"Andaikan bukan Bunda yang memilih baju itu, dari awal aku lihat kamu pakai tadi, sudah ingin kusuruh buang aja."
Jawaban Aldo masih terdengar marah dan kesal, dan Ratna hanya bisa meliriknya tak mengerti.
"Kamu itu yang aneh, semua orang bilang cantik, cuma kamu aja yang nggak! Memangnya kenapa, sih? Baju mahal ini?!" tanya Ratna, setelah sebelumnya menghela nafas panjang. Mengumpulkan kekuatan sabar yang ia punya hari ini.
"Aku bisa memberikanmu uang untuk beli baju yang lebih tertutup."
"Tapi aku nggak mau membuang baju ini, bisa jadi anak durhaka kalau aku melakukannya."
"Tapi jangan di pakai juga dong, Sayang."
"Apa an sih?!" Ratna mendelik kan matanya saat mendengar ada kata ajaib yang baru saja di katakan Aldo.
"Memangnya kenapa? Aku kan sayang kamu?" Aldo yang paham kalau Ratna sedang salah tingkah, kembali mengeluarkan jurus pepetnya.
"Udah, deh! Jangan kebanyakan gombal, Nggak usah bikin aku tambah s
"Ratna!"Ratna yang baru saja menjejakkan kakinya ke cafe, pagi itu. Di buat kaget saat melihat mantan mertuanya sudah berdiri dari duduknya di kursi, yang sengaja di letakkan di luar. Namun, masih ada di bawah atap kafe."Ibu, ada perlu apa? Tumben, pagi pagi begini sudah ada di kafe?" tanya Ratna yang membelokkan langkahnya, beralih ke tempat ibunya Rizal."Ratna, kamu bisa temenin ibu duduk di sini, sebentar? Ada yang ingin ibu katakan."Ratna mengerutkan keningnya, sambil menatap penuh selidik ke wajah penuh harap dari perempuan yang dulu sangat menyayanginya, saat almarhum ayah mertua masih hidup."Ada apa, Bu?" tanya Ratna, dengan tangan kanan menarik salah satu kursi hingga memberikan jarak aman untuk ia duduki."Apa benar kamu meminta hak atas rumah yang ditempati Rizal sekarang, sebagai harta gono gini, karena merupakan pemberian al
Ratna hanya melirik ponselnya membaca sebuah nama yang pagi ini sudah membuatnya bete. Sepertinya tak ada keinginan untuk mengangkat panggilan itu.Alhasil ponsel terus berdering hingga panggilan ke lima. Kemudian hening ...."Akhirnya dunia damai!" pekiknya tertahan dengan senyum yang mengembang di bibir."Ratna ...!"Baru saja Ratna hendak membuka program keuangan di komputer. Diandra sudah ada di depan pintu sambil tersenyum manis."Ada apa?" Ratna tak menoleh, dia tetap melanjutkan kerjanya, yang tadinya berhenti karena kaget saat mendengar Diandra memanggil."Ke bawah sebentar, yuk! Ada yang kangen.""Diandra ...!" seru Ratna dengan nada yang terdengar tak suka."Eh, serius kali, ayo dong, masak iya tuh orang di cuekin.""Memangnya siapa sih?""Nick, tem
"Sudah jam segini, kok belum datang?" desis Ratna, dengan mata melirik ke arah jam yang menempel di tembok atas pintu."Rizal janji datang jam berapa, Rat?" tanya Nay yang ikut ikutan melirik jam."Kemarin sih dia nggak ngomong mau datang jam berapa cuman bilangnya malam doang." Ratna menjawab sambil kembali memandang ponselnya."Ini sudah hampir jam sembilan looo ...." Seru Nay, lagi.Ratna tak menjawab, dia hanya bisa melirik jam dan menunggu."Memangnya mau ngomongin apa sih?" tampaknya bukan hanya Ratna yang penasaran, Nay pun mempunyai rasa yang sama."Aku juga nggak tahu, Nay. Mungkin mau cerita tentang hubungannya bersama Mila?""Kamu tahu?" Nay yang kaget, bertanya, dengan mata terbeliak ke arah Ratna."Memangnya kenapa Nay, sampai kaget begitu," lirik Ratna dengan wajah dat
"Kamu beneran masih mau di sini? Sendirian aja? Apa mau aku temeni?" tanya Nay yang sudah bersiap siap, berkemas untuk segera pulang."Temenin dong," rajuk Ratna tanpa menoleh ke arah sahabatnya itu, dia tetap fokus ke arah laptop.[Hallo, Mas. Malam ini aku di kafe, nemenin Ratna, jadi nggak usah di jemput ya.]Mata Ratna sontak membulat dan berpaling fokus ke arah Nay yang masih berbincang di ponselnya."Nay, nggak! Kamu pulang saja, aku bercanda!"Terlambat, Nay sudah menutup ponselnya. Dan kini memandang tak mengerti pad Ratna."Eh kamu yang serius, dong!" ketus Nay yang terlihat gemes."Iya, aku serius, aku di sini sendiri saja. Kamu sana pulang!""Serius, Rat!"Lagi! Nay memastikan apa keinginan Ratna."Iya!""Ah, kamu becanda
Tak menggubris apa yang Ratna pinta, Aldo malah bungkam mulut Ratna kembali dengan lumatan bibir. Tangannya pun tak mau kalah, memilin, meremas dan mulai semakin berani turun ke bawah.Bukan hanya di bibir, Aldo juga memberikan tanda kepemilikannya di dada dan leher Ratna, membuat perempuan yang baru saja berstatus janda itu kembali mendesah."I love you."Aldo terus membisiki telinga Ratna, di sela sesapannya di tempat itu.Mata Ratna terpejam, sepertinya kini dia hanya bisa pasrah menerima serangan Aldo.Namun entah kenapa, saat tangan Aldo mulai menyentuh miliknya yang paling sensitif, Ratna berdiri dan menghempaskan tangan Aldo begitu saja. Matanya terlihat berkaca kaca dengan nafas tersengal."Ada apa, Sayang?" tanya Aldo yang kaget melihat perubahan sikap Ratna yang tadinya mulai pasrah kini malah berdiri menjauh.
Sesaat setelah Bunda menutup pintu kamar, Ratna membuka mata dan turun dari ranjangnya. Bergegas ganti baju dan memoles tipis wajahnya, agar tampak lebih segar.Sengaja hari ini dia menggunakan kaca mata hitam untuk menutupi matanya yang bengkak akibat menangis."Non!"Terdengar ketukan di pintu kamar, disertai panggilan untuk Ratna."Apa, Mak?" Ratna membuka pintu dan langsung bertanya pada perempuan separuh baya yang datang dengan membawa baki berisi sepiring bubur dan segelas teh."Lo, Non mau ke mana, kata Nyonya, si Non lagi sakit, kok sekarang malah sudah cantik, kayak mau pergi." Si Mak menatap penampilan Ratna dari atas ke bawah dengan tatapan heran."Nggak sakit, tadi cuman lagi ngantuk aja, kok Mak. Sekarang mau pergi, Mak." jawab Ratna, tangannya memeriksa tas yang ia selempangkan di bahu sebelah kanan.
"Mbak, saya Ratna, mau ketemu dengan ibu Diana Chalondra."Siang itu sepulang dari Panti, Ratna sengaja datang, ingin bertemu dengan Bunda di kantornya.Kali ini dia sudah membulatkan tekad untuk melakukan apa yang Umi katakan tadi padanya."Apakah sebelumnya sudah ada janji?" tanya mbak berseragam yang berdiri dari balik meja, sesaat saat melihat ada Ratna di depan mejanya."Tidak!" Ratna menjawab denganmenggelengkan kepalanya berulang kali, mulutnya tersenyum ramah."Maaf, kalau mau bertemu dengan ibu harus ada janji dulu." Mbak itu berkata cepat, dengan mata menatap Ratna tidak bersahabat."Tidak di tanyain dulu mbak, mau ketemu apa nggak?" Ratna bertanya setengah memaksa."Memangnya ada perlu apa, mbaknya ke sini?"Kini jawaban si mbak berseragam mulai terdengar ke
"Tapi ... apa?" Bunda mulai mendesak, agar Ratna tak lagi ragu untuk mengutarakan apa yang menjadi beban di hatinya."Anu ... Bunda, aku rasa dengan menepi untuk sementara adalah cara terbaik agar aku tahu apakah rasa aku alami ini tidak salah."Akhirnya Ratna memberanikan diri mengutarakan apa yang dia inginkan."Aku tak ingin jatuh di lubang yang sama untuk yang kedua kalinya, Bunda. Aku sadar aku tidak sempurna, karena ketidak sempurnanya itulah yang membuat aku harus berpikir panjang untuk membuka hati kembali."Sambung Ratna, kembali mencurahkan alasan keinginannya untuk menepi, yang tercipta setelah dia bertemu dengan Umi, tadi.Namun, tidak dia ceritakan pada Bunda dan mas Delon."Mmm ...."Hanya terdengar deheman Bunda, kemudian sepi.Berulang kali Ratna, Bunda dan Delon saling melirik tanpa berucap ka