Putra hanya tertawa saat Sean mengatainya gila. Tapi jika Putra gila, maka Sean lebih gila dan sedikit bodoh. Itu kenyataan yang sebenarnya.
“Janga munafik, Lo! Body Yasmin oke juga kan? Ngaku aja deh.”
“Oke dari sebelah mananya? Atas rata, belakang tepos, tapi bagian itunya …” Sean langsung mengatupkan bibirnya rapat. Hampir saja ia mengatakan ciri-ciri tubuh Yasmin pada sahabatnya.
‘Tidak, tidak! Putra tidak boleh tahu kalau bagian itu bersih dan menggoda,’ Sean membatin.
“Bener dugaan gue, Lo pasti udah liat dalamnya kan? Ngaku!”
“Jangan sok tahu.” Sean langsung membuang tatapannya.
Sean mulai bosan membahas masalah yang sama. Bukan bosan, lebih tepatnya dia takut akan semakin menginginkannya. Sejujurnya, sejak pertama kali melihat tubuh Yasmin malam itu, sesuatu dalam dirinya berontak, namun Sean masih bisa menahan diri dengan baik.
“Sudah, jangan bahas lagi
“Di sini, aku adalah korban!” Perkataan Yasmin masih saja terngiang di telinga Sean. Bahkan setelah berhari-hari, semua itu masih sangat jelas dalam ingatannya.Sejak siang itu, Yasmin sama sekali tidak menunjukkan senyumnya. Dia berubah acuh, bicaranya sedikit dan selalu menghindar saat bertatap muka dengan Sean. Hati Sean merasa dicubit setiap kali Yasmin mengabaikannya, meskipun ia tetap suka memerintah dan membentak istrinya, namun rasanya tetap berbeda. Ada yang kurang.“Yasmin! Kemari, cepat!” Yasmin mendekat, berdiri selayaknya majikan dan pelayan. “Duduk!”“Tidak! Aku berdiri saja, Pak.”Sean menggeram frustasi, kecanggungan ini membuatnya tersiksa. Bahkan panggilan ‘Pak’ yang di sematkan Yasmin beberapa hari ini sangat mengusiknya. Dia tidak nyaman dan tanpa sadar Sean menginginkan hal lain.“Mulai hari ini jangan panggil aku seperti itu, Yasmin!” Sean menatap istrinya
Dua hari berada di rumah sakit membuat Yasmin bosan. Seharian dia hanya berbaring dan membaca majalah yang sengaja Putra bawa. Sikap pria itu cukup menghibur Yasmin yang sedang emosi dan kesal pada Sean. Lebih tepatnya Yasmin merasa ada yang kurang saat Sean tak kunjung datang setelah hari itu.Haruskah Yasmin menyesal atas sikap kasarnya dengan mengusir Sean?“Kenapa bengong?” Suara lembut Putra mengejutkan Yasmin.“Kamu masuk lewat mana?” Pertanyaan Yasmin membuat Putra tersenyum geli.“Aku ini manusia, jadi sudah pasti aku lewat pintu. Karena aku bukan maling, jadi tidak lewat jendela.”Kening Yasmin berkerut, candaan Putra sama sekali tidak lucu saat Yasmin merindukan orang lain. Sean, di mana pria itu sekarang? Ternyata rasa bencinya pada Sean hanya sebatas ini.Pikiran Yasmin masih melayang, mencari tahu di mana Sean berada. Dia merindukan teriakan yang menggema dari Sean, bahkan tatapan tajamnya mem
Alferd baru saja selesai memeriksa kondisi Yasmin yang kembali menurun. Saat keluar dari rumah sakit, Yasmin terlihat bugar, bahkan tidak ada tanda-tanda jika kondisinya akan kembali seperti ini. Yasmin istirahat, semua orang berkumpul di ruang keluarga saat Sean baru saja kembali setelah meninjau proyek yang tidaklah jauh dari rumah sakit. Sean dan Putra sengaja berbohong. Pria tampan dengan wajah lelah itu melengos begitu saja, berjalan cepat menaiki tangga, ada sesuatu yang harus segera dia lihat. “Lihat! Sekarang dia bahkan mengabaikan kita karena khawatir pada istrinya,” cibir Anggara dengan santai. “Ahahah … Om benar sekali, bahkan Sean juga mengancamku untuk menjauhi Yasmin,” timpal Putra. Anggara dan Claretta tergelak mendengar perkataan Putra. “Ck! Anak itu memang mudah sekali jatuh cinta,” gumam Anggara. “Jadi gimana kondisi Yasmin, Al? Nggak ada masalah serius ‘kan dengan kesehatannya?” Kali ini Claretta yang bicara. “Tante nggak mau ada ya
