Hari bahkan bulan telah berlalu begitu cepat. Sofia perlahan melupakan bahkan berniat mengubur dalam-dalam perasaannya pada Rayyan. Hal itu sudah disampaikan pada Rayhan.
Rayhan bersyukur. Dia merasa usahanya tak sia-sia. Namun, sayang, keputusan abinya seolah membuatnya kembali merasa takut.
Malam itu saat mereka tengah asyik mengobrol bersama, tiba-tiba Ustaz Luthfi membawa berita yang baginya dan Umi Aisyah adalah kabar bahagia. Tidak dengan Rayhan.
"Umi, tadi bicara sama Abah, besok lusa kita jemput Rayyan pulang."
Informasi yang disampaikan abinya seolah menjadi berita buruk bagi Rayhan. Dia sebenarnya sangat bahagia. Hanya saja jika.mengingat bagaimana Rayyan bisa dikirim ke pelosok membuatnya merasa takut.
"Alhamdulillah, Abi. Umi sudah rindu sama Rayyan. Iya, kan, Han?"
Rayhan mengangguk samar. Pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran akan kehadiran Rayyan kembali.
*
"Abi, apa Rayyan akan benar kembalPov SofiaSemenjak kedatangan Rayyan, Aku menjadi gelisah. Aku pun sendiri bingung harus bagaimana sekarang. Seseorang yang berusaha aku lupakan kini hadir di depan mata.Kenapa dia harus kembali saat hati ini sedang berjuang keras untuk melupakan segala tentang dia lalau menerima kehadiran suamiku?Aku semakin gelisah, terlebih kami harus bertemu setiap harinya. Sama seperti di awal."Sofia, tolong buatkan teh untuk Rayyan ya?" pinta Umi.Aku mengangguk lantas segera meninggalkan keduanya.Di dalam ruangan ini, aku mengepal tanganku sekuat mungkin. Jantung ini berpacu dengan cepat.Tak ingin terlalu lama, segera kubuatkan teh manis kesukaan Rayyan. Aku tak ingin umi menaruh curiga padaku.Setelah semuanya selesai, aku segera melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Di sana sudah ada Mas Rayhan.Aku semakin gugup dibuatnya. Tatapan keduanya terus mengarah padaku. Segera kutundukkan pandangan ini
"Nak, lihat mas mu, dia sudah memiliki anak. Umi.jugan ingin melihatmu menikah, Nak.""Aku setuju dengan abi dan umi. Sudah sepantasnya kamu untuk memikirkan tentang pernikahan."Rayyan tersenyum menanggapi. Dia dalam hatinya dia belum siap. Bagaimana mungkin dia akan menjalin hubungan dengan orang baru sedangkan masa lalunya juga belum tuntas?"Nak, tolong, pikirkan kami berdua. Umur tidak ada yang bisa menjamin.""Umi, tolong jangan berkata seperti itu."Umi Aisyah menggeleng. " Bagaimana jika umi lebih dulu pergi? Siapa yang akan mengurusmu? Umi ingin lihat kamu bahagia, Nak."Rayyan menarik napas dalam. "Baiklah jika itu kemauan umi dan abi. Insya Allah, Rayyan manut."Utsaz Luthfi, Umi Aisyah dan Rayhan tersenyum bahagia. Mereka akhirnya bisa meluluhkan hati Rayyan.Rayhan sudah bisa sedikit bernapas. Kekhawatirannya sedikit berkurang. Rayhan menoleh ke arah istrinya yang sejak tadi memilih diam.*"Dek,
Pov SofiaSemenjak kepulangan Rayyan, hatiku semakin gelisah. Aku yang belum sepenuhnya bisa berdamai dengan hati harus kembali dihadapkan pada situasi seperti ini.Rayyan rencanya akan dijodohkan dengan seorang wanita yang belum kutahu pasti siapa. Atas perintah keluarga, Rayyan menyetujuinya.Bagainana dengan hatiku? Tentu saja masih ada rasa sakit.Satu hal yang kudengar dari mulut Umi bahwa wanita itu salah satu santri ndalem yang saat ini mengandi di pesantren.Bagaimana, Nak, kamu sudah bertemu dengan calon pilihan kami?" tanya Umi Aisyah saat duduk berdiskusi.Kami kembali berkumpul di ruang keluarga untuk membahas rencana perjodohan Rayyan.Tentu saja aku ikut serta. Aku ingin menghindari kesalahpahaman antara aku dan Rayhan-suamiku."Sudah, Umi," jawab Rayyan.Umi Aisyah tersenyum begitupun dengan Rayhan. Kecuali aku."Bagaimana? Kamu setuju?" tanya Umi Aisyah denga
