Pelan – pelan Maharani mulai membuka kedua kelopak matanya, dengan keadaan setengah sadar Ia merasa heran dengan apa yang dilihatnya saat ini. Mengapa Ia bisa berada dikamar sebesar ini, bahkan seolah tiga kali lebih besar dari kamar kostnya yang selama ini Ia tinggali.
Terdengar suara pintu terbuka disana yang mengacaukan lamunannya dan sontak membuat gadis itu menoleh kearah pintu.“Sudah sadar, Nona?” tanya seorang wanita paruh baya yang sedang membawa nampan berisikan segelas air.Maharani mengangguk pelan, “Maaf, saya sekarang ada dimana?” Maharani balik bertanya.“Nona ada dirumah Nyonya Anggita, karena tadi saya dengar ceritanya, Nona pingsan dijalan saat berlari dan hampir ditabrak oleh supirnya Nyonya Anggita,” jawab wanita tersebut.“Nyonya Anggita?” tanyanya lagi. Namun setelah itu Maharani kembali terdiam dan berusaha mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu.“Ini diminum dulu, Non, saya buatkan teh anget biar lebih tenang.”Sedikit demi sedikit Maharani mulai teringat dengan apa yang dialaminya beberapa saat lalu, hingga membuatnya kembali ketakutan dan khawatir untuk mempercayai orang yang baru Ia kenal.“Tidak, saya tidak mau teh, terima kasih karena sudah menampung saya selama saya pingsan. Tapi saya harus pulang,” ucap Maharani sambil menggeleng dan beranjak dari tempat tidur. Namun tanpa Ia sadari, tubuhnya masih lunglai sehingga Ia kembali tersungkur kelantai saat mencoba berjalan menuju pintu untuk keluar.“Rani?” ucap Anggita dari pintu kamar yang hendak masuk untuk mengetahui kondisinya. Dengan cepat Anggita menghampiri gadis itu saat melihat Maharani terduduk kelantai.“Bu Anggita?” Maharani semakin dibuat heran oleh keadaan yang kini menimpanya. Mengingat ucapan wanita paruh baya tadi yang sudah memberitahunya bahwa Ia sedang berada dirumah ‘Nyonya Anggita’, namun sama sekali tak terpikir oleh Maharani bahwa Nyonya tersebut adalah dosennya sendiri.“Kamu mau kemana dengan keadaan yang masih lemah begini?” tanya Anggita.Gadis itu tak lantas menjawab pertanyaan dari Anggita. Hanya senyuman getir yang tergambar dari wajahnya dan tak lama beberapa titik air mata mulai keluar dari kedua kelopak matanya.Melihat Maharani hanya menangis tanpa menjawab pertanyaan darinya sungguh membuat Anggita semakin ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada mahasiswinya itu.Dengan hati – hati Anggita membantu Maharani untuk berdiri dan memapahnya untuk kembali duduk diatas tempat tidur.“Bi Inah, tehnya di taro aja diatas meja ya, Bibi sekarang bisa kembali kedapur, saya mau ngobrol sebentar sama Rani,” ucap Anggita dengan gaya bicaranya yang lembut.“Baik, Nyonya,” jawab wanita paruh baya yang ternyata merupakan asisten rumah tangga yang bekerja dirumah Anggita.Bi Inah meninggalkan mereka berdua sesuai perintah Anggita, Maharani masih duduk termenung dan tak satu patah katapun keluar dari bibirnya.“Ranii, saat kamu pingsan tadi, saya memanggil dokter untuk memeriksa bagaimana keadaanmu, dan dokter bilang tensimu sangat rendah dan tubuhmu begitu lemah. Coba ceritakan pelan – pelan, apa yang sebenarnya terjadi? Nggak mungkin kan kamu tiba – tiba berlari tanpa alasan? Saya rasa kamu cukup cerdas untuk tidak berlari ketengah jalan raya tanpa melihat situasi kendaraan disekitar, masih untung kamu hanya pingsan. Ayo ceritakan ke saya, ada apa sebenarnya?”“Saya bingung, Bu, harus mulai dari mana,” jawab Maharani yang masih tertunduk lesu.“Intinya aja dulu, biar saya bisa bantu kamu jika memang apa yang kamu alami saat ini adalah masalah yang cukup serius.”“Tadiii, saya dikejar – kejar oleh sekelompok orang, Bu,” Maharani mulai bercerita.“Lalu? Kamu kenal siapa mereka?” Anggita semakin penasaran.“Saya hanya mengenal orang yang menyuruh mereka saja, Bu. Dia adalah Abimanyu, mantan bos saya saat saya bekerja paruh waktu di café yang nggak jauh dari kampus.”“Lalu apa salah kamu sampe mereka harus mengejarmu seperti tadi?”“Dia meminta saya untuk jadi istri ketiganya, dan saya menolak. Saya datang jauh – jauh dari kampung untuk melanjutkan sekolah saya, tapi untuk urusan pernikahan sama sekali belum terpikir oleh saya sampai saya benar – benar bisa meraih cita – cita saya dan membuat keadaan ekonomi keluarga saya bisa lebih baik dari sebelumnya. Ditambah lagi jika harus menjadi istri ketiga, huuuft, itu benar – benar tidak pernah terlintas dalam pikiran saya, Bu,” jawab Maharani.“Jadi karena itu kamu dikejar – kejar oleh mereka?”Maharani mengangguk pelan. Rasanya masih banyak yang ingin Ia sampaikan. Namun hati dan juga fisiknya terasa begitu lelah sejak Ia berurusan dengan lelaki bernama Abimanyu, hari – harinya tak lagi setenang dulu. Ia selalu dihantui rasa khawatir dan ketakutan. Bagaimana tidak, segerombolan orang suruhan Abimanyu selalu berkeliaran disekitanya, baik didepan rumah kostnya maupun dikampus. Hal itu yang membuat Maharani menjadi lebih hati – hati saat Ia tengah berjalan seorang diri. Namun apa yang Ia hadapi saat ini tak dapat Ia ceritakan pada kedua orang tuanya, karena jika mereka sampai tahu itu semua hanya akan membuat mereka turut khawatir.“Ya sudah begini saja, demi keamananmu bagaimana kalau kamu tinggal disini? Kamu mau kan, Ran?” tanpa berpikir panjang dan tanpa berunding terlebih dahulu dengan sang suami, Anggita langsung menawarkan Maharani untuk tinggal bersama dengan keluarganya. Semula Ia hanya kagum pada kecerdasan dan kegigihan yang dimiliki oleh gadis itu, namun kali ini timbul rasa kasihan dan tak tega jika harus membiarkan gadis itu tinggal seorang diri dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan.Maharani menoleh kearah Anggita, “Tinggal disini?” tanyanya.“Iya, masalahmu ini sudah termasuk masalah besar, Rani. Terlalu bahaya jika kamu harus tinggal di kost dengan bayang – bayang mereka. Saya membayangkannya saja sudah takut, lama kelamaan saya khawatir akan mengganggu konsentrasi kamu untuk belajar.”Maharani merasa bahwa apa yang dikatakan oleh Anggita ada benarnya. Semenjak itu, Ia tak lagi fokus untuk belajar. Untung saja Ia masih dapat mengikuti setiap mata kuliah dan tidak mempengaruhi nilai dan juga beasiswanya. Namun meski begitu tetap saja, keadaan yang menimpanya saat ini adalah suatu ketidakwajaran.“Tapi, Bu, saya tidak mau merepotkan Bu Anggita dan keluarga,” ucap Maharani.“Sama sekali tidak, Rani. Jika kamu disini, setidaknya kamu tidak akan menghadapi mereka sendirian. Didepan ada penjaga yang siang malam berjaga didepan rumah, saat kekampus kamu bisa ditemani Mang Ujang, dan saat dirumah kamu juga tidak sendiri ada Bi Inah, ada saya, suami dan juga anak – anak saya. Saya tidak sedang menakut – nakutimu, hanya saja situasimu saat ini memang sedang tidak baik – baik saja, Rani. Kamu boleh tinggal disini selama yang kamu mau, nanti disaat semua keadaannya sudah membaik, kamu bebas menentukan pilihan hidupmu,” papar Anggita.Bak bertemu dewi penolong, kehadiran Anggita dalam hidup Maharani seakan memberi sedikit ruang baginya untuk bisa kembali bernafas lega. Setelah beberapa minggu kebelakang hidupnya terus menerus dilanda kegelisahan akan hadirnya Abimanyu dan para antek – anteknya.Keadaan ini tidak hanya menguntungkan bagi Maharani, tapi juga Anggita yang sejak awal menginginkan gadis itu menjadi istri pengganti dirinya untuk suaminya. Awalnya Ia tak henti berpikir bagaimana cara agar mereka bisa dapat saling mengenal dan terkesan tanpa disengaja.