Mendengar apa yang dikatakan Claretta, Sean tersentak, dia tidak percaya jika akan mendengar itu dari mulut Maminya sendiri. Kepalanya tiba-tiba bedenyut nyeri, membuat Sean berbalik dan berniat pergi dari sana, lalu menyendiri. Namun saat berbalik, Sean dikejutkan dengan keberadaan Anggara di depannya dengan wajah santai, namun menyiratkan kata sebagai tanda peringatan untuk Sean.‘Jangan bertindak bodoh, apalagi sampai merugikan dirimu sendiri!’ begitu kira-kira yang Sean lihat dari tatapan Anggara.“Papi …”“Istirahat dan dinginkan kepalamu! Kalau perlu yang lebih cepat, minta Bi Sumi bawakan es balok ke kamar,” Anggara terkekeh kecil, membuat Sean kesal karena Sang Papi hanya meledek tanpa memberikan solusi untuknya.Sean menjatuhkan tubuhnya di ranjang kamar tamu dan merenungi semuanya. Betapa selama ini dia sudah bersikap tidak manusiawi pada Yasmin, bahkan selalu saja menyusahkan dan menghina gadis itu tan
Di atas ranjang besar berbalut sutra, Sean dan Yasmin tidur begitu nyenyak, melupakan sejenak masalah yang mereka miliki. Seakan tempat ini berusaha untuk bisa mendekatkan keduanya.Claretta yang menjadi saksi merasa ingin menangis dan tertawa layaknya wanita yang kehilangan akal sehatnya, namun saat Anggara bertanya, rasa itu bisa dikendalikan.“Ma, ada apa sih?”“Kepo! Papa lihat aja sendiri,” Claretta mengerling nakal, setelahnya tersenyum lebar.“Hooo …” Anggara langsung menarik gagang pintu, menutupnya perlahan agar tidak menimbulkan keributan.“Mereka pelukan, Ma,” kata Anggara penuh semangat. “Jadi gimana nih, pisah atau lajut aja?”Keduanya terlihat berpikir keras, serius dan berhati-hati untuk mengambil keputusan. Namun saat keheningan menyelimuti, tiba-tiba Davin datang mengejutkan keduanya, berteriak di depan kamar Sean, membuat focus keduanya buyar.“
Menghabiskan waktu cukup lama di depan pintu kamarnya sendiri membuat Sean terlihat seperti orang bodoh. Ini bukan kebiasaannya, lagipula kamar itu tempat pribadinya, bahkan semua yang sekarang ia injak pun akan menjadi miliknya dan juga Davin.“Argghh … Kenapa aku ini?”Saat Sean dilanda frustasi, Bi Sumi diam-diam sudah berada di dekatnya membawa sebuah nampan yang berisi makanan untuk Yasmin, sesuai dengan yang Sean minta.“Den …”“Astaga! Bi Sumi, kenapa bikin aku kaget?” Sean melotot, namun Sumi hanya nyengir kuda tanpa rasa bersalah sedikit pun.“Bibi boleh masuk? Atau mau Aden yang …” Sumi melirik nampan yang ada di tangannya. “Aden sendiri yang bawa masuk?”“Simpan saja di meja, Bi, sebentar lagi aku masuk.”Sumi mengangguk, tidak berselang lama perempuan paruh baya itu keluar dan tersenyum jahil, seakan tahu apa yang sekarang sedang t
Jantung Yasmin berdegup kencang saat mendengar Sean menyematkan namanya keluarga Anggara di belakang namanya. Semua rasa bercampur menjadi satu, seperti nano-nano yang banyak rasa, membuat Yamsin bingung harus bersikap seperti apa.Beberapa saat Yasmin menunggu, namun ranjang sama sekali tidak bergerak, membuat Yasmin penasaran dengan apa yang sedang dilakukan Sean. Diam-diam, Yamsin mengintip dari balik selimut.“Dia, kerja malam-malam begini?” Yasmin mengernyit bingung, bahkan Sean tidak mengijinkan dirinya untuk berjauhan dari laptop dan pekerjaannya meskipun malam telah datang.Sesekali terdengar helaan napas berat dari Sean, tentu saja itu memancing rasa penasaran Yasmin yang masih terjaga sampai pukul Sembilan malam. Tidur siang yang lelap ternyata membuat Yasmin kehilangan rasa kantuknya.“Hallo, Rita?”DEGHatinya tiba-tiba berkecamuk mendengar suaminya menghubungi wanita lain malam-malam.‘Apa Se
“Kenapa harus kayak gini saat semuanya akan berakhir?” Yasmin merasa dipermainkan olah takdir. Jika memang Sean bukanlah jodohnya, kenapa rasa ini hadir dengan mudahnya saat semua sudah di ujung tanduk. Beberapa kali Yasmin menghela napas berat, perpisahan jadi momok mengerikan untuknya. Selain itu, kemana dia akan pergi setelah berpisah dari Sean. Ke rumah pamannya? Yasmin menggeleng cepat, rumah pamannya jadi mimpi buruk yang mengerikan dan sampai kapanpun tidak akan pernah dia pijak kembali. “Dingin …” lirih Sean dengan mata yang terpejam. “Ya Tuhan, demamnya makin tinggi, gimana kalau dia sampai kejang?” gumamnya pelan. Yasmin tidak bisa tinggal diam melihat Sean seperti ini, tanpa meminta persetujuan pria itu, Yasmin keluar kamar dan berjalan cepat menuju dapur, menyiapkan air hangat. Bergegas Yasmin kembali ke kamar, membongkar lemari dan mencari sapu tangan atau kain yang bisa dia gunakan untuk mengopres kening suaminya.
Sore menjelang malam, Sean menatap gedung tinggi yang dihuni oleh banyak orang. Ia merasa ragu saat hendak datang untuk menyambangi Hana di apartemennya. Sean bukan cenayang yang bisa tahu isi kepala seseorang atau membaca ekspresi wajahnya. Namun semakin lama ia diam, maka semakin besar kemungkinan jika Yasmin akan pergi dan ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.Sekarang di sini ia berada, di depan sebuah pintu yang tertutup rapat, pintu di mana dulu ia singgah dan mengahbiskan waktu bersama Hana. Sean membuang jauh kenangan itu dan langsung menekan bel.Pintu terbuka, di depan sana Hana berdiri sambil menggendong anak yang dia katakan sebagai darah daging kita. Namun hati kecil Sean tetap menolak.“Hai … maaf ya, apartemennya berantakan.”“Tidak masalah, lagi pula kau tidak akan lama, cukup di sini saja.” Sean tidak ingin masuk.“Apa tempat ini sudah seburuk itu, sampai kamu enggan untuk menginjakkan kakimu lagi?” Hana berusaha untuk menekan amarahnya sendiri. “Ayo kita menikah
Sean diam dalam kesendirian di ruang kerjanya, beberapa laporan yang harusnya ia periksa hanya teronggok tak tersentuh. Masalah yang baru saja datang cukup sulit untuk ia tanggung sendiri. Jika tidak melibatkan Yasmin, mungkin Sean tidak akan sekhawatir ini dan ia pasti menyelesaikan semuanya tanpa harus bergerak. “Sepertinya aku harus meminta bantuan Mami untuk menjaga Yasmin.” Sean lantas meraih ponselnya dan langsung mengirim pesan. Sean Mam, pulanglah lebih awal. Tolong jaga Yasmin untukku. Selang beberapa menit, ponselnya masih saja sepi, tidak ada balasan apa pun dari Claretta atau pun Anggara. Beberapa kali Sean hanya bisa menghela napas, hatinya sama sekali tidak tenang karena sikap Yasmin yang terlampau dingin padanya. Brakkk “Bagaimana bisa ini terjadi?” “Mami …” Sean terbelalak, jadi ini alasan Maminya tidak membalas pesan. Ternyata wanita yang masih cantik diusia tuanya itu langsung datang menemuinya. “Bisa jelaskan semuanya sama, Mami, Rev?” Claretta melepaskan kac
