Matanya tidak henti-henti menatap jas hitam yang kini sedang ia pakai. Hangat, itulah rasanya. Wanita itu masih mencoba mencerna semua kejadian itu hingga bagaimana ia bisa berada di mobil pria tersebut.Ia kaget setelah menyadari tangan seseorang mencoba untuk menyelipkan poni di telinganya. Nicha berbalik melihatnya. “Apa yang –“ Rangga tersenyum manis. “Nah. Kalau begini kan lebih cantik.”“Apa maksudmu?” tanya Nicha seraya mengerutkan alisnya.“Kau tidak boleh menunduk lagi, kau harus melihat ke depan dengan percaya diri. Karena, kau cantik disaat seperti itu.”Nicha menatap pria itu sinis. “Tidak usah menghiburku. Kau tidak tahu apa yang aku alami,” kesalnya.“Bukannya berterima kasih,” gumam Rangga sembari menginjak pedal gas dan akhirnya ia menjalankan mobilnya juga setelah beberapa menit.“Aku tahu kok semua tentangmu,” ucapnya lagi sambil terus fokus pada jalan raya.“Aku tahu tentang bagaimana kau di masa lalu dan juga mengapa kau takut untuk bertemu banyak orang,” lanjutny
Suara sorakan dari beberapa wanita di kursi penonton membuat lapangan terasa hidup. Banyak sekali wanita yang menyebut nama Gilang di atas sana, sepertinya dia adalah bintang malam ini.“Gilang! Sekali-kali kau harus melambaikan tangan pada penggemarmu di atas sana.” Seperti biasa sahabatnya itu banyak sekali komentarnya. Dia lebih cocok jadi komentator bola daripada pemain bola.Gilang dan Henry berjalan di tengah lapangan, beberapa menit lagi babak kedua akan dimulai, mereka berdua memilih untuk istirahat di kursi cadangan bersama beberapa pemain.“Hei, kau sungguh tidak mendengarku ya!?”Gilang menoleh. “Aku tidak suka tebar pesona sepertimu!” ketus Gilang setelah itu mengelap keringatnya menggunakan handuk.“Ya terserah kau,” ujar Henry yang juga ikut mengelap keringatnya.“Kak Gilang ini untukmu.” 2 pria itu yang tadinya asyik mengelap keringat kini menghentikan aktivitasnya.Mata Gilang melihat botol air mineral yang diberikan oleh gadis cantik itu. “Aku sangat menikmati permai
BAB 19“Jadi kau benar-benar serius melakukannya?”Nicha yang sedang asyik makan es krim hanya bisa menoleh sebentar. “Ya. aku sangat serius,” jawabnya dengan penuh penekanan.“Itu tidak akan berhasil bodoh,” gumam Gilang.Nicha melihat Gilang dengan tidak suka. “Beraninya kau bilang aku bodoh, kau tidak tahu siapa aku di sekolah,” ujar wanita itu.Gilang terkekeh pelan. “Aku memang tidak begitu mengenalmu, tapi sepertinya ada satu sifat yang tidak berubah sama sekali,” jelasnya.Nicha mengangkat kedua alisnya. “Apa itu?” tanyanya.“Kau sungguh tidak tahu?!” heran Gilang. “Padahal ini sangat kental padamu,” lanjut Gilang.“Kalau kau mau menghinaku lebih baik jangan beritahu aku, sialan.” kesal Nicha.Pria itu memperhatikan wanita yang duduk di sebelahnya dengan prihatin. Ia sampai menggelengkan kepalanya melihat gaya duduk Nicha.Kaki yang di angkat ke atas sambil makan cemilan. Benar-benar terlihat seenaknya. “Kenapa kau melihatku begitu. Apa aku secantik itu?”Gilang memalingkan wa
Dia, wanita dengan poni lurus hitam itu. Masih menerka-nerka bagaimana pertemuan selanjutnya antara dirinya dan juga Rangga.Sore ini, dia duduk dengan nyaman di sebuah kursi kayu di pinggir taman kota tersebut. Ia memilih untuk duduk di pinggir saja karena ia benci dengan keramaian di tengah taman kota.Padahal jika dilihat lagi. Banyak sekali orang yang bersenang-senang di sana, banyak anak-anak yang berlarian sambil memegang balon yang berwarna warni dan lucunya lagi, ada anak yang menangis karena balonnya meletus, membuat orang tuanya berusaha membujuk anak itu agar tidak menangis lagi.Tapi itu tak terlihat lucu bagi Nicha. Nicha tipe wanita yang tidak tahu cara menyenangkan anak kecil, dia tidak suka anak kecil karena merepotkan. Mungkin saja, dia lebih suka menyapa kucing di jalanan daripada manusia.Apakah ada orang seperti Nicha? Ya itu ada tapi mungkin di tempat lain.“Maaf aku membuatmu menunggu lama.” Akhirnya suara laki-laki yang sedari tadi ia tunggu terdengar juga.Wani
Perempuan itu mulai tersadar, matanya mulai terbuka secara perlahap, sayup-sayup ia melihat beberapa orang sedang duduk tak jauh darinya. Meski samar-samar tapi Nicha tahu siapa orang itu. pertanyaannya adalah di mana dia sebenarnya?Jika Nicha lihat lagi, tempat tersebut begitu asing baginya. orang tuanya tidak menyadari jika Nicha sudah siuman karena mereka sedang berbicara dengan seorang pria dengan jas putih.Sepertinya pengaruh obat masih bereaksi padanya jadi ia masih merasa agak pusing ketika ingin memastikan dengan siapa orang tuanya berbicara.Oh iya. Nicha baru ingat, jika semalam ia bertengkar dengan Gilang karena rencananya telah gagal untuk menipu Rangga. Ah itu benar, ini pasti di klinik Gilang.Nicha memijit pelipisnya karena pusing akibat mencoba mengingat kejadian semalam. “Nicha! kau tidak apa-apa nak?” kedua orang tuanya telah sadar jika Nicha telah siuman. mereka mendekati gadis itu.“Ya. aku baik-baik saja,” ujarnya meracau.Orang tua Nicha merasa legah karena an
Perempuan itu mengikat tinggi rambutnya yang panjang. Tidak biasanya sepagi ini ia sudah berpakaian dengan sangat rapi. Mata bulatnya melirik dirinya sendiri di depan cermin, ia sengaja memilih jaket hoodie berwarna orange yang cukup besar hingga menutupi rok levis yang ia kenakan. Belum lagi, stoking kaki berwarna hitam yang menutupi kakinya lengkap dengan sepatu kets putih. Nicha tidak sedang ingin pergi berolah raga namun hari ini ia akan ikut ayahnya untuk ke kantor. Penempatan pakaian yang ia kenakan memanglah sangat tidak sesuai. Gadis itu sengaja melakukannya agar pandangan Rangga terhadap dirinya jelek. “Ah.. Bahkan ini masih terlihat bagus, seharusnya aku memakai kaos hitam robek dengan pensil alis di bawah mata huh,” gumam Nicha lirih. “Nicha buruan nak. Ayahmu sudah menunggu kita di dalam mobil!” Dengan buru-buru, Nicha segera mengambil tas pinggangnya lalu keluar dari kamar dan berlari kecil untuk mendahului sang ibu. Saat Nicha sudah masuk ke dalam mobil. Ayahnya me
Nicha masih memikirkan kejadian tadi pagi. Selama seharian ia hanya bisa merenungi kata terakhir yang dilontarkan oleh teman lamanya.“Ibu, klinik Gilang dekat dari sini. Aku ingin ke sana,” ujar Nicha.Nicha bosan tinggal dan hanya diam melihat ayahnya bekerja. Lagipula Nicha sudah janji untuk menemui Gilang lagi, bagaimana pun juga ia harus konsultasi dengan dokter tersebut.“Aku akan jalan kaki saja. Tidak apa-apa,” lanjutnya.“Kenapa tidak bersama Rangga saja. Lagian kalian kan akan menikah, harusnya kalian bisa memanfaatkan waktu untuk bersama lebih lama.”Nicha melihat ayahnya dengan malas. “Nicha kau harus belajar mencintai Rangga, karena ayah akan tetap menikahkan kalian. Rangga itu anak yang baik dan bertanggung jawab, dia sudah lama sama ayah jadi ayah tahu bagaimana anak itu. Ayah yakin kalian akan cocok,” jelas pak Faris lagi.“Kau tidak boleh membantah kemauan ayah yang ini Nicha. Ayah dan ibumu sangat berharap agar kau menikah dengan Rangga secepatnya,” lanjut pak Faris
Matahari yang awalnya muncul dengan percaya diri kini telah bersembunyi dibalik awan. Hujan yang tak pernah datang menjumpa kini telah turun menyirami tanaman dan bunga yang hampir layu.Tapi sayang, ada bunga yang tidak bisa bertahan lagi. Namanya bunga Marguerite atau biasa dikenal dengan bunga Daisy, ia memang berukuran kecil dengan kelopak berwarna putih. Mungkin saja, ia telah lelah menunggu hujan untuk datang kepadanya.Seorang wanita muda berhenti sejenak di tengah hujan yang cukup lebat tersebut. Ia menatap bunga itu dengan iba. “Hujan akhirnya datang tapi kau sudah mati, hidup memang sungguh kejam ya.”Karena menjongkok terlalu lama membuat kakinya basah akibat terkena percikan air hujan. Zia mengangkat payung hitamnya kembali ke atas lalu meninggalkan bunga itu sendirian.“Zia, kakak mencarimu dari tadi. Kau ke mana saja?” ujar Izzam kakak dari Zia setelah Zia berhasil sampai butiknya.“Ke supermarket,” jawab gadis itu seraya menyimpan payungnya.Pria dengan tinggi 180cm itu
“Dahlia, mungkin itu bunga yang bisa melambangkan kisah tentang kita…kau tahu apa maknanya? Dia lambang ikatan dan komitmen, dia adalah anugerah dan juga perubahan hidup yang positif. Jika ada kata yang lebih dari terima kasih, aku akan mengucapkannya…”~Ileanna Hanicha ****Pada matahari yang memancarkan sinarnya, ia ingin berterima kasih. Ia membulatkan tekadnya untuk keluar dari kegelapan yang menyelimuti kalbunya, melangkah demi melangkah hingga mendapat titik terang dari hidupnya.Semua perubahan itu terbayar sudah, di sini dia sekarang. Nicha, memasang raut wajah tersenyum melihat dua orang yang telah menjadi kekuatannya selama ini.“Papa, susunannya tidak seperti itu!”Mainan lego itu yang awal mulanya berbentuk sebuah robot seketika hancur, Nicha akui suaminya tidak pandai untuk merangkai atau menyusun lego seperti di petunjuk gambar, keributan terus terjadi hingga anak laki-laki yang berumur delapan tahun itu berdiri.“Aku tak mau main sama papa lagi, aku mau main sama Cinta
Mata besar wanita itu hanya memandang satu orang dari banyaknya orang disekitar sana, ibarat dari semua kegelapan malam, hanya ada satu objek yang bersinar. Matanya tak bisa berpaling, punggungnya yang tadinya bersandar di tembok kini berdiri tegap. Sedangkan laki-laki itu masih berjalan ke arahnya, membelah lautan manusia, seperti dialah pemeran utamanya.Malam ini, dia memang adalah pemeran utama, bisa dilihat dari tampilannya yang sangat berbeda dari orang-orang. Wanita itu tak pernah melihatnya memakai setelan jas hitam dengan dasi berwarna merah.“Tampan,” gumamnya tanpa sadar.Entah sejak kapan lelaki itu sudah ada di depannya, memberinya segelas minuman.“Kau menunggu siapa?” tanya pria itu.“Orang tuaku, katanya mereka akan datang. Lalu kau, kenapa bisa ada di sini?” tanya wanita itu balik.Pria itu tersenyum. “Aku ada urusan dengan seseorang,” jawabnya.Wanita itu mengangguk. Matanya kembali melihat-lihat orang-orang yang sedang berpesta. “Kata ibu, ini pesta teman ayah, tapi
Waktu demi waktu terus berjalan, Gilang mungkin sudah duduk tiga jam di café tersebut, ia melirik jam dinding besar yang terletak di atas jendela besar menghadap jalan itu, rupanya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tidak. Tapi hampir jam sepuluh itu artinya café akan tutup dua jam lagi.Tak ada satupun pikiran bahwa ayah Nicha tidak akan datang atau lupa, tapi Gilang malah berpikir bahwa ayah Nicha sedang mempermainkannya atau mencoba melihat keseriusannya, sampai kapan ia akan bertahan ditengah orang-orang yang mulai meninggalkan tempat itu.Dengan coat berwarna cokelat yang ia kenakan, Gilang menghela napas mencoba sabar untuk menunggu, jika benar ayah Nicha Cuma mempermainkannya, tak apa. Ia akan coba dilain hari.Gilang mengaduk kopi panas yang sudah dingin dan setengah dari gelasnya itu. Sungguh bosan hingga ia rasanya ingin memejamkan mata.Suara rintik hujan terdengar di atasnya, mencoba menyadarkan dirinya kalau janji ayah Nicha hanyalah kebohongan belaka. Mana ada orang
Wanita dengan baju tidur bermotif kotak-kotak hijau itu menutup segera jendelanya, matanya masih menatap sosok laki-laki yang baru saja pergi setelah diberi nasihat oleh ibunya.Matanya memancarkan kesedihan, ada rasa khawatir yang juga tersinggap dipikirannya, bagaimana kelanjutan hubungan mereka saat ini.Ia menghela napas berat lalu menutup gordennya, dengan lesuh Nicha segera berbaring di kasurnya berusaha memejamkan matanya ditengah lampu yang bersinar terang, pantaslah ia tak bisa tidur, meski ia mencoba memutup mata namun cahaya lampu itu seakan bisa menembus kelopak matanya.Samar – samar, ia dapat melihat hari-hari lama yang telah ia lalui namun ini lebih ke suasana rumah kediaman orang tua Gilang, betapa indahnya hari itu. Apalagi setelah ia menyadari jika perasaannya mulai tumpuh positif menjadi cinta yang sekarang telah menjadi luar biasa.‘Apa aku harus berbicara dengan ayah, besok?’‘Jika aku terus seperti ini maka, aku tidak akan bisa menikah dengan Gilang!’Demikianlah
“Jika ibu perhatikan, kau belakangan ini sudah mulai memasak di dapur dan masakanmu enak menurut ibu,” puji ibu Hesti.Nicha yang sedang memotong kentang itu tersenyum. “Benarkah bu, itu Gilang yang ajar.”Ibunya mengangguk. “Gilang bisa memasak juga? dia pria hebat.” Nicha mengangkat alisnya lalu kembali tersenyum.“Ya, bu. Dia memang pria serba bisa, dia bisa memasak, bisa melukis, bisa berbicara depan umum, bisa –“ ucapannya terhenti setelah ayahnya lewat dan meliriknya tajam.“Ah.. ya begitulah bu,” lanjutnya kaku dan kembali melanjutkan kegiatannya.Waktu terus berjalan tapi ayahnya masih tidak suka jika nama Gilang disebut di rumah itu, Nicha memanyumkan bibirnya, lagian Gilang tidak melakukan kesalahan apapun tapi kenapa ayahnya begitu sensitif pada pria tersebut.Harusnya ayahnya berterima kasih, tapi Nicha sangat mengenal ayahnya. Pria tua itu memang angkuh, jika sekali ada orang lain yang dia tidak suka akan sangat sulit bagi orang tersebut untuk mengambil hati ayahnya lagi.
