Kotak berwarna merah itu berisi sebuah cincin berlian dan Sefia segera meraihnya lalu membuka kotak itu.
"Kecil sekali berliannya!" seru Sefia dengan wajah cemberut, lalu dia melirik kalung berlian yang sedang dipakai Nayla.
"Zavier! Kamu tidak adil!" renggek Sefia sambil menggandeng tangan Zavier dengan manja lalu mendorong tubuh Nayla sedikit agar memberi ruang bagi mereka.
"Ahh," jerit Nayla karena hampir terjatuh. Dia mengenakan high heels yang membuat langkahnya sedikit canggung.
Namun, Sefia tidak terima dengan sikap Nayla dan merasa wanita itu hanya berpura-pura "Ah, kamu terlalu ceroboh," ucapnya dengan nada sinis, "Aku tidak tahu kamu akan datang. Zavier tidak pernah menyebutkan tentangmu."
Sefia melayangkan tatapan merendahkan ke arah Nayla, "pakaian itu sungguh tidak cocok dengan kalung yang ada di lehermu."
Nayla merasa sedikit tersinggung oleh kata-kata Sefia, namun dia mencoba untuk tetap tenang. "Maafkan saya, Sefia. Ini adala
Teriakan kejutan dari Nayla dan Sefia secara serentak dan kekacauan mengisi ruangan saat cairan merah itu menyebar, sebuah gambaran yang mengejutkan dan tak terduga.Nayla berdiri di tempatnya, terpaku melihat dress putihnya yang indah tercemar oleh anggur merah. "Apa yang kamu lakukan, Sefia?" bentaknya dengan suara gemetar, mencoba mengatasi kebingungannya.Sefia, dengan senyum licik di wajahnya, menyeringai menatap Nayla dengan tatapan penuh kepuasan. "Nayla, kamu sengaja mendorongku," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba mempertahankan kedoknya.Namun, Nayla melihat melalui kedok itu. "Hei! Kamu yang menabrakku dan kamu melakukan ini dengan sengaja!" serunya dengan nada tajam, matanya memancarkan kemarahan dan kekecewaan yang tak terbendung.Di tengah keramaian, Zavier mendengar keributan dan bergegas mendekati mereka. Matanya memancarkan kekhawatiran saat dia melihat Nayla yang basah kuyup dan Sefia yang berdiri di sana dengan ekspresi dingin
Meskipun hatinya tidak tenang karena meninggalkan Nayla sendirian, tapi dia merasa bahwa dia tidak memiliki pilihan lain. Dia merasa bertanggung jawab atas Sefia, terlepas dari apa yang sebenarnya terjadi di pesta itu.Zavier membawa mobilnya sendiri tanpa supir, menuju ke hotel kembali. Acara sudah selesai dan para tamu tidak terlihat lagi.Dengan langkah yang terburu-buru, Zavier memasuki kamar hotel tempat Sefia menginap dan membunyikan bel.Sesaat kemudian, pintu dibuka dan Kayla berdiri di hadapan Zavier dengan wajah tidak ramah."Sekarang, kamu akan mengurus dia dengan baik. Saya akan pergi dan menemani Ayahmu. Dia merasa bersalah atas anggur yang terjatuh dan merasa acara ulang tahunnya menjadi tidak menyenangkan," ucapnya sambil memakai sepatu."Mama heran, mengapa kamu harus membawa wanita licik itu ke pesta kekasihmu? Dan membiarkan mereka saling beradu karena cemburu?"Kayla menggelengkan kepala lalu pergi dari sana.Zavier
Nayla mengerutkan dahinya dan memegang lutut yang ditekukkan di atas ranjang mewah itu. Namun, dia masih belum berani berceloteh terlalu banyak dengan Michael."Ohya, Michael. Aku sampai lupa menanyakan kabar adikku, bagaimana keadaaannya?""Oh, tidak masalah, dia hanya harus lebih rutin menjalani cuci darah, sepertinya dia melewati satu hari, makanya dia menjadi pusing dan pingsan." Michael menjelaskan."Aku sudah membawanya pulang ke rumah semalam, dia tidak perlu menginap, kok," lanjut Michael.Nayla bernapas lega mendengar semua itu, dia merasa sedikit bersalah karena tidak bisa hadir di sana."Maaf, sudah merepotkanmu semalam," lanjut Nayla."Tidak masalah, Nayla. Kamu tahu, aku ingin melakukan yang terbaik sebagai seorang teman." Michael menjawab dengan nada tegas."Terima kasih," sahut Nayla."Sampai jumpa besok, ya?" Suara Nayla terdengar lembut dan wanita itu sengaja menguap, "ternyata aku sudah mengantuk.""Sam
Petugas layanan darurat memberikan instruksi yang cepat dan jelas kepada Nayla, yang mencoba untuk tetap tenang sambil mengikuti petunjuk tersebut.Dia mencoba segala cara untuk menurunkan suhu tubuh Zavier dan mengurangi kegelisahannya, sambil terus memegang tangannya dengan erat, mencoba memberikan kehangatan dan dukungan.Sementara menunggu bantuan datang, Nayla tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan tentang apa yang mungkin terjadi pada Zavier.Nayla segera memanggil pelayan masuk untuk membantunya.Nayla mengangkat pakaian Zavier yang basah dari lantai dengan heran. Kainnya terasa dingin dan berat di tangannya, menyebabkan rasa kekhawatiran merayap di dalam dirinya. "Kenapa pakaian Tuan basah?" tanyanya kepada pelayan dengan suara khawatir, matanya mencari jawaban yang memuaskan.Pelayan mengernyitkan keningnya sejenak, mencoba mengingat kejadian semalam."Maafkan saya, Nyonya. Tadi malam hujan de