Pov. RayyanAku pikir kepulanganku kembali ke Jakarta adalah untuk berkumpul dengan keluarga setelah tiga tahun lamanya aku mengabdi di pelosok.Kepulanganku ternyata bukan untuk itu. Kelyargaku berencana menjodohkan aku dengan seseorang yang telah lama menaruh hati padaku.Azizah. Gadis belia dengan wajah yang behitu manis dengan tutur kata yang lembut. Salah satu santei berprestasi kesayangan umi.Dia salah satu santri yang dipercaya umi membantunya mengurus keperluan makan kami sebagai pemilik pesantren ini."Azizah," gumamku.Kupandangi langit-langit kamar. Bayangan akan gadis itu tiba-tiba menari di dalam pikiranku.Ah, ada apa ini? Mengapa dia tiba-tiba hadir?Segera kutepis pikirna yang tiba-tiba muncul begitu saja.Aku tak tahu mengapa Abi tiba-tiba menjodohkanku dengan dia. Padahal hati ini belum bisa kubuka untuk orang baru.Melupakan Sofia saja aku sungguh
Azizah baru saja menyelesaikan proposal.yang akan diajukan untuk dilihat langsung oleh Rayyan.Senyum tercipta di wajah cantiknya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Padahal ini hanya sebuah ulasan tentang dirinya.Dia.tak pernah menyangka takdir baik berpihak padanya. Sejak dulu lebih memilih memendam rasa pada sosok Rayyan. Kini, dia terpilih menjadi calon bidadarinya."Rayyan," gumamnya.Dia menoleh pada sebuah buku berukuran kecil berwarna pink yang tergrletak di sampingnya.Buku inilah yang selama ini menjadi teman ceritanya.Diraihnya buku itu. Matanya menoleh ke segala arah. Setelah merasa aman, dia membukanya. Senyum kembali tercipta kala sebuah gambar tertangkap oleh matanya."Semoga Allah meridhoi."Di tempat berbeda, Rayyan belum selesai membuat proposalnya. Hatinya masih dilanda kebimbangan yang luar biasa.Sudah berulang kali mengganti data dirinya. Dia bingung saat diminta
Sebuah pergelaran acara yang begitu sederhana tampak dari sebuah rumah yang asri. Dekorasi nuansa hijau daun dan putih disertai hiasan bunga menambah keindahan.Hari ini rombongan keluarga Kiyai Jalal datang bertandang ke rumah Azizah. Suatu kehormatan bagi keluarga besar Pak Khalid selaku orang tua Azizah. Seperti mimpi, Azizah dipinang oleh cucu Kiyai Jalal yang termashur di daerahnya.Pak Khalid yang berprofesi sebagai guru agama di sebuah sekolah dasar dan Bu Annisa yang berprofesi sebagai penjual kue keliling.Banyak yang tak menyangka keluarga besar Kiyai Jalal justru memilih keluarga sederhana, bukan dari keluarga berada dan setara."Masya Allah, tidak disangka-sangka ya, Bu, Azizah justru dipinang sama keluarga Kiyai.""Benar, Bu. Saya merasa ini hanya mimpi," jawab Bu Annisa kala ditanyai oleh salah satu tetangganya.Rayyan dan Azizah kini duduk di antara kedua belah pihak. Mereka saat ini tengah melakukan prosesi lamara
POV Sofia.Aku sejenak termenung kala secara tak sengaja pendengaranku menangkap apa yang dikatakan para santri tadi."Bukannya Ustaz Rayyan punya pilihan lain? Kenapa justru memilih Ustazah Azizah? Padahal Ustaz Rayyan berhak mendapat yang jauh lebih baik. Bukan Ustazah Azizah."Kalimat itu terngiang terus di telingaku. Apa maksud mereka? Bukankah Azizah begitu sempurna di mata orang lain?Gadis cerdas, bertutur kata halus dan sangat menyayangi kedua orangtuanya. Apakah itu belum cukup untuk dijadikan pujian?Jiwa rasa ingin tahuku bangkit. Segera kudekati mereka yang sedang sibuk di dapur."Apa masih ada yang perlu saya bantu?" tanyaku basa-basi."Sudah tidak ada, Mbak.""Alhamdulillah ya, acara lamaran kemarin berjalan dengan baik," pancingku."I-iya, Mbak.""Rayyan pasti sudah menemukan orang yang tepat."Mereka memilih diam. Aku tak boleh kalah. Sengaja aku memancing mereka lagi. Aku
"Sofia, apa kamu baik-baik saja?" tanya Rayhan saat mendapati istrinya sedang menatap dengan pandangan kosong."E-eh, aku baik-baik saja, Mas."Ella kemudian menghampiri suaminya. Diraih punggung tangan itu.Rayhan sebenarnya belum sepenuhnya yakin. Dia begitu ragu akan Sofia, akan tetapi dia memilih untuk melupakannya. Rayhan hanya ingin semua baik-baik saja.Rayhan mendekati putranya yang sedang tertidur pulas. Diciumi pipi bulan itu berkali-kali.Rayhan seolah tengah bercermin kala melihat rupa Fatih. Mereka begitu sangat mirip.Senyum tercipta di wajahnya. Sofia memandangi wajah rupawan milik suaminya. Ada denyut yang begitu terasa. Sejujurnya, Sofia jatuh cinta akan paras suaminya. Namun, karena masa lalu kembali membayanginya, dia selalu merasa tengah berkhianat."Sayang, segitu menikmati wajah mas ya, sampai-samlai mas cerita sejak tadi malah dianggurin."Sofian terkesiap. Dia ketahuan tenga
"Alhamdulillah ya, Allah," pekik Azizah saat dua garis merah tampak di depan matanya. Tubuhnya langsung bersujud dan terus menyebut asma' Allah. Air matanya luruh. Azizah terisak di dalam sujudnya. Penantiannya selama ini terjawab. Allah masih memberinya kepercayaan untuk dititipkan amanah. "Mas Rayyan harus tahu."Azizah bergegas keluar dari kamar. Langkahnya dipercepat. Air mata tak berhenti mengalir dari mata indahnya. Beberapa santriwati yang kebetulan lewat di sana sedikit heran dengan sikap Ustazahnya kali ini. "Mas, lihat Mas Rayyan?"Rayhan yang baru saja selesai mengajar di kelas berhenti sejenak."Sepertinya masih di kantor. Kenapa, Zah?""Aku harus bertemu dengan dia, Mas.""Ada yang mencoba menyakitimu? Bilang sama Mas."Azizah menggeleng. Rayhan tak mengerti karena melihat mata Azizah yang terus mengkristal. "Aku ingin memberi dia kejutan.""Ya sudah, kamu tunggu dia di rumah, biar Mas yang panggilkan dia ya?" bujuk Rayhan.Azizah mengangguk antusias. Dia kemudian b
"Menghadiri undangan itu wajib selama tidak ada halangan syar'i, Dek.""Tapi, Mas ....""Kamu tenang saja. Atau kamu juga mau ikut?"Sofia terdiam. Dia merasa ragu. Namun, atas penjelasan Rayhan akhirnya dia memilih ikut. Sepanjang jalan Sofia memilih diam. Farhan terus berusaha mencairkan suasana dengan bermain bersama Fatih. Perjalanan tiga puluh menit mereka tempuh hingga tampak terlihat janur kuning melengkung. Farhan turun, menyusul Rayhan dan keluarga kecilnya. Mereka memasuki ruangan. Rupanya keluarga calon mempelai pria belum tiba. "Belum tiba, Han.""Biar saja. Kita di sini menunggu."Tiba-tiba datang sosok yang mereka kenal. Ustaz Afwan."Assalamu'alaikum, Rayhan, Farhan."Keduanya mendekat dan mencium punggung tangan gurunya yang sangat mereka hormati. Ustaz Afwan tersenyum lebar dan memeluk satu per satu muridnya. Rasa rindu bertahun-tahun akhirnya terobati. "Apa kabar, Ustaz?""Alhamdulillah, baik. Kalian bagaimana?""Alhamdulillah, Ustaz."Matanya beralih pada dua
Humairah menutup pintu kamarnya. Pertemuan hari ini begitu mengejutkan. Bagaimana tidak, orang yang tak sengaja dia temui di mesjid setelah dipatahkan oleh keadaan adalah sosok laki-laki yang sudah lama dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Dia tidak memungkiri bahwa sikapnya persis dengan sikap Rayhan. Dia mampu memberikan kesejukan saat hatinya rapuh. Bahkan patah. "Ya, Allah, apakah dia jodohku?"Humairah berjalan ke sisian ranjang kemudian mendudukkan dirinya. Disentuhnya dada kiri yang sejak tadi tiba bisa ditahan untuk tidak mengeluarkan detaknya yang tak berirama. Humairah tersenyum tipis. Melihat tatapan teduh dari Hadid membuatnya merasa nyaman. "Astaghfirullah."Humairah buru-buru berdoa agar dijaga hatinya. Suara pintu diketuk. Rupanya ada Umi Hilda. "Sibuk, Nak?""Tidak, Umi."Umi Hilda tersenyum dan duduk di sebelah putrinya. "Bagaimana pendapatmu tentang Hadid?"Humairah menunduk dalam. Kedua jari telunjuknya memilin ujung jilbabnya. "Apa kamu setuju?""Insya Allah,
"Kamu di mana, Nak? Abi ingin bicara penting.""Lagi di mesjid, Bi. Humairah segera ke sana."Humairah menyeka air matanya setelah panggilan terputus. Baru saja ingin mengucapkan terima kasih, sosok laki-laki yang berdiri di sampingnya menghilang. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sosok tadi untuk mengembalikan sisa tisu yang dipakainya, namun orangnya tak kunjung ada. Jarum jam menunjukkan jam dua siang. Humairah memutuskan untuk meninggalkan area mesjid untuk menemui orang tuanya. "Ya Allah, kuatkan hamba."***"Kamu dari mana saja, Mai? Keluarga Ustaz Hilal datang bertamu.""Aku .... Berkunjung ke rumah Rayhan, Bi."Ustaz Hasan mengembuskan napas berat. Usianya sudah kepala tiga namun sampai saat ini putrinya masih menutup diri. Alasannya tetap sama. Masih belum bisa melupakan sosok Rayhan. "Sampai kapan kamu akan terus berharap pada dia, Nak? Ingat, umi sama abi sudah tua. Kami juga ingin melihat kamu bahagia dan hidup bersama dengan orang yang tepat.""Tapi, ti
"Ya, aku sudah menemukan jawabannya tanpa perlu mencari tahu. Mba lupa? wanita baik-baik tidak akan menyakiti sesama wanita. Wanita baik-baik itu berkelas, bukan merendahkan dirinya untuk merebut lelaki yang sudah beristri!"Sebuah tamparan keras dilontarkan Sofia pada Humairah yang sontak membuat mereka tercengang. Bagaimana tidak, mereka tidak menyangka Sofia akan mengatakan hal itu.Azizah tersenyum sumringah. Di dalam hatinya dia bersorak dan memuji keberanian Sofia."Justru aku wanita baik-baik, makanya aku pun memintanya baik-baik," sanggah Humairah. "Aku tidak akan memintamu untuk merasakan posisiku saat ini. Tapi, sebagai wanita cerdas lulusan universitas ternama dunia, tentu Mbak Humairah sudah tahu jawabannya tanpa harus berada di posisiku."Lagi dan lagi Sofia menekan posisi Humairah saat ini. "Lagi pula, aku tidak yakin, Mbak Humairah bisa ada di posisiku. Jadi, pintu ada sebelah sana. Silahkan, Mbak!"Humairah geram dengan sikap Sofia. Secara tidak langsung dia telah m
"Eum, itu bagi Rayhan tapi bagiku, kami lebih dari teman," jawabnya seraya mengukir senyum."Jangan memancing keadaan, Humairah. Nyatanya kita hanya teman biasa," tegur Farhan yang tiba-tiba muncul dari aeah belakang."Ada perlu apa ke sini?" tanya Rayhan."Aku ingin ketemu kamu," jawab Humairah santai. Rayhan mendengus kesal. Sofia dan Azizah sama-sama menyimak pembicaraan mereka. Keduanya sama-sama tidak suka dengan kehadiran Humairah. Farhan yang mengerti suasana hati Sofia merasa tidak enak dengan situasi yang terjadi saat ini. "Humairah, memang dulu kita berteman, tapi kamu harus tahu batasan.""Batasan?"Farhan menyenggol lengan Rayhan. Dia memberi kode untuk peka dengan raut wajah istrinya. Rayhan menangkap maksud dari Farhan. Dia kemudian merangkul Sofia dengan hangat. "Oh iya, aku sampai lupa. Ini istriku, namanya Sofia."Humairah terpaku sejenak melihat sosok wanita cantik yang ada di depannya. Di dalam hatinya dia merasa kalah. Pantas saja Rayhan dulu menolak mentah-m
"Azizah, bangun, Nak. Hari sudah sore.""Maaf, Nek, aku ketiduran.""Tidak apa-apa. Adzan Ashar sudah dikumandangkan. Segeralah shalat!""Baik, Nek."Azizah kemudian pamit untuk melaksanakan empat rakaat sebentar. Dia kemudian berjalan menuju ke ruang belakang. Sofia yang sedang membersihkan dapur bersama beberapa santri menghampiri Azizah. "Baru bangun, Za?""Iya, Mbak. Dibangunkan sama nenek.""Oh iya, Mbak, aku ingin shalat di sini. Rasanya aneh kalau meninggalkan nenek begitu saja."Sofia tersenyum kemudian menunjukkan di mana dia harus mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajibannya. Setelah selesai berwudhu, Sofia menyerahkan mukenah dan sajadah miliknya kemudian menyusul Nyai Zikra."Nek, sudah shalat?" tanya Sofia sembari merapikan selimut Nyai Zikra. "Sudah."Entah kenapa Sofia merasa suara Nyai Zikra semakin melemah. Tatapan matanya juga semakin redup. Hatinya mulai gelisah. "Sofia, tolong panggilkan Mertua dan suamimu, Nak."Tanpa berpikir panjang lagi, Sofia segera
"Alhamdulillah, Allah kembali mempercayakan kalian untuk menjaga amanah-Nya.""Iya, Nek. Insya Allah, Sofia akan menjaga titipan-Nya dengan baik."Nyai Zikra dan Sofia sedang duduk bersama. Saat ini kondisi Nyai Zikra juga semakin menurun. Semenjak kematian Kiyai Jalal, Sofia dan Rayhan memilih tinggal bersama Nyai Zikra. Mereka tidak ingin Nyai Zikra merasa sendiri. "Bagaimana kondisi kamu hari ini?""Hanya sering mual dan muntah, Nek.""Masya Allah, kamu tidak boleh mengeluh ya. Di balik senua itu pahala terus mengalir.""Insya Allah, Nek."Sofia terus memijit kaki Nyai Zikra-neneknya-. Sofia memang sangat menyayanginya dan begitu pun sebaliknya. Terlebih Sofia lebih dekat dengannya dibanding Azizah.Sofia sejak dulu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nyai Zikra. Tentu saja itu membuat Nyai Zikra merasa senang karena kehadiran Sofia menghilangkan sepi. "Bagiamana dengan Azizah?"Sofia terdiam. Tentu saja dia merasa bingung harus menjawab seperti apa. "Apa dia sudah hamil?"
Satu tahun berlalu ....."Mas, aku ada kejutan," bisik Sofia di telinga Rayhan.Rayhan yang mempersiapkan diri menuju kelas untuk mengajar berhenti sejenak dari aktivitasnya. Sofia tersenyum melihat kebingungan Rayhan."Apa, Sayang?""Coba Mas tebak!" ucapnya dengan senyum merekah."Eum, Ayah dan Bunda mau datang?" tebak Rayhan. Sofia menggeleng. "Fatih sebentar lagi masuk sekolah TK?" Lagi lagi Sofia menggeleng."Mas nyerah, Dek."Sofia menyerahkan benda yang sejak tadi sengaja disembunyikan di belakangnya. Alis Rayhan mengerut. Namun, saat dia mengetahui alat itu, jantungnya berdetak dengan cepat. Dua garis merah tampak nyata di depan matanya. Tangannya gemetar."Ini .... Serius?" Sofia mengangguk. "Alhamdulillah ...."Tubuhnya melutuh ke lantai dan sujud syukur atas apa yang telah dihadiahkan Tuhan padanya. Bahunya bergetar. Isak tangis mulai terdengar. Lisannya tak berhenti mengucapkan rasa syukur yang tidak terkira.Sofia ikut duduk di samping Rayhan sembari mengelus punggu