“Kamu jangan bercanda, Yasmin. Ingat! Aku benci lelucon murahan seperti ini!” Sean menggelengkan kepalanya berkali-kali, tidak terima dengan sikap Yasmin.
Mendengar itu semua Yasmin tetap diam, otaknya mulai bekerja dan berusaha mengingat dua pria yang sekarang ada di hadapannya. Namun sayang, semakin dia mengingat, semuanya masik terasa gelap.
“Kamu ingin membuat perhitungan denganku? Baik! Tapi bukan seperti ini caranya, Yasmin.” Sean begitu marah.
“Kak, sudah! Sepertinya kakak ipar memang kehilangan ingatannya,” bisik Davin, dari sorot matanya sudah jelas terlihat jika Yasmin kebingungan.
“Diam kamu, Vin! Tahu apa kamu soal medis, pergi dan urus saja mesin-mesin kesayanganmu itu.”
Davin tidak mudah terpancing emosi seperti Sean, maka semua yang dikatakan sang kakak sama sekali tidak berpengaruh padanya. Meskipun begitu ia tetap keluar dan segera meminta suster untuk memanggil dokter jaga.
&l
Sean dan Claretta sekarang duduk bersama, berhadapan dengan seorang dokter yang memang menangani Yasmin. Setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan, ternyata memang terjadi gangguan dalam ingatan Yasmin.“Jadi bagaimana, Dok?” tanya Claretta.“Nona Yasmin mengalami amnesia pasca trauma. Benturan di kepalanya cukup serius, ini menyebabkan pasien kehilangan sebagian ingatannya. Namun ada beberapa hal yang masih dia ingat, seperti nama dan dengan siapa terakhir kali dia tinggal.” Papar sang Dokter.“Apa dia mengingat tentang pernikahannya dengan saya?”“Sebelumnya saya minta maaf, tapi pasien hanya mengingat sebatas sebelum adanya hubungan yang terkait dengan anda.”DEGSean merasa tidak terima, hati yang sudah mencinta begitu dalam itu terluka saat dia yang tersayang sama sekali tidak mengingatnya. Namun sayangnya Sean tidak bisa berbuat apa-apa, jika terus dipaksakan untuk mengingat semua kenangan b
“Kamu tahu ‘kan apa yang harus kamu lakukan?” Sean menatap Putra yang sekarang sedang sibuk dengan ponselnya. “Hmm … Aku sudah menyiapkan segalanya, bahkan aku sudah menaruh kamera kecil dalam pas bunga untuk tetap bisa mengawasi pria itu.” Sean hanya mengangguk, meskipun sudah ada perjanjian di atas materia dan memiliki kekuatan hukum yang jelas, Sean tidak ingin gegabah dengan membebaskan dia berdekatan dengan Yasmin, meskipun dia adalah pamannya. “Aku benar-benar menyesal,” lirih Sean. “Untuk?” Putra melirik sahabatnya itu santai, kemudian mengembalikan pandangannya pada ponsel. “Andai aku percaya dengan perkataan Yasmin malam itu, mungkin cinta ini sudah menjadi besar. Bahkan bisa saja aku dan Yasmin sudah bisa memberikan Mami seorang cucu.” Putra hanya terkekeh mendengar perkataan Sean. Bukan tidak ingin memberikan saran, namun cinta mereka harus menemukan jalan sendiri untuk bisa kembali bertemu. Walaupun tidak mudah untuk menemukan jalan idah setelah melewati begitu banyak
Yasmin baru saja membuka mata, gadis itu hanya bisa menghela napas berat saat mengingat di mana dia berada dan pamannya yang sampai kini tak kunjung datang. "Sus, kapan saya bisa keluar dari rumah sakit?" Yasmin bertanya penuh harap pada suster yang memang ditugaskan Sean di ruangannya. "Saya tidak tahu Nona, jadi saat dokter datang nanti lebih baik Nona langsung bertanya." "Iya, terima kasih banyak, Sus." Hari ke-7 di rumah sakit, infus yang mengekang kebebasannya akhirnya dilepas. Yasmin tersenyum, setidaknya salah satu bebannya telah hilang. "Selamat pagi ..." Claretta masuk membawa parsel buah kesukaan Yasmin. Jika sebelumnya Claretta datang di jam tidur, hari ini dia mulai hadir saat Yasmin bangun. "Pagi, Bu ..." balas Yasmin sambil menganggukkan kepalanya. "Bagaimana kabarmu, Yas? Di rumah rasanya ada yang tidak lengkap sekarang," wanita paruh baya itu hanya terkekeh. "Kenapa saya merasa begitu dekat dengan anda, Bu?" Pertanyaan Yasmin membuat Claretta terbelalak, namun t
“Jangan bercanda, dude? Ini tidak lucu,” Sean benar-benar tidak percaya dengan apa di dengarnya.“Aku bukan pelawak,” sahut Putra singkat.Setelah mendapat kabar dari Marco, malam harinya Putra bertandang ke kediaman Sean dan bicara empat mata di dalam kamar. Jika biasanya Sean menolak, kali ini justru dia yang meminta agar kedua orang tuanya tidak tahu apa yang terjadi.“Dia benar-benar harus dimusnahkan dari muka bumi,” celetuk Sean.“Jangan grasa-grusu, bagaimanapun kita masih membutuhkan dia untuk kesembuhan Yasmin.”Sean hanya diam dan menarik napas dalam, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang sembari menatap langit-langit kamar yang tampak suram, meskipun cahaya dalam kamarnya begitu terang.“Ya, kamu benar,” sahutnya singkat. “Tapi aku takut jika Dody akan berbuat nekat.”“Dody tidak mungkin melakukan hal gila, kecuali dia tidak sayang lagi dengan nyawanya.” Putra ikut berbaring di samping Sean, menatap arah yang sama, namun dengan isi kepala yang berbeda tentunya.“Aku
Sean tidak tahu harus berkata apa, mendengar Yasmin meminta ijin seperti itu benar-benar melambungkan perasaannya. Sean merasa jika semua telah kembali sesuai dengan keinginannya.“Ya, kamu boleh memanggilku sesukamu.”“Tidak, tidak! Aku lebih nyaman memanggilmu dengan nama itu saja. Aku merasa tidak asing jika memanggil namamu.”Sean menipiskan bibirnya, haruskan dia berkata jika memang hal ini sering mereka lakukan meskipun dalam kemarahan dan cinta yang terpendam?“Kenapa kamu masih berdiri di sana? Apa aku terlihat mengerikan saat bangun tidur?” Yasmin terkekeh, dia lantas membenahi tatanan rambutnya agar terlihat lebih rapih.“Tidak ada yang lebih mengerikan, daripada melihat orang yang aku cintai terluka dan itu karena aku sendiri,” ujarnya dengan tulus.“Betapa beruntungnya perempuan itu,” Yasmin kembali tersenyum.‘Ya, dan perempuan itu adalah kamu.’“Sus, apa aku boleh ke kamar mandi?”“Tentu, silahkan.”Merasa jika Yasmin akan membutuhkan bantuan, Sean lantas mendekat dengan
Yasmin melenguh pelan kemudian memegangi kepalanya yang terasa masih berputar. Bulu mata lentik milik Yasmin mulai bergerak, detik berikutnya dia membuka mata. “Ini di mana?” gumamnya pelan. Yasmin ingat betul, terakhir kali ia ada di rumah sakit dan mengalami sakit kepala setelah berada dalam pelukan Sean. ‘Ini bukan rumah sakit!’ batinnya. Ruangan dengan nuansa putih biru ini membuat Yasmin nyaman, meskipun tempat ini sangat asing. Dengan begitu hati-hati, Yasmin duduk di tepi ranjang dan mulai memperhatikan detail ruangan. Lemari besar, televisi, meja rias dan pendingin ruangan. Kamar ini benar-benar lengkap, membuat Yasmin merasa tidak pantas. Dia hanya bisa mengingat kamar sederhana miliknya di kediaman sang paman dengan ranjang reyot miliknya. “Permisi …! Apa ada orang?” tidak ada satupun yang menunjukkan batang hidungnya. Yasmin berdiri dengan cepat, tenaganya pulih dengan cepat dan tidak ada lagi rasa sakit di tubuhnya. “Yasmin …” “Siapa di sana?” Yasmin menoleh ke bela
Davin susah payah Davin memindahkan sang kakak ke tempat tidur. Tubuh Sean yang hampir sama dengannya membuat dia benar-benar harus memeras keringat. Selama ini Davin hanya sibuk menggendong para wanita dan tidak pernah terbersit dalam benaknya akan melakukan ini. Lelah, Davin akhirnya menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Sean yang terlihat gelisah karena pengaruh alcohol dan beban cinta yang dia buat sendiri. Begitu kira-kira Davin mengejek sang kakak. “Ini salah satu alasan kenapa aku tidak mau menikah,” gumamnya pelan. “Selama bisa bersenang-senang, kenapa harus menikah.” Pemikiran dangkal itu membuat Davin masih saja hidup sesukanya, meskipun usianya menginjak kepala tiga. Namun Anggara dan Claretta sama sekali tidak memusingkan hal tersebut, selama putra mereka bisa bertanggung jawab dengan setiap hal yang sudah diperbuatnya. Jika tidak, maka Anggara akan langsung turun tangan tanpa melakukan diskusi. Merasa cukup meluruskan pingganganya, Davin berjalan gontai menuju dapur da
BughBughPutra melayangkan beberapa pukulan telak pada rahang Dody, membuat pria bertubuh gempal itu tersungkur dan melepaskan cengkramannya pada pergelangan tangan Yasmin."Tua bangka tidak tahu diri! Beraninya kau melakukan ini.""Cukup, jangan pukul pamanku. Stop!" Yasmin sedikit histeris saat melihat Putra mengajar Dody sedikit membabi-buta."Bawa dia pergi dari sini! Tapi jangan biarkan dia lepas."Dua pria itu hanya mengangguk dan langsung menyeret Dody keluar dari ruangan Yasmin. Putra dengan cepat mendekati Yasmin dan segera membantunya naik kembali ke atas ranjang.Tidak ada penolakan dari Yasmin saat Putra membantunya."Kenapa kamu bisa sendirian? Kemana suster yang menjagamu?" tanya Putra sambil menaikan kaki Yasmin yang masih bergetar karena ketakutan dengan sikap Dody."Di-dia pergi keluar, paman memintanya untuk keluar membeli makanan.""Hah ..." Putra membuang napasnya kasar. Bisa-bisanya Dody melakukan ini, bahkan dengan begitu teganya dia berbuat kasar. Namun Putra ti