Sara bangkit dari ranjang dengan hati-hati dan kaki yang bergetar menahan nyeri, mencoba untuk tidak membangunkan Bram.
Mengernyitkan alisnya, merasakan nyeri fisik yang menyertainya terutama bagian intinya, namun lebih dari itu, ada perasaan yang membuat hatinya sesak.
Ia berusaha untuk tetap kuat, berjalan keluar dari kamar dengan langkah tertatih. Tepat sebelum ia menutup pintu, ia sempat melihat Nayla keluar dari kamar mandi, berjalan mendekati ranjang dan berbaring di samping Bram, berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa.
Dia bisa melihat Nayla memberikan kode jempol untuknya, untuk rencananya mereka yang berhasil.
Di luar kamar, Sara menahan perasaan yang bercampur aduk. Meski tubuhnya lelah dan sakit, ada perasaan puas yang aneh. Seolah-olah, tanpa disadari, ia telah menyingkap bagian lain dari dirinya yang selama ini tersembunyi.
Perasaan cinta dan keinginan itu muncul begitu saja, meskipun ia tahu bahwa situasinya tidaklah benar. Dengan
Jawaban itu tampaknya tidak memuaskan Bram sepenuhnya, meskipun ia tidak segera membalas. Tatapannya tetap tajam, seolah-olah mencoba menelusuri kebenaran yang tersembunyi di balik jawaban Nayla. Meski begitu, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang percakapan tersebut untuk saat ini, dan hanya mengangguk pelan."Baiklah, kalau begitu, mungkin aku terlalu kasar semalam," ucapnya dengan nada datar. "Jika kau merasa tidak apa-apa, aku tak akan bertanya lebih lanjut."Nayla mengangguk dan tersenyum canggung sebelum buru-buru meninggalkan kamar."Aku akan pergi melihat apakah sarapan sudah selesai," ucap Nayla dengan canggung.Saat pintu kamar tertutup, Nayla bernapas dengan lega, dia harus pergi melihat keadaan Sara. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa situasi ini jauh dari selesai.Sementara Bram masih memikirkan kejanggalan yang ia temui pagi itu, Nayla harus memastikan bahwa rahasia malam itu tetap terkubur rapi.Sesekali dia menoleh ke b
"Izinkan saya tidur, ya?" Sara menatap Nayla dengan kedua mata yang menyirat sebuah kelelahan.Nayla menatap Sara dengan perasaan campur aduk antara kasihan dan terharu. "Baiklah, Sara. Istirahatlah dengan tenang. Aku akan memastikan tidak ada yang mengganggu tidurmu."Setelah menepuk bahu Sara dengan lembut, Nayla beranjak pergi dari kamar. Ia menutup pintu dengan hati-hati, meninggalkan Sara yang segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang, mencoba menemukan kenyamanan di tengah semua kebingungan yang ia rasakan. Nayla berjalan menjauh dengan perasaan gelisah.Saat dia tersadar langkahnya menuju ke kamar tidur, dia segera berbalik menuju ke ruang melukis.Dengan wajah yang seperti orang linglung, Nayla duduk di depan kanvas, mulai menggoreskan kuas ke atas kanvas yang kosong."Siapakah kamu?" tanya Nayla, lebih kepada dirinya sendiri. Dia memimpikan sebuah sosok pria yang sempurna. Nayla membayangkan cumbuan dari pria itu dan tidak henti-hentinya
Fernando menatap Joen dengan alis terangkat, sedikit bingung. “Kenapa aku tidak bisa ikut? Aku juga ingin tahu bagaimana keadaannya.”Namun, Joen menggeleng cepat. “Tidak perlu. Aku rasa ini akan lebih baik kalau aku sendiri yang masuk. Kalau terlalu banyak orang, nanti malah merepotkan.”Zavier, yang duduk di kursi pengemudi, menoleh ke arah Joen. “Kau yakin, Joen? Kalau ada masalah, lebih baik aku ikut memastikan semuanya aman.”Joen memberikan tatapan tegas kepada Zavier. “Tidak perlu, Daddy. Aku hanya akan berbicara sebentar dengan Sara, itu saja. Kalian tunggu saja di sini.”Dengan kata-kata tersebut, Joen kembali berbalik dan berjalan menuju pintu rumah Sara, meninggalkan Zavier dan Fernando yang saling berpandangan di dalam mobil.Fernando hanya bisa mengangkat bahu dan menghela napas, sementara Zavier menyalakan mesin mobil perlahan, bersiap untuk pergi kapan saja jika Joen telah selesai
