"Mas, aku ingin makan rujak," rengek Sofia.
Rayhan yang baru saja mendengarkan setoran hapalan mendudukkan dirinya di sofa.
Jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Rayhan menarik napas dalam kemudian mengembuskannya.
"Ini sudah larut, Dek. Pedangang rujak sudah pulang sejak tadi," bujuk Rayhan.
"Tapi, Mas, aku ingin sekali makan rujak."
Rayhan akhirnya mengalah. Dia bangkit dari tempat duduknya kemudian berlalu meninggalkan Sofia.
"Mas." Rayhan membalikkan badan.
"Pakai sepeda ya?" pintanya.
"Dek, ini sudah larut loh. Mobil saja ya?" pintanya.
Sofia mengerucutkan bibirnya kemudian meninggalkan Rayhan.
Rayhan menarik napas lebih dalam lagi.
"Baiklah."
Senyum di wajah Sofia tercipta. Dia melepaps kepergian suaminya dengan suka cita.
Tangannya mengelus perutnya yang mulai nampak masih rata. Usia kandungan delapan minggu membuat ngidam
"Tapi, kamu tidak masalah kan berada di sekitar Rayyan?"Pertanyaan Rayhan sontak membuat Sofia terkejut.Di dalam benak Sofia dia takut kalau Rayhan sebenarnya tahu tentang hubungan mereka."M-maksud, Mas?"Rayhan terdiam sejenak pandangannya berfokus pada langit-langit kamar."Maksud mas ..... kamu tidak apa kan berada satu atap dengan ipar? Ya, biasanya setiap orang memiliki privasi. Bisa jadi kamu kurang nyaman berada di sekitar Rayhan yang bukan muhrim kamu."Sofia bernapas lega. Dia hampir saja gegabah untuk menjawab. Sofia semlat berpikir Rayhan sudah mencium bau-bau kedekatan mereka."A-aku tidak apa-apa, Mas. Sungguh."Rayhan tersenyum lega. Selama ini dia berpikir sikap Sofia seperti itu karrena tidak nyaman dengan kehadiran Rayyan.Tangannya mengelus elan kepala yang berbalut khimar berwarna peach itu."Mas janji akan selalu membahagiakan kamu. Kalau kamu tidak nyaman akan
Sofia terus merenungi curahan hati suaminya. Dia tak menyangka Rayhan merasakan sikapnya.Sofia sudah berusaha untuk menghadirkan cinta di dalam hatinya. Akan tetapi perasaannya pada Rayyan justru masih ada."Nak, bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Bunda Halimah saat mereka datang menjenguk Sofia.Ayah, Bunda, Mas Alfi dan Mbak Sarah hari ini datang berkunjung. Saat ini hanya ada Sofia yang tengah berdua dengan Bunda.Halimah, yang lain sedang menikmati obrolan ringan di ruang tengah."Sofia baik-baik saja, Bunda.""Hubungan kalian baik-baik saja 'kan?"Sofia mengangguk seraya berusaha tersenyum."Kamu nyaman tinggal di sini?" tanya Bunda Halimah lagi."Nyaman, Bunda.""Meskipun seatap dengan ..... "Bunda Halimah sengaja menggantung ucapannya demi melihat respon dari Sang putri.Sofia memilih bungkam. Dia juga tidak tahu jawaban apa yang cocok.