‘Mungkin memang ini cara Allah untuk mendekatkanmu dengan suamiku, Rani,’ lirih Anggita didalam hati.****Raga kembali kerumah setelah seharian bekerja. Raut lelah begitu tampak diwajahnya, Anggita yang tengah bersantai menonton televisi bersama dengan dua anaknya langsung menyambut hangat kedatangan suaminya. “Assalamualaikum, anak – anak Papi,” sapanya pada Adi dan Tristan.“Papiiiii,” sahut sibungsu Tristan yang masih sangat manja pada kedua orang tuanya, yang kemudian langsung beranjak dan menubruk tubuh sang ayah dan meminta untuk menggendongnya. Sementara sisulung Adi hanya tersenyum melihat tingkah sang adik.“Wa’alaikumsalam, jawab dulu dong salamnya, Nak, jangan maen terobos gitu aja,” balas Anggita.“Peace, Mami,” jawab Tristan dengan gaya manjanya.“Adek udah makan belum? Nih, Papi bawain martabak kesukaan Mas Adi dan Adek Tristan.” “Asiiiik, Papi emang paling baik.”Cup! Sebuah kecupan manis dari sibungsu mendarat dipipi Raga, seketika lelah yang dirasa beberapa saat lalu perlahan mulai sirna.“Adi, bawa kedapur, Nak, martabaknya taruh dipiring terus nanti sebagian kasih bu
Bab 4 Harus BerpisahKeesokan harinya Maharani kembali menjalani aktivitasnya, sedikit lebih santai karena pagi ini Bu Ida sedang libur berjualan kue dipasar. Singkat cerita, Bu Ida adalah seorang pemilik kost yang selama ini Ia tinggali, biasanya sebelum berangkat kekampus untuk mengikuti kelas pagi, Ia membantu Bu Ida untuk berjualan kue – kue basah dipasar. Upah yang Ia terima sekiranya cukup untuk keperluan makannya sehari – sehari. Sedangkan untuk bisa mencukupi biaya kost dan juga menabung untuk keluarganya dikampung, Maharani rela bekerja paruh waktu dicafe dari sepulang kuliah hingga malam hari. Semula Ia pikir, hidupnya sudah berjalan dengan baik. Namun tak pernah Ia duga bahwa sang pemilik café yang bernama Abimanyu jatuh hati padanya sehingga menginginkannya menjadi istri ketiga. Permintaan tersebut tentu saja ditolak oleh Maharani karena tujuannya datang kekota ini adalah untuk melanjutkan pendidikannya dan belum memikirkan untuk menikah. Semenjak itu hidupnya menjadi ta
Bab 5 Tunggu AkuMaharani lalu memakai jaket yang diberikan oleh Faza, dan ukurannya sangat cocok saat dikenakan olehnya. Selepas itu Ia meraih bingkai yang sedari tadi dibawa oleh Faza sejak Ia bertemu didepan kelasnya, namun Maharani tak banyak bertanya apa isi dari bingkai tersebut. Pikirnya, mungkin itu hanya bagian dari tugas kuliah milik Faza.Faza melaju dengan motornya dan melewati gerbang kampus mereka dengan leluasa. Keempat preman tersebut yang sejak pagi menunggu kehadiran Maharani yang hendak mereka buntuti, sama sekali tak menyadari keberadaan dua sejoli tersebut. ‘Huuuuft, Alhamdulillah, mereka tidak menyadarinya,’ batin Maharani.Sepanjang perjalanan mereka tak banyak saling bicara. Maharani malah begitu asyik menikmati suasana jalanan perkotaan yang sangat jauh berbeda rasanya saat dilalui dengan sepeda motor, meski jalan yang mereka lalui adalah jalan yang sering dilewati, namun untuk sejenak Maharani merasa sedikit terbebas dari kejaran orang – orang suruhan Abiman
Wajah gadis itu menjadi pucat pasi saat melihat sosok Abimanyu berada dihadapannya. Dibenaknya, mengapa lelaki tua itu tak henti – hentinya mengusik hidupnya. “Kenapa, sayang? Apa kamu kaget melihatku disini?” tanya Abimanyu dengan senyum yang tampak begitu menyebalkan.“Kau sangat menjijikkan!” balas Faza. “Oh ya? Bukannya kau sendiri yang tampak menjijikkan. Berani sekali anak kemarin sore sepertimu mencoba mendekati Maharani. Apa yang sudah kamu miliki sehingga kamu begitu percaya diri untuk memintanya menunggumu?” balas Abimanyu.“Hah? Sungguh orang tua tak tau malu!”“BUG!!!” satu pukulan mendarat tepat di pipi kiri Abimanyu.“Fazaaaaa!” Maharani sontak berteriak. Kejadian tersebut tentu langsung mencuri perhatian para pengunjung restoran cepat saji tersebut. Dengan cepat Maharani menarik Faza kembali agar menjauh dari Abimanyu.“Za, please jangan kepancing. Dia kesini pasti nggak sendirian,” bisik Maharani.Faza tak menggubris bisikan dari Maharani, Ia hanya terdiam seraya me
”Mas, kamu mau kan turuti keinginanku?” tanya Anggita Prameswari pada suaminya dengan tatapan penuh harap, sambil menyiapkan sarapan untuk sang suami dengan mengoleskan selai pada sehelai roti yang ada dihadapannya. Raga Mahendra tak lantas mengiyakan pertanyaan istrinya. Ia hanya membalas tatapan sang istri dengan sorot mata yang diliputi dengan rasa iba. Ada rasa tidak tega saat melihat istrinya meminta sesuatu darinya. “Mas, kok diem aja sih?” tanya Anggita sekali lagi.Raga Mahendra lalu menghela nafas Panjang. “Hmmmm, ya terus Mas harus jawab apa? Ini sudah pernah kita bahas sebelumnya kan? Aku nggak bisa, dan nggak akan pernah bisa,” jawab Raga Mahendra sambil meraih sepotong roti yang sudah disiapkan oleh Anggita.“Tapi ini demi anak – anak kita, Mas,” bujuk Anggita yang kemudian menarik kursi untuk duduk disebelah suaminya dan dengan sigap Ragapun membantunya.“Sayang, Aku akan berusaha penuhi setiap keinginanmu, asalkan jangan paksa aku untuk menduakanmu. Jangan lagi ada pe
Wajah gadis itu menjadi pucat pasi saat melihat sosok Abimanyu berada dihadapannya. Dibenaknya, mengapa lelaki tua itu tak henti – hentinya mengusik hidupnya. “Kenapa, sayang? Apa kamu kaget melihatku disini?” tanya Abimanyu dengan senyum yang tampak begitu menyebalkan.“Kau sangat menjijikkan!” balas Faza. “Oh ya? Bukannya kau sendiri yang tampak menjijikkan. Berani sekali anak kemarin sore sepertimu mencoba mendekati Maharani. Apa yang sudah kamu miliki sehingga kamu begitu percaya diri untuk memintanya menunggumu?” balas Abimanyu.“Hah? Sungguh orang tua tak tau malu!”“BUG!!!” satu pukulan mendarat tepat di pipi kiri Abimanyu.“Fazaaaaa!” Maharani sontak berteriak. Kejadian tersebut tentu langsung mencuri perhatian para pengunjung restoran cepat saji tersebut. Dengan cepat Maharani menarik Faza kembali agar menjauh dari Abimanyu.“Za, please jangan kepancing. Dia kesini pasti nggak sendirian,” bisik Maharani.Faza tak menggubris bisikan dari Maharani, Ia hanya terdiam seraya me
Bab 5 Tunggu AkuMaharani lalu memakai jaket yang diberikan oleh Faza, dan ukurannya sangat cocok saat dikenakan olehnya. Selepas itu Ia meraih bingkai yang sedari tadi dibawa oleh Faza sejak Ia bertemu didepan kelasnya, namun Maharani tak banyak bertanya apa isi dari bingkai tersebut. Pikirnya, mungkin itu hanya bagian dari tugas kuliah milik Faza.Faza melaju dengan motornya dan melewati gerbang kampus mereka dengan leluasa. Keempat preman tersebut yang sejak pagi menunggu kehadiran Maharani yang hendak mereka buntuti, sama sekali tak menyadari keberadaan dua sejoli tersebut. ‘Huuuuft, Alhamdulillah, mereka tidak menyadarinya,’ batin Maharani.Sepanjang perjalanan mereka tak banyak saling bicara. Maharani malah begitu asyik menikmati suasana jalanan perkotaan yang sangat jauh berbeda rasanya saat dilalui dengan sepeda motor, meski jalan yang mereka lalui adalah jalan yang sering dilewati, namun untuk sejenak Maharani merasa sedikit terbebas dari kejaran orang – orang suruhan Abiman
Bab 4 Harus BerpisahKeesokan harinya Maharani kembali menjalani aktivitasnya, sedikit lebih santai karena pagi ini Bu Ida sedang libur berjualan kue dipasar. Singkat cerita, Bu Ida adalah seorang pemilik kost yang selama ini Ia tinggali, biasanya sebelum berangkat kekampus untuk mengikuti kelas pagi, Ia membantu Bu Ida untuk berjualan kue – kue basah dipasar. Upah yang Ia terima sekiranya cukup untuk keperluan makannya sehari – sehari. Sedangkan untuk bisa mencukupi biaya kost dan juga menabung untuk keluarganya dikampung, Maharani rela bekerja paruh waktu dicafe dari sepulang kuliah hingga malam hari. Semula Ia pikir, hidupnya sudah berjalan dengan baik. Namun tak pernah Ia duga bahwa sang pemilik café yang bernama Abimanyu jatuh hati padanya sehingga menginginkannya menjadi istri ketiga. Permintaan tersebut tentu saja ditolak oleh Maharani karena tujuannya datang kekota ini adalah untuk melanjutkan pendidikannya dan belum memikirkan untuk menikah. Semenjak itu hidupnya menjadi ta
Raga kembali kerumah setelah seharian bekerja. Raut lelah begitu tampak diwajahnya, Anggita yang tengah bersantai menonton televisi bersama dengan dua anaknya langsung menyambut hangat kedatangan suaminya. “Assalamualaikum, anak – anak Papi,” sapanya pada Adi dan Tristan.“Papiiiii,” sahut sibungsu Tristan yang masih sangat manja pada kedua orang tuanya, yang kemudian langsung beranjak dan menubruk tubuh sang ayah dan meminta untuk menggendongnya. Sementara sisulung Adi hanya tersenyum melihat tingkah sang adik.“Wa’alaikumsalam, jawab dulu dong salamnya, Nak, jangan maen terobos gitu aja,” balas Anggita.“Peace, Mami,” jawab Tristan dengan gaya manjanya.“Adek udah makan belum? Nih, Papi bawain martabak kesukaan Mas Adi dan Adek Tristan.” “Asiiiik, Papi emang paling baik.”Cup! Sebuah kecupan manis dari sibungsu mendarat dipipi Raga, seketika lelah yang dirasa beberapa saat lalu perlahan mulai sirna.“Adi, bawa kedapur, Nak, martabaknya taruh dipiring terus nanti sebagian kasih bu
Pelan – pelan Maharani mulai membuka kedua kelopak matanya, dengan keadaan setengah sadar Ia merasa heran dengan apa yang dilihatnya saat ini. Mengapa Ia bisa berada dikamar sebesar ini, bahkan seolah tiga kali lebih besar dari kamar kostnya yang selama ini Ia tinggali. Terdengar suara pintu terbuka disana yang mengacaukan lamunannya dan sontak membuat gadis itu menoleh kearah pintu.“Sudah sadar, Nona?” tanya seorang wanita paruh baya yang sedang membawa nampan berisikan segelas air.Maharani mengangguk pelan, “Maaf, saya sekarang ada dimana?” Maharani balik bertanya.“Nona ada dirumah Nyonya Anggita, karena tadi saya dengar ceritanya, Nona pingsan dijalan saat berlari dan hampir ditabrak oleh supirnya Nyonya Anggita,” jawab wanita tersebut.“Nyonya Anggita?” tanyanya lagi. Namun setelah itu Maharani kembali terdiam dan berusaha mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu.“Ini diminum dulu, Non, saya buatkan teh anget biar lebih tenang.”Sedikit demi sedikit Maharani mulai tering
”Mas, kamu mau kan turuti keinginanku?” tanya Anggita Prameswari pada suaminya dengan tatapan penuh harap, sambil menyiapkan sarapan untuk sang suami dengan mengoleskan selai pada sehelai roti yang ada dihadapannya. Raga Mahendra tak lantas mengiyakan pertanyaan istrinya. Ia hanya membalas tatapan sang istri dengan sorot mata yang diliputi dengan rasa iba. Ada rasa tidak tega saat melihat istrinya meminta sesuatu darinya. “Mas, kok diem aja sih?” tanya Anggita sekali lagi.Raga Mahendra lalu menghela nafas Panjang. “Hmmmm, ya terus Mas harus jawab apa? Ini sudah pernah kita bahas sebelumnya kan? Aku nggak bisa, dan nggak akan pernah bisa,” jawab Raga Mahendra sambil meraih sepotong roti yang sudah disiapkan oleh Anggita.“Tapi ini demi anak – anak kita, Mas,” bujuk Anggita yang kemudian menarik kursi untuk duduk disebelah suaminya dan dengan sigap Ragapun membantunya.“Sayang, Aku akan berusaha penuhi setiap keinginanmu, asalkan jangan paksa aku untuk menduakanmu. Jangan lagi ada pe