“Hana?” gumam Sean pelan.Hana yang melihat keterkejutan Sean lantas mendekat, dengan kasar ia mendorong Yasmin hingga mundur beberapa langkah.“Minggir! Pembantu sepertimu tidak pantas ada di hadapanku.”“Berhenti!” Sean mengangkat tangannya, jangankan untuk berpelukan dengan wanita itu, Sean bahkan sudah muak saat melihat wajahnya yang munafik itu.“Pergi dari rumah ini sebelum aku bersikap kasar!” tegas Sean.“Kamu tega kasar sama aku?” Hana memelas. “Kamu berubah! Apa seperti ini cara kamu menyambutku?”Sean tertawa lepas, ia seperti mendengar sebuah lelucon yang menggelikan dari Hana. Tanpa bicara, Sean mendekati Yasmin dan berdiri di samping istrinya, menunjukkan siapa yang sekarang mengisi hidupnya yang dulu telah hancur.“Kenapa tidak? Siapa Kau sampai berani mengaturku seperti itu. Kau datang ke rumahku, menghina istriku. Jadi aku sudah melakukan hal yang sepatutnya padamu.”“Yas, pergilah ke kamar, sebentar lagi aku akan menyusul.” Sean tersenyum manis, sedangkan Yasmin hany
Setibanya di kantor, Sean benar-benar merasa tidak tenang. Ia masih tidak menghubungi Yasmin atau pun Mila. Sean tidak pernah menyangka jika seperti inilah sifat asli dari Hana.Saat Sean kembali menghubungi Yasmin, akhrinya mereka bicara, meskipun ada kebingungan yang nyata dari anda bicara istri dari Sean.“Hati-hati …” panggilan pun berakhir, tidak berselang lama Davin masuk bersama Putra.“Bagaimana kak, apa kakak ipar sudah bisa dihubungi?”Sean mengangguk, “Sudah! Aku meminta Yasmin dan Mila untuk segera kemari.”Kekhawatiran Sean sedikit berkurang, mereka kembali duduk dan menunggu kedatangan Yasmin. Putra yang sudah kembali sebelum cutinya selesai terlihat lebih pendiam. Ia duduk dan menyibukan diri dengan ponselnya, air mukanya seketika berubah saat melihat sebuah video viral yang baru saja beberapa menit di up ke media social.‘Model ternama, Wihana Aurelya sudah memiliki bayi dan memarahi wanita lain di mall’KlikPutra membesarkan volume ponsel dan memberikan benda pipih i
Di pusat perbelanjaan, Hana mendorong sebuah stroller di mana seorang balita mungil sedang terlelap. Wajahnya begitu lucu, dia bahkan memilih kulit yang putih dengan hidung mancung yang begitu menggemaskan.Hana memasuki sebuah restoran cepat saji, duduk sendiri sambil sesekali memperhatikan balita tersebut. Sudut bibirnya terangkat membentuk bulan sabit, kemudian memotret si pipi gembul itu.“Aku akan memulainya dari media social,” gumamnya pelan. Media social, di sana banyak sekali fans seorang Hana dan setelah sekian lama menghilang dia akan mengejutkan dunia dengan captionya kali ini.‘Baby Arvinku tersayang, sebentar lagi kita akan bertemu dengan Daddy.’KlikDalam hitungan detik, foto itu tersebar dengan cepat. Hana sengaja mematikan kolom komentar dan hanya tertawa melihat begitu banyak orang yang masih memperhatikan serta menunggu kabar darinya.‘Sean …’ lirih Hana.Hana kemudian meletakkan ponselnya dan mulai makan, dia kembali hanya untuk mendapatkan Sean, membuang jauh kisa
Hampir menjelang makan siang kedua pasangan suami-istri itu akhirnya keluar dari kamar dan berkumpul di meja makan dengan canggung, seakan mereka baru bertemu untuk pertama kalinya. Namun itu hanya berlaku untuk Yasmin dan Mila.“Kenapa meja makan ini sepi sekali,” keluh Davin.“Hmmm …” sahut Sean sambil melirik istrinya makan sambil menundukkan kepalanya. Berbeda dengan Mila, yang masih terlihat biasa saja.“Kak Yasmin …” Mila memulainya, dia tahu jika kakak iparnya itu malu karena ketahuan sesuatu. Ah, rasanya Mila langsung berdebar saat mengingat itu.“I-ya, ada apa, Mil?”“Kalau hari ini kakak ada waktu kita shooping, ada beberapa kebutuhanku yang sudah habis. Aku pikir kita bisa pergi bersama,” jelas Mila.Yasmin melirik Sean yang ada di sampingnya, sedikit mendongak saat melihat rahang tegas suaminya dengan kulit yang glowing luar biasa. Yasmin sempat bepikir, apa yang akan terjadi jika lalat hinggap di wajah suaminya.“Kamu bisa pergi dengan Mila, tapi kalian harus di antar ole