Saat ini, perutnya terasa lapar dan dia ingin mencari sesuatu untuk mengganjal perutnya.Sementara Joen kecil kembali ke mobil setelah menatap ke kejauhan, lalu bergumam pelan, “Aku melihat Ibu di sana, tapi dia tidak mengenalku. Aneh.”Zavier yang sedang duduk di kursi kemudi, menoleh dengan alis mengerut. "Ibumu?" Pikiran itu langsung membingungkannya. Sejak kapan Nayla ada di sini?Joen menganggukkan kepalanya, "iya, Ibu terlihat tidak mengenalku sama sekali, seperti orang lain saja. Ini sungguh aneh."Zavier terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Joen kecil. "Ibumu?" pikirnya dengan alis terangkat. Tidak mungkin. Bukankah Nayla ada di rumah? Namun, rasa penasaran dan firasat aneh mulai merayapi pikirannya."Apakah kau benar-benar melihat Ibumu?" tanya Zavier sambil memutar badan, menatap Joen yang masih duduk di kursi belakang.Joen menunjuk keluar jendela dengan tatapan bingung. "Iya, Dad. Dia di dalam rumah itu,
Begitu Bram pergi, Sara langsung bergerak. Ia mengirim pesan singkat kepada Joen, memastikan pertemuan mereka diatur di kafe kecil tak jauh dari rumah.Ia tahu Joen masih terobsesi dengan pertemuan aneh di hari sebelumnya, dan dia harus mendapatkan jawaban. Dia tahu dari cerita Nayla bahwa Joen menatapnya dengan aneh, serta memanggilnya "Ibu".Jika majikannya memang wanita yang Joen lihat kemarin sebagai Ibunya, ada kemungkinan besar ia adalah kunci dari semua misteri ini.Sore harinya, Joen tampak gelisah di dalam mobil, bolak-balik menatap jendela. Dia berhasil membujuk Fernando supaya dia tidak mengikuti jadwal les, tetapi dia memanfaatkan waktu untuk bertemu dengan Sara.Ketika mereka sampai di kafe, Joen mengikuti Sara masuk dengan sedikit enggan. Dia tidak tahu pasti apa yang akan terjadi, tetapi hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya.Di dalam kafe, di pojok ruangan yang tenang, duduklah Nayla. Penampilannya sederhana, namun pesona lembu
Joen memutuskan untuk tidak menyimpan kebingungan ini sendiri. Dia tahu bahwa harus ada penjelasan yang masuk akal di balik semua ini, dan Sara mungkin memegang kuncinya. Pertanyaan mulai berputar-putar di kepalanya—apakah Sara tahu lebih banyak tentang Nayla? Apakah wanita itu sebenarnya ada kaitannya dengan ibunya yang ada di rumahnya saat ini?"Atau dia Ibuku?" Joen mulai meragukan keberadaan wanita yang ada di rumahnya saat ini karena ikatan bathinnya lebih mengarah kepada wanita yang dia temui tadi.Sesaat kemudian, Joen mencari waktu untuk menghampiri sang ayah di ruang kerjanya.Tok! Tok! Tok!Joen mengetuk pintu pelan."Ya? Masuklah!"Joen membuka pintu lalu masuk dan memeluk sang ayah. "Dad sibuk?"Zavier menggelengkan kepala walau dirinya sangat kelelahan."Joen ingin menceritakan sesuatu," ucap Joen setelah memastikan bahwa pintu sudah tertutup rapat olehnya."Kemarilah..."Setelah Joen bercerita
Semakin lama, Joen semakin sadar ada banyak hal kecil lain yang tidak sesuai. Detail-detail kecil yang dulu dia abaikan kini mulai terlihat jelas. Sefia sering kali lupa hal-hal mendasar tentang masa lalu keluarganya, atau memberikan jawaban yang tidak tepat ketika ditanya soal kenangan bersama ibunya.Setiap pertanyaan yang lebih dalam, Sefia mengelak atau mengubah topik dengan cepat. Semuanya mulai menyatu dalam benak Joen."Dia palsu," pikir Joen dengan amarah yang mulai mendidih di dalam dirinya."Dia bukan Ibuku!" geram Joen dengan kedua mata memerah.Geram, Joen menahan diri agar tidak langsung bereaksi. Dia sadar bahwa terlalu cepat menuduh tanpa bukti yang kuat hanya akan memperkeruh suasana. Tapi di dalam hatinya, kebenaran sudah jelas: wanita yang mengakui sebagai Ibunya itu, bukanlah siapa yang dia klaim. Ada sesuatu yang besar yang sedang disembunyikan.Keesokkan harinya, Joen ingin sekali pergi mengunjungi Sara lagi, maksudnya adalah u
Nayla tertawa kecil. "Oh, Tante memang suka melukis sejak dulu, tapi tidak terlalu sering. Sekarang ini, Tante hanya melakukannya untuk mengisi waktu."Joen melihat kanvas berisi coretan yang tidak teratur, tidak ada yang menarik sama sekali karena dia juga bisa menggambar hal yang sama bila diharuskan guru di sekolah.Joen bisa menebak bahwa wanita itu hanya menghabiskan waktu luang tanpa tujuan jelas, karena apa yang dia lihat sungguh bukan sosok seorang seniman lukis.Joen mencoba membaca raut wajah Nayla, berharap ada sedikit tanda-tanda pengakuan atau memori yang muncul, namun Nayla terlihat benar-benar tidak mengenalnya.Joen merasa agak kecewa, tetapi ia segera menguatkan diri."Ngomong-ngomong, Tante, aku dan Sara mau membuat kue. Tante mau ikut?"Nayla tersenyum, kali ini dengan kehangatan yang lebih dalam. "Membuat kue, ya? Ide yang bagus. Tante sudah lama tidak membuat kue.""Eh, Tante juga pernah membuat kue?" tanya Joen t
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu