi berada di ruang tengah bangkit kemudian membuka pintu. "Cuaca hari ini begitu panas. Kegiatan juga sangat padat,"
Malam berlalu begitu cepat, akan tetapi bagi Rayhan semua terasa lama. Semenjak kepulangannya dari flat Ustaz Afwan, tidak ada sedikitpun gairah semangat yang dia rasakan. Semuanya terasa begitu berat dilaluinya. Seperti pagi ini, harusnya dia ada jadwal untuk bertemu dengan Syeikh Ahmed, namun kakinya terasa berat untuk melangkah pergi."Kamu tidak jadi ikut?" tanya Farhan saat tengah bersiap-siap bersama dengan kedua temannya. "Ikut," jawab Rayhan datar. "Kalau kamu jadi ikut, kenapa masih duduk di situ? Jangan terlalu lama melamun, Han, ini sudah jam berapa?"Rayhan masih terdiam di tempat. Farhan yang melihat sikap temannya itu mulai kesal. "Han, ayo siap-siap. Kami tunggu."Rayhan dengan langkah berat menuju kamar mandi. Di dalam dia masih merenungi tentang permintaan Sang guru. Hatinya berkecamuk. Dia dilema berat. Menuruti kata hatinya atau titah Sang guru. *Lima brlas menit berlalu, mereka tengah bersiap-siap menuju ke Masjid Al-Azhar di mana Syeikh Ahmed biasa menungg
"Farhan, Ustaz Afwan ..... menelpon.""Angkat saja. Mungkin ada hal penting yang ingin beliau sampaikan.""Tidak. Ini pasti soal kemarin.""Jangan selalu menduga-duga. Angkat saja.""Tapi—""Kalaupun Ustaz Afwan membahas hal yang kemarin, mau tidak mau kamu harus menghadapinya."Rayhan ragu untuk mengangkat telpon dari gurunya. Keringat dingin mulai keluar dari pori-porinya. Farhan terus meyakinkan sahabatnya untuk segera mengangkat panggilan itu. Kugeser ikon berwarna hijau lalu mengaktifkan speakernya. "Assalamu'alaikum, Ustaz.""Wa'alaikumussalam. Hari ini kamu sibuk?""Hari ini saya ada jadwal bertemu dengan Syeikh Husein, Ustaz.""Hm, kalau begitu, kapan kamu ada jadwal kosong?"Rayhan melirik ke arah Farhan. Dia kemudian menuliskan sesuatu di kertas.JAWAB SAJA APA ADANYA!"B-besok lusa, Ustaz.""Baiklah kalau begitu. Besok lusa saya ingin bertemu."Farhan mengangguk seolah mengerti kegundahan Rayhan."Baik, Ustaz.""Untuk lokasinya, besok saya kabari ya?""Baik, Ustaz."Rayh
Rayhan dan Farhan pulang dengan perasaan lega. Dia tidak menyangka, Ustaz Afwan justru mendukung keputusannya. "Masalah sudah selesai. Alhamdulillah," seru Farhan. Rayhan masih terdiam. Dia masih tidak menyangka bahwa Humairah adalah keponakan dari Ustaz Afwan. "Tapi, masih ada satu masalah lagi," lirih Rayhan."Apa?""Aku takut, Sofia justru mengkhianati perjuanganku."Farhan berhenti sejenak. Dia meyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. "Itu perkara mudah. Jangan mengandalkan Rayyan saja. Kamu lupa, ada adikku yang sedang mondok di sana.""Adikmu?"Farhan mengangguk mantap. "Dia sudah kelas tiga. Dia bisa mencari tahu dan mendapatkan informasi yang akurat.""Rayhan mengerutkan keningnya. "Bagaimana caranya?""Aku juga tidak tahu. Asal kamu mengijinkan adikku untuk mencari tahu, informasi yabg akurat bisa segera kamu dapatkan."Mata Rayhan berbinar. Senyum merekah di wajahnya. Rayhan merasa seolah mendapatkan angin segar. Ternyata Allah masih memberinya kesempatan."Tentu s
"Apa yang kamu lakukan, Humairah?!"Teriakan Rayhan tentu saja memancing perhatian beberapa mahasiswa yang sedang berada di asrama. Beberapa di antaranya mulai mendekat kala melihat Rayhan membentak Humairah. Sorot mata Rayhan tajam. Tangannya mengepal kuat. Humairah bukannya takut, justru memanfaatkan situasi sekarang. "Harusnya aku yang bertanya. Apa yang ingin kamu lakukan? Kamu mengajakku ke sini. Katamu di sini sedang sepi. Apa buktinya? Kamu justru mempermalukan aku!"Mata Rayhan membulat sempurna. Bisikan dari beberapa mahasiswa mulai terdengar. Di antara mereka tidak menyangka Rayhan yang terkenal sangat membatasi diri dengan wanita bisa berbuat demikian. Beberapa di antaranya juga tidak mempercayai penuturan Humairah. "Jangan mencoba menfitnahku, Humairah. Kamu tahu kan konsekuensinya?" desis Rayhan. Dia sedang menahan diri agar tidak terpancing. Humairah tersenyum sinis. "Fitnah katamu? Aku wanita terhormat, tidak mungkin aku menjatuhkan harga diriku di sini. Kamu kena
"Alhamdulillah ya, Allah," pekik Azizah saat dua garis merah tampak di depan matanya. Tubuhnya langsung bersujud dan terus menyebut asma' Allah. Air matanya luruh. Azizah terisak di dalam sujudnya. Penantiannya selama ini terjawab. Allah masih memberinya kepercayaan untuk dititipkan amanah. "Mas Rayyan harus tahu."Azizah bergegas keluar dari kamar. Langkahnya dipercepat. Air mata tak berhenti mengalir dari mata indahnya. Beberapa santriwati yang kebetulan lewat di sana sedikit heran dengan sikap Ustazahnya kali ini. "Mas, lihat Mas Rayyan?"Rayhan yang baru saja selesai mengajar di kelas berhenti sejenak."Sepertinya masih di kantor. Kenapa, Zah?""Aku harus bertemu dengan dia, Mas.""Ada yang mencoba menyakitimu? Bilang sama Mas."Azizah menggeleng. Rayhan tak mengerti karena melihat mata Azizah yang terus mengkristal. "Aku ingin memberi dia kejutan.""Ya sudah, kamu tunggu dia di rumah, biar Mas yang panggilkan dia ya?" bujuk Rayhan.Azizah mengangguk antusias. Dia kemudian b
"Menghadiri undangan itu wajib selama tidak ada halangan syar'i, Dek.""Tapi, Mas ....""Kamu tenang saja. Atau kamu juga mau ikut?"Sofia terdiam. Dia merasa ragu. Namun, atas penjelasan Rayhan akhirnya dia memilih ikut. Sepanjang jalan Sofia memilih diam. Farhan terus berusaha mencairkan suasana dengan bermain bersama Fatih. Perjalanan tiga puluh menit mereka tempuh hingga tampak terlihat janur kuning melengkung. Farhan turun, menyusul Rayhan dan keluarga kecilnya. Mereka memasuki ruangan. Rupanya keluarga calon mempelai pria belum tiba. "Belum tiba, Han.""Biar saja. Kita di sini menunggu."Tiba-tiba datang sosok yang mereka kenal. Ustaz Afwan."Assalamu'alaikum, Rayhan, Farhan."Keduanya mendekat dan mencium punggung tangan gurunya yang sangat mereka hormati. Ustaz Afwan tersenyum lebar dan memeluk satu per satu muridnya. Rasa rindu bertahun-tahun akhirnya terobati. "Apa kabar, Ustaz?""Alhamdulillah, baik. Kalian bagaimana?""Alhamdulillah, Ustaz."Matanya beralih pada dua
Humairah menutup pintu kamarnya. Pertemuan hari ini begitu mengejutkan. Bagaimana tidak, orang yang tak sengaja dia temui di mesjid setelah dipatahkan oleh keadaan adalah sosok laki-laki yang sudah lama dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Dia tidak memungkiri bahwa sikapnya persis dengan sikap Rayhan. Dia mampu memberikan kesejukan saat hatinya rapuh. Bahkan patah. "Ya, Allah, apakah dia jodohku?"Humairah berjalan ke sisian ranjang kemudian mendudukkan dirinya. Disentuhnya dada kiri yang sejak tadi tiba bisa ditahan untuk tidak mengeluarkan detaknya yang tak berirama. Humairah tersenyum tipis. Melihat tatapan teduh dari Hadid membuatnya merasa nyaman. "Astaghfirullah."Humairah buru-buru berdoa agar dijaga hatinya. Suara pintu diketuk. Rupanya ada Umi Hilda. "Sibuk, Nak?""Tidak, Umi."Umi Hilda tersenyum dan duduk di sebelah putrinya. "Bagaimana pendapatmu tentang Hadid?"Humairah menunduk dalam. Kedua jari telunjuknya memilin ujung jilbabnya. "Apa kamu setuju?""Insya Allah,
"Kamu di mana, Nak? Abi ingin bicara penting.""Lagi di mesjid, Bi. Humairah segera ke sana."Humairah menyeka air matanya setelah panggilan terputus. Baru saja ingin mengucapkan terima kasih, sosok laki-laki yang berdiri di sampingnya menghilang. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sosok tadi untuk mengembalikan sisa tisu yang dipakainya, namun orangnya tak kunjung ada. Jarum jam menunjukkan jam dua siang. Humairah memutuskan untuk meninggalkan area mesjid untuk menemui orang tuanya. "Ya Allah, kuatkan hamba."***"Kamu dari mana saja, Mai? Keluarga Ustaz Hilal datang bertamu.""Aku .... Berkunjung ke rumah Rayhan, Bi."Ustaz Hasan mengembuskan napas berat. Usianya sudah kepala tiga namun sampai saat ini putrinya masih menutup diri. Alasannya tetap sama. Masih belum bisa melupakan sosok Rayhan. "Sampai kapan kamu akan terus berharap pada dia, Nak? Ingat, umi sama abi sudah tua. Kami juga ingin melihat kamu bahagia dan hidup bersama dengan orang yang tepat.""Tapi, ti
"Ya, aku sudah menemukan jawabannya tanpa perlu mencari tahu. Mba lupa? wanita baik-baik tidak akan menyakiti sesama wanita. Wanita baik-baik itu berkelas, bukan merendahkan dirinya untuk merebut lelaki yang sudah beristri!"Sebuah tamparan keras dilontarkan Sofia pada Humairah yang sontak membuat mereka tercengang. Bagaimana tidak, mereka tidak menyangka Sofia akan mengatakan hal itu.Azizah tersenyum sumringah. Di dalam hatinya dia bersorak dan memuji keberanian Sofia."Justru aku wanita baik-baik, makanya aku pun memintanya baik-baik," sanggah Humairah. "Aku tidak akan memintamu untuk merasakan posisiku saat ini. Tapi, sebagai wanita cerdas lulusan universitas ternama dunia, tentu Mbak Humairah sudah tahu jawabannya tanpa harus berada di posisiku."Lagi dan lagi Sofia menekan posisi Humairah saat ini. "Lagi pula, aku tidak yakin, Mbak Humairah bisa ada di posisiku. Jadi, pintu ada sebelah sana. Silahkan, Mbak!"Humairah geram dengan sikap Sofia. Secara tidak langsung dia telah m
"Eum, itu bagi Rayhan tapi bagiku, kami lebih dari teman," jawabnya seraya mengukir senyum."Jangan memancing keadaan, Humairah. Nyatanya kita hanya teman biasa," tegur Farhan yang tiba-tiba muncul dari aeah belakang."Ada perlu apa ke sini?" tanya Rayhan."Aku ingin ketemu kamu," jawab Humairah santai. Rayhan mendengus kesal. Sofia dan Azizah sama-sama menyimak pembicaraan mereka. Keduanya sama-sama tidak suka dengan kehadiran Humairah. Farhan yang mengerti suasana hati Sofia merasa tidak enak dengan situasi yang terjadi saat ini. "Humairah, memang dulu kita berteman, tapi kamu harus tahu batasan.""Batasan?"Farhan menyenggol lengan Rayhan. Dia memberi kode untuk peka dengan raut wajah istrinya. Rayhan menangkap maksud dari Farhan. Dia kemudian merangkul Sofia dengan hangat. "Oh iya, aku sampai lupa. Ini istriku, namanya Sofia."Humairah terpaku sejenak melihat sosok wanita cantik yang ada di depannya. Di dalam hatinya dia merasa kalah. Pantas saja Rayhan dulu menolak mentah-m
"Azizah, bangun, Nak. Hari sudah sore.""Maaf, Nek, aku ketiduran.""Tidak apa-apa. Adzan Ashar sudah dikumandangkan. Segeralah shalat!""Baik, Nek."Azizah kemudian pamit untuk melaksanakan empat rakaat sebentar. Dia kemudian berjalan menuju ke ruang belakang. Sofia yang sedang membersihkan dapur bersama beberapa santri menghampiri Azizah. "Baru bangun, Za?""Iya, Mbak. Dibangunkan sama nenek.""Oh iya, Mbak, aku ingin shalat di sini. Rasanya aneh kalau meninggalkan nenek begitu saja."Sofia tersenyum kemudian menunjukkan di mana dia harus mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajibannya. Setelah selesai berwudhu, Sofia menyerahkan mukenah dan sajadah miliknya kemudian menyusul Nyai Zikra."Nek, sudah shalat?" tanya Sofia sembari merapikan selimut Nyai Zikra. "Sudah."Entah kenapa Sofia merasa suara Nyai Zikra semakin melemah. Tatapan matanya juga semakin redup. Hatinya mulai gelisah. "Sofia, tolong panggilkan Mertua dan suamimu, Nak."Tanpa berpikir panjang lagi, Sofia segera
"Alhamdulillah, Allah kembali mempercayakan kalian untuk menjaga amanah-Nya.""Iya, Nek. Insya Allah, Sofia akan menjaga titipan-Nya dengan baik."Nyai Zikra dan Sofia sedang duduk bersama. Saat ini kondisi Nyai Zikra juga semakin menurun. Semenjak kematian Kiyai Jalal, Sofia dan Rayhan memilih tinggal bersama Nyai Zikra. Mereka tidak ingin Nyai Zikra merasa sendiri. "Bagaimana kondisi kamu hari ini?""Hanya sering mual dan muntah, Nek.""Masya Allah, kamu tidak boleh mengeluh ya. Di balik senua itu pahala terus mengalir.""Insya Allah, Nek."Sofia terus memijit kaki Nyai Zikra-neneknya-. Sofia memang sangat menyayanginya dan begitu pun sebaliknya. Terlebih Sofia lebih dekat dengannya dibanding Azizah.Sofia sejak dulu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nyai Zikra. Tentu saja itu membuat Nyai Zikra merasa senang karena kehadiran Sofia menghilangkan sepi. "Bagiamana dengan Azizah?"Sofia terdiam. Tentu saja dia merasa bingung harus menjawab seperti apa. "Apa dia sudah hamil?"
Satu tahun berlalu ....."Mas, aku ada kejutan," bisik Sofia di telinga Rayhan.Rayhan yang mempersiapkan diri menuju kelas untuk mengajar berhenti sejenak dari aktivitasnya. Sofia tersenyum melihat kebingungan Rayhan."Apa, Sayang?""Coba Mas tebak!" ucapnya dengan senyum merekah."Eum, Ayah dan Bunda mau datang?" tebak Rayhan. Sofia menggeleng. "Fatih sebentar lagi masuk sekolah TK?" Lagi lagi Sofia menggeleng."Mas nyerah, Dek."Sofia menyerahkan benda yang sejak tadi sengaja disembunyikan di belakangnya. Alis Rayhan mengerut. Namun, saat dia mengetahui alat itu, jantungnya berdetak dengan cepat. Dua garis merah tampak nyata di depan matanya. Tangannya gemetar."Ini .... Serius?" Sofia mengangguk. "Alhamdulillah ...."Tubuhnya melutuh ke lantai dan sujud syukur atas apa yang telah dihadiahkan Tuhan padanya. Bahunya bergetar. Isak tangis mulai terdengar. Lisannya tak berhenti mengucapkan rasa syukur yang tidak terkira.Sofia ikut duduk di samping Rayhan sembari mengelus punggu