"Alhamdulillah, bayinya sehat, Ustaz," ucap dokter Widya. Salah satu dokter langganan keluarga Sofia."Alhamdulillah," ucap mereka bersamaan."Dok, kalau boleh tahu, calon bayi kami jenis kelaminnya apa ya?" tanya Rayhan penasaran.Dokter Widya tersenyum menanggapi."Saya cek dulu, ya, Ustaz."Dokter Widya menggerakkan kembali alat di sekitar perut Sofia. Pandangannya berfokus pada layar monitor berukuran 14 inch."Menurut hasil USG, bayinya berjenis kelamin laki-laki, Ustaz.""Alhamdulillah. Bisa jadi penerus pondok," ujar Ustaz Luthfi."Apapun jenis kelaminnya patut kita syukur, Abi. Hal yang terpenting adalah ibu dan bayinya sehat," tegur Umi Aisyah.Rayhan tersenyum melihat kedua orang tuanya. Berbeda dengan Sofia, sejak tadi dia hanya bisa tersenyum simpul.Dokter Widya yang menyadari sikap yang ditunjukkan Sofia berusaha berpikir positif bahwa itu adalah bawaan
"Keadaannya baik meskipun sedikit melemah, Ustazah. Wajar karena ini persalinan pertama. Alhamdulillah sudah pembukaan empat. Lebih cepat dari yang diperkirakan. Mungkin karena menjelang persalinan ibunya aktif bergerak.""Alhamdulillah," ucap mereka."Kami bisa masuk kan, Bu?" tanya Bunda Halimah."Sangat boleh, Ustazah, mengingat pasien butuh dorongan."Mereka akhirnya masuk ke ruangan pasien. Beruntung saat ini hanya ada dua pasien yang tengah menunggu proses persalinan.Rayhan segera mengampiri istrinya. Di elusnya punggung tangan Sofia dengan sayang."Bunda ....." lirih Sofia. Air matanya meluruh."Iya, Sayang. Kamu harus kuat ya, demi bayi kalian," ucap Bunda Halimah menenangkan.Sofia mengangguk. Wajahnya meringis berusaha menahan sakit. Bunda Halimah duduk di sisi kirinya seraya membelai lembut kepala Sofia yang berbalut khimar.Umi Aisyah berada di samping Rayyan. Gantian beli
Semenjak kehadiran Si bayi mungil, kebahagiaan dua keluarga begitu terasa. Bayi menggemaskan yang berjenis kelamin laki-laki itu membawa suka cita yang begitu berarti.Muhammad Al Fatih nama yang disematkan dengan harapan kelak dia akan seperti Sultan Muhammad Al Fatih yang begitu gagah berani dalam sejarah Islam. Sang Penakluk Konstatinopel yang saat itu masih berusia sangatlah muda. Namun, berkat keberanian serta kegigihannya lah akhirnya Konstatinopel jatuh di tangannya.Seperti itu lah harapan yang tersemat di dalam diri Rayhan sebagai seorang ayah. Nasehat dari Kiyai Jalaluddin selaku kakeknya agar memberikan nama yang begitu bermakna dan menjadi do'a untuk cucunya kelak."Nama yang sangat bagus dan Abi setuju," ucap Ustaz Luthfi."Kakek harap kalian sebagai orang tua mendidik anak kalian dengan baik agar nama yang disematkan bukan hanya sebuah nama semata. Akan tetapi, berguna untuk agama kita." Begitu nasehat dari Kiyai Jala
"Rayyan."Seseorang menepuk pundak Rayyan saat dia berusaha berdamai dengan hati.Perlahan dia menoleh, di dapatinya wajah yang penuh berwibawa. Ustaz Azzam."Ustaz," ucapnya seraya meraih punggung tangan gurunya."Bagaimana kabarmu?""Alhamdulillah, Ustaz."Ustaz Khairul Azzam kemudian mengembuskan napas pelan. Tangannya terulur menepuk-nepuk pundak anak murid kesayangannya."Ikut saya sebentar!" titahnya.Ustaz Azzam kemudian berlalu melewatinya. Rayyan terdiam sejenak menatap punggung Sang guru. Hingga beberapa detik berlalu, barulah dia mengikut di belakang.Pikirannya sibuk menerka, ada hal penting apa yang akan disampaikan oleh gurunya. Setelah sekian lama, barulah mereka bisa bertemu dan berbincamg secara pribadi.Langkah Ustaz Azzam terhenti tepat di bawah pohon baca.Pihak Pesantren sengaja mendesain sebuah pohon beringin, di bawahnya terdapat r
"Dek, kamu tidur gih, biar mas yang jaga Fatih," ucap Rayhan.Jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Biasanya Rayhan akan bangun untuk sekedar muroja'ah atau melakukan hal lainnya.Namun, beberapa hari ini suasananya berbeda. Tangisan bayi yang mencari ASI menjadi alarm keduanya.Sofia sebagai pemula menjadi seorang ibu tentu sedikit kewalahan. Terlebih jika Fatih susah untuk didiamkan. Hal itu tentu saja menarik perhatian Rayhan sebagai sosok ayahnya. Sebagai suami yang menyayangi keluarga, tentu dia tidak ingin istrinya melakukannya sendiri. Mereka selalu bekerjasama demi anak yang disayangi."Maaf ya, Mas, aku sudah beberapa hari ini kurang tidur. Entah kenapa Fatih susah untuk didiamkan."Rayhan tersenyum seraya mengelus rambut istrinya."Tidurlah, sekarang giliran mas."Sofia menarik selimut hingga ke bagian perut lalu memejamkan mata yang sejak tadi memberat.Rayhan beranjak dari pembarin
"Mas ...."Rayhan bergeming. Otak dan hati belum bisa bekerja dengan baik. Kenyataan yang baru dia ketahui seolah mengempaskannya ke dalam jurang yang begitu dalam."Mas," panggil Sofia lagi."Iya, Dek?" jawabnya sembari tersenyum.Ya. Senyum yang hambar."Fatih hebat loh, saat diimunisasi, anteng aja di pangkuan," ucap Sofia berusaha mengalihkan pembicaraan.Dia yakin betul Rayhan mendengar pertengkaran mereka."Oh, ya? Wah hebat dong anak abah."Rayhan terus menciumi pipi Fatih yang begitu menggemaskan. Jauh di dalam hatinya, dia berusaha menyembunyikan luka yang menganga.Sofia kembali terdiam. Dia hanya berdiri mematung di pinggiran ranjang. Suasana mendadak berubah. Hening."Mas.""Ya," jawabnya tanpa menoleh."Keadaannya gimana?""Alhamdulillah sudah mendingan."Hening kembali tercipta. Sungguh Sofia merasa tak tahu harus berbuat apa
"Alhamdulillah ya, Allah," pekik Azizah saat dua garis merah tampak di depan matanya. Tubuhnya langsung bersujud dan terus menyebut asma' Allah. Air matanya luruh. Azizah terisak di dalam sujudnya. Penantiannya selama ini terjawab. Allah masih memberinya kepercayaan untuk dititipkan amanah. "Mas Rayyan harus tahu."Azizah bergegas keluar dari kamar. Langkahnya dipercepat. Air mata tak berhenti mengalir dari mata indahnya. Beberapa santriwati yang kebetulan lewat di sana sedikit heran dengan sikap Ustazahnya kali ini. "Mas, lihat Mas Rayyan?"Rayhan yang baru saja selesai mengajar di kelas berhenti sejenak."Sepertinya masih di kantor. Kenapa, Zah?""Aku harus bertemu dengan dia, Mas.""Ada yang mencoba menyakitimu? Bilang sama Mas."Azizah menggeleng. Rayhan tak mengerti karena melihat mata Azizah yang terus mengkristal. "Aku ingin memberi dia kejutan.""Ya sudah, kamu tunggu dia di rumah, biar Mas yang panggilkan dia ya?" bujuk Rayhan.Azizah mengangguk antusias. Dia kemudian b
"Menghadiri undangan itu wajib selama tidak ada halangan syar'i, Dek.""Tapi, Mas ....""Kamu tenang saja. Atau kamu juga mau ikut?"Sofia terdiam. Dia merasa ragu. Namun, atas penjelasan Rayhan akhirnya dia memilih ikut. Sepanjang jalan Sofia memilih diam. Farhan terus berusaha mencairkan suasana dengan bermain bersama Fatih. Perjalanan tiga puluh menit mereka tempuh hingga tampak terlihat janur kuning melengkung. Farhan turun, menyusul Rayhan dan keluarga kecilnya. Mereka memasuki ruangan. Rupanya keluarga calon mempelai pria belum tiba. "Belum tiba, Han.""Biar saja. Kita di sini menunggu."Tiba-tiba datang sosok yang mereka kenal. Ustaz Afwan."Assalamu'alaikum, Rayhan, Farhan."Keduanya mendekat dan mencium punggung tangan gurunya yang sangat mereka hormati. Ustaz Afwan tersenyum lebar dan memeluk satu per satu muridnya. Rasa rindu bertahun-tahun akhirnya terobati. "Apa kabar, Ustaz?""Alhamdulillah, baik. Kalian bagaimana?""Alhamdulillah, Ustaz."Matanya beralih pada dua
Humairah menutup pintu kamarnya. Pertemuan hari ini begitu mengejutkan. Bagaimana tidak, orang yang tak sengaja dia temui di mesjid setelah dipatahkan oleh keadaan adalah sosok laki-laki yang sudah lama dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Dia tidak memungkiri bahwa sikapnya persis dengan sikap Rayhan. Dia mampu memberikan kesejukan saat hatinya rapuh. Bahkan patah. "Ya, Allah, apakah dia jodohku?"Humairah berjalan ke sisian ranjang kemudian mendudukkan dirinya. Disentuhnya dada kiri yang sejak tadi tiba bisa ditahan untuk tidak mengeluarkan detaknya yang tak berirama. Humairah tersenyum tipis. Melihat tatapan teduh dari Hadid membuatnya merasa nyaman. "Astaghfirullah."Humairah buru-buru berdoa agar dijaga hatinya. Suara pintu diketuk. Rupanya ada Umi Hilda. "Sibuk, Nak?""Tidak, Umi."Umi Hilda tersenyum dan duduk di sebelah putrinya. "Bagaimana pendapatmu tentang Hadid?"Humairah menunduk dalam. Kedua jari telunjuknya memilin ujung jilbabnya. "Apa kamu setuju?""Insya Allah,
"Kamu di mana, Nak? Abi ingin bicara penting.""Lagi di mesjid, Bi. Humairah segera ke sana."Humairah menyeka air matanya setelah panggilan terputus. Baru saja ingin mengucapkan terima kasih, sosok laki-laki yang berdiri di sampingnya menghilang. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sosok tadi untuk mengembalikan sisa tisu yang dipakainya, namun orangnya tak kunjung ada. Jarum jam menunjukkan jam dua siang. Humairah memutuskan untuk meninggalkan area mesjid untuk menemui orang tuanya. "Ya Allah, kuatkan hamba."***"Kamu dari mana saja, Mai? Keluarga Ustaz Hilal datang bertamu.""Aku .... Berkunjung ke rumah Rayhan, Bi."Ustaz Hasan mengembuskan napas berat. Usianya sudah kepala tiga namun sampai saat ini putrinya masih menutup diri. Alasannya tetap sama. Masih belum bisa melupakan sosok Rayhan. "Sampai kapan kamu akan terus berharap pada dia, Nak? Ingat, umi sama abi sudah tua. Kami juga ingin melihat kamu bahagia dan hidup bersama dengan orang yang tepat.""Tapi, ti
"Ya, aku sudah menemukan jawabannya tanpa perlu mencari tahu. Mba lupa? wanita baik-baik tidak akan menyakiti sesama wanita. Wanita baik-baik itu berkelas, bukan merendahkan dirinya untuk merebut lelaki yang sudah beristri!"Sebuah tamparan keras dilontarkan Sofia pada Humairah yang sontak membuat mereka tercengang. Bagaimana tidak, mereka tidak menyangka Sofia akan mengatakan hal itu.Azizah tersenyum sumringah. Di dalam hatinya dia bersorak dan memuji keberanian Sofia."Justru aku wanita baik-baik, makanya aku pun memintanya baik-baik," sanggah Humairah. "Aku tidak akan memintamu untuk merasakan posisiku saat ini. Tapi, sebagai wanita cerdas lulusan universitas ternama dunia, tentu Mbak Humairah sudah tahu jawabannya tanpa harus berada di posisiku."Lagi dan lagi Sofia menekan posisi Humairah saat ini. "Lagi pula, aku tidak yakin, Mbak Humairah bisa ada di posisiku. Jadi, pintu ada sebelah sana. Silahkan, Mbak!"Humairah geram dengan sikap Sofia. Secara tidak langsung dia telah m
"Eum, itu bagi Rayhan tapi bagiku, kami lebih dari teman," jawabnya seraya mengukir senyum."Jangan memancing keadaan, Humairah. Nyatanya kita hanya teman biasa," tegur Farhan yang tiba-tiba muncul dari aeah belakang."Ada perlu apa ke sini?" tanya Rayhan."Aku ingin ketemu kamu," jawab Humairah santai. Rayhan mendengus kesal. Sofia dan Azizah sama-sama menyimak pembicaraan mereka. Keduanya sama-sama tidak suka dengan kehadiran Humairah. Farhan yang mengerti suasana hati Sofia merasa tidak enak dengan situasi yang terjadi saat ini. "Humairah, memang dulu kita berteman, tapi kamu harus tahu batasan.""Batasan?"Farhan menyenggol lengan Rayhan. Dia memberi kode untuk peka dengan raut wajah istrinya. Rayhan menangkap maksud dari Farhan. Dia kemudian merangkul Sofia dengan hangat. "Oh iya, aku sampai lupa. Ini istriku, namanya Sofia."Humairah terpaku sejenak melihat sosok wanita cantik yang ada di depannya. Di dalam hatinya dia merasa kalah. Pantas saja Rayhan dulu menolak mentah-m
"Azizah, bangun, Nak. Hari sudah sore.""Maaf, Nek, aku ketiduran.""Tidak apa-apa. Adzan Ashar sudah dikumandangkan. Segeralah shalat!""Baik, Nek."Azizah kemudian pamit untuk melaksanakan empat rakaat sebentar. Dia kemudian berjalan menuju ke ruang belakang. Sofia yang sedang membersihkan dapur bersama beberapa santri menghampiri Azizah. "Baru bangun, Za?""Iya, Mbak. Dibangunkan sama nenek.""Oh iya, Mbak, aku ingin shalat di sini. Rasanya aneh kalau meninggalkan nenek begitu saja."Sofia tersenyum kemudian menunjukkan di mana dia harus mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajibannya. Setelah selesai berwudhu, Sofia menyerahkan mukenah dan sajadah miliknya kemudian menyusul Nyai Zikra."Nek, sudah shalat?" tanya Sofia sembari merapikan selimut Nyai Zikra. "Sudah."Entah kenapa Sofia merasa suara Nyai Zikra semakin melemah. Tatapan matanya juga semakin redup. Hatinya mulai gelisah. "Sofia, tolong panggilkan Mertua dan suamimu, Nak."Tanpa berpikir panjang lagi, Sofia segera
"Alhamdulillah, Allah kembali mempercayakan kalian untuk menjaga amanah-Nya.""Iya, Nek. Insya Allah, Sofia akan menjaga titipan-Nya dengan baik."Nyai Zikra dan Sofia sedang duduk bersama. Saat ini kondisi Nyai Zikra juga semakin menurun. Semenjak kematian Kiyai Jalal, Sofia dan Rayhan memilih tinggal bersama Nyai Zikra. Mereka tidak ingin Nyai Zikra merasa sendiri. "Bagaimana kondisi kamu hari ini?""Hanya sering mual dan muntah, Nek.""Masya Allah, kamu tidak boleh mengeluh ya. Di balik senua itu pahala terus mengalir.""Insya Allah, Nek."Sofia terus memijit kaki Nyai Zikra-neneknya-. Sofia memang sangat menyayanginya dan begitu pun sebaliknya. Terlebih Sofia lebih dekat dengannya dibanding Azizah.Sofia sejak dulu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nyai Zikra. Tentu saja itu membuat Nyai Zikra merasa senang karena kehadiran Sofia menghilangkan sepi. "Bagiamana dengan Azizah?"Sofia terdiam. Tentu saja dia merasa bingung harus menjawab seperti apa. "Apa dia sudah hamil?"
Satu tahun berlalu ....."Mas, aku ada kejutan," bisik Sofia di telinga Rayhan.Rayhan yang mempersiapkan diri menuju kelas untuk mengajar berhenti sejenak dari aktivitasnya. Sofia tersenyum melihat kebingungan Rayhan."Apa, Sayang?""Coba Mas tebak!" ucapnya dengan senyum merekah."Eum, Ayah dan Bunda mau datang?" tebak Rayhan. Sofia menggeleng. "Fatih sebentar lagi masuk sekolah TK?" Lagi lagi Sofia menggeleng."Mas nyerah, Dek."Sofia menyerahkan benda yang sejak tadi sengaja disembunyikan di belakangnya. Alis Rayhan mengerut. Namun, saat dia mengetahui alat itu, jantungnya berdetak dengan cepat. Dua garis merah tampak nyata di depan matanya. Tangannya gemetar."Ini .... Serius?" Sofia mengangguk. "Alhamdulillah ...."Tubuhnya melutuh ke lantai dan sujud syukur atas apa yang telah dihadiahkan Tuhan padanya. Bahunya bergetar. Isak tangis mulai terdengar. Lisannya tak berhenti mengucapkan rasa syukur yang tidak terkira.Sofia ikut duduk di samping Rayhan sembari mengelus punggu