Sejak saat itu juga, Zavier sering melampiaskan amarahnya melalui segala cara, termasuk pemaksaan bagi mereka untuk melakukan hubungan suami istri.Walau sejak saat itu, Zavier selalu pulang setiap hari. Tidak seperti yang lalu-lalu. Zavier selalu pulang walau pekerjaannya sangat banyak dan Nayla mengira itu semua adalah sebuah perubahan ke arah yang baik.Seperti semalam, pria itu tetap pulang walau hujan lebat dan dia juga berada dalam keadaan mabuk.Beberapa saat kemudian, dokter tiba di rumah mereka bersama dengan seorang perawat, membawa tas dokter yang berisi perlengkapan medis.Nayla segera membawa dokter ke kamar di mana Zavier terbaring, memperhatikan dengan khawatir setiap gerakan dokter saat dia memeriksa suaminya.Dokter dengan cermat memeriksa suhu tubuh Zavier, memeriksa tekanan darahnya, dan mencatat segala gejala yang terlihat. Setelah menyelesaikan pemeriksaannya, dia mengambil beberapa suntikan infus dan obat dari tasnya."
"Tidak perlu berterima kasih, Nayla. Kesehatan dan kebahagiaanmu serta Zavier adalah yang terpenting," ucap Michael dengan suara penuh perhatian."Aku juga berhutang kepadamu mengenai Nadira, kamu sudah memperhatikannya dengan baik," lanjut Nayla."Tidak apa-apa, itu adalah kewajiban yang harus kulakukan untuk membuatmu merasa nyaman, Nayla."Setelah berbicara dengan Michael, Nayla merasa sedikit lega. Meskipun keadaan Zavier membuatnya cemas, tapi setidaknya dia merasa didukung oleh orang-orang terdekatnya. Dengan hati yang lebih tenang, dia kembali ke sisi tempat tidur Zavier.Sementara mendengar percakapan Nayla dengan Michael, Zavier merasa getaran aneh merambat di dalam dirinya. Mata Zavier yang masih setengah tertutup perlahan-lahan terbuka sedikit lebih lebar, namun ekspresinya tetap datar, tersembunyi di balik kelopak mata yang menatap tajam ke arah kekosongan.Setiap kata yang terdengar dari percakapan itu menusuk ke dalam hatinya seperti
Seorang pelayan memasuki kamar dengan sebuah nampan, membawa semangkuk bubur ayam yang hangat."Nyonya Nayla, saya membawa bubur untuk Tuan Zavier," ucap pelayan dengan suara lembut, menempatkan nampan di atas meja kecil di samping tempat tidur.Nayla mengangguk, menyadari bahwa Zavier membutuhkan makanan yang hangat untuk membantu meredakan gejalanya. Dia berterima kasih kepada pelayan dengan senyum lemah sebelum membalikkan pandangannya ke arah Zavier."Zavier, apakah kamu ingin mencoba makan sedikit?" tanyanya dengan suara yang lembut, mencoba untuk membawa kembali kehangatan di antara mereka.Zavier mengangguk pelan, menunjukkan bahwa dia setuju. Dengan hati-hati, Nayla membantu Zavier untuk duduk lebih nyaman di tempat tidur, kemudian membuka tutup semangkuk bubur ayam yang hangat.Meskipun suasana di dalam kamar masih terasa tegang, tapi momen kecil ini memberikan sedikit kelegaan bagi keduanya.Nayla tetap berusaha untuk menjalankan k
"Tapi aku tidak pernah berencana untuk menghabiskan waktu lama di sana. Bukankah aku sudah kembali ke sini walau hujan badai semalam?"Zavier menatap Nayla dengan tatapan tajam lalu melanjukan kalimatnya. "Mereka, teman yang lain juga datang untuk menjengguk Sefia. Lalu mereka membuka botol anggur baru untuk menggantikan botol yang sudah kamu pecahkan."Terdengar napas Zavier menderu-deru karena pria itu menahan amarah dalam dirinya."Aku ikut minum karena merasa harus menggantikan momen berharga Sefia. Momen yang sudah kamu rusak!""Aku mewakilimu meminta maaf kepadanya atas kelakuanmu yang memalukan dalam pestanya!" lanjut Zavier."Nayla! Kamu sungguh tidak bisa menghargai apa yang sudah kuperbuat, malah merencanakan untuk bertemu pria lain pada saat aku tidak ada di rumah!"Nayla terpaku di tempatnya berdiri. Zavier tidak pernah berkata-kata sebanyak ini sebelumnya.Dia menatap Zavier dengan harapan, berharap suaminya bisa melihat
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu