Tiga tahun berlalu. Tidak terasa waktu terus berputar. Selama berada di Negeri para Nabi ini, aku sengaja menyibukkan diri pada tugas-tugas kuliah. Tentang Sofia, bahkan aku audah terbiasa tanpa kabar darinya. Mungkin dia sudah menikah. "Sendiri aja?" tanya seseorang dengan suara lembut. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Sosok itu mendekat, berdiri tepat di sampingku. "Aku suka berdiri di sini. Pemandangannya begitu indah."Kuembuskan napas pelan. Kehadirannya begitu mengusik. "Rayhan ...."Aku menoleh bertepatan saat dia juga melakukan hal yang sama. Pandangan kami bertemu. Matanya begitu indah dengan senyum manis di wajahnya. Segera kuputus kontak kami. Sambil terus berucap kalimat istighfar berkali-kali di dalam hati."Aku masih menunggumu, Han."Kupejamkan mata kuat-kuat. Cobaan ini terus terjadi semenjak kedatanganku di negara ini. Dua tahun yang lalu, wanita yang sedang berdiri di sampingku mengungkapkan rasanya. Sesuatu yang tidak kusangka akan terjadi. Humairah-gad
'Aku akan tetap memperjuangkan Sofia.'Ucapan Rayhan terus berputar di dalam ingatanku. Begitu menyakitkan berada di posisi ini. Aku tahu bahwa akulah yang paling bersalah di sini. Menjadi pengkhianat untuk saudara kembarku sendiri dan pembohong besar di hadapan Sofia. Aku hanyalah seorang pengecut yang tidak mempunyai keberanian mencintai dia tanpa harus menjadi orang lain. Kini, aku sadar. Suatu saat nanti kebohongan ini akan terungkap. "Rayyan ...."Aku menoleh. Wanita itu kini ada di depanku."Iya, Sofia?""Kapan kamu datang menghadap sama Ayah?"Pertanyaan itu seperti petir di siang hari. Bagaimana aku bisa melakukannya sedangkan Rayhan sudah sepakat untuk memperjuangkan cintanya. Aku dilanda dilema yang luar biasa. Aku seolah sedang dihadapkan pada pilihan yang cukup sulit. Bak kata pepatah lama, 'Bagai buah simalakama.'"Rayyan, bagaimana?" tanyanya kembali yang sukses mengembalikan lamunanku. "Ah, iya. Insya Allah.""Kapan?" tanyanya lagi. Kali ini wajahnya sedikit ditek
"Bagaimana?" tanya Farhan saat aku sedang duduk di pinggiran ranjang. Hari ini kami libur dan memilih bersantai di rumah. Beda dengan yang lain, mereka memilih keluar sekedar untuk jalan-jalan. "Aku sudah sampaikan sama Rayyan kalau aku akan memperjuangkan Sofia." Farhan terdengar mengembuskan napas berat. Dia lalu mengukir senyum meskipun itu terpaksa. "Baiklah, kalau itu adalah keputusanmu. Meskipun nantinya kamu akan kecewa, sebagai sahabat yang baik, aku tidak akan meninggalkan kamu." Aku tersenyum lebar begitu mendengar apa yang dikatakan oleh Farhan. Dia memamg sahabat terbaikku. Suka ataupun duka dia tetap ada. "Tapi, ada satu hal yang ingin kusampaikan," ucap Farhan dengan ekspresi serius. "Apa?" "Ada rumor yang kudengar bahwa saat ini Sofia dekat dengan seseorang." "Lalu?" "Kamu tahu itu siapa?" tanyanya." Dia menepuk pundakku tiga kali. Hal ini membuatku sedikit bingung. "Dia Rayyan. Adikmu." Tubuhku mendadak kaku mendengar apa yang dikatakan oleh Farhan. Te
"Kamu kenapa, Nak?" tanya Bunda Halimah saat melihatku sedang duduk termenung di dekat jendela. Sofia mengukir senyum terpaksa. Dia tidak ingin bunda Halimah khawatir melihatnya seperti ini. "Sofia baik-baik saja, Bunda."Tangan halusnya membelai kepala putrinya yang terbalut kain panjang dengan lembut. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?""Ah, tidak ada, Bunda," jawab Sofia berusaha menyembunyikan raut penuh kekhawatiran. "Baiklah kalau kamu tidak ingin berbagi cerota dengan bunda. Semoga kamu bisa dewasa menghadapinya."Sofia mengangguk seraya memeluk tubuh ibunya. Hal yang paling sering ia lakukan. Selepas perginya bunda Halimah, kembali Sofia merenungi kisah cintanya. Sudah beberapa hari ini Rayyan terlihat menjauh darinya. Dia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tangannya bergerak cepat kemudian memutuskan untuk menghubungi Rayyan. "Assalamualaikum, Sofia.""Waalaikumussalam.""Ada apa?"Matanya mulai berembun kala mendengar suara dari Rayyan. Dia sangat merindukan lelak
"Kamu di mana, Nak?" tanya Ustaz Afwan melalui sambungan telpon. "Lagi di kampus, Ustaz. Baru saja selesai."Ustaz Afwan tersenyum. Sejak dulu dia bwgitu mengangi kepribadian Rayhan. Sosok anak laki-laki yang bertanggungjawab, rajin, sholeh dan tentu saja dia idaman para santri dulu. "Hari ini kamu sibuk?""Tidak, Ustaz. Hari ini Syekh Ahmad sedang perjalanan ke Tarim menemui sahabatnya.""Baiklah. Kalau begitu saya tunggu kamu di rumah ya, Nak. Nanti saya kirim alamatnya."Rayhan menoleh ke sahabatnya. Dia hendak meminta pendapat. Farhan yang tidak tahu apa yang sedang terjadi mengangguk begitu saja."Baik, Ustaz.""Terimakasih, Nak. Saya tunggu di rumah."Rayhan menutup sambungan telpon dengan perasaan gundah. Dia sangat mengenal Ustaz Afwan. Tidak sembarang orang yang bisa bertemu dengannya. Jika ada sesuatu yang serius untuk dibahas, Ustaz Afwan akan mengundang orang tersebut ke rumahnya. Farhan yang tidak mengerti apa-apa terus berjalan tanpa sadar bahwa Rayhan tertinggal jau
"Bagaimana, Nak?"Selepas kepulangan Rayhan dan Farhan, Ustaz Afwan mendatangi keponakannya yang sejak tadi bersembunyi di balik tirai.Wajahnya berubah menjadi merah merona. Jantungnya berdetak lebih kencang dan desiran halus mulai terasa memenuhi rongga dadanya. "Dia murid paman yang kuceritakan kemarin. Kalau menurut laman pribadi, dia cocok sebagai pendampingmu kelak."Wanita itu tersenyum malu. Dia sengaja menunduk agar pamannya tidak melihat perubahan wajahnya saat ini. "Seperti yang paman katakan, dia memang pemuda yang baik.""Alhamdulillah.""Dia .... memang cocok menjadi pendamping hidup. Wanita siapapun tidak akan menolaknya, Paman.""Paman, Mas Rayhan itu adalah cinta pertama Mbak Humairah."Mata Humairah melebar sempurna. Adiknya Zoya justru membocorkan rahasia itu pada pamannya. Ustaz Afwan mengernyitkan keningnya. Humairah menunduk dalam. Dia saat ini sangat ketakutan. "Apa itu benar, Humairah?"Humairah menggigit bibirnya. Kedua jari telunjuknya saling bertaut. Tub
"Kamu saja yang mengetuk pintu, Zoya!" bisik Humairah. Saat ini dia begitu gugup."Baiklah. Mbak terlalu penakut," cibir Zoya."Assalamu'alaikum."Tiga kali ketukan namun tidak ada jawaban. Kembali Zoya mengetuk pintu lebih keras lagi. "Wa'alaikumussalam."Ustaz Hanan membuka pintu. Dia tampak baru bangun. Zoya dan Humairah dipersilahkan masuk. Mereka kemudian duduk di ruang tamu. "Paman ke mana, Ustaz?" tanya Zoya."Mas Afwan masih di luar.""Apa masih lama, Ustaz?" tanya Humairah. "Saya tidak bisa memastikan. Kalian tunggu saja di sini."Zoya dan Humairah memilih menunggu. Perjalanan dari kampus ke flat Pamannya memang tidak begitu jauh, hanya saja cuaca hari ini begitu terik. Zoya sibuk membuka lembaran koran yang sedang tergeletak di meja sedangkan Humairah sibuk dengan pikirannya. Waktu terus berputar hingga pintu diketuk dari luar. Ustaz Hanan yang sejak tadi berada di ruang tengah bangkit kemudian membuka pintu. "Cuaca hari ini begitu panas. Kegiatan juga sangat padat,"
Malam berlalu begitu cepat, akan tetapi bagi Rayhan semua terasa lama. Semenjak kepulangannya dari flat Ustaz Afwan, tidak ada sedikitpun gairah semangat yang dia rasakan. Semuanya terasa begitu berat dilaluinya. Seperti pagi ini, harusnya dia ada jadwal untuk bertemu dengan Syeikh Ahmed, namun kakinya terasa berat untuk melangkah pergi."Kamu tidak jadi ikut?" tanya Farhan saat tengah bersiap-siap bersama dengan kedua temannya. "Ikut," jawab Rayhan datar. "Kalau kamu jadi ikut, kenapa masih duduk di situ? Jangan terlalu lama melamun, Han, ini sudah jam berapa?"Rayhan masih terdiam di tempat. Farhan yang melihat sikap temannya itu mulai kesal. "Han, ayo siap-siap. Kami tunggu."Rayhan dengan langkah berat menuju kamar mandi. Di dalam dia masih merenungi tentang permintaan Sang guru. Hatinya berkecamuk. Dia dilema berat. Menuruti kata hatinya atau titah Sang guru. *Lima brlas menit berlalu, mereka tengah bersiap-siap menuju ke Masjid Al-Azhar di mana Syeikh Ahmed biasa menungg
"Alhamdulillah ya, Allah," pekik Azizah saat dua garis merah tampak di depan matanya. Tubuhnya langsung bersujud dan terus menyebut asma' Allah. Air matanya luruh. Azizah terisak di dalam sujudnya. Penantiannya selama ini terjawab. Allah masih memberinya kepercayaan untuk dititipkan amanah. "Mas Rayyan harus tahu."Azizah bergegas keluar dari kamar. Langkahnya dipercepat. Air mata tak berhenti mengalir dari mata indahnya. Beberapa santriwati yang kebetulan lewat di sana sedikit heran dengan sikap Ustazahnya kali ini. "Mas, lihat Mas Rayyan?"Rayhan yang baru saja selesai mengajar di kelas berhenti sejenak."Sepertinya masih di kantor. Kenapa, Zah?""Aku harus bertemu dengan dia, Mas.""Ada yang mencoba menyakitimu? Bilang sama Mas."Azizah menggeleng. Rayhan tak mengerti karena melihat mata Azizah yang terus mengkristal. "Aku ingin memberi dia kejutan.""Ya sudah, kamu tunggu dia di rumah, biar Mas yang panggilkan dia ya?" bujuk Rayhan.Azizah mengangguk antusias. Dia kemudian b
"Menghadiri undangan itu wajib selama tidak ada halangan syar'i, Dek.""Tapi, Mas ....""Kamu tenang saja. Atau kamu juga mau ikut?"Sofia terdiam. Dia merasa ragu. Namun, atas penjelasan Rayhan akhirnya dia memilih ikut. Sepanjang jalan Sofia memilih diam. Farhan terus berusaha mencairkan suasana dengan bermain bersama Fatih. Perjalanan tiga puluh menit mereka tempuh hingga tampak terlihat janur kuning melengkung. Farhan turun, menyusul Rayhan dan keluarga kecilnya. Mereka memasuki ruangan. Rupanya keluarga calon mempelai pria belum tiba. "Belum tiba, Han.""Biar saja. Kita di sini menunggu."Tiba-tiba datang sosok yang mereka kenal. Ustaz Afwan."Assalamu'alaikum, Rayhan, Farhan."Keduanya mendekat dan mencium punggung tangan gurunya yang sangat mereka hormati. Ustaz Afwan tersenyum lebar dan memeluk satu per satu muridnya. Rasa rindu bertahun-tahun akhirnya terobati. "Apa kabar, Ustaz?""Alhamdulillah, baik. Kalian bagaimana?""Alhamdulillah, Ustaz."Matanya beralih pada dua
Humairah menutup pintu kamarnya. Pertemuan hari ini begitu mengejutkan. Bagaimana tidak, orang yang tak sengaja dia temui di mesjid setelah dipatahkan oleh keadaan adalah sosok laki-laki yang sudah lama dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Dia tidak memungkiri bahwa sikapnya persis dengan sikap Rayhan. Dia mampu memberikan kesejukan saat hatinya rapuh. Bahkan patah. "Ya, Allah, apakah dia jodohku?"Humairah berjalan ke sisian ranjang kemudian mendudukkan dirinya. Disentuhnya dada kiri yang sejak tadi tiba bisa ditahan untuk tidak mengeluarkan detaknya yang tak berirama. Humairah tersenyum tipis. Melihat tatapan teduh dari Hadid membuatnya merasa nyaman. "Astaghfirullah."Humairah buru-buru berdoa agar dijaga hatinya. Suara pintu diketuk. Rupanya ada Umi Hilda. "Sibuk, Nak?""Tidak, Umi."Umi Hilda tersenyum dan duduk di sebelah putrinya. "Bagaimana pendapatmu tentang Hadid?"Humairah menunduk dalam. Kedua jari telunjuknya memilin ujung jilbabnya. "Apa kamu setuju?""Insya Allah,
"Kamu di mana, Nak? Abi ingin bicara penting.""Lagi di mesjid, Bi. Humairah segera ke sana."Humairah menyeka air matanya setelah panggilan terputus. Baru saja ingin mengucapkan terima kasih, sosok laki-laki yang berdiri di sampingnya menghilang. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sosok tadi untuk mengembalikan sisa tisu yang dipakainya, namun orangnya tak kunjung ada. Jarum jam menunjukkan jam dua siang. Humairah memutuskan untuk meninggalkan area mesjid untuk menemui orang tuanya. "Ya Allah, kuatkan hamba."***"Kamu dari mana saja, Mai? Keluarga Ustaz Hilal datang bertamu.""Aku .... Berkunjung ke rumah Rayhan, Bi."Ustaz Hasan mengembuskan napas berat. Usianya sudah kepala tiga namun sampai saat ini putrinya masih menutup diri. Alasannya tetap sama. Masih belum bisa melupakan sosok Rayhan. "Sampai kapan kamu akan terus berharap pada dia, Nak? Ingat, umi sama abi sudah tua. Kami juga ingin melihat kamu bahagia dan hidup bersama dengan orang yang tepat.""Tapi, ti
"Ya, aku sudah menemukan jawabannya tanpa perlu mencari tahu. Mba lupa? wanita baik-baik tidak akan menyakiti sesama wanita. Wanita baik-baik itu berkelas, bukan merendahkan dirinya untuk merebut lelaki yang sudah beristri!"Sebuah tamparan keras dilontarkan Sofia pada Humairah yang sontak membuat mereka tercengang. Bagaimana tidak, mereka tidak menyangka Sofia akan mengatakan hal itu.Azizah tersenyum sumringah. Di dalam hatinya dia bersorak dan memuji keberanian Sofia."Justru aku wanita baik-baik, makanya aku pun memintanya baik-baik," sanggah Humairah. "Aku tidak akan memintamu untuk merasakan posisiku saat ini. Tapi, sebagai wanita cerdas lulusan universitas ternama dunia, tentu Mbak Humairah sudah tahu jawabannya tanpa harus berada di posisiku."Lagi dan lagi Sofia menekan posisi Humairah saat ini. "Lagi pula, aku tidak yakin, Mbak Humairah bisa ada di posisiku. Jadi, pintu ada sebelah sana. Silahkan, Mbak!"Humairah geram dengan sikap Sofia. Secara tidak langsung dia telah m
"Eum, itu bagi Rayhan tapi bagiku, kami lebih dari teman," jawabnya seraya mengukir senyum."Jangan memancing keadaan, Humairah. Nyatanya kita hanya teman biasa," tegur Farhan yang tiba-tiba muncul dari aeah belakang."Ada perlu apa ke sini?" tanya Rayhan."Aku ingin ketemu kamu," jawab Humairah santai. Rayhan mendengus kesal. Sofia dan Azizah sama-sama menyimak pembicaraan mereka. Keduanya sama-sama tidak suka dengan kehadiran Humairah. Farhan yang mengerti suasana hati Sofia merasa tidak enak dengan situasi yang terjadi saat ini. "Humairah, memang dulu kita berteman, tapi kamu harus tahu batasan.""Batasan?"Farhan menyenggol lengan Rayhan. Dia memberi kode untuk peka dengan raut wajah istrinya. Rayhan menangkap maksud dari Farhan. Dia kemudian merangkul Sofia dengan hangat. "Oh iya, aku sampai lupa. Ini istriku, namanya Sofia."Humairah terpaku sejenak melihat sosok wanita cantik yang ada di depannya. Di dalam hatinya dia merasa kalah. Pantas saja Rayhan dulu menolak mentah-m
"Azizah, bangun, Nak. Hari sudah sore.""Maaf, Nek, aku ketiduran.""Tidak apa-apa. Adzan Ashar sudah dikumandangkan. Segeralah shalat!""Baik, Nek."Azizah kemudian pamit untuk melaksanakan empat rakaat sebentar. Dia kemudian berjalan menuju ke ruang belakang. Sofia yang sedang membersihkan dapur bersama beberapa santri menghampiri Azizah. "Baru bangun, Za?""Iya, Mbak. Dibangunkan sama nenek.""Oh iya, Mbak, aku ingin shalat di sini. Rasanya aneh kalau meninggalkan nenek begitu saja."Sofia tersenyum kemudian menunjukkan di mana dia harus mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajibannya. Setelah selesai berwudhu, Sofia menyerahkan mukenah dan sajadah miliknya kemudian menyusul Nyai Zikra."Nek, sudah shalat?" tanya Sofia sembari merapikan selimut Nyai Zikra. "Sudah."Entah kenapa Sofia merasa suara Nyai Zikra semakin melemah. Tatapan matanya juga semakin redup. Hatinya mulai gelisah. "Sofia, tolong panggilkan Mertua dan suamimu, Nak."Tanpa berpikir panjang lagi, Sofia segera
"Alhamdulillah, Allah kembali mempercayakan kalian untuk menjaga amanah-Nya.""Iya, Nek. Insya Allah, Sofia akan menjaga titipan-Nya dengan baik."Nyai Zikra dan Sofia sedang duduk bersama. Saat ini kondisi Nyai Zikra juga semakin menurun. Semenjak kematian Kiyai Jalal, Sofia dan Rayhan memilih tinggal bersama Nyai Zikra. Mereka tidak ingin Nyai Zikra merasa sendiri. "Bagaimana kondisi kamu hari ini?""Hanya sering mual dan muntah, Nek.""Masya Allah, kamu tidak boleh mengeluh ya. Di balik senua itu pahala terus mengalir.""Insya Allah, Nek."Sofia terus memijit kaki Nyai Zikra-neneknya-. Sofia memang sangat menyayanginya dan begitu pun sebaliknya. Terlebih Sofia lebih dekat dengannya dibanding Azizah.Sofia sejak dulu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nyai Zikra. Tentu saja itu membuat Nyai Zikra merasa senang karena kehadiran Sofia menghilangkan sepi. "Bagiamana dengan Azizah?"Sofia terdiam. Tentu saja dia merasa bingung harus menjawab seperti apa. "Apa dia sudah hamil?"
Satu tahun berlalu ....."Mas, aku ada kejutan," bisik Sofia di telinga Rayhan.Rayhan yang mempersiapkan diri menuju kelas untuk mengajar berhenti sejenak dari aktivitasnya. Sofia tersenyum melihat kebingungan Rayhan."Apa, Sayang?""Coba Mas tebak!" ucapnya dengan senyum merekah."Eum, Ayah dan Bunda mau datang?" tebak Rayhan. Sofia menggeleng. "Fatih sebentar lagi masuk sekolah TK?" Lagi lagi Sofia menggeleng."Mas nyerah, Dek."Sofia menyerahkan benda yang sejak tadi sengaja disembunyikan di belakangnya. Alis Rayhan mengerut. Namun, saat dia mengetahui alat itu, jantungnya berdetak dengan cepat. Dua garis merah tampak nyata di depan matanya. Tangannya gemetar."Ini .... Serius?" Sofia mengangguk. "Alhamdulillah ...."Tubuhnya melutuh ke lantai dan sujud syukur atas apa yang telah dihadiahkan Tuhan padanya. Bahunya bergetar. Isak tangis mulai terdengar. Lisannya tak berhenti mengucapkan rasa syukur yang tidak terkira.Sofia ikut duduk di samping Rayhan sembari mengelus punggu