“Kenapa kau sampai melakukan hal sejauh itu, Rangga?”Rangga mengacak rambutnya frustasi. “Aku tidak berniat untuk menembak Zia, percayalah padaku, aku hanya ingin membunuh Gilang!” jujurnya.“Dengan entengnya kau bilang hanya membunuh Gilang?”“Jika tidak ada dia dari awal mungkin semuanya akan berjalan baik.”“Berjalan baik? kau itu sungguh jahat, Rangga!”“Semuanya berawal dari kau, bukan?”Nicha mengangguk pelan, ia masih menatap Rangga dengan kekecewaan. Polisi masih mengawal mereka berdua di belakang sana. Hari ini, Nicha menjenguk Rangga hanya ingin memastikan semuanya.“Sejujurnya target sebenarnya adalah kau namun ditengah jalan rencana tersebut, aku menyadari ada yang tidak beres dengan hatiku, aku dendam namun terus memikirkanmu, aku terlambat menyadarinya kalau perasaanku tumbuh terhadapmu. Sungguh.”Rangga menatap seduh wajah wanita yang ada di depannya tersebut.Nicha membuang mukanya, tak sudi mendengar ucapan menjijikkan dari Rangga.“Kita sudah berakhir,” ketusnya.Ra
“Maaf, aku tidak melihat teleponmu,” ujar Gilang sembari menangis.Ditatapnya Zia yang begitu kasihan, matanya yang mulai gelas, suhu tubuhnya yang juga mulai dingin belum lagi darah masih jatuh bercucuran di dadanya.Zia menggeleng. “Tak apa, yang penting kau selamat, aku bersyukur,” ujar Zia.Wanita itu bersyukur melihat Gilang masih hidup dan tidak terluka sedikit pun, itu mungkin adalah tujuan akhirnya.Ia tidak menyesal sama sekali telah berkorban dengan nyawanya untuk pria yang dicintainya, meski cintainya tak akan pernah terbalaskan namun ia legah kalau pria itu bersama wanita yang dipercayakannya.Meski dulu Zia membenci Nicha, tapi ia sadar jika hanya Nicha tempat bahagia untuk Gilang. Zia percaya kedepannya bahwa hanya Nicha lah yang dapat membuat hidup Gilang bahagia, nyaman dan damai.Zia rela jika Nicha menjadi wanita sandaran Gilang disaat pria tersebut lelah, Zia rela jika Nicha menjadi tempat ternyaman untuk Gilang pulang, dan Zia rela jika Nicha suatu hari melahirkan
BAB 93“Aku ingin meresmikan hari ini.”Nicha mengedipkan kedua matanya lalu natap Gilang dalam. “Hah, apa maksudmu?” tanyanya tak paham.otaknya belum bisa mencerna apa perkataan lelaki itu. “Bisakah kau tinggal sebentar saja di sini, nanti aku akan mengantarmu pulang jam sepuluh?” tanyanya balik.Nicha mengangguk. “Ya, tentu. Tapi apa maksudmu meresmikan?”Gilang tersenyum. Ia perlahan memegang tangan Nicha dengan lembut. “Menurutku selama ini hubungan kita tak pernah resmi, aku tidak bisa mengatakan kau milikku jika Rangga masih berstatus sebagai suamimu, namun mulai hari ini juga, kau akhirnya menjadi seorang wanita yang sendiri lagi, aku legah dan tentunya bahagia. Jadi –“Nicha memperhatikan bicara Gilang dengan seksama. “Jadi?” katanya.“Jadi, emmm.” Gilang melepas kedua tangannya lalu merogoh saku celana hitamnya.Dengan jantung yang berdebar kencang, Nicha menunggu Gilang mengambil sesuatu tersebut.Matanya membulat sempurna ketika ia melihat kotak berbentuk hati berwarna mer
Perceraian itu hal yang paling dibenci oleh Tuhan.Ada seseorang yang singgah hanya menjadi ujian bagi kita, tapi ada juga seseorang yang benar-benar ingin menetap dihati kita, itulah yang namanya jodoh.Seberapa jauhnya dan lamanya waktu itu, kita akan tetap bertemu dengannya kembali jika memang ia adalah jodoh terbaik untuk kita.Itulah yang Nicha pahami.Bahwa ia kini sedang dihadapkan dua pilihan. Antara bertahan dengan yang lama tapi menderita atau akhiri semuanya dan menjalani hidup baru bersama orang baru yang selama ini telah ada selalu bersamanya.Tentu semuanya pasti tahu jawabannya, ‘kan?Hari itu tepat selesainya sidang perceraian Nicha dan Rangga. Tak ada persidangan lagi, karena ini telah berakhir. Rangga kalah.Pak Faris hari itu tidak datang ke persidangan, laki-laki tua tersebut memilih tidak bertemu dengan Rangga, bahkan ia telah menyiapkan kejutan dihari Rangga akan kembali bekerja.Ya. Itu adalah surat pemecatannya.Rangga sungguh geram, marah dan merasa dipermaink