Pagi ini Yasmin keluar dari kamarnya dengan rambut yang tergerai, sedikit basah. Beberapa asisten rumah tangga tersenyum melihat Yasmin yang berbeda, jelas sekali jika semalam dia dan Sean melakukan sebuah penyatuan luar biasa.“Non, biar bibi saja.”“Enggak apa-apa, Bi, aku hanya buat kopi buat Tuan.”“Eh, kok sama suami panggil Tuan sih. Mas atau bebep gitu non, mirip anak-anak jaman sekarang.”Yasmin tergelak mendengar celotehan tersebut, namun dia merasa lebih nyaman memanggil Sean dengan sebutan Tuan. Ada rasa yang berbeda saat kata Tuan terucap dari bibirnya. Seperti semalam, entah berapa kali Yasmin meneriaki Sean dengan panggilan Tuan di tengan hasrat keduanya yang menggebu.“Aku mencintaimu, Yas …”“Ahhh … Tu-tuan …” inti tubuh Yasmin menegang saat Sean membelai seluruh tubuhnya dengan begitu lembut.“Sebut namaku … Berteriaklah, Yas!”“Tu-an Sean …” Yasmin semakin terbata-bata saat menyerukan nama suaminya yang sekarang sedang bermain pada titik sensitive Yasmin dengan mengg
Pukul 7 malam Sean akhirnya tiba di kediamannya, wajahnya benar-benar lesu setelah seharian ini bergelut dengan berkas dan meeting dengan beberapa tamu dari luar kota. Karena Putra meminta cuti secara tiba-tiba, Sean terpaksa mengerjakan semuanya.“Hahhh … Aku lelah sekali,” Sean menjatuhkan tubuhnya di atas sofa di ruang tamu. Kakinya terasa lemas untuk sampai ke kamarnya di lantai atas. Selain pekerjaan, pikiran Sean juga terbagi pada Putra. Dia tahu dengan bai kapa yang akan terjadi pada sahabatnya jika kenangan Rachel kembali.“Tu-tuan …”Sean mendongak, dia tersenyum tipis mendapati istrinya berdiri di belakang dengan wajah polos tanpa makeup, membuatnya merasa sedikit lebih baik. Namun panggilan ‘Tuan’ membuat Sean sedikit tidak nyaman.“Yas, duduklah di sini sebentar.” Sean menepuk tempat kosong di sampingnya.Yasmin berjalan dan melakukan apa yang Sean minta. Setelah penyatuan itu, tidak ada jarak antara keduanya, namun masih terselip kecanggungan yang terkadang membuat Yasmin
Sean baru saja selesai makan siang di sebuah resto yang tidak jauh dari kantor. Matanya terus saja celingukan mencari asisten sekaligus sahabatnya yang tak kunjung datang, padahal Sean sudah mengirim pesan dan mengirim lokasi di mana dia berada. Ting “Aku sudah selesai makan siang, tapi dia baru merespon pesanku.” Sean berdecak kesal, lantas membuka pesa dari Putra. Keningnya seketika berkerut, ekspresinya juga sedikit berubah. ‘Aku akan cuti 2 hari, aku lelah dan ingin istirahat dulu.’ “Putra, lelah dan ingin istirahat?” Bahasa yang sangat dia dengar dari sosok itu. Sean merasa ada yang tidak benar dengan sahabatnya, dia segera meminta bill dan berniat untuk kembali ke kantor secepatnya. Namun saat ingin beranjak, seseorang tiba-tiba saja datang menghampirinya dan meminta Sean untuk duduk sebentar. “Tuan Sean?” tanya seseorang. “Ya, saya. Anda siapa?” Sean sedikit waspada, karena sampai sekarang orang yang sengaja ingin menabraknya belum juga ditemukan. “Saya ingin bicara dan