Nayla dan Nadia.
"Dia lebih tinggi dari Nyonya Nadia!" serunya tanpa sadar.
Sekali lagi, tatapan beberapa penumpang segera menoleh ke arahnya.
"Aah, maaf. Mimpi lagi. Mimpi buruk!" serunya berusaha mengatasi kecanggungan.
"Makanya cepat tidur kalau malam dan jangan selalu bermain ponsel!" ucap salah seorang penumpang dengan sedikit kesal. Sepertinya dia juga mencoba tidur dalam perjalanan yang cukup membosankan itu.
Sara mengkerucutkan bibirnya, menanggapi komentar yang tidak perlu.
Tapi, potongan teka-teki itu terus berputar di kepalanya sepanjang perjalanan, membuat Sara semakin yakin bahwa dia harus menggali lebih dalam untuk menemukan kebenaran.
Sara berkata-kata dalam hatinya. "Satu-satunya orang yang bisa kupercayai saat ini adalah Joen!"
"Nyonya Nayla dan Tuan Zavier yang ada di sana mungkin terlibat dalam sesuatu tindakan kejahatan yang belum kumengerti, tetapi Joen hanya seorang anak kecil dan seharusnya dia adalah ana
"Ada apa? Apakah Nyonya sakit?"Nayla menggelengkan kepalanya lalu mendorong tubuh Sara sehingga mereka berdua masuk ke dalam kamar Sara.Sara merasa sangat bingung atas kepanikkan yang dialami sang majikannya."Ada apa sih?" ulangnya."Dokter Bram, dia ingin malam ini..."Sara memiringkan kepalanya dan memberikan tatapan sama bingungnya karena tidak mengerti."Ingin apa?""Dia menginginkanku, malam ini. Aku sangat takut..." ucap Nayla seraya memeluk Sara dengan tubuh yang mulai bergetar.Sara akhirnya bisa mengerti, tetapi dia juga tidak tahu bagaimana cara menghindari semua ini.Tiba-tiba Nayla menengadahkan kepalanya dan menelusuri lekuk tubuh Sara yang perawakannya hampir setinggi dia."Sara," panggil Nayla dengan kedua mata berkaca-kaca."Ya, saya?""Maukah kamu menolongku sekali lagi?" Suara Nayla bergetar hebat saat mengatakannya.Dia lalu mendekati telinga Sara dan berbisik.
Sara masih ingin menolak, namun melihat Nayla yang begitu putus asa, Sara akhirnya mengangguk pelan."Baiklah, aku akan melakukannya," ucapnya dengan suara lirih, hampir seperti bisikan.Nayla menghela napas lega, dan tanpa menunggu lebih lama, ia segera memeluk Sara. "Terima kasih, Sara. Aku berhutang banyak padamu. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu ini.""Ini bukan tentang kebaikan, Nyonya," jawab Sara sambil menepuk-nepuk punggung Nayla."Aku hanya berharap ini cepat berlalu dan kita bisa melupakan semua ini. Nenekku?""Aku akan mengurusnya sekarang juga, ikutlah aku..."Nayla mundur dan mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Kamu cukup memakai gaun malamku dan pastikan untuk menutup lampu saat dia masuk ke kamar. Jangan banyak bicara, hanya dengarkan dan ikuti apa yang dia katakan. Aku yakin kamu bisa melakukannya."Sara mengangguk dengan tegang. Meski hatinya masih dipenuhi keraguan, dia tahu bahwa dia telah mengamb
Mendengar hal itu, Sara yang bersembunyi di kamar mandi merasakan air mata haru mengalir di pipinya. Meskipun kondisinya saat ini menegangkan, setidaknya satu hal baik telah terjadi. Hatinya dipenuhi rasa terima kasih dan lega karena Nayla berhasil membujuk Bram untuk membantu neneknya.Bram kembali meraih dagu Nayla dan kini mendekatkan wajahnya, siap untuk mencium istrinya. Namun, Nayla dengan cepat berkata, “Bram, bisakah kau mematikan lampu dulu? Aku merasa malu...”Bram tersenyum dan mengangguk, lalu berjalan menuju sakelar dan memadamkan lampu. Pria itu segera membuka kemejanya karena tubuhnya sudah sangat membara, seolah-olah dia tidak bisa memikirkan terlalu banyak hal lagi."Aku akan sedikir kasar hari ini," gumamnya sambil menyengir dan melepaskan pakaiannya.Seketika, kamar menjadi gelap gulita. Bram kemudian kembali mendekati Nayla dengan perlahan, bersiap untuk mencumbunya lagi.Namun, sebelum Bram dapat menyentuhnya, Nayla
Sara bangkit dari ranjang dengan hati-hati dan kaki yang bergetar menahan nyeri, mencoba untuk tidak membangunkan Bram.Mengernyitkan alisnya, merasakan nyeri fisik yang menyertainya terutama bagian intinya, namun lebih dari itu, ada perasaan yang membuat hatinya sesak.Ia berusaha untuk tetap kuat, berjalan keluar dari kamar dengan langkah tertatih. Tepat sebelum ia menutup pintu, ia sempat melihat Nayla keluar dari kamar mandi, berjalan mendekati ranjang dan berbaring di samping Bram, berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa.Dia bisa melihat Nayla memberikan kode jempol untuknya, untuk rencananya mereka yang berhasil.Di luar kamar, Sara menahan perasaan yang bercampur aduk. Meski tubuhnya lelah dan sakit, ada perasaan puas yang aneh. Seolah-olah, tanpa disadari, ia telah menyingkap bagian lain dari dirinya yang selama ini tersembunyi.Perasaan cinta dan keinginan itu muncul begitu saja, meskipun ia tahu bahwa situasinya tidaklah benar. Dengan
Jawaban itu tampaknya tidak memuaskan Bram sepenuhnya, meskipun ia tidak segera membalas. Tatapannya tetap tajam, seolah-olah mencoba menelusuri kebenaran yang tersembunyi di balik jawaban Nayla. Meski begitu, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang percakapan tersebut untuk saat ini, dan hanya mengangguk pelan."Baiklah, kalau begitu, mungkin aku terlalu kasar semalam," ucapnya dengan nada datar. "Jika kau merasa tidak apa-apa, aku tak akan bertanya lebih lanjut."Nayla mengangguk dan tersenyum canggung sebelum buru-buru meninggalkan kamar."Aku akan pergi melihat apakah sarapan sudah selesai," ucap Nayla dengan canggung.Saat pintu kamar tertutup, Nayla bernapas dengan lega, dia harus pergi melihat keadaan Sara. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa situasi ini jauh dari selesai.Sementara Bram masih memikirkan kejanggalan yang ia temui pagi itu, Nayla harus memastikan bahwa rahasia malam itu tetap terkubur rapi.Sesekali dia menoleh ke b
"Izinkan saya tidur, ya?" Sara menatap Nayla dengan kedua mata yang menyirat sebuah kelelahan.Nayla menatap Sara dengan perasaan campur aduk antara kasihan dan terharu. "Baiklah, Sara. Istirahatlah dengan tenang. Aku akan memastikan tidak ada yang mengganggu tidurmu."Setelah menepuk bahu Sara dengan lembut, Nayla beranjak pergi dari kamar. Ia menutup pintu dengan hati-hati, meninggalkan Sara yang segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang, mencoba menemukan kenyamanan di tengah semua kebingungan yang ia rasakan. Nayla berjalan menjauh dengan perasaan gelisah.Saat dia tersadar langkahnya menuju ke kamar tidur, dia segera berbalik menuju ke ruang melukis.Dengan wajah yang seperti orang linglung, Nayla duduk di depan kanvas, mulai menggoreskan kuas ke atas kanvas yang kosong."Siapakah kamu?" tanya Nayla, lebih kepada dirinya sendiri. Dia memimpikan sebuah sosok pria yang sempurna. Nayla membayangkan cumbuan dari pria itu dan tidak henti-hentinya
Fernando menatap Joen dengan alis terangkat, sedikit bingung. “Kenapa aku tidak bisa ikut? Aku juga ingin tahu bagaimana keadaannya.”Namun, Joen menggeleng cepat. “Tidak perlu. Aku rasa ini akan lebih baik kalau aku sendiri yang masuk. Kalau terlalu banyak orang, nanti malah merepotkan.”Zavier, yang duduk di kursi pengemudi, menoleh ke arah Joen. “Kau yakin, Joen? Kalau ada masalah, lebih baik aku ikut memastikan semuanya aman.”Joen memberikan tatapan tegas kepada Zavier. “Tidak perlu, Daddy. Aku hanya akan berbicara sebentar dengan Sara, itu saja. Kalian tunggu saja di sini.”Dengan kata-kata tersebut, Joen kembali berbalik dan berjalan menuju pintu rumah Sara, meninggalkan Zavier dan Fernando yang saling berpandangan di dalam mobil.Fernando hanya bisa mengangkat bahu dan menghela napas, sementara Zavier menyalakan mesin mobil perlahan, bersiap untuk pergi kapan saja jika Joen telah selesai
Saat ini, perutnya terasa lapar dan dia ingin mencari sesuatu untuk mengganjal perutnya.Sementara Joen kecil kembali ke mobil setelah menatap ke kejauhan, lalu bergumam pelan, “Aku melihat Ibu di sana, tapi dia tidak mengenalku. Aneh.”Zavier yang sedang duduk di kursi kemudi, menoleh dengan alis mengerut. "Ibumu?" Pikiran itu langsung membingungkannya. Sejak kapan Nayla ada di sini?Joen menganggukkan kepalanya, "iya, Ibu terlihat tidak mengenalku sama sekali, seperti orang lain saja. Ini sungguh aneh."Zavier terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Joen kecil. "Ibumu?" pikirnya dengan alis terangkat. Tidak mungkin. Bukankah Nayla ada di rumah? Namun, rasa penasaran dan firasat aneh mulai merayapi pikirannya."Apakah kau benar-benar melihat Ibumu?" tanya Zavier sambil memutar badan, menatap Joen yang masih duduk di kursi belakang.Joen menunjuk keluar jendela dengan tatapan bingung. "Iya, Dad. Dia di dalam rumah itu,
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu