Perempuan itu mulai tersadar, matanya mulai terbuka secara perlahap, sayup-sayup ia melihat beberapa orang sedang duduk tak jauh darinya. Meski samar-samar tapi Nicha tahu siapa orang itu. pertanyaannya adalah di mana dia sebenarnya?Jika Nicha lihat lagi, tempat tersebut begitu asing baginya. orang tuanya tidak menyadari jika Nicha sudah siuman karena mereka sedang berbicara dengan seorang pria dengan jas putih.Sepertinya pengaruh obat masih bereaksi padanya jadi ia masih merasa agak pusing ketika ingin memastikan dengan siapa orang tuanya berbicara.Oh iya. Nicha baru ingat, jika semalam ia bertengkar dengan Gilang karena rencananya telah gagal untuk menipu Rangga. Ah itu benar, ini pasti di klinik Gilang.Nicha memijit pelipisnya karena pusing akibat mencoba mengingat kejadian semalam. “Nicha! kau tidak apa-apa nak?” kedua orang tuanya telah sadar jika Nicha telah siuman. mereka mendekati gadis itu.“Ya. aku baik-baik saja,” ujarnya meracau.Orang tua Nicha merasa legah karena an
Perempuan itu mengikat tinggi rambutnya yang panjang. Tidak biasanya sepagi ini ia sudah berpakaian dengan sangat rapi. Mata bulatnya melirik dirinya sendiri di depan cermin, ia sengaja memilih jaket hoodie berwarna orange yang cukup besar hingga menutupi rok levis yang ia kenakan. Belum lagi, stoking kaki berwarna hitam yang menutupi kakinya lengkap dengan sepatu kets putih. Nicha tidak sedang ingin pergi berolah raga namun hari ini ia akan ikut ayahnya untuk ke kantor. Penempatan pakaian yang ia kenakan memanglah sangat tidak sesuai. Gadis itu sengaja melakukannya agar pandangan Rangga terhadap dirinya jelek. “Ah.. Bahkan ini masih terlihat bagus, seharusnya aku memakai kaos hitam robek dengan pensil alis di bawah mata huh,” gumam Nicha lirih. “Nicha buruan nak. Ayahmu sudah menunggu kita di dalam mobil!” Dengan buru-buru, Nicha segera mengambil tas pinggangnya lalu keluar dari kamar dan berlari kecil untuk mendahului sang ibu. Saat Nicha sudah masuk ke dalam mobil. Ayahnya me
Nicha masih memikirkan kejadian tadi pagi. Selama seharian ia hanya bisa merenungi kata terakhir yang dilontarkan oleh teman lamanya.“Ibu, klinik Gilang dekat dari sini. Aku ingin ke sana,” ujar Nicha.Nicha bosan tinggal dan hanya diam melihat ayahnya bekerja. Lagipula Nicha sudah janji untuk menemui Gilang lagi, bagaimana pun juga ia harus konsultasi dengan dokter tersebut.“Aku akan jalan kaki saja. Tidak apa-apa,” lanjutnya.“Kenapa tidak bersama Rangga saja. Lagian kalian kan akan menikah, harusnya kalian bisa memanfaatkan waktu untuk bersama lebih lama.”Nicha melihat ayahnya dengan malas. “Nicha kau harus belajar mencintai Rangga, karena ayah akan tetap menikahkan kalian. Rangga itu anak yang baik dan bertanggung jawab, dia sudah lama sama ayah jadi ayah tahu bagaimana anak itu. Ayah yakin kalian akan cocok,” jelas pak Faris lagi.“Kau tidak boleh membantah kemauan ayah yang ini Nicha. Ayah dan ibumu sangat berharap agar kau menikah dengan Rangga secepatnya,” lanjut pak Faris
Matahari yang awalnya muncul dengan percaya diri kini telah bersembunyi dibalik awan. Hujan yang tak pernah datang menjumpa kini telah turun menyirami tanaman dan bunga yang hampir layu.Tapi sayang, ada bunga yang tidak bisa bertahan lagi. Namanya bunga Marguerite atau biasa dikenal dengan bunga Daisy, ia memang berukuran kecil dengan kelopak berwarna putih. Mungkin saja, ia telah lelah menunggu hujan untuk datang kepadanya.Seorang wanita muda berhenti sejenak di tengah hujan yang cukup lebat tersebut. Ia menatap bunga itu dengan iba. “Hujan akhirnya datang tapi kau sudah mati, hidup memang sungguh kejam ya.”Karena menjongkok terlalu lama membuat kakinya basah akibat terkena percikan air hujan. Zia mengangkat payung hitamnya kembali ke atas lalu meninggalkan bunga itu sendirian.“Zia, kakak mencarimu dari tadi. Kau ke mana saja?” ujar Izzam kakak dari Zia setelah Zia berhasil sampai butiknya.“Ke supermarket,” jawab gadis itu seraya menyimpan payungnya.Pria dengan tinggi 180cm itu
Kini, Gilang sudah masuk di desa selanjutnya setelah bertemu ibu yang dipasung tadi, ia tidak sendirian sekarang tapi ia ditemani seorang perawat yang datang membantunya. Namanya Fadly, ia hanya beda setahun dari Gilang. Di Desa Banyuraden, ada seorang gadis berusia 16 tahun yang mengalami depresi berat setelah diperkosa oleh temannya sendiri. Kejadiannya sudah sekitar 2 tahun lalu, namun anak gadis malang itu tentunya tidak bisa melupakan kejadian kelam yang menjadi traumanya hingga saat ini. Gadis kembang desa, bisa di bilang begitu. Namanya Sekar, ia mempunyai rambut ikal dengan tubuh yang sangat kurus, kulitnya putih dan matanya bersinar indah. Mungkin itu alasan sebagian laki-laki menyukainya. Yang anehnya. Saat Gilang dan Fadly baru saja menginjakkan kaki di depan rumah Sekar, beberapa warga telah berkumpul di sana. Karena Gilang yang mulai merasa aneh, ia segera bergegas dan membelah kerumunan orang-orang. “Permisi.” “Dokter Gilang mau lewat!” teriak seorang bapak-bapak men
Sedari pagi hingga sore hujan tak kunjung berhenti. Cuaca sepertinya kurang bersahabat, melihat banyak sekali orang-orang yang mengeluh sakit.Gilang juga merasa tak enak badan. Ia memilih seharian di klinik yang juga telah menjadi rumahnya selama ini. Dengan segelas kopi hangat, ia terduduk sambil menatap luar jendela.Angin sedikit masuk dari cela jendela yang terbuka, membuat lengan Gilang agak terasa dingin. Handphonenya masing menyala, ketika beberapa notifikasi chat terus saja masuk, entah itu dari Henry atau dari Zia. Tak bisa dipungkiri jika kedua orang tersebut yang selama ini setia dengan Gilang.“Hei! Aku di depan rumahmu, sendirian aja. lagi galau ya?”Gilang membulatkan matanya setelah mendapatkan pesan singkat dari Nicha. Dengan cepat ia mencari dan berbalik melihat pintu masuk namun tidak ada siapa-siapa. Gilang berdiri guna ingin keluar memastikan namun wanita itu akhirnya nongol agak jauh dari depan pintu.“Hai!” sapanya dengan melambaikan tangan kecilnya.Sambil ter
“Teman kantorku akan mengadakan acara makan-makan, kau mau ikut?” tanya Rangga dengan antusias.Setelah Nicha menyetujui perjodohan itu, setiap hari tiada waktu tanpa Rangga. Pria itu sudah seperti anak kucing yang menempel pada induknya, tidak pernah lepas.“Aku tidak bisa,” jawab Nicha setelah menyeruput segelas teh.“Kenapa?” Rangga memperbaiki duduknya menghadap Nicha.“Aku bukan pegawai.” Jawaban itu memang ada benarnya. Rangga kembali berpikir dan mencari ide agar wanita itu mau ikut.“Em… kalau begitu aku merekrutmu sebagai pegawai mulai malam ini jadi besok malam kau bisa ikut.”Tawa Nicha meledak saat itu, bagaimana bisa pria tersebut memikirkan hal konyol seperti itu. Wanita itu tanpa sadar memukul pelan Rangga. “Ide gila macam apa itu! Hahaha.”Rangga tersenyum melihat reaksi Nicha. “Jadi setelah makan-makan, kau akan memecatku! Begitu?” Rupanya Nicha masih bisa bertanya di situasi tawanya yang meledak.“Tidak. Kau akan naik pangkat,” jawab Rangga percaya diri.Nicha berhen
“Bersulang!” Suara dentingan gelas kaca terdengar di ruangan tersebut.Tempat makan yang sengaja disewakan oleh para pekerja kantor itu begitu ramai dan terlihat seru. Meja panjang sengaja di simpan di tengah ruangan agar semua orang dapat menikmati hidangan dan berkumpul di satu tempat.Setelah bersulang semuanya segera minum dan melanjutkan obrolan mereka, ada yang baru berkenalan dan ada juga yang asyik berkaraoke.Gilang pikir mereka akan berkaraoke di depan restoran ternyata restoran itu punya karaoke sendiri. Laki-laki itu hanya duduk dan menonton Henry bernyanyi.Sesekali ia menyeruput cola yang sedari tadi ada di tangannya. “Dokter kenapa sendirian saja di situ, ayo ke sini,” panggil seorang wanita muda.Gilang menolaknya dengan halus, ia lebih memilih untuk sendirian. Lirikannya menangkap sosok gadis yang sedang mengobrol diseberangnya. Jika Gilang bisa menilai, gadis itu tampak tidak nyaman dengan suasana berisik seperti ini.“Aku suka ponimu dan rambut panjangmu, kau mirip
“Dahlia, mungkin itu bunga yang bisa melambangkan kisah tentang kita…kau tahu apa maknanya? Dia lambang ikatan dan komitmen, dia adalah anugerah dan juga perubahan hidup yang positif. Jika ada kata yang lebih dari terima kasih, aku akan mengucapkannya…”~Ileanna Hanicha ****Pada matahari yang memancarkan sinarnya, ia ingin berterima kasih. Ia membulatkan tekadnya untuk keluar dari kegelapan yang menyelimuti kalbunya, melangkah demi melangkah hingga mendapat titik terang dari hidupnya.Semua perubahan itu terbayar sudah, di sini dia sekarang. Nicha, memasang raut wajah tersenyum melihat dua orang yang telah menjadi kekuatannya selama ini.“Papa, susunannya tidak seperti itu!”Mainan lego itu yang awal mulanya berbentuk sebuah robot seketika hancur, Nicha akui suaminya tidak pandai untuk merangkai atau menyusun lego seperti di petunjuk gambar, keributan terus terjadi hingga anak laki-laki yang berumur delapan tahun itu berdiri.“Aku tak mau main sama papa lagi, aku mau main sama Cinta
Mata besar wanita itu hanya memandang satu orang dari banyaknya orang disekitar sana, ibarat dari semua kegelapan malam, hanya ada satu objek yang bersinar. Matanya tak bisa berpaling, punggungnya yang tadinya bersandar di tembok kini berdiri tegap. Sedangkan laki-laki itu masih berjalan ke arahnya, membelah lautan manusia, seperti dialah pemeran utamanya.Malam ini, dia memang adalah pemeran utama, bisa dilihat dari tampilannya yang sangat berbeda dari orang-orang. Wanita itu tak pernah melihatnya memakai setelan jas hitam dengan dasi berwarna merah.“Tampan,” gumamnya tanpa sadar.Entah sejak kapan lelaki itu sudah ada di depannya, memberinya segelas minuman.“Kau menunggu siapa?” tanya pria itu.“Orang tuaku, katanya mereka akan datang. Lalu kau, kenapa bisa ada di sini?” tanya wanita itu balik.Pria itu tersenyum. “Aku ada urusan dengan seseorang,” jawabnya.Wanita itu mengangguk. Matanya kembali melihat-lihat orang-orang yang sedang berpesta. “Kata ibu, ini pesta teman ayah, tapi
Waktu demi waktu terus berjalan, Gilang mungkin sudah duduk tiga jam di café tersebut, ia melirik jam dinding besar yang terletak di atas jendela besar menghadap jalan itu, rupanya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tidak. Tapi hampir jam sepuluh itu artinya café akan tutup dua jam lagi.Tak ada satupun pikiran bahwa ayah Nicha tidak akan datang atau lupa, tapi Gilang malah berpikir bahwa ayah Nicha sedang mempermainkannya atau mencoba melihat keseriusannya, sampai kapan ia akan bertahan ditengah orang-orang yang mulai meninggalkan tempat itu.Dengan coat berwarna cokelat yang ia kenakan, Gilang menghela napas mencoba sabar untuk menunggu, jika benar ayah Nicha Cuma mempermainkannya, tak apa. Ia akan coba dilain hari.Gilang mengaduk kopi panas yang sudah dingin dan setengah dari gelasnya itu. Sungguh bosan hingga ia rasanya ingin memejamkan mata.Suara rintik hujan terdengar di atasnya, mencoba menyadarkan dirinya kalau janji ayah Nicha hanyalah kebohongan belaka. Mana ada orang
Wanita dengan baju tidur bermotif kotak-kotak hijau itu menutup segera jendelanya, matanya masih menatap sosok laki-laki yang baru saja pergi setelah diberi nasihat oleh ibunya.Matanya memancarkan kesedihan, ada rasa khawatir yang juga tersinggap dipikirannya, bagaimana kelanjutan hubungan mereka saat ini.Ia menghela napas berat lalu menutup gordennya, dengan lesuh Nicha segera berbaring di kasurnya berusaha memejamkan matanya ditengah lampu yang bersinar terang, pantaslah ia tak bisa tidur, meski ia mencoba memutup mata namun cahaya lampu itu seakan bisa menembus kelopak matanya.Samar – samar, ia dapat melihat hari-hari lama yang telah ia lalui namun ini lebih ke suasana rumah kediaman orang tua Gilang, betapa indahnya hari itu. Apalagi setelah ia menyadari jika perasaannya mulai tumpuh positif menjadi cinta yang sekarang telah menjadi luar biasa.‘Apa aku harus berbicara dengan ayah, besok?’‘Jika aku terus seperti ini maka, aku tidak akan bisa menikah dengan Gilang!’Demikianlah
“Jika ibu perhatikan, kau belakangan ini sudah mulai memasak di dapur dan masakanmu enak menurut ibu,” puji ibu Hesti.Nicha yang sedang memotong kentang itu tersenyum. “Benarkah bu, itu Gilang yang ajar.”Ibunya mengangguk. “Gilang bisa memasak juga? dia pria hebat.” Nicha mengangkat alisnya lalu kembali tersenyum.“Ya, bu. Dia memang pria serba bisa, dia bisa memasak, bisa melukis, bisa berbicara depan umum, bisa –“ ucapannya terhenti setelah ayahnya lewat dan meliriknya tajam.“Ah.. ya begitulah bu,” lanjutnya kaku dan kembali melanjutkan kegiatannya.Waktu terus berjalan tapi ayahnya masih tidak suka jika nama Gilang disebut di rumah itu, Nicha memanyumkan bibirnya, lagian Gilang tidak melakukan kesalahan apapun tapi kenapa ayahnya begitu sensitif pada pria tersebut.Harusnya ayahnya berterima kasih, tapi Nicha sangat mengenal ayahnya. Pria tua itu memang angkuh, jika sekali ada orang lain yang dia tidak suka akan sangat sulit bagi orang tersebut untuk mengambil hati ayahnya lagi.
“Kenapa kau sampai melakukan hal sejauh itu, Rangga?”Rangga mengacak rambutnya frustasi. “Aku tidak berniat untuk menembak Zia, percayalah padaku, aku hanya ingin membunuh Gilang!” jujurnya.“Dengan entengnya kau bilang hanya membunuh Gilang?”“Jika tidak ada dia dari awal mungkin semuanya akan berjalan baik.”“Berjalan baik? kau itu sungguh jahat, Rangga!”“Semuanya berawal dari kau, bukan?”Nicha mengangguk pelan, ia masih menatap Rangga dengan kekecewaan. Polisi masih mengawal mereka berdua di belakang sana. Hari ini, Nicha menjenguk Rangga hanya ingin memastikan semuanya.“Sejujurnya target sebenarnya adalah kau namun ditengah jalan rencana tersebut, aku menyadari ada yang tidak beres dengan hatiku, aku dendam namun terus memikirkanmu, aku terlambat menyadarinya kalau perasaanku tumbuh terhadapmu. Sungguh.”Rangga menatap seduh wajah wanita yang ada di depannya tersebut.Nicha membuang mukanya, tak sudi mendengar ucapan menjijikkan dari Rangga.“Kita sudah berakhir,” ketusnya.Ra
“Maaf, aku tidak melihat teleponmu,” ujar Gilang sembari menangis.Ditatapnya Zia yang begitu kasihan, matanya yang mulai gelas, suhu tubuhnya yang juga mulai dingin belum lagi darah masih jatuh bercucuran di dadanya.Zia menggeleng. “Tak apa, yang penting kau selamat, aku bersyukur,” ujar Zia.Wanita itu bersyukur melihat Gilang masih hidup dan tidak terluka sedikit pun, itu mungkin adalah tujuan akhirnya.Ia tidak menyesal sama sekali telah berkorban dengan nyawanya untuk pria yang dicintainya, meski cintainya tak akan pernah terbalaskan namun ia legah kalau pria itu bersama wanita yang dipercayakannya.Meski dulu Zia membenci Nicha, tapi ia sadar jika hanya Nicha tempat bahagia untuk Gilang. Zia percaya kedepannya bahwa hanya Nicha lah yang dapat membuat hidup Gilang bahagia, nyaman dan damai.Zia rela jika Nicha menjadi wanita sandaran Gilang disaat pria tersebut lelah, Zia rela jika Nicha menjadi tempat ternyaman untuk Gilang pulang, dan Zia rela jika Nicha suatu hari melahirkan
BAB 93“Aku ingin meresmikan hari ini.”Nicha mengedipkan kedua matanya lalu natap Gilang dalam. “Hah, apa maksudmu?” tanyanya tak paham.otaknya belum bisa mencerna apa perkataan lelaki itu. “Bisakah kau tinggal sebentar saja di sini, nanti aku akan mengantarmu pulang jam sepuluh?” tanyanya balik.Nicha mengangguk. “Ya, tentu. Tapi apa maksudmu meresmikan?”Gilang tersenyum. Ia perlahan memegang tangan Nicha dengan lembut. “Menurutku selama ini hubungan kita tak pernah resmi, aku tidak bisa mengatakan kau milikku jika Rangga masih berstatus sebagai suamimu, namun mulai hari ini juga, kau akhirnya menjadi seorang wanita yang sendiri lagi, aku legah dan tentunya bahagia. Jadi –“Nicha memperhatikan bicara Gilang dengan seksama. “Jadi?” katanya.“Jadi, emmm.” Gilang melepas kedua tangannya lalu merogoh saku celana hitamnya.Dengan jantung yang berdebar kencang, Nicha menunggu Gilang mengambil sesuatu tersebut.Matanya membulat sempurna ketika ia melihat kotak berbentuk hati berwarna mer
Perceraian itu hal yang paling dibenci oleh Tuhan.Ada seseorang yang singgah hanya menjadi ujian bagi kita, tapi ada juga seseorang yang benar-benar ingin menetap dihati kita, itulah yang namanya jodoh.Seberapa jauhnya dan lamanya waktu itu, kita akan tetap bertemu dengannya kembali jika memang ia adalah jodoh terbaik untuk kita.Itulah yang Nicha pahami.Bahwa ia kini sedang dihadapkan dua pilihan. Antara bertahan dengan yang lama tapi menderita atau akhiri semuanya dan menjalani hidup baru bersama orang baru yang selama ini telah ada selalu bersamanya.Tentu semuanya pasti tahu jawabannya, ‘kan?Hari itu tepat selesainya sidang perceraian Nicha dan Rangga. Tak ada persidangan lagi, karena ini telah berakhir. Rangga kalah.Pak Faris hari itu tidak datang ke persidangan, laki-laki tua tersebut memilih tidak bertemu dengan Rangga, bahkan ia telah menyiapkan kejutan dihari Rangga akan kembali bekerja.Ya. Itu adalah surat pemecatannya.Rangga sungguh geram, marah dan merasa dipermaink